BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
dasarnya, manusia adalah makhluk ciptaan tuhan yang mempunyai berbagai
keperluan dalam kehidupannya. Setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki
fitrah yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Hal itu sudah lazim dimiliki
oleh manusia sebagai sifat manusiawi, baik fitrah biologis (makan, minum),
fitrah rohaniah (rasa untuk memiliki, kasih sayang, cinta,
bersenang-senang), maupun fitrah sosiologis (rasa kebersamaan) dan lain
sebagainya.
Fitrah
manusia tersebut ketika sampai pada puncaknya akan memberikan dampak negatif
ketika tidak dapat diolah dan dikontrol dengan baik. Manusia yang selalu merasa
kekurangan dalam kehidupannya, disamping kurangnya keimanan dalam dirinya dan
fitrahnya pun tidak dapat terkontrol lagi akan menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuannya. Misalnya fitrah ingin cepat kaya dan mendapat kekuasaan,
dengan cara melakukan pencurian, korupsi, penipuan, perampokan, pemberontakan
dan lain-lainnya.
Perbuatan-perbuatan
tersebut dalam dunia hukum dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana. Dalam
hukum Islam disebut dengan Jinayah. Setiap tindak pidana pasti memiliki sanksi
hukum. Perampokan dalam hukum pidana Islam termasuk perkara hudud. Akan tetapi,
masyarakat mungkin masih belum mengetahui hal ini khususnya mengenai sanksinya
dalam hukum islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis bermaksud memaparkan berbagai hal, khususnya mengenai jarimah hirabah (perampokan) dan jarimah bughot (pemberontakan).
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud jarimah hirabah?
2.
Apa yang dimaksud jarimah bughot?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui maksud jarimah hirabah.
2. Untuk mengetahui maksud jarimah bughot.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Jarimah Hirabah
1.
Pengertian Jarimah Hirabah
Hirabah diambil dari kata harb
yang artinya menyerang dan menyambar harta. Dalam ensiklopedia hukum islam,
hirabah diartikan sebagai aksi sekelompok orang dalam negara Islam untuk
melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, pemerkosaan, yang secara
terang-terangan mengganggu dan menentang peraturan yang berlaku, perikemanusian
dan agama. Secara harfiah, kata hirabah berarti memerangi atau membuat
kekacauan yang merupakan lawan kata dari “kedamaian” dan “kenyamanan” yang
mengancam jiwa atau harta. Menurut Muhammad Ichsan dan M. Endrio Susilo, al-hirabah secara etimologis berasal
dari kata haraba-harban yang berarti marah sekali, merampas atau perang. Para
ulama fiqh menyebutnya al-sariqah
al-kubra atau qathu’u thariq.[1]
Para fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan jarimah hirabah
ini, diantaranya:[2]
a.
Syafi’iyah berpendapat hirabah
adalah mengambil harta atau membunuh
atau menakut-nakuti yang dilakukan dengan engaja di tempat yang jauh dari
pertolongan.
b.
Malikiyah berpendapat hirabah adalah
mengambil harta dengan cara penipuan baik mengunakan kekuatan maupun tidak.
c.
Hanafiyah berpendapat hirabah adalah
perbuatan yang mengambil harta secara terang-terangan dari orang yang melintasi
jalan dengan syarat memiliki kekuatan.
Jadi dari pandangan diatas dapat
disimpulkan bahwa hirabah adalah suatu tindakan kejahatan ataupun pengerusakan
dengan menggunakan senjata atau alat yang dilakukan oleh manusia secara
terang-terangan dimana saja baik dilakukan satu orang atau berkelompok tanpa
mempertimbangkan korbannya disertai dengan tindakan kekerasan.
2.
Dasar Hukum Jarimah Hirabah
Dasar
hukum jarimah Hirabah sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Al-Maidah ayat 33:
إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ
يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا أَن
يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ
خِلَٰفٍ أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ
وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.
3.
Unsur-unsur Jarimah Hirabah
Unsur-unsur jarimah hirabah adalah keluar untuk mengambil
harta, dilakukan di jalan umum atau diluar pemukiman korban, dilakukan secara
terang-terangan, serta adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Perbedaan
yang tampak antara pencurian dan perampokan terletak pada cara pengambilan
harta yakni pencurian dilaksanakan secara diam-diam sedangkan dalam perampokan
dilakukan secara terang-terangan atau disertai dengan kekerasan. Unsur-unsur jarimah
hirabah atau seseorang dianggap perampok dalam keadaan berikut:[3]
a. Jika keluar untuk mengambil harta
dengan cara mengalahkan dan menakut-nakuti meskipun tidak jadi mengambil harta
dan tidak membunuh.
b. Jika keluar untuk mengambil harta
dengan cara mengalahkan lalu dia mengambil harta dan tidak membunuh.
c. Jika keluar untuk mengambil harta
dengan cara menga- lahkan lalu dia membunuh tapi tidak jadi mengambil harta.
d. Jika keluar untuk mengambil harta
dengan cara mengalahkan lalu dia mengambil harta dan membunuh.
Dari semua keadaan di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa unsur dalam jarimah ini adalah keluar untuk mengambil
harta dengan jalan kekerasan dan menakut- nakuti, baik setelah itu ia jadi
mengambil harta atau tidak.
4.
Syarat-syarat Jarimah Hirabah
Untuk menjatuhkan hukuman had kepada pelaku hirabah terdapat
beberapa syarat yaitu:[4]
a. Jarimah
perampokan harus terjadi di negeri islam. Dikemukakan oleh Hanafiyah. Dengan
demikian, apabila jarimah hirabah terjadi di luar negeri Islam (dar al-harb)
maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi jumhur ulama yang
terdiri atas Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Zhahiriyah tidak
mensyaratkan hal ini. Dengan demikian menurut jumhur, pelaku tersebut tetap
dikenakan hukuman had, baik jarimah hirabah terjadi di negeri Islam maupun di
luar negeri Islam.
b. Perampokan
harus terjadi di luar kota, jauh dari keamanan. Pendapat ini dikemukakan oleh
Hanafiyah. Akan tetapi Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan Imam Abu Yusuf
murid dari Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan hal ini. Dengan demikian,
menurut mereka (jumhur), perampokan yang terjadi di dalam kota dan di luar kota
hukumnya sama, yaitu bahwasannya pelaku tetap harus dikenakan hukuman had.
c. Malikiyah
dan Syafi’iyah mensyaratkan adanya kesulitan atau keadilan kendala untuk
meminta pertolongan. Sulitnya pertolongan tersebut mungkin karena peristiwanya
terjadi di luar kota, lemahnya petugas keamanan atau karena upaya penghadangan
oleh para perampok atau karena korban tidak mau meminta pertolongan kepada pihak
keamanan, karena berbagai pertimbangan. Dengan demikian apabila upaya dan
kemungkinan pertolongan mudah dilakukan maka para pelaku tidak dikenakan
hukuman.
Ada pula
persyaratan yang berkaitan dengan korban. Para ulama sepakat, bahwa orang yang
menjadi korban perampokan adalah orang yang ma’shum ad-dam, yaitu orang yang
dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh Islam.orang tersebut adalah orang
muslim atau dzimmi. Orang Islam dijamin karena keislamannya, sedangkan kafir
dzimmi dijamin berdasarkan perjanjian keamanan. Orang kafir musta’mam (Mu’ahad) sebenarnya juga termasuk orang yang
mendapatkan jaminan, tetapi karena jaminannya itu tidak mutlak maka hukuman had
terhadap pelaku perampokan atas musta’mam ini masih diperselisihkan oleh para
fuqaha. Menurut Hanafiyah perampokan terhadap musta’mam tidak dikenakan hukuman
had.
5. Sanksi
Jarimah Hirabah
Hukuman bagi Pelaku Hirabah Pelaku hirabah
ada empat jenis, yaitu:
a. Membunuh orang yang dirampoknya dan
diambil hartanya. Dalam hal ini hukumnya wajib dibunuh lalu disalib (dijemur).
b. Membunuh orang yang dirampoknya,
tetapi hartanya tidak diambil. Hukumannya ia wajib dibunuh saja.
c. Hanya mengambil harta bendanya saja,
sedangkan orangnya tidak dibunuhnya sedangkan harta benda yang diambil
sedikitnya satu nisab. Perampok seperti ini hukumannya dipotong tangannya yang
kanan.
d. Perampok yang menakut-nakuti saja,
tidak membunuh dan tidak mengambil harta benda. Hukumannya hendaknya diberi
hukuman penjara atau hukuman lainnya yang menjadi pelajaran kepadanya, agar ia
tidak mengulangi lagi perbuatannya yang tidak baik itu.
Dalam Q.S Al-Maidah ayat 34 (terusan dari Q.S Al-Maidah ayat 33 diatas)
menjelaskan bahwa jika Apabila
seorang perampok telah benar-benar bertobat sebelum ia tertangkap, maka
gugurlah baginya hukuman tertentu bagi perampok itu.
Artinya: “Kecuali
orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Dari ayat Q.S Al-Maidah ayat 33-34 dapat disimpulkan kalau seseorang membunuh dan
mengambil harta kemudian bertobat, maka gugurlah baginya hukuman jemur dan
wajib dibunuh. Dan, wali orang yang dibunuh wajib mengambil qisas atau memaafkan,
dan ia wajib mengembalikan harta yang diambilnya. Kalau ia hanya membunuh orang
saja maka gugurlah hukuman wajib dibunuh, dalam hal ini terserah kepada wali
akan diambil qisas atau dimaafkan. Kalau dia hanya mengambil harta benda saja,
dia hanya di potong tangannya saja tidak dipotong kakinya. Jadi, yang gugur
dalam tobat sebelum tertangkap ialah hak Allah, sedangkan hak manusia terus
dilakukan.
B. Jarimah Bughot
1.
Pengertian Jarimah Bughot
Bughot diambil
dari kata al-baghyu dalam bahasa arab
yang artinya mencari atau menuntut sesuatu. Menurut Wahbah
al-Zuhaili, kata al-baghyu berarti yang
dhalim, perbuatan jahat,
menyimpang kebenaran atau
melawan/menentang. Kata-kata ini jika dibandingkan dengan apa yang
terdapat dalam Kamus Lisan al-’Arab akan tampak sesuai dengan makna di atas,
yakni perbuatan zalim, perbutan jahat, menyimpang dari kebenaran, atau
melawan/menentang. Namun secara lebih luas, pengertian ini tidak mendapat
kejelasan dalam literatur-literatur fikih. Kendati demikian, untuk melihat
maksud kata al-baghyu selanjutnya,
ulama fikih secara umum menyebutkan dengan “Mencari atau menuntut sesuatu yang
tidak halal, baik karena dosa maupun ke-zaliman”. Atas dasar ini, maka definisi
yang dipakai secara khusus dan disepakati. Ulama fikih berkaitan dengan
penyebutan kata al-baghyu adalah,
perbuatan melawan pemerintah atau pemimpin Negara[5].
Secara
terminologi, terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam
mendefinisikan jarimah bughot, antara lain:
a.
Ulama Malikiyyah, mendefinisikan bughat
sebagai tindakan menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang
kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara
menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (ta’wil). Dengan kata lain,
bughat adalah sekelompok orang muslim yang berseberangan dengan imam (kepala
negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau maksud
menggulingkannya.
b.
Ulama Hanafilah, bughat adalah keluar dari
ketaatan kepada imam (kepala negara) yang sah dengan cara dan alasan yang
benar.
c.
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikannya dengan
orang-orang Islam yang tidak patuh dan tunduk kepada pemimpin tertinggi negara
dan melakukan suatu gerakan massa yang didukung oleh suatu kekuatan dengan
alasanalasan mereka sendiri.
d.
Ulama Hanabilah mendefinisikannya dengan
menyatakan ketidakpatuhan terhadap pemimpin negara sekalipun pemimpin itu tidak
adil dengan menggunakan suatu kekuatan dengan alasan-alasan sendiri.
Dari
beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa jarimah bughot adalah
pembangkangan terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan kekuatan
berdasarkan argumentasi atau alasan (ta’wil).
2. Dasar
Hukum Jarimah Bughot
Dasar
hukum jarimah bughot sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Al Hujarat ayat 9:
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman
itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian
itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.
3.
Perlakuan Terhadap Pelaku Jarimah Bughot
Beberapa
perlakuan terhadap pelaku jarimah bughot, diantaranya:[6]
a. Jika ada
sekelompok kaum muslimin yang membelot dari imam maka imam harus berdialog
dengan mereka, menanyakan apa yang membuat mereka membelot. Jika ada kedzaliman
maka imam menyingkirkannya, jika ada syubhat maka imam menjelaskannya.
b. Mereka harus
kembali kepada ketaatan, jika tidak maka imam menasehati dan menakut-nakuti
mereka dengan peperangan. Jika tetap bersikukuh maka imam boleh memerangi
mereka dan rakyat harus membantu pemimpin mereka sehinnga kerusakan dan fitnah
yang menimpa mereka bisa ditepis dan dipadamkan.
c. Jika imam
memerangi mereka maka dia tidak boleh memerangi mereka dengan senjata pemusnah
masal seperti bom, tidak boleh membunuh anak-anak mereka, yang lari, yang luka
di antara mereka maupun yang tidak ikut berperang.
d. Yang tertawan
diantara mereka ditahan sampai fitnah mereka dipadamkan.
e. Harta mereka
tidak dijadikan sebagai harta rampasan perang dan anak-anak mereka tidak
ditawan
f.
Setelah
perang usai dan fitnah dipadamkan, tidak ada ganti rugi terhadap harta mereka
yang hancur karena perang.
g. Siapa yang
terbunuh tidak ada diyat baginya dan mereka juga tidak memikul ganti
rugi terhadap nyawa dan harta yang binasa pada waktu perang
4.
Unsur-unsur Jarimah Bughot
Setidaknya,
terdapat tiga unsur di dalam jarimah bughat, yaitu:[7]
a.
Pembangkangan terhadap kepala negara (imam)
Pembangkangan di sini dalam artian menentang
kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk
melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Menurut empat mazhab dan Syi’ah
Zaidiyah, haram hukumnya keluar (membangkang) dari imam yang ada walau dia
berlaku fasik atau tidak adil, walau pembangkang tersebut bermaksud amar
ma’ruf nahi munkar. Alasannya adalah pembangkangan terhadap imam justru
akan mendatangkan akibat yang lebih munkar, yaitu timbulnya fitnah, pertumpahan
darah, merebaknya kerusakan dan kekacauan dalam negara, serta terganggunya
ketertiban dan keamanan. Akan tetapi menurut pendapat marjuh (lemah),
apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan mengabaikan hak-hak masyarakat maka
ia harus diberhentikan dari jabatannya.
b.
Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan
Pembangkangan di sini dalam artian menggunakan
kekuatan yang berupa anggota, senjata, sejumlah logistik dan dana dalam rangka
mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad sebuah gerakan bisa dikatakan pemberontakan jika sudah
menggunakan kekuatan secara nyata. Sehingga jika baru sebatas ide belum bisa
dikatakan pemberontakan, tapi jika sudah tahap perhimpunan kekuatan
dikategorikan sebagai ta’zir. Berbeda pendapat dengan Abu Hanifah
yang sudah menganggap sebagai pemberontakan walau baru tahap berkumpul untuk
menghimpun kekuatan untuk maksud berperang dan membangkang terhadap imam.
c.
Adanya niat yang melawan hukum (al-qasd
al-jinaiy)
Yang
tergolong pemberontak adalah kelompok yang dengan sengaja berniat menggunakan
kekuatan untuk menjatuhkan imam maupun tidak menaatinya Dalam istilah ketatanegaraan, perbuatan pemberontakan
dinamakan jarimah siasiyah (tindak pidana politik) Jarimah
Siasiyah belum dinamakan tindak pidana politik yang sebenarnya, kecuali kalau
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Perbuatan itu ditunjukkan untuk menggulingkan
negara dan semua badan eksekutif lainnya atau tidak mau lagi mematuhi
pemerintah nya.
2)
Ada alasan yang mereka kemukakan, apa sebabnya
mereka memberontak, walaupun alasan itu lemah sekali.
3)
Pemberontak telah mempunyai kekuatan dengan
adanya orang yang mereka taati (pengatur pemberontakan) atau ada pimpinan nya.
4) Telah terjadi pemberontakan yang merupakan perang saudara dalam negara, sesudah mereka mengadakan persiapan atau rencana.
5.
Sanksi Jarimah Bughot
Dalam
menentukan sanksi bagi pelaku pidana bughat atau pemberontakan dibagi menjadi
dua hal, yakni:
a.
Pertama, tindak
pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksud tindak
pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan adalah berbagai tindak
pidana yang muncul sebagai bentuk pemberontakan terhadap pemerintah, seperti
perusakan fasilitas publik, pembunuhan, penganiayaan, penawanan dan lain
sebagainya. Sebagai konsekuensi dari berbagai kejahatan yang langsung berkaitan
dengan pemberontakan tersebut, pelaku tidak mendapat jarimah biasa,
akan tetapi mendapat hukuman mati. Akan tetapi, jika imam memberikan pengampuan
(amnesti), maka pelaku pemberontakan akan mendapatkan hukuman ta’zir.
b.
Kedua, tindak pidana yang tidak
berkaitan langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksudkan dengan tindak pidana
yang tidak berkaitan dengan pemberontakan adalah berbagai tindak kejahatan yang
tidak ada korelasinya dengan pemberontakan, tapi dilakukan pada saat terjadinya
pemberontakan atau peperangan. Beberapa kejahatan tersebut seperti minum
minuman keras, zina atau perkosaan, pencurian, dan lain sebagainya.
Ketika
beberapa perbuatan tersebut dilakukan, maka akan dihukumi dengan hukuman jarimah biasa dan akan mendapat
hukuman hudud sesuai dengan jarimah yang
dilakukan. Dalam persoalan perdata ada sedikit perbedaan pendapat ulama.
Menurut Imam Abu Hanifah, para pemberontak yang merusak dan menghancurkan
aset-aset negara dalam rangka melancarkan aksi tidak ada pertanggungjawabannya,
kecuali jika perusakan dilakukan terhadap kekayaan individu, maka pelaku wajib
mengganti dan mengembalikannya. Sedangkan sebagian penganut Mazhab Syafi’i
berpendapat bahwa pemberontak harus bertanggung jawab atas semua barang yang
dihancurkannya, baik ada kaitannya dengan pemberontakan atau tidak, karena
perbuatan itu mereka lakukan dengan melawan hukum.[8]
Secara umum, pada hakikatnya hukuman bagi pelaklu pemberotakan adalah hukuman mati. Hal tersebut dikarenakan pemberontakan merupakan kejahatan yang akan menimbulkan kekacauan, ketidaktenangan dan pada akhirnya akan mendatangkan kemunduran dalam suatu masyarakat (negara). Walau jarimah pemberontakan adalah hukuman mati atau ditumpas pada saat terjadinya perang, tapi para ulama mazhab sepakat harus adanya proses dialog terlebih dahulu sebelum hukuman mati dieksekusi. Proses dialog dalam rangka menemukan faktor yang mengakibatkan para pembangkang melakukan pemberontakan. Jika mereka menyebut beberapa kezaliman atau penyelewengan yang dilakukan oleh imam dan mereka memiliki fakta-fakta yang benar maka imam harus berupaya menghentikan kezaliman dan penyelewengan tersebut. Upaya berikutnya adalah mengajak para pemberontak diajak kembali tunduk dan patuh kepada imam atau kepala negara. Apabila mereka bertaubat dan mau kembali patuh maka mereka dilindungi. Sebaliknya, jika mereka menolak untuk kembali, barulah diperbolehkan untuk memerangi dan membunuh mereka.
A. Simpulan
Hirabah adalah salah satu
bentuk tindak pidana sangat merugikan orang lain karena sama saja tidak
mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan, merampas hak-hak orang lain yang
berstatus sebagai korban perampokan, hukuman bagi pelaku hirabah ini sesuai
dengan tingkatan kejahatannya, apabila pelaku perampokan hanya mengambil harta
dan membunuh, maka ia dihukum potong tangan dan kaki dengan bersilang. Apabila
pelaku perampokan membunuh dan mengambil harta maka ia dihukum mati dan atau
tanpa disalib jika pelaku perampokan membunuh korban dan mengambil harta,, maka
ia dihukum mati dan disalib dan jika pelaku perampokan hanya menakut-nakuti
maka ia dihukum dengan diasingkan atau penjara.
Kemudian
bughat adalah segolongan kaum muslimin yang menentang imam (pemerintah) dengan
menyerang, serta tidak mau mengikutinya atau tidak memberikan hak imam yang
menjadi kewajibannya, dan mempunyai alasan yang kuat untuk memberontak, serta
ada seseorang pemimpin yang mereka taati. Bila pemberontak itu sudah di
berikan nasehat oleh imam secara baik-baik dan telah ditempuh cara-cara lain
yang baik agar mereka bersedia mengikuti motiv yang mendorong mereka bersikap
keras tidak mau tunduk kepada imam yang adil, tidak bersedia sadar diri dan
bertobat, mereka masih bersikeras membangkang ,maka sang imam baru dibolehkan
memberi tahu, bahwa mereka akan di bunuh sebagai langkah yang terakhir.
B. Saran
Demikianlah makalah yang saya susun. Saya yakin dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Geno, Ali
Berutu. 2020. Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam). Purwokerto: Pena Persada.
Haq, Islamul. 2020. Fiqh Jinayah. Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press.
Mardani. 2019. Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Prenada Media Group.
Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Riswadi. 2014. “Perbuatan Tindakan Pidana Bughah dalam Hukum
Pidana Islam”. https://jurnal.ar-raniry.ac.id (diakses pada tanggal 14 November 2020 pada pulul 13.49)
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri. 2012. Enslikopedi
Islam Kaffah. Surabaya: Pustaka Yassir.
[1] Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2019), hlm 72-73.
[2] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Purwokerto:
Pena Persada, 2020), hlm 55.
[3] Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2019), hlm 74.
[4] Islamul Haq, Fiqh Jinayah, (Pare-pare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020)
[5] Riswadi, “Perbuatan Tindakan
Pidana Bughah dalam Hukum Pidana Islam”, 2014, hlm 413 https://jurnal.ar-raniry.ac.id (diakses pada tanggal 14 November
2020 pada pulul 13.49)
[6] Syaikh
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Enslikopedi Islam Kaffah
(Surabaya: Pustaka Yassir, 2012), hlm. 1021.
[7]
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2005), hlm. 111.
[8] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2005), hlm. 118.