KONTRAK PERWAKILAN (WAKALAH)
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada islam
terdapat tiga hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan
manusia dengan manusia (hablum minannas) dan lingkungan sekitarnya (hablum
minal alam). Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan
lingkungan alam sekitarnya adalah bersifat terbuka.
Dalam Islam
mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Manusia tidak mampu untuk
mengerjakan segala urusannya secara pribadi. Ia membutuhkan orang lain untuk
menggantikan yang bertindak segala wakilnya. Kegiatan wakalah ini telah
dilakukan oleh orang-orang terdahulu.
Islam
membolehkan wakalah karena dipandang sebagai bentuk tolong menolong atas dasar
kebaikan dan takwa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Dengan demikian apabila
orang tersebut berupa permintaan hutang tersebut berlaku untuk wakil bukan
muwakil. Wakalah juga bisa dilakukan dalam urusan jual beli. Dalam wakalah
pemilik urusan (muwakkil) itu dapat secara sah untuk mengerjakan pekerjaans
secara sendiri, namun karena satu dan lain hal urusan itu dapat diserahkan
kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya. Dengan mewakilkan
kepada orang lain maka munculah sikap saling tolong menolong dan memberikan
pekerjaan bagi orang yang sedang menganggur.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi Akad Wakalah?
2. Bagaimana dasar hukum Akad Wakalah?
3. Bagaimana Rukun dan Syarat Akad Wakalah?
4. Bagaimana model Akad Wakalah?
5. Bagaimana konsekuensi hukum Akad Wakalah?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi Akad Wakalah
2. Untuk memahami dasar hukum Akad Wakalah
3. Untuk memahami rukun dan syarat Akad Wakalah
4. Untuk mengetahui model Akad Wakalah
5. Untuk memahami konsekuensi hukum Akad Wakalah
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Akad Wakalah
Dalam kehidupan manusia banyak akad-akad
yang diterapkan, Wakalah termasuk salah satu akad
yang menurut kaidah Fiqh Muamalah adalah akad yang dapat diterima. Secara
etimologi kata al-wakalah atau al-wikalah berarti al-Tafwidh (penyerahan,
pendelegasian dan pemberian mandat), perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan
(al-dhamah).
Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak
pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan
(dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau
wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah
dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas
dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi
kuasa[1]
Secara terminologi (syara) sebagaimana dikemukakan
oleh para fuqaha, yaitu:
1. Menurut Imam Taqy al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini
Wakalah adalah menyerahkan suatu pekerjaaan yang dapat digantikan kepada orang lain agar dikelola dan dijaga pada masa hidupnya.
2. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
Akad Wakalah adalah suatu akad dimana penyerahan kekuasaan pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai gantinya untuk bertindak.
3. Menurut Pendapat Malikkiyah
Akad Wakalah adalah suatu akad dimana ada seseorang yang menggantikan (menepati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.
4. Menurut Pendapat Hanafiyyah
Akad Wakalah adalah suatu akad dimana seseorang menempati diri orang lain dalam tasarruf (pengelolaan).
5. Menurut Pendapat Syafi’iyyah
Wakalah adalah suatu pernyataan tentang seseorang menyerahkan suatu tugas kepada orang lain agar orang lain itu melakukannya dikala seorang tadi masih hidup, apabila orang yang menyerahkan tugas tadi memang mempunyai hak untuk melakukannya dan merupakan tugas yang bisa digantikan kepada orang lain.
6. Menurut Pendapat Hanbali
Wakalah adalah pernyataan menggantikan yang diwakilkan seseorang yang boleh melakukan daya upaya kepada orang lain.[2]
Dari
beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad wakalah
adalah suatu akad dalam sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan
dalam mengerjakan pekerjaannya/perkaranya ketika masih hidup.
Dalam
wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakkil) itu dapat secara sah untuk
mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun, karena satu dan lain hal urusan
itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya.
Oleh karena itu, jika seorang (muwakkil) itu adalah orang yang tidak ahli untuk
mengerjakan urusannya itu seperti orang gila atau anaka kecil maka tidak sah
untuk mewakilkan kepada orang lain.
2.2 Dasar
Hukum Akad Wakalah
Bentuk
pendelegasian kepada seseorang dalam melakukan tindakan atas nama pemberi kuasa
atau yang mewakilkan boleh, sepanjang hak-hak yang didelegasikan tidak
bertentangan dengan syariat islam baik dari segi rukun dan syaratnya.[3]
Karena hal yang demikian menyangkut pada objek muamalah yang sering menjadi
problem dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun dasar hukum wakalah terdapat dalam
Al-Qur’an, Hadist, maupun Ijma.
1. Al-Qur’an
وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَٰهُمْ لِيَتَسَآءَلُوا۟
بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَآئِلٌ مِّنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا۟ لَبِثْنَا
يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا۟ رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ
فَٱبْعَثُوٓا۟ أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِۦٓ إِلَى ٱلْمَدِينَةِ فَلْيَنظُرْ
أَيُّهَآ أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُم بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ
وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
Artinya:
“Dan
demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka
sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu
berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau
setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui
berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara
kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia
lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu
untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seorangpun” (QS. Al-Kahfi: 19)
Juga terdapat dalam firman QS. Al-Maidah
ayat 2
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ
وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ
ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ…
Artinya:
“….Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….”(
Q.S Al-Maidah :2 )
Ayat tersebut menjelaskan saling tolong menolonglah terhadap setiap
manusia dan merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dengan siapapun
selama tujuannya adalah kebajikan dan ketakwaan
2. Hadist
a. Rasulullah SAW semasa hidupnya pernah memberikan
kuasa kepada sahabatnya, di antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan
penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang
hewan dan lain-lain yang kemudian dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah.[4]
Salah satu Hadis yang menjadi landasan wakalah yaitu:
Artinya:
"Dan
dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi SAW, mengutus Abu Rafi’, hamba yang pernah
dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua orang itu menikahkan
Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (Nabi SAW) di Madinah
sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah)" (HR. Maliki No.678, Kitab
al-Muaththa').
b. Dalam HR. Muslim yang berbunyi
“Allah senantiasa menolong hambanya
selama hamba itu menolong saudaranya.”(HR.Muslim)
c. Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, Berkata:
“Seorang laki-laki membawa seekor
unta muda kepada Nabi SAW., ia kemudian datang untuk minta dibayarkan. Beliau
lalu berseru:” Berilah (bayarlah) orang ini”. Mereka lalu meminta kepadanya
unta muda, maka mereka tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua. Beliau
(Rasulullah) kemudian bersabda: “ berikanlah kepadanya”. Orang itu lantas
berkata: “bayarlah aku semoga Allah membayarmu”. Rasulullah (lalu) bersabda
“sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling
baik dalam membayar”.
Al Qurthubi
mengatakan hadits ini menunjukkan sahnya perwakilan orang yang hadir dan sehat
fisik, sesungguhnya Nabi SAW, memerintahkan sahabat-sahabat agar mereka
membayar unta muda yang menjadi kewajibannya, ini tak lain sebagai perwakilan
(madat) dari beliau kepada mereka, sekalipun pada waktu itu Nabi SAW tidak
sakit dan tidak dalam perjalanan
3. Ijma
Para
Ulama bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya Wakalah. Bahkan mereka
cenderung mensunahkan wakalah dengan alasan bahwa wakalah merupakan termasuk
jenis ta’awun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan taqwa.[5]
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 2 juga dalam
Hadits yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yang artinya:
“Telah menceritakan pada kami Yahya bin
Yahya At-Tamimi dan Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Al-A’la Al
Hamdani dan lafaz ini milik Yahya dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami
dan berkata yang lainnya, telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah dan
Al-A’masyi dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah SAW telah
bersabda: barang siapa membebaskan mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka
Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa
memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan maka Allah akan
memberi kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutup aib seorang
muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah akan
selalu menolong hambanya selama hamba tersbeut menolong saudaranya sesame
muslim.” (HR. Muslim no. 4867)
2.3 Rukun dan Syarat Akad Wakalah
Menurut kelompok Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab
merupakan pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi kuasa dan qabul
adalah penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi kuasa tanpa harus
terkait dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu.[6] Akan
tetapi, jumhur ulama tidak sependirian dengan pandangan tersebut. Mereka
berpendirian bahwa rukun dan syarat Wakalah itu adalah sebagai berikut:
1. Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
a.
Seseorang yang
mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk tasharruf pada
bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika
mewakilkan sesuatu yang bukan haknya
b.
Pemberi kuasa
mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya
pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang
pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh
seorang yang gila. Menurut pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz
tidak berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara
mutlak. Namun madzhab Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak
yang sudah mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat
baginya.
2. Orang yang diwakilkan (Al-Wakil)
a.
Penerima kuasa
pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang mengatur proses akad
wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yng
diwakilkan.
b.
Seseorang yang
menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan amanahnya yang
diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin
sesuatu yang diluar batas, kecuali atas kesengajaanya.[7]
3. Obyek yang diwakilkan ( Muwakkal fih )
a.
Obyek mestilah
sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian
upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan
kuasa.
b.
Para ulama
berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah
badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah
maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal
yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
c.
Tidak semua hal
dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang akan diwakilkan pun
tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.
4. Ijab Qabul ( Shighat )
a.
Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi
kuasa dengan penerima kuasa. Dari mulai aturan memulai akad Wakalah ini, proses
akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad Wakalah ini.
b.
Isi dari
perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
c.
Tugas penerima
kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa
melakukan sesuatu tindakan tertentu.[8]
Seseorang yang mewakilkan orang lain menjual sesuatu dengan
memutlakkan wakalah, tanpa adanya ikatan harga tertentu, dan pula tidak ada
ikatan. Maka ia tidak berhak menjualnya kecuali dengan harga yang sama dan
tidak boleh menjual dengan pembayaran berjangka (angsuran). Kalau ia menjualnya
dengan barang yang dimana manusia tidak dapat berbuat curang dengan semisalnya
atau menjualnya dengan angsuran, jual beli ini tidak boleh kecuali dengan
persetujuan orang yang mewakilkan. Karena hal ini bertentangan dengan
kemaslahatannya, dan ini berarti kembali lagi kepadanya.
Pengertian memutlakkan bukan berarti bahwa si wakil boleh berbuat
sekehendak hatinya tetapi maknanya; dia berbuat untuk melakukan jual beli yang
dikenal dikalangan para pedagang, dan untuk hal yang lebih berguna bagi orang
yang mewakilkan.
Ibnu Hanifa berpendapat: ia boleh menjual sebagaimana yang ia
kehendaki, kontan maupun angsura, dengan atau tampa harga seimbang, dan dengan
barang yang tidak mungkin ada ghubulnya ( tidak dapat dicurangi), baik itu
dengan uang setempat atau uang selainnya.
Jika ia terikat, maka siwakil berkewajiban mengikuti apa saja yang
telah ditentukan oleh yang mewakilkan. Ia boleh menyalahi, kecuali kepada yang
lebih baik buat orang yang mewakilkan, jika ia ditentukan dengan harga
tertentu, kemudian ia menjual dengan harga yang lebih dari ketentuan maka jual
beli ini dianggap sah.
2.4 Model Akad Wakalah
Ada beberapa model akad wakalah yang
sering dilakukan, yaitu:
1. Al-Wakalah al-Mutlaqah
Yakni
mewakilkan secara mutlak tanpa batas waktu untuk segala urusan. Dalam hukum
positif, sering dikenal dengan istilah kuasa luas, yang biasanya digunakan
untuk mewakili segala kebutuhan pemberi kuasa dan biasanya hanya untuk
perbuatan pengurusan (beheren).
Akad
Wakalah muthlaqah tidak dispesfikasi dengan ketentuan-ketentuan khusus, baik
dalam masalah harga, tempat, waktu, penjual atau pembelinya
2. Al-Wakalah al-Muqayyadah
Yakni
penunjukan wakil untuk bertindak atas nama dalam urusan-urusan tertentu. Dalah
hukum positif, hal ini dikenal sebagai kuasa khusus dan biasanya hanya untuk
satu perbuatan hukum. Kuasa hukum ini biasanya diperuntukkan bagi perbuatan
hukum tertentu yang berkaitan dengan kepemilikan atas suatu barang, membuat
perdamaian, atau perbuatan yang hanya bisa dilaksanakan oleh pemilik barang.[9]
Akad
wakalah dalam hal jual beli adalah akad wakalah yang dispesifikasi oleh Muwakil
dengan ketentuan-ketentuan khusus, baik dalam masalah harga, tempat, waktu atau
pembelinya. Dalam hal ini nominal harga penjualan telah ditentukan Muwakkil
secara spesifik maka wakil tidak sah menjual dengan harga dibawah nominal harga
standar (tsaman mitsli). Apabila penjual telah ditentukan muwakil kepada
pembeli khusus, wakil tidak sah menjual kepada pembeli lain, sebab boleh jadi
ada kepentingan tertentu bagi muwakil dari spesifikasi tersebut.
3. Al-Wakalah al-Amamah
Yakni
perwakilan yang lebih luas dari al-Muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada
muthlaqa. Biasanya kuasa ini untuk perbuatan pengurus sehari-hari. Dalam
praktik perbankan syariah wakalah ini sering digunakan sebagai pelengkap
transaksi suatu akad atau sebagai jembatan atas keterbatasan ataupun hambatan
dari pelaksanaan suatu akad.
2.5 Konsekuensi Hukum Akad Wakalah
1. Otoritas Wakil
a. Segala akibat hukum yang lahir dalam
akad wakalah, menjadi hak atau tanggung jawab bagi pihak muwakkil, bukan lagi
pihak wakil.
b. Wakil tidak berhak mewakilkan lagi
kepada orang lain pada pekerjaan yang dilakukannya kecuali atas izin muwakkil.
c. Wakil tidak menjamin kerusakan sesuatu
yang diwakilkan kepadanya, kecuali karena kelalaian/kesengajaan dari pihak
wakil.
d. Pihak Wakil atau Muwakkil berhak
memfasakh (membatalkan) akad wakalah kapan saja.[10]
Jika salah satunya mati atau gila, maka akad wakalah menjadi fasakh (batal).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
terhentinya akad wakalah, yaitu:
1. Al-Fasakh (Pembatalan Kontrak)
Sebagaimana diatas bahwa
wakalah adalah jenis kontrak ja’iz min at-trafayn, yakni bagi kedua belah pihak
berhak membatalkan ikatan kontrak, kapanpun mereka mengehendaki. Sehingga
ketika al-muwakkil memberhentikan al-wakil dari kuasa yang dilimpahkan, baik
dengan ucapan langsung, mengirim kabar, atau surat pemecatan maka statuus
al-wakil sekaligus hak kuasanya saat itu juga dicabut. Hal ini berlaku baik
al-wakil hadir atau tidak hadir, mendengar atau tidak mendengar tentang perihal
pencatatannya. Dan apabila al-wakil sampai terlanjur melakukan tasharuf maka
dinilai batal meskipun al-wakil belum menerima kabar pemecatan dirinya.
Sebanding ketika pihak al-wakil yang mengundurkan diri dari kontrak, maka al-wakalah
ditetapkan berakhir meskipun al-muwakkil belum mengetahuinya.
2. Cacat kelayakan tasharrufnya
Yakni ketika salah satu
dari kedua belah pihak mengalami gila, ditetapkan safih (cacat karena
menyia-nyiakan garta) atau falas (cacat karena harta tidak setimpal dengan
beban hutang). Atau karena mengalami kematia baik diketahui oleh pihak yang
lain atau tidak.
3. Hilangnya status kepemilikan atau hak dari
pemberi kuasa (al-muwakkil)
Hal ini terjadi ketika
al-muwakkil semisal menjual seperda motor yang dikuasakan kepada al-wakil untuk
disewakan.[11]
2. Wakalah
dengan Sistem Upah
Menurut
Idris ahamd upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan
meberi ganti menurut syarat-syarat tertentu. Upah (ujrah) adalah setiap harta
yang diberikan sebagai kompensasnsi atas pekerjaan yang dikerjakan manusia baik
berupa uang atau barang, yang memilki niai harta (mal) yaitu setiap sesuatu
yang dapat dimanfaatkan. Upah juga diartikan sebagai imbalan materi didunia
(adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih
baik)
Wahbah
Zuhaili berkata bahwa Walakah sah dengan upah atau tanpa upah. Sebab Nabi SAW
dulu pernah mengutus para amilnya untuk menerima zakat dan memberikan kepada
mereka upah. Karena itulah salah satu anak Paman beliau berkata kepada Nabi
“Hendaklah anda mengutus kami untuk mengambil zakat, lalu kami menunaikan tugas
kami untuk anda sebagaimana yang dilakukan orang lain, dan kamipun memperoleh
apa (upah) sebagaimana yang diperoleh orang lain.”[12]
Wakalah
dengan Sistem upah sering terjadi dalam transaksi sebuah bank dengan nasabah,
akad ini merupakan suatu akad yang dilakukan oleh nasabah sebagai pihak yang
memberikan amanat dan juga banks sebagai pihak yang mewakilkan untuk mengirim
sejumlah rekening yang akan dikrim kepada pihak yang menerima setelah proses
perwakilan tersebut berakhir dari pihak yang mewakilkan meminta fee atau
imbalan kepada pihak nasabah sebagai balas jasa dari transaksi perwakilan yang
telah terjadi.
3 Nisbat Hukum dan Hak
Nisbah hukum diperbolehkannya memberikan
upah terdapat didalam QS. Ali-Imran ayat 57
وَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟
ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ…
Artinya:
“….dan adapun orang-orang yang beriman dan melakukan kebajikan maka dia
akan memberikan pahala kepada mereka dengan smepurna. Dan Allah tidak menyukai
orang zalim…” (QS. Ali-Imran:57)
Upah atau gaji yang harus
dibayarkan sebagaimana yang disyaratkan Allah dalam QS. Ali-Imran ayat 57
mengatakan bahwa setiap pekerjaan orang yang bekerja harus dihargai dan diberi
upah atau gaji. Tidak memenuhi upah bagi para pekerja adalah suatu kezhaliman
yang tidak disukai Allah, karena upah merupakan hak orang lain setelah
melaksanakan kewajibannya.[13]
Syariat Islam tidak
memberikan ketentuan yang rinci dan jelas tentang ukuran dan penentuan ujrah/
upah akan tetapi hal tersebut dapat dijumpai meskipun secara tersirat dalam
al-Qur’an. Hak wakalah dalam mendapatkan upah hendaklah merupakan harta yang
bernilai secara syar’I dan upah haruslah diketahui dan disepakati jumlahnya
oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa maupun dalam upah mengupah.
Pemberian upah atau imbalan dalam Ujrah ini harus berupa sesuatu yang bernilai,
baik berupa uang maupun jasa yang tidak bertentangan dengan kebiasaan yang
berlaku
4. Hikmah disyariatkannya Wakalah
Pada dasarnya tugas dan tanggung jawab urusan seorang itu adalah kewajibannya sendiri, akan tetapi terkadang manusia tidak dapat melakukan tugas itu karena halangan yang timbul pada dirinya diluar kemampuannya, maka manusia mewakilkan kepada orang lain yang dianggapnya mampu dan boleh bertindak untuk menyempurnakan tanggung jawab tersebut untuk faedah dan kebaikannya.[14]
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Secara etimologi kata al-wakalah atau al-wikalah berarti al-Tafwidh (penyerahan,
pendelegasian dan pemberian mandat), perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan
(al-dhamah). Secara terminology akad wakalah
adalah suatu akad dalam sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan
dalam mengerjakan pekerjaannya/perkaranya ketika masih hidup.
Bentuk
pendelegasian kepada seseorang dalam melakukan tindakan atas nama pemberi kuasa
atau yang mewakilkan boleh, sepanjang hak-hak yang didelegasikan tidak bertentangan
dengan syariat islam baik dari segi rukun dan syaratnya Karena hal yang
demikian menyangkut pada objek muamalah yang sering menjadi problem dalam
kehidupan sehari-hari adapun dasar hukum wakalah terdapat dalam Al-Qur’an,
Hadist, maupun Ijma.
Menurut kelompok Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab
merupakan pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi kuasa dan qabul
adalah penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi kuasa tanpa harus
terkait dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu. Akan tetapi menurut Jumhur
Ulama lainnya rukun dan syarat akad wakalah adalah orang yang mewakilkan
(Al-Muwakkil), Orang yang diwakilkan (Al-Wakil), objek yang diwakilkan,
tsighat.
Model
akad wakalah ada tiga yaitu Muuthlaqa, Muqayyad dan al-wakalah al-amamah. Menurut
Idris ahamd upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan
meberi ganti menurut syarat-syarat tertentu. Upah (ujrah) adalah setiap harta
yang diberikan sebagai kompensasnsi atas pekerjaan yang dikerjakan manusia baik
berupa uang atau barang, yang memilki niai harta (mal) yaitu setiap sesuatu
yang dapat dimanfaatkan. Upah juga diartikan sebagai imbalan materi didunia
(adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih
baik).
3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini masih
memerlukan kritikan dan saran bagi pembahasan materi tersebut. Selanjutnya kami
berharap makalah yang kami buat dapat membantu pembaca agar dapat memahami.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Helmi, 2002, Fiqh Muamalah,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Cet. III
Ash Shiddieqi, Teungku Muhammad Hasby,
2001, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Suhendi, Hendi, 2010, Fiqh Muamalah,
Jakarta: Grafindo Persada
Purnamasari, Irma Devita, dan Suswinarno,
2011, Akad Syariah, Bandung: PT. Mizan Pustaka
Sobirin, 2012, “Konsep Akad Wakalah dan
Aplikasinya dalam Perbankan Syariah”, Jurna Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3, no.
2, September, Bogor, Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA, diakses pada 20
November 2020
[1] Helmi Karim, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. III, 2002), hlm.20
[2] Teungku Muhammad Hasby
Ash Shiddieqi, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2001), hlm. 391
[3] Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), hlm.231-233
[4] Irma Devita Purnamasari,
dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2011), hlm.
147
[5] Irma Devita Purnamasari,
dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2011), hlm.
149
[6] Helmi Karim, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. III, 2002), hlm.22
[7] Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), hlm.235-237
[8] Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), hlm.238
[9] Teungku Muhammad Hasby
Ash Shiddieqi, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2001), hlm. 393-395
[10] Irma Devita Purnamasari,
dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2011), hlm.
152
[11] Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), hlm.242-243
[12] Irma Devita Purnamasari,
dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2011), hlm.
150
[13] Irma Devita Purnamasari,
dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2011), hlm.
152
[14] Sobirin, Konsep Akad Wakalah
dan aplikasinya dalam Perbankan Syariah, Jurna Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol.
3, no. 2, September 2012, hlm. 209, Bogor, Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA