KONTRAK PERWAKILAN (WAKALAH)

KONTRAK PERWAKILAN (WAKALAH)


1.1 Latar Belakang

Pada islam terdapat tiga hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan manusia dengan manusia (hablum minannas) dan lingkungan sekitarnya (hablum minal alam). Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan lingkungan alam sekitarnya adalah bersifat terbuka.

Dalam Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Manusia tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi. Ia membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak segala wakilnya. Kegiatan wakalah ini telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu.

Islam membolehkan wakalah karena dipandang sebagai bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Dengan demikian apabila orang tersebut berupa permintaan hutang tersebut berlaku untuk wakil bukan muwakil. Wakalah juga bisa dilakukan dalam urusan jual beli. Dalam wakalah pemilik urusan (muwakkil) itu dapat secara sah untuk mengerjakan pekerjaans secara sendiri, namun karena satu dan lain hal urusan itu dapat diserahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya. Dengan mewakilkan kepada orang lain maka munculah sikap saling tolong menolong dan memberikan pekerjaan bagi orang yang sedang menganggur.

1.2 Rumusan Masalah

1.      Bagaimana definisi Akad Wakalah?

2.      Bagaimana dasar hukum Akad Wakalah?

3.      Bagaimana Rukun dan Syarat  Akad Wakalah?

4.      Bagaimana model Akad Wakalah?

5.      Bagaimana konsekuensi hukum Akad Wakalah?

1.3 Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui definisi Akad Wakalah

2.      Untuk memahami dasar hukum Akad Wakalah

3.      Untuk memahami rukun dan syarat Akad Wakalah

4.      Untuk mengetahui model Akad Wakalah

5.      Untuk memahami konsekuensi hukum Akad Wakalah

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Akad Wakalah

Dalam kehidupan manusia banyak akad-akad yang diterapkan, Wakalah termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah adalah akad yang dapat diterima. Secara etimologi kata al-wakalah atau al-wikalah berarti al-Tafwidh (penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat), perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah).

Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa[1]

Secara terminologi (syara) sebagaimana dikemukakan oleh para fuqaha, yaitu:

1.      Menurut Imam Taqy al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini

Wakalah adalah menyerahkan suatu pekerjaaan yang dapat digantikan kepada orang lain agar dikelola dan dijaga pada masa hidupnya.

2.      Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie

Akad Wakalah adalah suatu akad dimana penyerahan kekuasaan pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai gantinya untuk bertindak.

3.      Menurut Pendapat Malikkiyah

Akad Wakalah adalah suatu akad dimana ada seseorang yang menggantikan (menepati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.

4.      Menurut Pendapat Hanafiyyah

Akad Wakalah adalah suatu akad dimana   seseorang menempati diri orang lain dalam tasarruf (pengelolaan).

5.      Menurut Pendapat Syafi’iyyah

Wakalah adalah suatu pernyataan tentang seseorang menyerahkan suatu tugas kepada orang lain agar orang lain itu melakukannya dikala seorang tadi masih hidup, apabila orang yang menyerahkan tugas tadi memang mempunyai hak untuk melakukannya dan merupakan tugas yang bisa digantikan kepada orang lain.

6.      Menurut Pendapat Hanbali

Wakalah adalah pernyataan menggantikan yang diwakilkan seseorang yang boleh melakukan daya upaya kepada orang lain.[2]

      Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad wakalah adalah suatu akad dalam sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjaannya/perkaranya ketika masih hidup.

      Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakkil) itu dapat secara sah untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun, karena satu dan lain hal urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya. Oleh karena itu, jika seorang (muwakkil) itu adalah orang yang tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila atau anaka kecil maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain.

2.2 Dasar Hukum Akad Wakalah

      Bentuk pendelegasian kepada seseorang dalam melakukan tindakan atas nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan boleh, sepanjang hak-hak yang didelegasikan tidak bertentangan dengan syariat islam baik dari segi rukun dan syaratnya.[3] Karena hal yang demikian menyangkut pada objek muamalah yang sering menjadi problem dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun dasar hukum wakalah terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist, maupun Ijma.

1.      Al-Qur’an

وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَٰهُمْ لِيَتَسَآءَلُوا۟ بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَآئِلٌ مِّنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا۟ لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا۟ رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَٱبْعَثُوٓا۟ أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِۦٓ إِلَى ٱلْمَدِينَةِ فَلْيَنظُرْ أَيُّهَآ أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُم بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا

Artinya:

Dan demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun” (QS. Al-Kahfi: 19)

Juga terdapat dalam firman QS. Al-Maidah ayat 2

 

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

Artinya:

….Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”( Q.S Al-Maidah :2 )

            Ayat tersebut menjelaskan saling tolong menolonglah terhadap setiap manusia dan merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dengan siapapun selama tujuannya adalah kebajikan dan ketakwaan

2.      Hadist

a.       Rasulullah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada sahabatnya, di antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan dan lain-lain yang kemudian dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah.[4] Salah satu Hadis yang menjadi landasan wakalah yaitu:

Artinya: 

"Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi SAW, mengutus Abu Rafi’, hamba yang pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua orang itu menikahkan Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (Nabi SAW) di Madinah sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah)" (HR. Maliki No.678, Kitab al-Muaththa').

b.      Dalam HR. Muslim yang berbunyi

Allah senantiasa menolong hambanya selama hamba itu menolong saudaranya.”(HR.Muslim)

c.    Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, Berkata:

Seorang laki-laki membawa seekor unta muda kepada Nabi SAW., ia kemudian datang untuk minta dibayarkan. Beliau lalu berseru:” Berilah (bayarlah) orang ini”. Mereka lalu meminta kepadanya unta muda, maka mereka tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua. Beliau (Rasulullah) kemudian bersabda: “ berikanlah kepadanya”. Orang itu lantas berkata: “bayarlah aku semoga Allah membayarmu”. Rasulullah (lalu) bersabda “sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik dalam membayar”.

Al Qurthubi mengatakan hadits ini menunjukkan sahnya perwakilan orang yang hadir dan sehat fisik, sesungguhnya Nabi SAW, memerintahkan sahabat-sahabat agar mereka membayar unta muda yang menjadi kewajibannya, ini tak lain sebagai perwakilan (madat) dari beliau kepada mereka, sekalipun pada waktu itu Nabi SAW tidak sakit dan tidak dalam perjalanan

3.      Ijma

            Para Ulama bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya Wakalah. Bahkan mereka cenderung mensunahkan wakalah dengan alasan bahwa wakalah merupakan termasuk jenis ta’awun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan taqwa.[5] Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 2 juga dalam Hadits yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yang artinya:

“Telah menceritakan pada kami Yahya bin Yahya At-Tamimi dan Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Al-A’la Al Hamdani dan lafaz ini milik Yahya dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami dan berkata yang lainnya, telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah dan Al-A’masyi dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: barang siapa membebaskan mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan maka Allah akan memberi kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah akan selalu menolong hambanya selama hamba tersbeut menolong saudaranya sesame muslim.” (HR. Muslim no. 4867)

2.3 Rukun dan Syarat Akad Wakalah

      Menurut kelompok Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab merupakan pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi kuasa dan qabul adalah penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi kuasa tanpa harus terkait dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu.[6] Akan tetapi, jumhur ulama tidak sependirian dengan pandangan tersebut. Mereka berpendirian bahwa rukun dan syarat Wakalah itu adalah sebagai berikut:

1.       Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)

a.       Seseorang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk tasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya

b.       Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila. Menurut pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz tidak berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzhab Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat baginya.

2.       Orang yang diwakilkan (Al-Wakil)

a.       Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yng diwakilkan.

b.       Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali atas kesengajaanya.[7]

3.       Obyek yang diwakilkan ( Muwakkal fih )

a.       Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.

b.       Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.

c.       Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.

4.       Ijab Qabul ( Shighat )

a.        Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari mulai aturan memulai akad Wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad Wakalah ini.

b.       Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa.

c.       Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.[8]

            Seseorang yang mewakilkan orang lain menjual sesuatu dengan memutlakkan wakalah, tanpa adanya ikatan harga tertentu, dan pula tidak ada ikatan. Maka ia tidak berhak menjualnya kecuali dengan harga yang sama dan tidak boleh menjual dengan pembayaran berjangka (angsuran). Kalau ia menjualnya dengan barang yang dimana manusia tidak dapat berbuat curang dengan semisalnya atau menjualnya dengan angsuran, jual beli ini tidak boleh kecuali dengan persetujuan orang yang mewakilkan. Karena hal ini bertentangan dengan kemaslahatannya, dan ini berarti kembali lagi kepadanya.

            Pengertian memutlakkan bukan berarti bahwa si wakil boleh berbuat sekehendak hatinya tetapi maknanya; dia berbuat untuk melakukan jual beli yang dikenal dikalangan para pedagang, dan untuk hal yang lebih berguna bagi orang yang mewakilkan.

            Ibnu Hanifa berpendapat: ia boleh menjual sebagaimana yang ia kehendaki, kontan maupun angsura, dengan atau tampa harga seimbang, dan dengan barang yang tidak mungkin ada ghubulnya ( tidak dapat dicurangi), baik itu dengan uang setempat atau uang selainnya.

            Jika ia terikat, maka siwakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah ditentukan oleh yang mewakilkan. Ia boleh menyalahi, kecuali kepada yang lebih baik buat orang yang mewakilkan, jika ia ditentukan dengan harga tertentu, kemudian ia menjual dengan harga yang lebih dari ketentuan maka jual beli ini dianggap sah.

2.4 Model Akad Wakalah

      Ada beberapa model akad wakalah yang sering dilakukan, yaitu:

1.       Al-Wakalah al-Mutlaqah

            Yakni mewakilkan secara mutlak tanpa batas waktu untuk segala urusan. Dalam hukum positif, sering dikenal dengan istilah kuasa luas, yang biasanya digunakan untuk mewakili segala kebutuhan pemberi kuasa dan biasanya hanya untuk perbuatan pengurusan (beheren).

            Akad Wakalah muthlaqah tidak dispesfikasi dengan ketentuan-ketentuan khusus, baik dalam masalah harga, tempat, waktu, penjual atau pembelinya

2.       Al-Wakalah al-Muqayyadah

            Yakni penunjukan wakil untuk bertindak atas nama dalam urusan-urusan tertentu. Dalah hukum positif, hal ini dikenal sebagai kuasa khusus dan biasanya hanya untuk satu perbuatan hukum. Kuasa hukum ini biasanya diperuntukkan bagi perbuatan hukum tertentu yang berkaitan dengan kepemilikan atas suatu barang, membuat perdamaian, atau perbuatan yang hanya bisa dilaksanakan oleh pemilik barang.[9]

            Akad wakalah dalam hal jual beli adalah akad wakalah yang dispesifikasi oleh Muwakil dengan ketentuan-ketentuan khusus, baik dalam masalah harga, tempat, waktu atau pembelinya. Dalam hal ini nominal harga penjualan telah ditentukan Muwakkil secara spesifik maka wakil tidak sah menjual dengan harga dibawah nominal harga standar (tsaman mitsli). Apabila penjual telah ditentukan muwakil kepada pembeli khusus, wakil tidak sah menjual kepada pembeli lain, sebab boleh jadi ada kepentingan tertentu bagi muwakil dari spesifikasi tersebut.

3.       Al-Wakalah al-Amamah

            Yakni perwakilan yang lebih luas dari al-Muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada muthlaqa. Biasanya kuasa ini untuk perbuatan pengurus sehari-hari. Dalam praktik perbankan syariah wakalah ini sering digunakan sebagai pelengkap transaksi suatu akad atau sebagai jembatan atas keterbatasan ataupun hambatan dari pelaksanaan suatu akad.

2.5  Konsekuensi Hukum Akad Wakalah

      1. Otoritas Wakil

a. Segala akibat hukum yang lahir dalam akad wakalah, menjadi hak atau tanggung jawab bagi pihak muwakkil, bukan lagi pihak wakil.

b. Wakil tidak berhak mewakilkan lagi kepada orang lain pada pekerjaan yang dilakukannya kecuali atas izin muwakkil.

c. Wakil tidak menjamin kerusakan sesuatu yang diwakilkan kepadanya, kecuali karena kelalaian/kesengajaan dari pihak wakil.

d. Pihak Wakil atau Muwakkil berhak memfasakh (membatalkan) akad wakalah kapan saja.[10] Jika salah satunya mati atau gila, maka akad wakalah menjadi fasakh (batal).

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terhentinya akad wakalah, yaitu:

1.      Al-Fasakh (Pembatalan Kontrak)

        Sebagaimana diatas bahwa wakalah adalah jenis kontrak ja’iz min at-trafayn, yakni bagi kedua belah pihak berhak membatalkan ikatan kontrak, kapanpun mereka mengehendaki. Sehingga ketika al-muwakkil memberhentikan al-wakil dari kuasa yang dilimpahkan, baik dengan ucapan langsung, mengirim kabar, atau surat pemecatan maka statuus al-wakil sekaligus hak kuasanya saat itu juga dicabut. Hal ini berlaku baik al-wakil hadir atau tidak hadir, mendengar atau tidak mendengar tentang perihal pencatatannya. Dan apabila al-wakil sampai terlanjur melakukan tasharuf maka dinilai batal meskipun al-wakil belum menerima kabar pemecatan dirinya. Sebanding ketika pihak al-wakil yang mengundurkan diri dari kontrak, maka al-wakalah ditetapkan berakhir meskipun al-muwakkil belum mengetahuinya.

2.      Cacat kelayakan tasharrufnya

        Yakni ketika salah satu dari kedua belah pihak mengalami gila, ditetapkan safih (cacat karena menyia-nyiakan garta) atau falas (cacat karena harta tidak setimpal dengan beban hutang). Atau karena mengalami kematia baik diketahui oleh pihak yang lain atau tidak.

3.      Hilangnya status kepemilikan atau hak dari pemberi kuasa (al-muwakkil)

        Hal ini terjadi ketika al-muwakkil semisal menjual seperda motor yang dikuasakan kepada al-wakil untuk disewakan.[11]

2. Wakalah dengan Sistem Upah

        Menurut Idris ahamd upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan meberi ganti menurut syarat-syarat tertentu. Upah (ujrah) adalah setiap harta yang diberikan sebagai kompensasnsi atas pekerjaan yang dikerjakan manusia baik berupa uang atau barang, yang memilki niai harta (mal) yaitu setiap sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Upah juga diartikan sebagai imbalan materi didunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik)

        Wahbah Zuhaili berkata bahwa Walakah sah dengan upah atau tanpa upah. Sebab Nabi SAW dulu pernah mengutus para amilnya untuk menerima zakat dan memberikan kepada mereka upah. Karena itulah salah satu anak Paman beliau berkata kepada Nabi “Hendaklah anda mengutus kami untuk mengambil zakat, lalu kami menunaikan tugas kami untuk anda sebagaimana yang dilakukan orang lain, dan kamipun memperoleh apa (upah) sebagaimana yang diperoleh orang lain.”[12]

        Wakalah dengan Sistem upah sering terjadi dalam transaksi sebuah bank dengan nasabah, akad ini merupakan suatu akad yang dilakukan oleh nasabah sebagai pihak yang memberikan amanat dan juga banks sebagai pihak yang mewakilkan untuk mengirim sejumlah rekening yang akan dikrim kepada pihak yang menerima setelah proses perwakilan tersebut berakhir dari pihak yang mewakilkan meminta fee atau imbalan kepada pihak nasabah sebagai balas jasa dari transaksi perwakilan yang telah terjadi.

3     Nisbat Hukum dan Hak

Nisbah hukum diperbolehkannya memberikan upah terdapat didalam QS. Ali-Imran ayat 57

وَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ

Artinya:

“….dan adapun orang-orang yang beriman dan melakukan kebajikan maka dia akan memberikan pahala kepada mereka dengan smepurna. Dan Allah tidak menyukai orang zalim…” (QS. Ali-Imran:57)

      Upah atau gaji yang harus dibayarkan sebagaimana yang disyaratkan Allah dalam QS. Ali-Imran ayat 57 mengatakan bahwa setiap pekerjaan orang yang bekerja harus dihargai dan diberi upah atau gaji. Tidak memenuhi upah bagi para pekerja adalah suatu kezhaliman yang tidak disukai Allah, karena upah merupakan hak orang lain setelah melaksanakan kewajibannya.[13]

      Syariat Islam tidak memberikan ketentuan yang rinci dan jelas tentang ukuran dan penentuan ujrah/ upah akan tetapi hal tersebut dapat dijumpai meskipun secara tersirat dalam al-Qur’an. Hak wakalah dalam mendapatkan upah hendaklah merupakan harta yang bernilai secara syar’I dan upah haruslah diketahui dan disepakati jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa maupun dalam upah mengupah. Pemberian upah atau imbalan dalam Ujrah ini harus berupa sesuatu yang bernilai, baik berupa uang maupun jasa yang tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku

4.   Hikmah disyariatkannya Wakalah

        Pada dasarnya tugas dan tanggung jawab urusan seorang itu adalah kewajibannya sendiri, akan tetapi terkadang manusia tidak dapat melakukan tugas itu karena halangan yang timbul pada dirinya diluar kemampuannya, maka manusia mewakilkan kepada orang lain yang dianggapnya mampu dan boleh bertindak untuk menyempurnakan tanggung jawab tersebut untuk faedah dan kebaikannya.[14]

 
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

            Secara etimologi kata al-wakalah atau al-wikalah berarti al-Tafwidh (penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat), perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah). Secara terminology akad wakalah adalah suatu akad dalam sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjaannya/perkaranya ketika masih hidup.

            Bentuk pendelegasian kepada seseorang dalam melakukan tindakan atas nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan boleh, sepanjang hak-hak yang didelegasikan tidak bertentangan dengan syariat islam baik dari segi rukun dan syaratnya Karena hal yang demikian menyangkut pada objek muamalah yang sering menjadi problem dalam kehidupan sehari-hari adapun dasar hukum wakalah terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist, maupun Ijma.

            Menurut kelompok Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab merupakan pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi kuasa dan qabul adalah penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi kuasa tanpa harus terkait dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu. Akan tetapi menurut Jumhur Ulama lainnya rukun dan syarat akad wakalah adalah orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil), Orang yang diwakilkan (Al-Wakil), objek yang diwakilkan, tsighat.

            Model akad wakalah ada tiga yaitu Muuthlaqa, Muqayyad dan al-wakalah al-amamah. Menurut Idris ahamd upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan meberi ganti menurut syarat-syarat tertentu. Upah (ujrah) adalah setiap harta yang diberikan sebagai kompensasnsi atas pekerjaan yang dikerjakan manusia baik berupa uang atau barang, yang memilki niai harta (mal) yaitu setiap sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Upah juga diartikan sebagai imbalan materi didunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).

3.2 Saran

Dalam penyusunan makalah ini masih memerlukan kritikan dan saran bagi pembahasan materi tersebut. Selanjutnya kami berharap makalah yang kami buat dapat membantu pembaca agar dapat memahami.

DAFTAR PUSTAKA 

Karim, Helmi, 2002, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Cet. III

Ash Shiddieqi, Teungku Muhammad Hasby, 2001, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Semarang:   PT. Pustaka Rizki Putra

Suhendi, Hendi, 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta: Grafindo Persada

Purnamasari, Irma Devita, dan Suswinarno, 2011, Akad Syariah, Bandung: PT. Mizan Pustaka

Sobirin, 2012, “Konsep Akad Wakalah dan Aplikasinya dalam Perbankan Syariah”, Jurna Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3, no. 2, September, Bogor, Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA, diakses pada 20 November 2020

 


[1] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. III, 2002), hlm.20

[2] Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqi, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 391

[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), hlm.231-233

[4] Irma Devita Purnamasari, dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2011), hlm. 147

[5] Irma Devita Purnamasari, dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2011), hlm. 149

[6] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. III, 2002), hlm.22

[7] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), hlm.235-237

[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), hlm.238

[9] Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqi, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 393-395

[10] Irma Devita Purnamasari, dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2011), hlm. 152

[11] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), hlm.242-243

[12] Irma Devita Purnamasari, dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2011), hlm. 150

[13] Irma Devita Purnamasari, dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2011), hlm. 152

[14] Sobirin, Konsep Akad Wakalah dan aplikasinya dalam Perbankan Syariah, Jurna Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3, no. 2, September 2012, hlm. 209, Bogor, Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA

Lebih baru Lebih lama