JARIMAH ZINA,LIWATH DAN TUDUHAN ZINA(QADZAF)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Situasi krisis multidimensi yang berkepanjangan yang menimpa bangsa
Indonesia dewasa ini, dalam pandangan agamawan, boleh jadi merupakan peringatan
Tuhan agar bangsa ini sadar dan mau memperbaiki diri dengan kembali ke jalan
yang benar dan diridhai Tuhan. Peringatan Tuhan semacam ini dalam sejarah umat
manusia telah berulang kali terjadi dan menimpa mereka yang lupa diri, lupa
mensyukuri nikmat serta karunia Ilahi. Mereka mengkufuri nikmat tersebut,
bahkan menggantinya dengan berbagai macam maksiat dan kejahatan termasuk
pelanggaran menyangkut nilai-nilai dan moralitas agama. Ketidakadilan,
ketamakan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi, nepotisme, pelanggaran
HAM, pergaulan bebas,perselingkuhan, merupakan deretan panjang bentuk-bentuk
kejahatan dan pelanggaran yang mencerminkan pelecehan terhadap wibawa hukum dan
perundang-undangan, serta pengabaian terhadap moralitas keagamaan. Dalam rangka
mencari rumusan yang tepat sesuai dengan kepribadian serta nilai-nilai luhur
bangsa ini, maka dirasa penting untuk mengedepankan topik bahasan seperti yang
tercantumsebagai judul makalah ini. Dengan harapan tentunya, pada saatnya nanti
konsepsi ajaran Islam khususnya yang menyangkut hukum pidana, kiranya dapat
dijadikan bahan pertimbangan serta masukan bagi pembinaan hukum nasional di
masa-masa mendatang, dalam rangka ikut menyambut terwujudnya masyarakat madani
yang dicita-citakan, yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan
perundang-undangan serta menegakkan moralitas agama dan keadilan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Sekilas tentang pengertian jarimah
zina,liwath,dan tuduhan zina(qadzaf)?
2.
Bagaimana dasar hukum dan sanksinya?
C. Tujuan Makalah
1.
Mengetahui apa itu jarimah
zina,liwath dan tuduhan zina(qadzaf)
2.
Mengetahui dasar hukum dan sanksi
dari jarimah zina,liwath dan tuduhan zina(qadzaf)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jarimah Zina
1. Definisi zina
Kata zina berasal dari bahasa arab, yaitu zanaa-yazni-zinaa-aan
yang berarti atal mar-ata min ghairi ‘aqdin syar’iiyin aw milkin, artinya
menyetubuhi wanita tanpa diketahui akad nikah menurut syara’ atau disebabkan
wanitanya budak belian[1].Para
ulama dalam memberikan definisi zina ini berbeda redaksinya, namun dalam
subtansinya hampersama.[2]
Ø Menurut Malikiyah sebagaimana dikutib oleh Abdul Audah, memberikan
definisi zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh mukalaf terhadap farji
manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan.
Ø Menurut pendapat Syafi’iyah zina adalah memasukkan zakar ke dalam
farji yang diharamkan karena zatnya tanpa ada syubhat dan menurut tabiatnya menimbulkan
syahwat.
Ø Menurut Hanafiyah zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram
dalam qubul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar
(tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang
kepadanya berlaku hukum
Jarimah Zina termasuk dalam jarimah hudud, jarimah hudud adalah
jarimah yang diancam dengan hukuman had. Had atau hudud mencakup seluruh atau
semua jarimah, baik hudud sendiri, qisas maupun diat,karena hukuman pada
keseluruhannya itu telah ditentukan secara syara’. Berbeda halnya dengan yang
dijelaskan oleh Sayyid Sabiq, beliau menjelaskan bahwa hudud ialah sanksi yang
telah ditetapkan untuk melaksanakan hak Allah.Oleh karena itu, menurutnya,
ta’zir dan qis}astidak termasuk kedalam hudud, karena ta’zir itu keputusannnya
diambil dari pendapat hakim setempat, sedangkan qisas merupakan hak sesama
manusia dalam menuntut balas dan keadilan.
Jarimah zina dipandang sebagai tindak pidana berat yang menempati
ranking kedua akbar al-kaba'irsetelah pembunuhan. Hal ini dipertegas dengan
adanya larangan keras Allah Swt.dalam surat al-Isra' ayat 32 “Dan janganlah
kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).Ulama Syafi'iyah mendefinisikan zina
sebagai:“Memasukkan zakar ke dalam farji terlarang karena zatnya tanpa ada
syubhat'dan disenangi menurut tabi'atnya.[3]
الزنا هو إيلاج الذكر بفرج محرم لعينه خال من
الشبهة مشتهى طبعا
Dari klausul "'ke dalam farji" dalam definisi ini
dipahami bahwa memasukkan zakar bukan ke dalam farji tidaklah dinamakan zina,
tetapi dinamakan liwath(sodomi) jika memasukkannya ke dalam dubur (anal). Bukan
pula zina,jika memasukkannya ke dalam mulut (oral sex). Sedangkan dari klausul
"tanpa syubhat", dipahami bahwa jika ada syubhat maka tidak pula
termasuk zina seperti bila bersetubuh dengan wanita lain yang disangka
isterinya sendiri: juga termasuk syubhat jika bersetubuh dengan wanita yang dikawini
melalui nikah mut'ah atau pernikahan lain yang mengandung kesalahan prosedur,
seperti nikah tanpa wali, atau nikah tanpa saksi. Terhadap kasus pelanggaran
seperti ini tetap dikenakan ta'zirdan bukan hadzina. Dari klausul
"disenangi menurut tabi'atnya", dikecualikan bila menyetubuhi wanita
yang sudah meninggal.5Demikian pula tidak termasuk zina, jika menyetubuhiisteri
yang dalam keadaan haid, nifas, sedang berpuasa,sedang haid, dalam masali'an atau
zhihar. Semua ini diharamkan walaupun tidak dianggap perzinahan. Termasuk
dalamkategori ini pula jika memasukkan kelamin antara dua paha wanita lain
(sihaq), atau dengan bersenang-senang di luar farji. Semua ini diharamkan, sama
dengan diharamkanny mencium, merangkul, bercumbu dan tidur dalam satu
selimutdengan wanita lain.6Suatu halyang dipermasalahkan adalah jika
persetubuhan itu dilakukan dengan cara yang aman seperti dengan menggunakan
kondom atau alat-alat kontrasepsi lain. Ini semua tetap diharamkan bila
dilakukan terhadap wanita lain, termasuk hubungan bebas antar remaja. Walaupun
illat hukum berupa tercampurnya nasab (ikhtilath al-nasab) dalam halini
mungkindapat dihindari, perbuatan tersebut tetap merupakan jarimah
fakhisyah(pelanggaran seksual) yang diharamkan.
ويعتبر الوطء زنا ولو كان هناك حائل بين الذكر والفرج مادام هذا
الحائل خفيفا لا يمنع الحس واللذة
“Termasuk tindak perzinahan, walaupun dilakukan dengan memakai
penghalang tipis (kondom).”
2. Macam-macam Perzinahan dan Hukumnya
Bahwa macam-macam jarimah zina itu ada dua macam, tergantung kepada
keadaan pelakunya apakah ia belum berkeluarga (ghair muhshan) atau sudah
berkeluarga (muhshan). Hukuman zina sendiri pada permulaan Islam adalah
dikurung di dalam rumah dan di sakiti dengan cairan atau pukulan. Dalilnya
adalah firman Allah SWT,
وَٱلَّٰتِى
يَأْتِينَ ٱلْفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَٱسْتَشْهِدُوا۟ عَلَيْهِنَّ
أَرْبَعَةً مِّنكُمْ ۖ فَإِن شَهِدُوا۟ فَأَمْسِكُوهُنَّ فِى ٱلْبُيُوتِ حَتَّىٰ
يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا(15) وَاللَّذَانِ
يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآَذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا
عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا(16)
Artinya:“.Dan
(terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah
memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka
berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan
memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.” (QS.an-Nisaa’ [4] ayat 15-16)
Dari ayat tersebut para fukaha berbeda pendapat ada yang
berpendapat bahwa firman tersebut membahas hukuman untuk perempuan saja dan
tidak membahas hukuman bagi laki-laki. Fukaha lainnya menyatakan bahwa yang
dimaksud firman Allah SWT adalah pezina laki-laki dan perempuan. Para fukaha
sepakat bahwa dua nas di atas dihapus dengan firman Allah SWT.
ٱلزَّانِيَةُ
وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا
تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ
ٱلْمُؤْمِنِين
Artinya:“.Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat,
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman.”(QS. An-Nur ayat 2).[4]
Jadi, hukuman
atas pezina sudah tetap. Pelaku zina gair muhsan (yang belum menikah) dihukum
dengan cara didera dan diasingkan walaupun tetap ada berbedaan pendapat tentang
hukuman lainnya (selain didera dan diasingkan). Untuk pelaku zina muhsan (yang
sudah menikah), hukumannya adalah rajam walaupun tetap ada perbedaan pendapat
mengenai adanya hukuman dera atau tidak.
1. Zina Ghair Muhshan (orang yang belum bekeluarga)
Zina ghair
muhsam adalah zina yang dilakukan oleh laki laki dan perempuan yang belum
bekeluarga. Hukuman untuk pelaku zina ghair muhsam ini ada dua macam yaitu dera
seratus kali dan pengasingan selama satu tahun, hal ini didasarkan atas hadits
riwayat Abdullah ibn Ash-Shamit bahwa rasulullah saw bersabda yang
artinya:“.Ambillah dariku diriku,
ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar bagi
mereka (pezina).Jejaka dengan gadis, hukumannya dera seratus kali dan
pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda, hukumannya dera
seratuskali dan rajam”(HR Muslim,Abu Daud)
A.
Hukuman Dera
Hukuman dera adalah hukuaman had, yaitu hukuman yang telah
ditentuykan oleh syara’. Oleh karena itu, hakim tidak boleh mengurangi,
menanbah, menunda pelaksanaanya, atau degantiaka dengan hukuman yang lainnya,
selain ketentuan syara’ hukum dera meerupakan hak Allah atau hak masyarakat,
sehingga individu atau pemerintah tidak berhak membverikan pengampunan.Apabila
jejaka dan gadis melakukan zina, mereka dikenai hukuman dera seratuskali hal
ini didasarkan pada firman allah surat An-Nuur ayat 2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا
طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS. An Nur: 2)”
B.
Hukuman Pengasingan
Hukuman yang kedua
untuk pezina ghairu muhshan adalah hukuman pengasingan selama satu tahun.
Hukuman ini didasarkan pada hadits Ubadah bin ash-Shamit yang telah tersebukan
di atas. Akan tetapi, apakah hukuman ini wajib dilaksanakan bersama-sama dengan
hukuman dera atau tidaknya, para ulama’ berbeda pendapatnya. Menurut Imam Abu
Hanifah dan kawan-kawannya hukuman pengasingan tidak wajib dilaksanakan.Jumhur
ulama’ yang terdiri atas Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa
hukuman pengasingan harus dilaksanakan bersama-sama dengan hukuman dera seratus
kali.Dalam hal pengasingan bagi wanita yang melakukan zina, para ulama’ juga
berselisih pendapat. Menurut Imam Malik hukuman pengasingan hanya berlaku untuk
laki-laki sedangkan untuk wanita tidak diberlakukan. Sebabnya adalah karena
wanita itu aurat yang perlu atas penjagaan dan pengawalan. Disamping itu,
apabila wanita itu diasingkan, ia mungkin tidak disertai mahram dan mungkin
pula disertai mahram. Dan apabila tidak disetai mahram maka hal itu jelas tidak
diperbolehkan, karena Rasulullah SAW. melarang seorang wanita untuk berpergian
tanpa disertai oleh mahramnya.Sebaliknya, apabila ia (wanita) diasingkan
bersama-sama dengan seorang mahram, maka hal ini sama saja mengasingkan orang
yang tidak melakukan perbuatan zina dan menghukum orang yang sebenarnya tidak
berdosa sama sekali, yaitu mahramnya si wanita itu. Oleh karena itu, Malikiyah
mentakhsiskan hadits tentang hukuman pengasingan tersebut dan membatasinya
hanya untuk laki-laki saja dan tidak memberlakukan untuk perempuan.
Cara pelaksanaan hukuman pengasingan juga diperselisihkan oleh para
fuqaha’. Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syi’ah Zaidiyah, pengasingan itu
pengertiannya adalah penahanan atau dipenjarakan.[5]
Oleh karena itu, pelaksanakan hukuman pengasingan adalah dengan cara menahan
atau memenjarakan pezina itu di tempat lain di luar tempat terjadinya perbuatan
zina tersebut. Adapun menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, pengasingan itu berarti
membuang (mengasingkan) pelaku dari daerah terjadinya perbuatan zina ke daerah
lain, dengan pengawasan dan tanpa dipenjarakan. Tujuan pengawasan tersebut
adalah untuk mencegah pelaku agar tidak melarikan diri dan kembali ke daerah
asalnya. Akan tetapi walaupun demikian, kelompok Syafi’iyah membolehkan penahan
orang yang terhukum di tempat pengasingannya apabila dikhawatirkan ia akan
melarikan diri dan kembali ke daerah asalnya
2.
Zina Muhsan
Zina muhshan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan yang sudah berkeluarga (bersuami/beristri). Hukuman untuk pelaku zina
muhshan ini ada dua macam yaitu dera seratus kali dan rajam.Hukuman dera
seratus kali didasarkan kepada al-Qur’an surat an-Nur ayat 2 dan sabda nabi
yang diriwayatkan oleh Ubadah bin ash-Shamit di atas. Sedangkan hukuman rajam
juga didasarkan kepada sabda nabi yang diriwayatkan oleh Ubadah bin ash-Shamit
di atas. Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu sampai
meninggal.30 Hukuman rajam merupakan hukuman yang telah diakui dan diterima
oleh hampir semua fuqaha’, kecuali kelompok Azariqah dari golongan Khawarij.
Karena mereka ini tidak mau menerima hadits kecuali hadits yang sampai kepada
tingkatan mutawattir. Menurut mereka (khawarij), hukuman untuk jarimah zina
baik itu muhshan maupun ghairu muhshan adalah hukuman dera seratus kali
berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 2[6]
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا
طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِين
”Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS. An Nur: 2)”
B. Liwath
1. Definisi Liwath
berarti
melekat. Sedang Liwath adalah orang yang melakukan perbuatannya kaum Liwath
dari kata laatha-yaliithu-lauthanyang Nabi Luth atau dari kata
laawatha-yulaawithuyang berarti orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth
(hubungan sejenis)[7].Liwath
(homoseksual) adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan cara sodomi
yaitu memasukkan dzakar (penis) nya ke dalam dubur laki-laki lain. Perbuatan
ini disebut liwath karena disamakan dengan perbuatan kaum Nabi Luth.Menurut
Ibnu Katsir perbuatan homoseksual yang berlaku dalam kalangan kaum Nabi Luth
itu adalah perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh manusia di dunia sebelum
ini. Begitu juga menurut Hamka bahwa perbuatan keji itu dimulakan oleh kaum
Nabi Luth yaitu penduduk Sadum dan Amurrah. Disebabkan itu penduduk sadum dan
Amurrah menjadi contoh buruk kepada seluruh dunia akibat perbuatan mereka
sehingga di Eropa perbuatan ini dipanggil “sodomy”sempena perbuatan penduduk
Sadum kaum Nabi Luth. Menurut Hamka gejala homoseksual yang berlaku dalam
kalangan kaum Nabi Luth ini menggambarkan kehancuran akhlak dan penyakit jiwa
(abnormal) masyarakat. Golongan ini dilihat telah melampaui batas kemanusiaan
malahan kebinatangan karena binatang juga dilihat turut akur dengan fitrah
ciptaan Allah Swt hidup secara berpasangan berlainan jenis. Akibat perbuatan
keji ini maka runtuh dan hancurlah penduduk sadum diazab Allah Swt karena
keengganan mereka untuk bertaubat.
2. Dasar Hukum
Perbuatan Liwath Dan Sanksinya
Di dalam
Al-quran banyak dibahas tentang perbuatan Liwath ini, di antaranya sebagai
berikut:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ
مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (28) أَئِنَّكُمْ
لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ
الْمُنْكَرَ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلا أَنْ قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ
اللَّهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ(30)
Artinya” Dan (ingatlah) ketika Lut berkata kepada kaumnya,
"Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang
belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu.” Apakah
sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan
kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya
mengatakan, "Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”
1.
Sanksi Hukum Menurut Pendapat Ulama
Ulama fiqh
telah sepakat atas keharaman liwath dan penghukuman terhadap pelakunya dengan
hukuman yang berat. Hanya saja di antara ulama tersebut ada perbedaan pendapat
dalam menentukan ukuran hukuman yang ditetapkan buat menghukum pelakunya. Dalam
hal ini dijumpai tiga pendapat:
Ø Pendapat Pertama
Para sahabat Rasul, Nashir, Qasim
bin Ibrahim dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat) mengatakan bahwa hadd
terhadap pelaku liwath adalah hukum bunuh, meskipun pelaku tersebut masih
jejaka, baik ia yang mengerjakan maupun yang dikerjai. Pendapat ini berdasarkan
dalil-dalil.[8]
“Diriwayatkan dari Ikrimah , dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata:
Rasulullah saw telah bersabda “Barang siapa yang kalian ketahui telah berbuat
liwath (perbuatan kaum luth), maka bunuhlah kedua pelakunya, baik pelaku itu
sendiri maupun partnernya.” (HR. Al-Khamsah kecuali Nasa’i)”
Ø Pendapat Ke Dua
Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi
Rabah, Hasan, Qatadah, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Abu Thalib, Imam yahya dan imam
Syafi’i (dalam satu pendapat), mengatakan bahwa pelaku liwath harus di hadd
sebagaimana hadd zina. Jadi pelaku liwath yang masih jejaka dijatuhi hadd dera
dan dibuang. Sedangkan pelaku liwath yang muhshan dijatuhi hukuman rajam.
Pendapat ini berdasarkan dalil-dalil:
Bahwasanya liwath adalah perbuatan
yang sejenis dengan zina. Karena liwath itu perbuatan memasukkan farji (penis)
ke farji (anus laki-laki). Dengan demikian, maka pelaku liwath dan partnernya
sama-sama masuk dibawah keumuman dalil dalam masalah zina, baik muhshan atau
tidak. Dan hujjah ini dikuatkan oleh sebuah Hadits Rasulullah Saw: yang
artinya: “Jika seorang laki-laki mendatangi laki-laki lain, maka keduanya
termasuk orang yang berzina”.
Ø Pendapat Ke Tiga
Abu Hanifah, Muayyad, Billah,
Murtadha, Imam Syafi’i (dalam satu pendapat) bahwa pelaku liwath harus diberi
sanksi, karena perbuatan tersebut bukanlah hakikat zina. Maka hukum zina tak
dapat diterapkan untuk menghukum pelaku liwath.Menurut pendapat yang masyhur, siapa saja yang melakukan
homoseksual, sementara dia memenuhi kualifikasi orang yang harus dijatuhi hadd
zina, maka dia harus dijatuhi hadd zina. Dengan demikian, dengan ketentuan
hukum homoseksual sama seperti ketentuan hukum perzinahan. Sesuai dengan firman
Allah, “terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kalian, maka
berilah hukuman kepada keduanya,” (Q.S. an-Nisa’:16)
C. Tuduhan Zina(Qadzaf).
1. Pengertian Qadzaf
Qadzaf dalam arti bahasa adalah الرمى بالحجارة ونحوها artinya melempar
dengan batu dan lainnya.[9]Dalam
istilah syara’ qadzaf ada dua macam, yaitu :
a)
Qadzaf yang diancam dengan hukuman had,
dan
b)
Qadzat yang diancam dengan hukuman
ta’zir.
Pengertian qadzaf yang diancam dengan hukuman had adalah
رمى المحصن
بالزنا او نفى نسبه
“Menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan
tuduhan yang menghilangkan nasabnya”
Sedangkan arti qadzaf yang diancam
dengan hukuman ta’zir adalah :
الرمى بغير الزنا او نفى النسب سوء كان من رمى محصا او غيرمحصن
"Menuduh dengan
tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik orang yang
dituduh itu muhshan maupunghair muhshan”.
2. Dasar Hukum Larangan Qadzaf
Dasar hukum larangan qadzaf terdapat
dalam surat an-nur ayat 4 :
وَٱلَّذِينَ
يَرْمُونَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا۟ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ
فَٱجْلِدُوهُمْ ثَمَٰنِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا۟ لَهُمْ شَهَٰدَةً أَبَدًا ۚ
وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
Artinya:” Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka
itulah orang-orang yang fasik”,Dan juga berdasarkan hadits nabi yang di riwayatkan oleh
sayyidatuna Aisyah
“Dari Aisyah. Ia berkata: Tak kala turun (ayat) pembebasanku.
Rasulullah saw berdiri di atas mimbar, lalu ia sebut yang demikian dan membaca
Quran. Maka tak kala turun dari mimbar ia perintah supaya (didera) dua orang
laki-laki dan seseorang perempuan, lalu dipukul mereka dengan dera”.(Riwayat
oleh Ahmad,Imam Empat dan bukhari)”[10]
3. Unsur-unsur Jarimah Qadzaf
Ø Adanya tuduhan zina atau menghilangkan nasab.
Ø Orang yang dituduh adalah orang yang muhshan.
Ø Adanya maksud jahat atau niat yang melawan hukum
4. Syarat-syarat Jarimah Qadzaf
Menurut Sayyid Sabiq bahwa untuk
dapat menjatuhkan hukuman cambuk dalam jarimah qadzafterdapat syarat-syarat
yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi tiga hal, yaitu:
Ø Syarat-syarat qadzif(orang yang menuduh berzina) adalah berakal,
dewasa (baligh) dan dalam keadaan tidak terpaksa (ikhtiyar)
Ø Syarat-syarat maqdzuf(orang
yang dituduh berzina) adalah berakal, dewasa (baligh), islam, merdeka dan belum
pernah serta menjauhi perbuatan zina
Ø Syarat-syarat maqdzuf bih(sesuatu yang dibuat untuk menuduh zina) adalah pernyataan yang berupa lisan maupun tulisan yang jelas, seperti panggilan: hai orang yang berzina atau hai kamu lahir tanpa bapak, dan pernyataan yang berupa lisan maupun tulisan atau sindiran yang jelas arahnya, misalnya ada dua orang saling bertengkar, lalu yang satu berkata: meskipun aku jelek, tetapi aku tidak pernah berbuat zina dan ibuku juga tidak pernah berzina. Pernyataan seperti itu merupakan sindiran bahwa ia dianggap telah menuduh zina kepada lawannya.
5. Hukuman
Jarimah Qadzaf
Hukuman untuk
jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1.Hukuman
Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali. Hukuman ini adalah
hukumanhad yang telah ditentukan oleh syara’, sehingga ulil amri tidak punya
hak untuk memberikan pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama’
berbeda pendapat. Menurut madzhab Syafi’I orang yang dituduh berhak memberikan
pengampunan, karena hak manusia lebih dominan daripada hak Allah. Sedangkan
menurut madzhab Hanafi korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena di
dalam jarimah qadzafhak Allah lebih dominan daripada hak manusia.
2.Hukuman tambahan,yaitu tidak diterima persaksiannya dan dianggap orang yang fasik .Para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan gugur atau tidaknya kesaksian pelaku jarimah qadzaf setelah bertobat. Menurut Imam Abu Hanifah tetap tidak dapat diterima kesaksiannya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Malik,dapat di terima setelah bertaubat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ø Kata zina berasal dari bahasa arab, yaitu zanaa-yazni-zinaa-aan
yang berarti atal mar-ata min ghairi ‘aqdin syar’iiyin aw milkin, artinya
menyetubuhi wanita tanpa diketahui akad nikah menurut syara’ atau disebabkan
wanitanya budak belian.Para ulama dalam memberikan definisi zina ini berbeda
redaksinya, namun dalam subtansinya hampir sama. Bahwa macam-macam jarimah zina
itu ada dua macam, tergantung kepada keadaan pelakunya apakah ia belum
berkeluarga (ghair muhshan) atau sudah berkeluarga (muhshan).
Ø Liwath dari kata laatha-yaliithu-lauthanyang berarti melekat.
Sedang Liwath adalah orang yang melakukan perbuatannya kaum Nabi Luth atau dari
kata laawatha-yulaawithuyang berarti orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi
Luth (hubungan sejenis). Ulama fiqh
telah sepakat atas keharaman liwath dan penghukuman terhadap pelakunya dengan
hukuman yang berat
Ø bahwa para
ulama telah sepakat menyatakan sesungguhnya perbuatan qadzaf (menuduh)
merupakan perbuatan yang sangat dimurkai Allah dan dapat dijatuhkan hukuman had
atau ta’zir. Hukuman had diberikan apabila tuduhan itu mengarah kepada perihal
zina, sedangkan hukuman ta’zir diberikan jika tuduhan itu mengarah kepada
menyakiti orang lain. Tuduhan tersebut harus berbentuk sharih (jelas),
adapun jika berbentuk ta’ridh (tidak jelas) telah terjadi
perbedaan pendapat di dalamnya. Adapun pembuktian jarimah qadzaf dapat
dibuktikan dengan saksi, pengakuan, dan sumpah.kaidah umum yang berlaku
dikalangan Fuqaha dalam masalah ini adalah bahwa setiap perbuatan yang
mewajibkan hukum had zina kepada pelakunya, mewajibkan hukuman had kepada
penuduhnya. Sebaliknya, setiap perbuatan yang tidak mewajibkan hukuman had atas
pelakunya, juga tidak mewajibkan hukuman had atas orang yang menuduhnya, maka
dalam hal ini berlaku ta’zir.
B. Kritik dan Saran
Demikian makalah ini kami buat, tentunya dalam makalah ini banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran kami harapkan dari para pembaca,
guna memotivasi kami untuk menjadi yang lebih baik lagi dalam pembuatan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembacannya
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Qalany Ibnu
Hajar, Bulugh al-Maram, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 190
Muslich Ahmad
Wardi , Hukum Pidana Islam...,6-7
Arifin M.
Zaenal,Terjemah Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-asqolani, jakarta:
Khatulistiwa press,2014, hlm. 475
Sabiq Sayyid, Fikih
Sunnah, Jilid 9 (Terj. Moh. Nabhan Husein),(Bandung: Al-Ma’arif, 1996),
hlm. 134.
Ibid., h.543.
[1] Ibnu Hajar
Ash-Qalany, Bulugh al-Maram, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 190
[2] Ahmad Wardi
Muslich, Hukum Pidana Islam...,6-
[3] Al-Sayid Sabiq,
Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983) Cet. Ke-4, Jilid 2, hlm. 302
dan hlm. 497
[4] Ibid., h.543.
[5]
Abdul al-Qadir al-Audah, At-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamy, juz II, Dar al-Kitab
al-Arabi, Beirut, tanpa tahun, h. 380.
[6] Muhammad Abu
Syahbah, Al-Hudud fi al-Islam, Hafiah al-Ammah Li Syuuni al-Mathabi’
al-Amiriyah, 1974, kairo, h. 170.
[7] Hasbiyallah, masail
Fiqhiyah, (Jakarta: Dirjen pendidikan Islam, Depag Republik Indonesia,
2009), hlm. 287.
[8] Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah, Jilid 9 (Terj. Moh. Nabhan Husein),(Bandung: Al-Ma’arif, 1996),
hlm. 134.
[9] Ahmad
Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 60
[10] M. Zaenal
Arifin,Terjemah Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-asqolani, jakarta:
Khatulistiwa press,2014, hlm. 475