JARIMAH HIRABAH DAN BUGHOT

JARIMAH HIRABAH DAN BUGHOT


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk ciptaan tuhan yang mempunyai berbagai keperluan dalam kehidupannya. Setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki fitrah yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Hal itu sudah lazim dimiliki oleh manusia sebagai sifat manusiawi, baik fitrah biologis (makan, minum), fitrah rohaniah (rasa untuk memiliki, kasih sayang, cinta,  bersenang-senang), maupun fitrah sosiologis (rasa kebersamaan) dan lain sebagainya.

Fitrah manusia tersebut ketika sampai pada puncaknya akan memberikan dampak negatif ketika tidak dapat diolah dan dikontrol dengan baik. Manusia yang selalu merasa kekurangan dalam kehidupannya, disamping kurangnya keimanan dalam dirinya dan fitrahnya pun tidak dapat terkontrol lagi akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Misalnya fitrah ingin cepat kaya dan mendapat kekuasaan, dengan cara melakukan pencurian, korupsi, penipuan, perampokan, pemberontakan dan lain-lainnya.

Perbuatan-perbuatan tersebut dalam dunia hukum dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana. Dalam hukum Islam disebut dengan Jinayah. Setiap tindak pidana pasti memiliki sanksi hukum. Perampokan dalam hukum pidana Islam termasuk perkara hudud. Akan tetapi, masyarakat mungkin masih belum mengetahui hal ini khususnya mengenai sanksinya dalam hukum islam.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis bermaksud memaparkan berbagai hal, khususnya mengenai jarimah hirabah (perampokan) dan jarimah bughot (pemberontakan).

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud jarimah hirabah?

2.      Apa yang dimaksud jarimah bughot?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui maksud jarimah hirabah.

2.      Untuk mengetahui maksud jarimah bughot.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Jarimah Hirabah

1.      Pengertian Jarimah Hirabah

Hirabah diambil dari kata harb yang artinya menyerang dan menyambar harta. Dalam ensiklopedia hukum islam, hirabah diartikan sebagai aksi sekelompok orang dalam negara Islam untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, pemerkosaan, yang secara terang-terangan mengganggu dan menentang peraturan yang berlaku, perikemanusian dan agama. Secara harfiah, kata hirabah berarti memerangi atau membuat kekacauan yang merupakan lawan kata dari “kedamaian” dan “kenyamanan” yang mengancam jiwa atau harta. Menurut Muhammad Ichsan dan M. Endrio Susilo, al-hirabah secara etimologis berasal dari kata haraba-harban yang berarti marah sekali, merampas atau perang. Para ulama fiqh menyebutnya al-sariqah al-kubra atau qathu’u thariq.[1]

Para fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan jarimah hirabah ini, diantaranya:[2]

a.       Syafi’iyah berpendapat hirabah adalah mengambil harta atau  membunuh atau menakut-nakuti yang dilakukan dengan engaja di tempat yang jauh dari pertolongan.

b.      Malikiyah berpendapat hirabah adalah mengambil harta dengan cara penipuan baik mengunakan kekuatan maupun tidak.

c.       Hanafiyah berpendapat hirabah adalah perbuatan yang mengambil harta secara terang-terangan dari orang yang melintasi jalan dengan syarat memiliki kekuatan.

Jadi dari pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa hirabah adalah suatu tindakan kejahatan ataupun pengerusakan dengan menggunakan senjata atau alat yang dilakukan oleh manusia secara terang-terangan dimana saja baik dilakukan satu orang atau berkelompok tanpa mempertimbangkan korbannya disertai dengan tindakan kekerasan.

2.      Dasar Hukum Jarimah Hirabah

Dasar hukum jarimah Hirabah sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Al-Maidah ayat 33:

إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَٰفٍ أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ


Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.

3.      Unsur-unsur Jarimah Hirabah

Unsur-unsur jarimah hirabah adalah keluar untuk mengambil harta, dilakukan di jalan umum atau diluar pemukiman korban, dilakukan secara terang-terangan, serta adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Perbedaan yang tampak antara pencurian dan perampokan terletak pada cara pengambilan harta yakni pencurian dilaksanakan secara diam-diam sedangkan dalam perampokan dilakukan secara terang-terangan atau disertai dengan kekerasan. Unsur-unsur jarimah hirabah atau seseorang dianggap perampok dalam keadaan berikut:[3]

a.       Jika keluar untuk mengambil harta dengan cara mengalahkan dan menakut-nakuti meskipun tidak jadi mengambil harta dan tidak membunuh.

b.      Jika keluar untuk mengambil harta dengan cara mengalahkan lalu dia mengambil harta dan tidak membunuh.

c.       Jika keluar untuk mengambil harta dengan cara menga- lahkan lalu dia membunuh tapi tidak jadi mengambil harta.

d.      Jika keluar untuk mengambil harta dengan cara mengalahkan lalu dia mengambil harta dan membunuh.

Dari semua keadaan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur dalam jarimah ini adalah keluar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan dan menakut- nakuti, baik setelah itu ia jadi mengambil harta atau tidak.

4.      Syarat-syarat Jarimah Hirabah

Untuk menjatuhkan hukuman had kepada pelaku hirabah terdapat beberapa syarat yaitu:[4]

a.       Jarimah perampokan harus terjadi di negeri islam. Dikemukakan oleh Hanafiyah. Dengan demikian, apabila jarimah hirabah terjadi di luar negeri Islam (dar al-harb) maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Zhahiriyah tidak mensyaratkan hal ini. Dengan demikian menurut jumhur, pelaku tersebut tetap dikenakan hukuman had, baik jarimah hirabah terjadi di negeri Islam maupun di luar negeri Islam.

b.      Perampokan harus terjadi di luar kota, jauh dari keamanan. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah. Akan tetapi Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan Imam Abu Yusuf murid dari Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan hal ini. Dengan demikian, menurut mereka (jumhur), perampokan yang terjadi di dalam kota dan di luar kota hukumnya sama, yaitu bahwasannya pelaku tetap harus dikenakan hukuman had.

c.       Malikiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan adanya kesulitan atau keadilan kendala untuk meminta pertolongan. Sulitnya pertolongan tersebut mungkin karena peristiwanya terjadi di luar kota, lemahnya petugas keamanan atau karena upaya penghadangan oleh para perampok atau karena korban tidak mau meminta pertolongan kepada pihak keamanan, karena berbagai pertimbangan. Dengan demikian apabila upaya dan kemungkinan pertolongan mudah dilakukan maka para pelaku tidak dikenakan hukuman.

Ada pula persyaratan yang berkaitan dengan korban. Para ulama sepakat, bahwa orang yang menjadi korban perampokan adalah orang yang ma’shum ad-dam, yaitu orang yang dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh Islam.orang tersebut adalah orang muslim atau dzimmi. Orang Islam dijamin karena keislamannya, sedangkan kafir dzimmi dijamin berdasarkan perjanjian keamanan. Orang kafir musta’mam  (Mu’ahad) sebenarnya juga termasuk orang yang mendapatkan jaminan, tetapi karena jaminannya itu tidak mutlak maka hukuman had terhadap pelaku perampokan atas musta’mam ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah perampokan terhadap musta’mam tidak dikenakan hukuman had.

5.      Sanksi Jarimah Hirabah

Hukuman bagi Pelaku Hirabah Pelaku hirabah ada empat jenis, yaitu:

a.       Membunuh orang yang dirampoknya dan diambil hartanya. Dalam hal ini hukumnya wajib dibunuh lalu disalib (dijemur).

b.      Membunuh orang yang dirampoknya, tetapi hartanya tidak diambil. Hukumannya ia wajib dibunuh saja.

c.       Hanya mengambil harta bendanya saja, sedangkan orangnya tidak dibunuhnya sedangkan harta benda yang diambil sedikitnya satu nisab. Perampok seperti ini hukumannya dipotong tangannya yang kanan.

d.      Perampok yang menakut-nakuti saja, tidak membunuh dan tidak mengambil harta benda. Hukumannya hendaknya diberi hukuman penjara atau hukuman lainnya yang menjadi pelajaran kepadanya, agar ia tidak mengulangi lagi perbuatannya yang tidak baik itu.

Dalam Q.S Al-Maidah ayat 34 (terusan dari Q.S Al-Maidah ayat 33 diatas) menjelaskan bahwa jika Apabila seorang perampok telah benar-benar bertobat sebelum ia tertangkap, maka gugurlah baginya hukuman tertentu bagi perampok itu.

 

إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُوا۟ مِن قَبْلِ أَن تَقْدِرُوا۟ عَلَيْهِمْ ۖ فَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Dari ayat Q.S Al-Maidah ayat 33-34 dapat disimpulkan kalau seseorang membunuh dan mengambil harta kemudian bertobat, maka gugurlah baginya hukuman jemur dan wajib dibunuh. Dan, wali orang yang dibunuh wajib mengambil qisas atau memaafkan, dan ia wajib mengembalikan harta yang diambilnya. Kalau ia hanya membunuh orang saja maka gugurlah hukuman wajib dibunuh, dalam hal ini terserah kepada wali akan diambil qisas atau dimaafkan. Kalau dia hanya mengambil harta benda saja, dia hanya di potong tangannya saja tidak dipotong kakinya. Jadi, yang gugur dalam tobat sebelum tertangkap ialah hak Allah, sedangkan hak manusia terus dilakukan.

B.     Jarimah Bughot

1.      Pengertian Jarimah Bughot

Bughot diambil dari kata al-baghyu dalam bahasa arab yang artinya mencari  atau  menuntut sesuatu. Menurut  Wahbah  al-Zuhaili,  kata al-baghyu berarti  yang  dhalim, perbuatan  jahat, menyimpang  kebenaran  atau  melawan/menentang. Kata-kata ini jika dibandingkan dengan apa yang terdapat dalam Kamus Lisan al-’Arab akan tampak sesuai dengan makna di atas, yakni perbuatan zalim, perbutan jahat, menyimpang dari kebenaran, atau melawan/menentang. Namun secara lebih luas, pengertian ini tidak mendapat kejelasan dalam literatur-literatur fikih. Kendati demikian, untuk melihat maksud kata al-baghyu selanjutnya, ulama fikih secara umum menyebutkan dengan “Mencari atau menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maupun ke-zaliman”. Atas dasar ini, maka definisi yang dipakai secara khusus dan disepakati. Ulama fikih berkaitan dengan penyebutan kata al-baghyu adalah, perbuatan melawan pemerintah atau pemimpin Negara[5].

Secara terminologi, terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam mendefinisikan jarimah bughotantara lain:

a.       Ulama Malikiyyah, mendefinisikan bughat sebagai tindakan menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (ta’wil). Dengan kata lain, bughat adalah sekelompok orang muslim yang berseberangan dengan imam (kepala negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau maksud menggulingkannya.

b.       Ulama Hanafilah, bughat adalah keluar dari ketaatan kepada imam (kepala negara) yang sah dengan cara dan alasan yang benar.

c.       Ulama Syafi’iyyah mendefinisikannya dengan orang-orang Islam yang tidak patuh dan tunduk kepada pemimpin tertinggi negara dan melakukan suatu gerakan massa yang didukung oleh suatu kekuatan dengan alasanalasan mereka sendiri.

d.       Ulama Hanabilah mendefinisikannya dengan menyatakan ketidakpatuhan terhadap pemimpin negara sekalipun pemimpin itu tidak adil dengan menggunakan suatu kekuatan dengan alasan-alasan sendiri.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa jarimah bughot adalah pembangkangan terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan (ta’wil).

 

2.      Dasar Hukum Jarimah Bughot

Dasar hukum jarimah bughot sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Al Hujarat ayat 9:

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱقْتَتَلُوا۟ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنۢ بَغَتْ إِحْدَىٰهُمَا عَلَى ٱلْأُخْرَىٰ فَقَٰتِلُوا۟ ٱلَّتِى تَبْغِى حَتَّىٰ تَفِىٓءَ إِلَىٰٓ أَمْرِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا بِٱلْعَدْلِ وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.

3.      Perlakuan Terhadap Pelaku Jarimah Bughot

Beberapa perlakuan terhadap pelaku jarimah bughot, diantaranya:[6]

a.       Jika ada sekelompok kaum muslimin yang membelot dari imam maka imam harus berdialog dengan mereka, menanyakan apa yang membuat mereka membelot. Jika ada kedzaliman maka imam menyingkirkannya, jika ada syubhat maka imam menjelaskannya.

b.      Mereka harus kembali kepada ketaatan, jika tidak maka imam menasehati dan menakut-nakuti mereka dengan peperangan. Jika tetap bersikukuh maka imam boleh memerangi mereka dan rakyat harus membantu pemimpin mereka sehinnga kerusakan dan fitnah yang menimpa mereka bisa ditepis dan dipadamkan.

c.       Jika imam memerangi mereka maka dia tidak boleh memerangi mereka dengan senjata pemusnah masal seperti bom, tidak boleh membunuh anak-anak mereka, yang lari, yang luka di antara mereka maupun yang tidak ikut berperang.

d.      Yang tertawan diantara mereka ditahan sampai fitnah mereka dipadamkan.

e.       Harta mereka tidak dijadikan sebagai harta rampasan perang dan anak-anak mereka tidak ditawan

f.        Setelah perang usai dan fitnah dipadamkan, tidak ada ganti rugi terhadap harta mereka yang hancur karena perang.

g.      Siapa yang terbunuh tidak ada diyat baginya dan mereka juga tidak memikul ganti rugi terhadap nyawa dan harta yang binasa pada waktu perang

                                                                                           

4.      Unsur-unsur Jarimah Bughot

Setidaknya, terdapat tiga unsur di dalam jarimah bughatyaitu:[7]

a.       Pembangkangan terhadap kepala negara (imam)

Pembangkangan di sini dalam artian menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Menurut empat mazhab dan Syi’ah Zaidiyah, haram hukumnya keluar (membangkang) dari imam yang ada walau dia berlaku fasik atau tidak adil, walau pembangkang tersebut bermaksud amar ma’ruf nahi munkar. Alasannya adalah pembangkangan terhadap imam justru akan mendatangkan akibat yang lebih munkar, yaitu timbulnya fitnah, pertumpahan darah, merebaknya kerusakan dan kekacauan dalam negara, serta terganggunya ketertiban dan keamanan. Akan tetapi menurut pendapat marjuh (lemah), apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan mengabaikan hak-hak masyarakat maka ia harus diberhentikan dari jabatannya.

b.      Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan

Pembangkangan di sini dalam artian menggunakan kekuatan yang berupa anggota, senjata, sejumlah logistik dan dana dalam rangka mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebuah gerakan bisa dikatakan pemberontakan jika sudah menggunakan kekuatan secara nyata. Sehingga jika baru sebatas ide belum bisa dikatakan pemberontakan, tapi jika sudah tahap perhimpunan kekuatan dikategorikan sebagai ta’zir. Berbeda pendapat dengan Abu Hanifah yang sudah menganggap sebagai pemberontakan walau baru tahap berkumpul untuk menghimpun kekuatan untuk maksud berperang dan membangkang terhadap imam.

c.       Adanya niat yang melawan hukum (al-qasd al-jinaiy)

Yang tergolong pemberontak adalah kelompok yang dengan sengaja berniat menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam maupun tidak menaatinya Dalam istilah ketatanegaraan, perbuatan pemberontakan dinamakan jarimah siasiyah (tindak pidana politik) Jarimah Siasiyah belum dinamakan tindak pidana politik yang sebenarnya, kecuali kalau memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1)      Perbuatan itu ditunjukkan untuk menggulingkan negara dan semua badan eksekutif lainnya atau tidak mau lagi mematuhi pemerintah nya.

2)      Ada alasan yang mereka kemukakan, apa sebabnya mereka memberontak, walaupun alasan itu lemah sekali.

3)      Pemberontak telah mempunyai kekuatan dengan adanya orang yang mereka taati (pengatur pemberontakan) atau ada pimpinan nya.

4)      Telah terjadi pemberontakan yang merupakan perang saudara dalam negara, sesudah mereka mengadakan persiapan atau rencana.

5.      Sanksi Jarimah Bughot

Dalam menentukan sanksi bagi pelaku pidana bughat atau pemberontakan dibagi menjadi dua hal, yakni:

a.       Pertama, tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksud tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan adalah berbagai tindak pidana yang muncul sebagai bentuk pemberontakan terhadap pemerintah, seperti perusakan fasilitas publik, pembunuhan, penganiayaan, penawanan dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi dari berbagai kejahatan yang langsung berkaitan dengan pemberontakan tersebut, pelaku tidak mendapat jarimah biasa, akan tetapi mendapat hukuman mati. Akan tetapi, jika imam memberikan pengampuan (amnesti), maka pelaku pemberontakan akan mendapatkan hukuman ta’zir.

b.      Kedua, tindak pidana yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksudkan dengan tindak pidana yang tidak berkaitan dengan pemberontakan adalah berbagai tindak kejahatan yang tidak ada korelasinya dengan pemberontakan, tapi dilakukan pada saat terjadinya pemberontakan atau peperangan. Beberapa kejahatan tersebut seperti minum minuman keras, zina atau perkosaan, pencurian, dan lain sebagainya.

Ketika beberapa perbuatan tersebut dilakukan, maka akan dihukumi dengan hukuman jarimah biasa dan akan mendapat hukuman hudud sesuai dengan jarimah yang dilakukan. Dalam persoalan perdata ada sedikit perbedaan pendapat ulama. Menurut Imam Abu Hanifah, para pemberontak yang merusak dan menghancurkan aset-aset negara dalam rangka melancarkan aksi tidak ada pertanggungjawabannya, kecuali jika perusakan dilakukan terhadap kekayaan individu, maka pelaku wajib mengganti dan mengembalikannya. Sedangkan sebagian penganut Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa pemberontak harus bertanggung jawab atas semua barang yang dihancurkannya, baik ada kaitannya dengan pemberontakan atau tidak, karena perbuatan itu mereka lakukan dengan melawan hukum.[8]

Secara umum, pada hakikatnya hukuman bagi pelaklu pemberotakan adalah hukuman mati. Hal tersebut dikarenakan pemberontakan merupakan kejahatan yang akan menimbulkan kekacauan, ketidaktenangan dan pada akhirnya akan mendatangkan kemunduran dalam suatu masyarakat (negara). Walau jarimah pemberontakan adalah hukuman mati atau ditumpas pada saat terjadinya perang, tapi para ulama mazhab sepakat harus adanya proses dialog terlebih dahulu sebelum hukuman mati dieksekusi. Proses dialog dalam rangka menemukan faktor yang mengakibatkan para pembangkang melakukan pemberontakan. Jika mereka menyebut beberapa kezaliman atau penyelewengan yang dilakukan oleh imam dan mereka memiliki fakta-fakta yang benar maka imam harus berupaya menghentikan kezaliman dan penyelewengan tersebut. Upaya berikutnya adalah mengajak para pemberontak diajak kembali tunduk dan patuh kepada imam atau kepala negara. Apabila mereka bertaubat dan mau kembali patuh maka mereka dilindungi. Sebaliknya, jika mereka menolak untuk kembali, barulah diperbolehkan untuk memerangi dan membunuh mereka.

 

A.    Simpulan

Hirabah adalah salah satu bentuk tindak pidana sangat merugikan orang lain karena sama saja tidak mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan, merampas hak-hak orang lain yang berstatus sebagai korban perampokan, hukuman bagi pelaku hirabah ini sesuai dengan tingkatan kejahatannya, apabila pelaku perampokan hanya mengambil harta dan membunuh, maka ia dihukum potong tangan dan kaki dengan bersilang. Apabila pelaku perampokan membunuh dan mengambil harta maka ia dihukum mati dan atau tanpa disalib jika pelaku perampokan membunuh korban dan mengambil harta,, maka ia dihukum mati dan disalib dan jika pelaku perampokan hanya menakut-nakuti maka ia dihukum dengan diasingkan atau penjara.

Kemudian bughat adalah segolongan kaum muslimin yang menentang imam (pemerintah) dengan menyerang, serta tidak mau mengikutinya atau tidak memberikan hak imam yang menjadi kewajibannya, dan mempunyai alasan yang kuat untuk memberontak, serta ada seseorang pemimpin yang mereka taati. Bila pemberontak itu sudah di berikan nasehat oleh imam secara baik-baik dan telah ditempuh cara-cara lain yang baik agar mereka bersedia mengikuti motiv yang mendorong mereka bersikap keras tidak mau tunduk kepada imam yang adil, tidak bersedia sadar diri dan bertobat, mereka masih bersikeras membangkang ,maka sang imam baru dibolehkan memberi tahu, bahwa mereka akan di bunuh sebagai langkah yang terakhir.

B.      Saran

Demikianlah makalah yang saya susun. Saya  yakin dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA 

Geno, Ali Berutu. 2020. Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam). Purwokerto: Pena Persada.

Haq, Islamul. 2020. Fiqh Jinayah. Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press.

Mardani.  2019. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Prenada Media Group.

Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Riswadi. 2014. “Perbuatan Tindakan Pidana Bughah dalam Hukum Pidana Islam”.  https://jurnal.ar-raniry.ac.id (diakses pada tanggal 14 November 2020 pada pulul 13.49)

Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri. 2012. Enslikopedi Islam Kaffah. Surabaya: Pustaka Yassir.



[1] Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2019),  hlm 72-73.

[2] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Purwokerto: Pena Persada, 2020),  hlm 55.

[3] Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2019), hlm 74.

[4] Islamul Haq, Fiqh Jinayah, (Pare-pare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020) 

[5] Riswadi, “Perbuatan Tindakan Pidana Bughah dalam Hukum Pidana Islam”, 2014, hlm 413 https://jurnal.ar-raniry.ac.id (diakses pada tanggal 14 November 2020 pada pulul 13.49)

[6] Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Enslikopedi Islam Kaffah (Surabaya: Pustaka Yassir, 2012), hlm. 1021.

[7] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 111.

[8] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 118.

Lebih baru Lebih lama