JARIMAH PENCURIAN (SARIQAH)
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia pastinya memiliki sebuah dasar yang paling penting yaitu keadilan. Secara garis besar pembahasan hukum pidana Islam dapat dibedakan menjadi dua. Ada yang menyebutnya fiqih jinayah dan ada pula yang menjadikan fiqih jinayah sebagai sub bagian yang terdapat dibagian akhir isi sebuah kitab fiqih atau kitab hadist yang corak pemaparanya seperti kitab fiqih.
Ditinjau dari unsur-unsur jarimah yang tindak pidana, objek kajian fiqih jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu : pertama, ar-rukn al-syar’i unsur formil. Kedua, al-rukn al-madi’ atau unsur materil dan yang ketiga, al-rukn al-adabi atau unsur moril. Di tengah kehidupan manusia yang begitu plural tentu tidak pernah lepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi. Adanya berbagai masalah ini kemudian memunculkan berbagai macam hukum dan penyelesaiannya.
Itulah objek utama kajian fiqih jinayah jika dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana atau arkan al-jarimah. Sementara itu, Dalam fiqh jinayah,ada tiga objek utama kajian fiqh jinayah yang berkenaan dengan masalah pokok dengan materi pembahasan Jarimah Sariqah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu sariqah?
2. Bagaimana syarat dan rukun jarimah sariqah?
3. Bagaiman tindak pidana pencurian menurut hukum pidana islam (fiqh jinayah?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian sariqah
2. Untuk mengetahui syarat dan rukun jarimah sariqah.
3. Untuk mengetahui tindak pidana pencurian menurut hukum pidana islam (fiqh jinayah.
BAB IIPEMBAHASAN
A. Pengertian Sariqah
Sariqah adalah bentuk mashdar dari kata سرق – يسرق – سرقا dan secara etimologis berartimengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya. Sementara itu, secara terminologis definisi sariqahdikemukakan oleh beberapa ahli berikut :
1. Ali bin Muhammad Al-Jurjani.Sariqah dalam syariat Islam yang pelakunya harus diberi hukuman potong tangan adalah mengambil sejumlah harta senilai sepuluh dirham yang masih berlaku, disimpan di tempat penyimpanannya atau dijaga dan dilakukan oleh seorang mukallaf secara sembunyi-sembunyi serta tidak terdapat unsur syubhat, sehingga kalau barang itu kurang dari sepuluh dirham yang masih berlaku maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian yang pelakunya diancam hukuman potong tangan.
2. Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini (ulama mazhab Syafi’i).Sariqah secara bahasa berarti mengambil harta (orang lain) secara sembunyi-sembunyi dan secara istilah syara’ adalah mengambil harta (orang lain) secara sembunyi-sembunyi dan zalim, diambil dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai syarat. .
3. Wahbah Al-Zuhaili.Sariqah ialah mengambil harta milik orang lain dari tempat penyimpanan-nya yang biasa digunakan untuk menyimpan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam kategori mencuri adalah mencuri-curi informasi dan pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi .
4. Abdul Qadir Audah.Ada dua macam sariqah menurut syariat Islam, yaitu sariqah yang diancam dengan had5 dan sariqah yang diancam dengan ta’zir. Sariqahyang diancam dengan had dibedakan menjadi dua, yaitu pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil ialah mengambil harta milik orang lain secara diam-diam. Sementara itu, pencurian besar ialah mengambil harta milik orang lain dengan kekerasan. Pencurian jenis ini juga disebut perampokan.
Dari beberapa rumusan definisi sariqah di atas, dapat disimpulkan bahwa sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut .
Melengkapi definisi yang di atas, Abdul Qadir Audah memberikan penjelasan sebagai berikut.Perbedaan antara pencurian kecil dan pencurian besar; pencurian kecil ialah pengambilan harta kekayaan yang tidak disadari oleh korban dan dilakukan tanpa izin. Pencurian kecil ini harus memenuhi dua unsur tersebut secara bersamaan. Kalau salah satu dari kedua unsur tersebut tidak ada, tidak dapat disebut pencurian kecil. Jika ada seseorang yang mencuri harta benda dari sebuah rumah dengan disaksikan si pemilik dan pencuri tidak menggunakan kekuatan fisik dan kekerasan, maka kasus seperti ini tidak termasuk pencurian kecil, tetapi penjarahan. Demikian juga seseorang yang merebut harta orang lain, tidak masuk dalam jenis pencurian kecil, tetapi pemalakan atau perampasan. Baik penjarahan, penjambretan, maupun perampasan; semuanya termasuk ke dalam lingkup pencurian. Meskipun demikian, jarimah itu tidak dikenakan hukuman had (tetapi hukuman ta’zir). Seseorang yang mengambil harta dari sebuah umah dengan direlakan pemiliknya dan tanpa disaksikan olehnya, tidak dapat dianggap pencuri.
Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa jenis dan modus operandi pencurian kecil itu beragam. Selain itu, pengklasifikasian jarimah ini juga penting untuk menentukan jenis sanksi yang akan dijatuhkan. Selanjutnya, Abdul Qadir Audah menjelaskan mengenai pencurian besar.Adapun pencurian besar dilakukan dengan sepengetahuan korban, tetapi ia tidak mengizinkan hal itu terjadi sehingga terjadi kekerasan. Kalau di dalamnya tidak terdapat unsur kekerasan, disebut penjarahan, penjambretan, atau perampasan; di mana unsur kerelaan pemilik harta tidak terpenuhi . Jadi, jenis pencurian itu bertingkat-tingkat. Kalau diurutkan dari tingkat terendah sampai tertinggi berdasarkan cara melakukannya adalah penjarahan, penjambretan, perampasan, dan perampokan.
B. SYARAT DAN RUKUN JARIMAH SARIQAH
Dalam memberlakukan sanksi potong tangan, harus diperhatikan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan syarat dan rukunnya. Dalam masalah ini Shalih Sa’id Al-Haidan, dalam bukunya Hâl Al-Muttaham fî Majlîs Al-Qadâ’,mengemukakan lima syarat untuk dapat diberlakukannya hukuman ini, yaitu sebagai berikut: .
1. Pelaku telah dewasa dan berakal sehat. Kalau pelakunya sedang tidur, anak kecil, orang gila, dan orang dipaksa tidak dapat dituntut.
2. Pencurian tidak dilakukan karena pelakunya sangat terdesak oleh kebutuhan hidup. Contohnya adalah kasus seorang hamba sahaya milik Hatib bin Abi Balta’ah yang mencuri dan menyembelih seekor unta milik seseorang yang akhirnya dilaporkan kepada Umar bin Al-Khaththab. Namun, Umar justru membebaskan pelaku karena ia terpaksa melakukannya.
3. Tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti anak mencuri harta milik ayah atau sebaliknya.
4. Tidak terdapat unsur syubhat dalam hal kepemilikan, seperti harta yang dicuri itu menjadi milik bersama antara pencuri dan pemilik.
5. Pencurian tidak terjadi pada saat peperangan di jalan Allah. Pada saat seperti itu, Rasulullah tidak memberlakukan hukuman potong tangan. Meskipun demikian, jarimah ini dapat diberikan sanksi dalam bentuk lain, seperti dicambuk atau dipenjara.
Itulah syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memberlakukan hukuman potong tangan. Di samping itu, hukuman ini baru dapat dilaksanakan setelah memenuhi beberapa rukun.
Abdul Qadir Audah mengemukakan rukun-rukun tersebut sebagai berikut:
1. Mengambil Secara Sembunyi-Sembunyi
Hal ini harus memenuhi tiga syarat seperti penjelasan berikut.Proses pengambilan ini harus sempurna, tidak cukup hanya dengan adanya pelaku yang berada di dekat barang curian. Perihal mengambil barang orang lain ini harus memenuhi tiga syarat.
a) Pertama, pencuri mengambil barang curian itu dari tempat penyimpanan.
b) Kedua, barang curian tersebut dikeluarkan dari pemeliharaan pihak korban.
c) Ketiga, barang curian berpindah tangan dari pihak korban kepada pihak pelaku. Kalau syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka proses pencurian dinilai tidak sempurna dan hukumannya berupa ta’zir, bukan potong tangan.
2. Barang yang Diambil Berupa Harta
Agar pelaku pencurian dapat dikenai hukuman potong tangan, harus memenuhi beberapa persyaratan seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah berikut.Harta yang dicuri harus memenuhi beberapa syarat agar pelaku dapat dihukum potong tangan. Syarat-syarat dimaksud adalah (1) berupa harta yang bergerak, (2) berupa benda berharga, (3) disimpan di tempat penyimpanan, dan (4) harus mencapai nisab.
Perihal harta yang dicuri, yaitu berupa benda berharga dan mencapai nisab, penulis telah mengemukakannya. Adapun perihal harta yang berupa benda bergerak dan disimpan di tempat penyimpanan, dijelaskan oleh Abdul Qadir Audah. Menurutnya, harta yang berupa benda bergerak adalah benda yang memungkinkan untuk dipindahtangankan dan tidak harus berupa benda yang secara fisik dapat dilihat mata.34 Oleh karena itu, seseorang yang mencuri aliran listrik atau pulsa telepon dianggap sebagai pencuri karena benda-benda tersebut walaupun tidak kasat mata, tetap bernilai nominal dan dapat diidentifikasi harganya.
3. Harta yang Diambil Adalah Milik Orang Lain
Hal ini penting, karena kalau ternyata harta yang diambil itu milik pelaku, sekalipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi tetap tidak dapat disebut pencurian. Demikian pula kalau harta tersebut menjadi milik bersama antara pelaku dan korban, juga tidak termasuk pencurian. Hal serupa juga berlaku antara pelaku dan korban yang memiliki hubungan kekerabatan, seperti ayah yang mengambil harta anak. Hadis yang dijadikan alasan bahwa seseorang ayah boleh mengambil dan memanfaatkan harta kekayaan anak adalah sebagai berikut :
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; bahwasanya ada seorang Badui yang mendatangi Nabi seraya berkata, “Sungguh saya memiliki harta dan kedua orangtua, tetapi mereka ingin menguasai harta saya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu dan hartamu adalah milik orangtuamu. Sungguh anak-anak kalian termasuk usaha terbaik kalian, maka makanlah dari hasil usaha anak-anak kalian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Berdasarkan hadis di atas, seseorang yang mengambil harta milik anak kandungnya tidak dihukum potong tangan karena anak-anak dan hartanya dianggap milik ayahnya. Demikian pula kalau kebetulan sang anak tidak memiliki harta, tetapi memiliki penghasilan tetap; ia wajib memberikan hasil usahanya dan menafkahi ayahnya jika memang sang ayah membutuhkan dan tidak ada yang menanggung biaya hidupnya.
4. Melawan Hukum
Pencurian masuk ke dalam kategori melawan hukum kalau dilakukan untuk memiliki barang yang dicurinya. Unsur ini sama dengan unsur pokok dalam tindak pidana korupsi yang disebutkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu unsur memperkaya diri sendiri, sebab dengan maksud memiliki atau menguasai berarti pelaku berkeinginan untuk memperkaya diri sendiri. Bahkan menurut Abdul Qadir Audah kalau tujuan mengambil harta tersebut bukan untuk dirinya melainkan untuk orang lain dan diambil agar lenyap dari tempatnya maka tidak termasuk pencurian, tetapi pelaku hanya dianggap menggelapkan sesuatu, secara jelas ia berkata:
Disebut sebagai tindak pidana pencurian pada saat pelaku mengambil harta milik orang lain itu harus dengan niat untuk memilikinya. Oleh sebab itu, seseorang yang mengambil sesuatu untuk orang lain dan menggelapkannya dari tempatnya tidak dapat dianggap sebagai pencurian, tetapi hanya sebatas menggelapkan sesuatu.
Dari uraian mengenai jarimah sariqah di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat memberlakukan hukuman potong tangan harus diteliti terlebih dahulu syarat dan rukunnya. Apabila salah satu syarat atau rukun tidak terpenuhi, maka hukuman potong tangan harus dibatalkan dan dialihkan kepada hukum ta’zir.
C. Tindak Pidana Pencurian Menurut Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)
Bentuk pencurian menurut hukum pidana Islam berdasarkan ancaman hukumannya dan berdasarkan kadar nilai barang yang diambil terdiri dari :
1. Pencurian yang harus dikenai sanksi.
Pencurian yang harus dikenai sanksi adalah pencurian yang dilakukan oleh seseorang akan syarat-syarat penjatuhan hukuman had tidak lengkap. Jadi Karena syarat-syarat penjatuhkan hukuman tidak lengkap, maka pencurian ini tidak dikenakan hukuman had tetapi dikenai sanksi .
2. Pencurian yang harus dikenai had
Pencurian yang dapat dikenai had adalah pencurian yang dilakukan dengan semua syarat-syarat penjatuhan hukuman had telah terpenuhi. Ancaman hukuman pada pencurian ini adalah hukuman potong tangan. Hukuman had dapat gugur apabila dari para pelaku kejahatan, baik itu kejahatan pencurian (Sughra dan kubra), maupun kejahatan yang lain, jika mereka bertaubat sebelum mereka dapat ditangkap. Karena Allah SWT berfirman :
: إِ َّلغَفُوْاﷲَأَنَّ فَاعْلَمُوْاعَلَيْهِمْتَفْذِرُوْاأَنْقَبْلِتَابُوْامِنْالَّ ذِيْنَرُرَحِيْمٌ.
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, sebelum kamu kuasai (menjauhkan hukuman ) atas mereka. Maka kamu ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Selain bertaubat, perbaikan ingkah laku mereka juga turut menentukan apakah had menjadi gugur atau tidak.
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
Sariqah adalah bentuk mashdar dari kata سرق – يسرق – سرقا dan secara etimologis berartimengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya.Dari beberapa rumusan definisi sariqah di atas, dapat disimpulkan bahwa sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.
Dalam memberlakukan sanksi potong tangan, harus diperhatikan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan syarat dan rukunnya.
1. Pelaku telah dewasa dan berakal sehat. Kalau pelakunya sedang tidur, anak kecil, orang gila, dan orang dipaksa tidak dapat dituntut.
2. Pencurian tidak dilakukan karena pelakunya sangat terdesak oleh kebutuhan hidup.Tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti anak mencuri harta milik ayah atau sebaliknya.
3. Tidak terdapat unsur syubhat dalam hal kepemilikan, seperti harta yang dicuri itu menjadi milik bersama antara pencuri dan pemilik.
4. Pencurian tidak terjadi pada saat peperangan di jalan Allah. Pada saat seperti itu.
Abdul Qadir Audah mengemukakan rukun-rukun tersebut sebagai berikut:
1. Mengambil Secara Sembunyi-Sembunyi.
2. Barang yang Diambil Berupa Harta
3. Harta yang Diambil Adalah Milik Orang Lain
4. Melawan Hukum
DAFTAR PUSTAKA
Munawwir, A.W. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif.
Majah, Ibnu. (Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini). 1995. SunanIbni Mâjah. Beirut: Dar Al-Fikr. Jilid II.
Amin, Ibnu Abidin Muhammad. 1386 H. Raddi Al-Muhtâr ‘ala Durr Al-Muhtâr. Mesir: Mushthafa Al-Bab Al-Halabi wa Auladuh. Cet. ke-2.
Audah, Abdul Qadir. 1992. Al-Tasyrî‘ Al-Jinâ’i Al-Islâmî Muqâranan bi Al-Qânûn Al- Wad‘i. Beirut: Mu’assasah Al-Risalah. Jilid II. Cet. ke-11.