PERTANGGUNGJAWABAN DAN HAPUSNYA PERTANGGUNGJAWABAN
A. Pendahuluan
Suatu perbuatan pidana membawa konsekwensi
mesti dijatuhi hukuman, sedangkan hukuman itu dapat dijatuhkan manakala
terpenuhi syarat-syarat yang mengharuskan si pelaku dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana dalam Syari'at Islam bisa terjadi,
apabila terpenuhi tiga asas/dasar, yaitu; 1). Adanya perbuatan yang dilarang/melawan
hukum. 2). Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan 3). Pelaku
mengetahui akibat perbuatannya itu. Jika ketiga asas tersebut terpenuhi, maka
bagi seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut, terdapat
pertanggungjawaban pidana. Bilamana salah satu asas tersebut tidak ada, maka
baginya tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana1
. Untuk itu, bila seseorang melakukan perbuatan
pidana yang telah memenuhi tiga asas tersebut, maka baginya dikenakan
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban dalam Syari‟at Islam hanya
berlaku untuk manusia bukan termasuk kepada makhluk lainnya . Dalam hal ini
berbeda dengan hukum positif pada masa-masa sebelum revolusi Prancis, yang
menganut aliran materalisme di mana setiap orang bagaimanapun keadaannya bisa
dibebabni pertanggung-jawaban pidana, tanpa membedakan apakah orang tersebut
mempunyai kemauan sendiri atau tidak, sudah dewasa atau belum. Bahkan hewan dan
benda mati pun bisa dibebani pertanggungjawaban, apabila menimbulkan kerugian
kepada pihak lain. Kematian juga tidak bisa menghindarkan seseorang dari pemeriksaan
pengadilan dan hukuman. Demikian pula seseorang
harus mempertanggungjawabkan perbuatan orang
lain, meskipun orang tersebut tidak tahu menahu dan tidak ikut serta
mengerjakannya. Sedangkan hak manusia adalah yang ada hubungannya dengan
kepentingan pribadi seseorang dan dinamakan begitu karena kepentingannya khusus
untuk mereka. Dalam hubungannya dengan hukuman qis}a>sh dan diat
makapengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa
dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya.
B. PERTANGGUNG
JAWABAN PIDANA DALAM HUKUM ISLAM
A.
Kemampuan Bertanggungjawab
Seperti yang telah disebutkan dalam Bab pertama
bahwa pertanggungjawaban pidana dalam Islam (syari'at) adalah pembebanan
seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud
dan akibat dari perbuatannya. Dalam syari'at (hukum) Islam, pertanggungjawaban
itu didasarkan pada tiga hal :
1.
Adanya perbuatan yang dilarang
2.
Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri
3.
Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan itu.
Apabila
adanya ketiga hal tersebut di atas, maka pertanggungjawaban itu ada pada
seseorang yang melakukan perbuatan pidana (kejahatan), namun sebaliknya maka
tidak ada perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana pada orang gila, anak-anak yang belum
mencapai umur baliqh atau orang yang dipaksakan untuk melakukan perbuatan
kejahatan, yang mengakibatkan terancam jiwanya.
Dalam
hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya membebankan hukuman pada orang
yang masih hidup dan mukallaf, hukum Islam juga mengampuni anak-anak dari
hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali jika ia telah
baliqh. Hal ini didasarkan pada dalil al-Qur`an surat an-Nur, ayat 59, yang
Artinya; “…dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklan
mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa meminta
izin…”
Hukum Islam tidak juga menjatuhkan hukuman terhadap pelaku yang dipaksa dan orang yang hilang kesadarannya. Atas dasar ini seseorang hanya mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap apa yang telah dilakukanya dan tidak dapat dijatuhi hukuman atas tindak pidana orang lain. Prinsip dasar yang ditetapkan dalam hukum Islam adalah segala sesuatu yang tidak diharamkan berarti dibolehkan, akan tetapi jika suatu perbuatan diharamkan, hukumannya dijatuhi sejak pengharamannya diketahui. Adapun perbuatan yang terjadi sebelum pengharaman maka ia termasuk dalam kategori pemaafan.
Dapatkah suatu badan hukum mempertanggungjawabkan diri secara pidana dalam Islam? Ahmad Hanafi menjawabnya secara negatif dengan alasan tiadanya unsur pengetahuan perbuatan dan pilihan dari badan-badan hukum itu. Namun orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terjadi perbuatan yang terlarang.124 Faktor yang menyebabkan terjadinya pertanggungjawaban pidana adalah dikarenakan perbuatan maksiat (pelanggaran-pelanggaran) yaitu meninggalkan yang disuruh/diwajibkan oleh syara’ dan mengerjakan yang dilarang oleh syara’.
Pembebasan
pertanggungjawaban itu merupakan ketetapan agama yang telah digariskan dalam
al-Qur`an dan Hadits Nabi. Satu riwayat menyebutkan bahwa ketika Ali bin Abi Thalib
berkata kepada Umar bin Khathab; "tahukah sengkau terhadap siapa kebaikan
dan kejahatan itu tidak dicatat dan mereka tidak bertanggungjawab terhadap apa
yang dilakukannya, yaitu orang yang gila sampai dia waras, anak-anak sampai dia
baliqh (puber) dan orang tidur sampai dia bangun. Kemampuan
bertanggungjawab di sini menunjukkan pada mampu atau tidak secara psikis bukan
secara fisik.
Syari'at
Islam menolak sintetik atau pengujian untuk menentukan masalah abnormalitas dan
kriminalitas. Menurut teori ini tak ada tindakan yang dapat disebut kriminal
bila pada saat tindakan itu dilaksanakan pelaku mengalami kekacauan mental atau
adanya dorongan yang benar-benar tidak terkendali sehingga menyebabkan
hilangnya keseluruhan mental ataupun emosi.
Hukum Islam memberikan alternatif bagi seorang mukallaf dalam melaksanakan hukuman, berbeda dengan hukum positif terutama di masa-masa sebelum revolusi Perancis, karena pertanggungjawaban pidana mempunyai pengertian tersendiri. Setiap orang bagaimanapun keadaannya bisa dibebani pertanggungjawaban pidana. Apakah orang itu mempunyai kemauan sendiri atau tidak, dewasa atau belum dewasa bahkan hewan ataupun benda yang bisa menimbulkan kerugian kepada pihak lain dapat dibebani pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban
pidana dapat dilakukan manakala perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan
terlarang (criminal conduct) yang mencakup unsur-unsur secara fisik dari
kajahatan tersebut. Tanpa unsur tersebut pertanggungjawaban tidak dapat
dilakukan karena pertanggungjawaban mensyaratkan dilakukannya suatu perbuatan
yang dilarang Undang-undang. Perbuatan tersebut bisa dihasilkan dari perbuatan
aktif (delik komisi) maupun perbuatan pasif (delik omisi).
Di dalam
KUHP, pertanggungjawaban pidana telah memunculkan masalah mengenai asas
kesalahan (culpabilitas) yang secara tegas tidak tercantum. Namun hanya
disebutkan dalam Memorie van Teolichting (MvT) sebagai penjelasan
WvS. Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang
dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti seorang dipidana karena secara
obyektif memang telah melakukan tindak pidana artinya memenuhi rumusan asas
legalitas dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku
(memenuhi asas culpabilitas).
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti “rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”128
Menurut
salah seorang guru besar pada Universitas Amsterdam, yaitu Van Hamel,
mengemukakan pendapatnya bahwa kemampuan untuk bertanggungjawab secara hukum
adalah suatu kondisi kematangan dan kenormalan psikis yang mencakup tiga
kemampuan lainnya yaitu; (1) memahami arah dan tujuan factual dari tindakan itu
sendiri, (2) kesadaran bahwa tindakan tersebut secara sosial dilarang dan (3)
adanya kehendak bebas berkenan dengan tindakan tersebut.
Satu hal yang menarik dalam kaitannya dengan kemampuan bertanggungjawab, bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, justru diatur sebaliknya yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab, seperti yang terdapat dalam KUHP Indonesia Pasal 44, yang masih memakai rumusan Pasal 37 WvS kira-kira diterjemahkan demikian bunyinya; “tidak boleh dipidana ialah barangsiapa yang mewujudkan suatu delik, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya disebabkan oleh kekurang-sempurnaan pertumbuhan akalnya atau sakit gangguan akal”129 sistem yang dianut oleh Pasal 44 tersebut adalah sistem campuran yang bersifat biologis-psychiatris dan yang psikologis. Sistem pertama menyebutkan beberapa keadaan Alf Ross, on Guil, Responsibility and Punishment dalam Chairul Huda, Dari Tiada Pidana tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, patologis yang menyebabkan ketidakmampuan bertanggungjawab, sedangkan sistem psikologis juga menyebutkan patologis akan tetapi ukurannya hanya terletak pada hubungan antar kejahatan dan keadaan sadar terdakwa pada saat melakukan perbuatan yang berbentuk kejahatan. Dalam Pasal 44 ayat 1 KUHP pembentuk undang-undang membuat peraturan khusus untuk pembuat yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya “karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit,” yang dimaksudkan adalah gangguan sejak lahir dan timbul semasa remaja dan gangguan yang datang kemudian paa seseorang yang normal.
Masalah
ada tidaknya pertanggungajwaban pidana diputuskan oleh Hakim, menurut Pompe ini
pengertian yuridis bukan medis. Menurutnya dapat dipertanggungjawabkan (toerekenbaarheid)
itu berkaitan dengan kesalahan (schuld), orang dapat menyatakan dapat dipertanggungajawabkan
itu sendiri merupakan kesalahan (schuld).
B.
Unsur-unsur Pertanggungjawaban pidana
Hukum Islam mensyaratkan keadaan si pelaku harus memiliki pengertahuan dan pilihan, karenanya sangat alamiyah manakala seseorang memang menjadi objek dari pertanggungjawaban pidana, karena pada seseorang memiliki kedua hal tersebut. Ini adalah salah satu prinsip dasar dalam hukum Islam, bahwa pertanggungjawaban pidana itu bersifat personal artinya seseorang tidak mempertanggungjawabkan selain apa yang dilakukannya.
Oleh
karenanya ada suatu faktor yang semestinya menjadi alasan untuk dapat
dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana. Faktor atau sebab, merupakan sesuatu
yang dijadikan oleh syara’ sebagai tanda atas musabab (hasil/efek) dimana
keberadaan musabab dipertautkan dengan adanya sebab.
Adapun
unsur yang mengakibatkan terjadinya pertanggungjawaban pidana antara lain;
1.
Adanya unsur melawan hukum
Asas
pertanggungjawaban hukum adalah adanya perbuatan melawan hukum atau perbuatan
maksiat yaitu melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang
diperintahkan oleh hukum Islam. Pertanggungjawaban tindak pidana itu
berbeda-beda sesuai dengan tingkat pelanggaran atau perbuatan maksiatnya.
Pelaku yang memang mempunyai niat bermaksud untuk melawan hukum maka sanksinya
(hukumannya) diperberat. Namun jika sebaliknya maka hukumannya diperingan,
dalam hal ini faktor yang utama disini adalah melawan hukum. Dimaksudkan
melawan hukum adalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara' setelah
diketahui bahwa syar'i melarang atau mewajibkan perbuatan tersebut. Perbuatan
melawan hukum merupakan unsur pokok yang harus terdapat pada setiap tindak
pidana, baik tindak pidana ringan atau tindak pidana berat, yang disengaja atau
tidak disengaja.
Dalam
kaitan pertanggungjawaban karena melawan hukum dapat dibedakan dalam
memahaminya antara melawan hukum dan maksud melawan hukum. Melawan hukum
berarti melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan kewajiban tanpa ada
maksud dari si pelaku itu sendiri namun menimbulkan kerugian terhadap orang
lain. Adapun maksud melawan hukum adalah kecenderungan niat si pelaku untuk
melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan yang diketahui bahwa hal itu
dilarang atau memperbuat kemaksiatan dengan maksud melawan hukum.
Apabila pada suatu perbuatan terdapat faktor pertanggungjawaban pidana yaitu melakukan kemaksiatan (melawan hukum) dengan adanya dua unsur mengetahui dan memiliki, maka pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana, kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Pertanggungjawaban pidana karenanya harus dapat berfungsi sebagai preventif, sehingga terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin menyadari akan konsekwensi tindak pidana dari perbuatan yang dilakukannya dengan penuh resiko ancaman hukumannya.
2.
Adanya kesalahan
Faktor
yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat,
yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh syara'. Dimaksudkan di sini
adalah kesalahan seseorang terhadap perbuatan yang telah ditentukan tidak boleh
dilakukan. Hal ini menyangkut seseorang itu telah meninggalkan kewajiban atau perintah,
sehingga kepadanya dapat dimintakan
pertanggungjawaban.
Ada
suatu perbedaan dalam memahami kesalahan sebagai faktor pertanggungjawaban.
Perbedaan ini berkaitan dengan pengertian antara tindak pidana dengan kesalahan
itu sendiri, dimana menurut beberapa ahli hukum bahwa pengertian tindak pidana
tidak ditemukan dalam Undang-Undang hanya saja tindak pidana merupakan kreasi
teoritis yang dikemukakan oleh para ahli hukum. Hal ini akan membawa beberapa
konsekwensi dalam memahami tindak pidana. Karena menurut para ahli hukum
kesalahan harus dipisahkan dari pengertian tindak pidana dan kesalahan itu
sendiri adalah faktor penentu dari pertanggungjawaban. Pengertian tindak pidana
hanya berisi tentang karakteristik perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman.
Pemahaman ini penting bukan saja secara akademis tetapi juga sebagai suatu
kesadaran dalam membangun masyarakat yang sadar akan hukum.
Sebuah
adegium sebagaimana yang telah penulis sebutkan di bagian pertama, bahwa tiada
pidana tanpa kesalahan, adegium inilah yang kemudian menjadi isyarat bahwa
tidak dapat dipidana tanpa adanya kesalahan, kesalahan yang dimaksudkan di sini
adalah kesalahan yang objektif artinya dapat dicela kepada pelakunya.
Jonkers
memberikan pengertian tentang kesalahan dalam keterangannya tentang
schuldbegrip yang membagikan kepada tiga bagian;
a.
Kesalahan selain kesengajaan atau kealpaan (opzeto
of schuld)
b.
Kesalahan meliputi juga sifat melawan hukum (de
wederrechtelijk heid)
c.
Kesalahan dengan kemampuan bertanggungjawab (de
toerekenbaaheid).
Kesalahan
bukan hanya menentukan dapat dipertanggungjawabkannya si pelaku akan tetapi
dapat dipidananya si pelaku. Karena kesalahan merupakan asas fundamental dalam
hukum pidana, Kesalahan yang menentukan dapat dipertanggungjawabkannya si
pelaku adalah hal mana cara melihat bagaimana melakukanya, sedangkan kesalahan
yang menentukan dapat dipidananya si pelaku dengan memberikan sanksi hal
demikian adalah cara melihat bagaimana dapat dipertanggungjawabkan perbuatan
tersebut kepadanya.
Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan biasanya dibedakan dari pertanggungjawaban mutlak. Bila tatanan hukum menetapkan dilakukannya suatu tindakan atau tidak dilakukannya suatu tindakan yang dapat menimbulkan kejadian yang tidak dikehendaki atau tidak dapat terantisipasi sebagai syarat pemberian suatu sanksi maka dapat dibedakan antara kasus yang kejadiannya itu disengajakan atau dapat diantisipasi oleh individu yang perilakunya dipertimbangkan dan kasus dimana kejadiannya berlangsung tanpa disengaja atau tanpa diantisipasi atau dapat disebut kecelakaan atau ketidaksengajaan. Pada kasus yang pertama adalah pertanggungjawaban yang berdasarkan kepada kesalahan sedangkan pada kasus yang kedua jika dimaksukan kejadian tidak dikehendaki, maka tidak mustahil untuk dapat membedakan apakah maksud dari si pelaku bersifat jahat secara subjektif dengan tujuan menimbulkan luka atau kerugian atau sebaliknya bersifat baik.
Petanggungjawaban berdasarkan kesalahan biasanya mencakup persoalan kelalaian. Kelalaian terjadi biasanya adalah karena tidak terjadi pencegahan suatu perbuatan yang menurut hukum itu dilarang, kendatipun kelalaian itu tidak dikehendaki atau tidak disengaja oleh orang yang melakukan perbuatan tersebut.
C.
Hapusnya pertanggungjawaban pidana
Asas
dasar dari pertanggungjawaban pidana adalah tiada hukuman tanpa adanya
kesalahan atau perbuatan terlarang. Jika suatu perbuatan tidak terlarang untuk
dikerjakan maka tidak ada pertanggungjawaban secara mutlak karena perbuatan
tersebut bukan perbuatan terlarang secara syari'at atau Undang-undang. Adanya
pertanggungjawaban pidana sebenarnya dikarenakan telah dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang, jika suatu perbuatan itu dilakukan namun pelakunya
tidak mempunyai pengetahuan dan pilihan, maka pertanggungjawaban itu ada, namun
si pelaku akan terhapus dari penjatuhan hukuman.
Dasar
penghapusnya pidana atau yang disebut dengan alasan-alasan menghilangkan sifat
tindak pidana termuat dalam buku I KUHP, di samping itu ada juga alasan
penghapus tindak pidana di luar KUHP atau yang ada dalam masyarakat, misalnya
suatu perbuatan oleh suatu masyarakat tidak dianggap tindak pidana karena
mempunyai alasan-alasan tersendiri yang secara hukum materil juga tidak
dianggap terlarang. Juga karena alasan pendidikan seorang orang tua menuntun
anaknya untuk mengajarkan suatu kebaikan, bisa saja orang tua tidak punyai
kesalahan sama sekali karena keliru dalam fakta.
Dalam keadaan tertentu terkadang suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dapat berujung pada terjadinya tindak pidana, walaupun orang tersebut tidak menghendaki terjadinya tindak pidana. Dengan kata lain tindak pidana dapat saja terjadi adakalanya seseorang tidak dapat menghindari karena sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Faktor luar tersebut membuat seseorang itu tidak dapat berbuat lain sehingga mengakibatkan kesalahannya itu terhapus, artinya pada diri si pelaku terdapat alasan penghapus kesalahan. Sekalipun kepada pelaku dapat dicela tapi dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau tidak dapat diteruskan. Berbeda halnya apabila kesalahan dipahami dalam pengertian psikologi si pelaku, sekalipun terdapat faktor eksternal yang dipandang telah menghilangkan kesalahan tetapi mengingat kesalahan selalu dipandang sebagai kondisi psikologis si pelaku ketika melakukan tindak pidana maka alasan penghapusan kesalahan merupakan alasan yang menghilangkan kesengajaan atau kealpaan.
Dalam
masalah pengahapus pidana terdapat dua alasan/dasar penghapusan pidana yaitu
dasar pembenar (permissibility) dan dasar pemaaf (legal excuse). Suatu perbuatan pidana didalamnya terdapat alasan pembenar sebagai penghapus
pidana maka suatu perbuatan tersebut menjadi kehilangan sifat melawan hukum
sehingga menjadi legal atau secara agama terdapat kebolehan melakukannya
sehingga pelaku tidak dikenai hukuman. Adanya alasan pembenar berujung pada
"pembenaran" atas tindakan yang sepintas lalu melawan hukum,
sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada "pemaafan" pembuatnya
sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum. Yang termasuk dalam
alasan pembenar diantaranya bela paksa, keadaan darurat, pelaksanaan peraturan
perundang-undangan dan perintah jabatan. Seseorang yang kerena membela
badan/jiwa, kesusilaan atau membela harta miliknya dari sifat melawan hukum
orang lain maka kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban jika
perbuatan melawan hukum terjadi padanya.
Pertanggungjawaban pidana dapat dinyatakan hapus karena ada kaitannya dengan perbuatan yang terjadi atau kaitannya dengan hal-hal yang terjadi menurut keadaan bagi si pelaku. Dalam keadaan yang pertama ini adalah perbuatan yang dilakukan tersebut merupakan perbuatan mubah (dalam agama tidak ada pelarangan karena hukum asal), sedangkan keadaan yang kedua adalah perbuatan yang dilakukan itu merupakan perbuatan yang terlarang namun si pelaku tidak dapat diberi hukuman karena ada suatu keadaan pada si pelaku yang dapat terhindar dari hukuman. Kedua keadaan ini (perbuatan dan pelaku) dalam kaedah agama disebut asbab al ibahah dan asbab raf'i al uqubah. Asbab al-ibahah atau sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang pada umumnya berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.
1.
Disebabkan perbuatan Mubah (asbab al ibahah)
Pada
dasarnya perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu merupakan
perlarangan secara umum bagi semua orang. Meski demikian hukum Islam melihat
adanya pengecualian atas dasar pembolehan bagi sebagian orang yang memiliki
karakter-karakter khusus disebabkan oleh keadaan dan tuntutan dari masyarakat
tertentu. Contohnya adalah pembunuhan. Perbuatan ini diharamkan dalam Islam
bagi setiap orang. Hukuman bagi pembunuh adalah qisas yaitu berupa hukuman mati
dan Islam memberikan hak bagi si wali korban, sebagaimana disebutkan dalam
Qur`an, S.17;33
... ومن قتل مظلومافقدجعلنالوليـه سلطنـا فلايسرف فى القتـل…
"…
dan barang siapa dibunuh secara dhalim maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaaan kepada walinya, tetapi janganlah wali itu melampaui batas dalam
pembunuhan …."
Contoh
lain dalam hal melukai, perbuatan melukai adalah tidak dibenarkan dalam Islam,
akan tetapi melukai dengan maksud melakukan operasi merupakan perbuatan yang
dibolehkan karena suatu kebolehan yang dikehendaki oleh keadaan. Juga dalam
memukul, perbuatan tersebut adalah dilarang dalam Islam, akan tetapi memukul
dengan maksud memberikan pendidikan/pelajaran adalah sesuatu yang dapat
dibolehkan sejauh pemukulan itu tidak bermaksud melukai. Di samping itu hukum
Islam memperkenankan para pendidik tersebut memukul anak didiknya dalam rangka
memberi pendidikan dan mengajari mereka sebagai bentuk perwujudan atas
kewajiban yang dibebankan kepada para pendidik. Perwujudan dari kewajiban itu
merupakan menjalankan kemaslahatan individu dan masyarakat serta mewujudkan
tujuan
dari syar'i itu sendiri.
Jika
suatu perbuatan yang dilarang namun dibolehkan secara logika hanya untuk
mewujudkan suatu kemaslahatan tertentu, akan tetapi sutau perbuatan yang
dilarang namun dikerjakan di luar maksud dari kemaslahatan itu maka tetap
dianggap suatu tindak pidana. Melaksanakan kewajiban mempunyai sifat yang
mutlak harus dilakukan akan tetapi melaksanakan hak tidak secara mutlak harus
dilakukan. Antara kewajiban dan hak mempunyai perbedaan tabiat satu sama lain
mempunyai hal penting. Tidak melaksanakan/menggunakan hak tidak berdosa dan
tidak di hukum sedangkan orang yang dibebani kewajiban akan berdosa dan dapat
di hukum ketika tidak melaksanakannya, hal ini disepakati oleh para fukaha. Hak
mempunyai keterikatan dengan syarat keselamatan, artinya orang yang menggunakan
haknya senantiasa mempunyai tanggungjawab terhadap keselamatan objek dari hak
tersebut karena yang menggunakan hak tersebut mempunyai pilihan antara
mengerjakan dan tidak mengerjakan. sedangkan kewajiban tidak terikat dengan
keselamatan karena orang yang melaksanakan kewajiban tidak mempunyai
tanggungjawab terhadap objek dari sebuah kewajiban itu.
Ahmad
Wardhi Muslich mengutib Abdul Qadir 'Audah, mengemukakan
bahwa
sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu:
1.
Pembelaan yang sah
Dalam hukum Islam dikenal pembelaan atas dua
macam;
a.
Pembelaan khusus
Pembelaan khusus dimaksudkan adalah seseorang itu mempunyai kewajiban dalam mempertahankan/melindungi dirinya, haknya dan harta bendanya dengan cara-cara yang dibenarkan dari perampasan orang lain. Apabila seseorang melakukan suatu pembelaan atas suatu serangan maka harus ada keseimbangan antara kepentingan yang melindungi dengan kepentingan yang menyerang, maksudnyaadalah seseorang tidak dibolehkan melanjutkan penyerangan manakala serangan lawan sudah dihentikan. Pembelaan khusus baik yang bersifat wajib atau mempertahankan haknya dimaksudkan bukan sebagai serangan hukuman terhadap penyerang. Menurut Islam seseorang berhak mempertahankan jiwa, harta, kehormatan dirinya dan orang lain dari serangan orang lain dengan kekuatan yang lazim dari setiap pelanggarn dan penyerangan yang tidak sah, jadi jika seseorang diserang orang lain untuk dibunuh, dan tidak ada jalan lain untuk membela diri kecuali membunuh pula maka ia tidak dapat dipidana, dalam hal ini ada syarat yang terjadi yaitu adanya keseimbangan dan tidak ada jalan lain. Hal ini akan menghapuskan atau menghilangkan sifat tindak pidana karena alasan pembelaan diri dengan dasar pembenar dari pertanggungjawaban pidana.
b.
Pembelaan bersifat umum
Diistilahkan pembelaan bersifat umum dalam
Islam adalah amar ma'ruf nahi munkar, yaitu membela atas kepentingan orang
banyak/kepentingan umum. Para fukaha menyepakati bahwa membela kepentingan umum
dalam rangka amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kewajiban yang tidak boleh
ditinggalkan. Pembelaan bersifat umum ini bertujuan agar di dalam masyarakat
akan tumbuh sifat-sifat keutamaan dan dapat berdiri di atas kebijakan individu sehingga
penyelewengan dan jarimah akan berkurang. Ma'ruf adalah semua perkataan atau
perbuatan yang perlu diucapkan atau dilakukan sesuai dengan nash, dasar umum
(aturan pokok) dan jiwa hukum Islam, sedangkan mungkar adalah setiap maksiat
yang diharamkan oleh hukum Islam baik dikerjakan oleh orang mukallaf (orang
yang dibebani hukum) atau non mukallaf. Setiap muslim wajib melakukan amar
ma'ruf nahi mungkar sesuai dengan kesanggupannya meskipun ada orang lain yang
lebih mampu dari dirinya untuk melakukannya.
2.
Pendidikan dan pengajaran
Dimaksudkan mendidik dalam hal ini adalah untuk mencegah terjadinya maksiat pada masa yang akan datang, pendidikan dimulai dengan cara yang paling ringan. Dalam Islam pendidikan yang paling baik dimulai dari lingkungan keluarga. Berdasarkan pendapat yang kuat dari kalangan mazhab Syafi'i dan Hanbali, menyatakan bahwa seorang suami yang memukul isterinya karena melakukan maksiat, baik dilakukan dengan cara berulang-ulang atau tidak, baik sudah diperingatkan atau belum maka suami tidak dapat dijatuhi hukuman karena suami menggunakan haknya dalam batas-batas yang ditetapkan. Juga seorang ayah memukul anaknya untuk memberi pelajaran dengan batas-batas tertentu.
3.
Pengobatan
Pengobatan sangat terkait dengan bidang kedokteran. Kedokteran menjadi suatu kewajiban yang umum dalam agama, artinya mempelajari ilmu kedokteran adalah fardhu kifiyah akan berubah hukumnya menjadi fardhu 'ain jika tidak ada orang yang mau mempelajari ilmu kedokteran tersebut. Mempelajari ilmu kedokteran dianggap suatu kewajiban karena kebutuhan masyarakat untuk berobat. Jika tujuan mempelajari ilmu kedokteran untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan pengobatan maka hukumnya wajib. Karena hukumnya wajib maka seorang dokter tidak bisa menghindari dari kewajiban mengobati orang yang membutuhkannya. Pengobatan dianggap fardhu kifayah jika dalam suatu daerah atau tempat lebih banyak terdapat dokternya namun jika tidak ada dokternya menjadi fardhu 'ain.
Akibat logis atas wajibnya pengobatan adalah
dokter tidak bertanggungjawab atas pekerjaan dalam lapangan pengobatan karena
ada kaedah yang menetapkan bahwa kewajiban tidak terikat dengan keselamatan,
karena cara menunaikan kewajiban tersebut diserahkan kepada pilihan dan ijtihad
ilmiah dari dokter itu sendiri.
Menurut Imam Abu Hanifah, pertanggungjawaban tersebut hapus karena dua sebab, yaitu; (1) Kebutuhan masyarakat, pengobatan merupakan kebutuhan dan diperlukan oleh masyarakat karenanya melaksanakan tugas kedokteran mengharuskan adanya jaminan kebebasan dalam profesinya sehingga tidak ada kekhawatiran dalam menjalankan tugasnya dan (2) Adanya izin/persetujuan dari pasien dan pihak keluarga. Pembebasan dari pertanggungjawaban tersebut tentu saja didasarkan atas adanya niat yang baik dari seorang dokter dan usaha-usaha sungguh-sungguh untuk kebaikan dan kesembuhan seorang pasien.
4.
Permainan olahraga
Islam menjunjung tinggi dan membolehkan untuk
menguatkan badan, menyegarkan pikiran dan membangkitkan keberanian serta sifat
kepahlawanannya melalui kegiatan olahraga. Hukum Islam juga menganjurkan
permainan kekesatriaan, karena dengan itu dapat menyegarkan tubuh serta
pikiran. Hukum Islam membolehkan segala jenis permainan kekesatriaan yang
mencari keunggulan kekuatan dan keahlian serta bermanfaat bagi masyarakat.
Dikalangan fuqaha kegiatan olahraga yang dikenal dengan istilah al'ab al
furusiah. Hukum Islam memilki keistimewaan karena memberi pernyataan yang jelas
tentang perintah dan anjuran bermain kesatriaan.
Permainan olahraga atau kekesatriaan terkadang
menimbulkan cedera atau luka-luka, baik yang menimpa pemain maupun orang lain,
jika dalam permainan olahraga tersebut terjadi kecelekaan yang berakibat
luka-luka maka hukum Islam akan berlaku umum. Kalau luka tersebut terjadi
akibat menggunakan kekerasan dengan kesengajaan, akan tetapi permaianan
olahraga atau kekesatriaan yang sifatnya menggunakan kekuatan badan dalam
menghadapi lawan seperti gulat, tinju dan sejenisnya maka tidak dikenai hukuman
asal tidak melampaui batas-batas tertentu yang telah ditetapkan.
Hapusnya pertanggungjawaban pidana dalam
kegiatan permaian olahraga atau kekesatriaan menurut sebagian sarjana hukum
positif karena dalam permainan tersebut tidak mempunyai niat yang melawan
hukum, sebagian yang lain berpendapat bahwa adanya suatu keizinan korban (pihak
lawan bermain) serta Negara menganggap bahawa permaian olahraga adalah
permainan yang sah secara undang-undang.
5.
Hapusnya jaminan keselamatan
Dimaksudkan dengan hapusnya jaminan keselamatan
adalah boleh diambil tindakan terhadap jiwa atau anggota badan seseorang untuk
dilukai atau dibunuh bahkan terhadap hartanya sekalipun, dalam istilah agama
hapusnya jaminan keselamatan disebut dengan ismah.
Jaminan keselamatan dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu (1) karena iman atau Islamnya seseorang dan (2) karena perjanjian baik sementara atau selamanya. Seseorang yang telah beriman atau telah memeluk agama Islam kemudian keluar dari keimanannya atau murtad, maka dalam hukum Islam halal darahnya artinya seseorang itu hilang jaminan keselamatannya, juga dengan orang yang kafir kemudian mematuhi aturan dalam wilayah Islam maka akan ada perjanjian jaminan keselamatan selama mereka mematuhi dan mentaati ketentuan yang ada dalam wilayah Islam.
Islam telah menjamin keselamatan jiwa dan
hartanya orang-orang non muslim manakalah jika mereka mematuhi dan taat kepada
aturan yang ada dalam Islam, sebagaimana dalil al-Qur`an, S:9;6.
وإن أحد من المشرآين استجارك فأجره حتى يسمع آلم
االله ثم أبلغه مأمنه
"Dan jika di antara kaum musyrikin ada
yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar
firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya…."
Satu-satunya sebab adanya ihdar
(kebolehan melakukan tindakan terhadap jiwa atau anggota badan) dikarenakan
hilangnya ismah (jaminan keselamatan dan terpeliharaan jiwa dan harta). Ismah
akan hilang karena hilangnya sebab-sebab. Suatu kaedah umum yang ada dalam
hukum Islam, bahwa darah dan harta itu terpelihara, dasarnya adalah iman
(Islam) dan jaminan keamanan. Ismah akan hilang pada diri seseorang yang
melakukan tindak pidana ihdar (pidana yang menghalalkan darah pelakunya).
Sebagaimana ismah akan hilang karena murtad, habisnya jaminan keamanan,
melanggar perjanjian dan sebagainya. Tindak pidana yang termasuk dalam kaedah ihdar
wajib memiliki syarat yaitu; harus mempunyai hukuman yang tertentu ukurannya
dan hukuman tersebut dapat merusak jiwa dan anggota badan. Ketika kedua syarat
tersebut tidak dapat terpenuhi dalam suatu tindak pidana maka tidak dianggap
tindak pidana, contohnya seorang ayah mencuri harta anaknya, peristiwa ini
hanya dihukum dengan diyat.
6.
Menggunakan wewenang dan kewajiban bagi pihak
yang berwajib.
Dalam hukum Islam ada suatu kewajiban yang
harus dipikul dan dilaksanakan oleh penguasa atau pemimpin untuk mewujudkan
suatu kemaslahatan bagi masyarakat pada umumnya. Orang-orang yang melaksanakan
kewajiban tersebut merupakan orang-orang yang memeng bertugas sebagai pelayanan
publik/masyarakat pada umumnya. Islam meletakkan dasar terhadap tanggungjawab
bagi pemimpin atau penguasa. Kaedah hukum Islam menetapkan bahwa petugas
pemerintah tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana apabila menunaikan
tugasnya/kewajibannya sesuai dengan batas-batas kewenangannya. Apabila terjadi
pelanggaran dalam menunaikan kewajibannya tersebut maka bertanggungjawab secara
pidana jika dia tahu bahwa itu adalah bukan hanya atau itu adalah pelanggaran.
Salah satu penerapan kaedah ini adalah dalam
melaksanakan hukuman hudud. Semua ulama sepakat bahwa melaksanakan hukuman
hudud adalah wajib, jika terjadi kerusakan dalam melaksanakan hukuman tersebut
pelakananya tidak dapat dimintai pertanggungjwaban pidana.
2.
Disebabkan hapusnya hukuman (Asbab raf'i al
uqubah)
Sebab hapusnya hukuman tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yatiu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan si pelaku tidak mungkin dilaksanakannya hukuman maka ia dibebaskan dari hukuman. Di dalam hukum Islam ada 4 macam sebab yang dapat menghapuskan hukuman.
a.
Karena paksaan
Paksaan dalam istilah hukum pidana disebut dengan Overmacht yang selama berabad-abad telah menarik perhatian para yuris maupun filosuf. Salah seorang filosuf Jerman, Imanuel Kant, menyatakan bahwa ada alasan seseorang tidak dapat dipidana karena mempunyai daya paksa terhadap perbuatan yang terjadi, dia menekannya bahwa tiadanya efek pidana sebagai dasar peniadaan pidana. Dalam pandangan hukum alam perbuatan yang dilakukan dalam keadaan overmacht dianggap keadaan darurat tidak mengenal larangan (Necessitas non habet legem), dikatakan Fichte bahwa perbuatan overmacht dikecualikan dari tertib hukum. Sejarah perundang-undangan menyatakan bahwa overmacht merupakan alasan atau sebab eksternal yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan menggambarkannya bahwa setiap daya, dorongan, paksaan yang membuat seseorang tidak berdaya menghadapinya.
Paksaan
merupakan sebuah perbuatan yang diperbuat karena pengaruh orang lain untuk melakukannya
suatu perbuatan karena hilangnya kerelaan dan merusak pilihannya. Para fukaha
berpendapat bahwa dalam paksaan harus ada perbuatan material yang ditimpakan
kepada orang yang dipaksa yang membuatnya melakukan perbuatan yang dipaksa
kepadanya. Karenanya paksaan itu harus bersifat material dan didahului oleh
perbuatan penyiksaan yang ditimpakan kepada orang yang dipaksa.
b.
Mabuk
Mabuk
dalam Islam sangat dilarang baik mabuk karena minuman atau karena makanan yang
sifat pekerjaannya di sengaja. Mabuk termasuk dalam salah satu kelompok
jarimah, yaitu meminum minuman keras. Secara umum yang dimaksudkan dengan mabuk
adalah hilangnya akal sehat sebagai akibat minum minuman keras, khamar atau
yang sejenis dengan itu. Semua para fukaha sependapat bahwa mabuk bisa
menghilangkan akal sehatnya dan akan selalu menggigau dalam setiap
pembicaraannya.
Menurut
pendapat yang kuat (rajih) dari ulama mazhab yang empat, bahwa tidak ada
pertanggungjawaban pidana bagi orang yang mabuk manakala mabuknya itu
dipaksakan oleh orang lain, mabuk karena tidak mengetahui terhadap minuman yang
diminum atau makanan yang dimakan, maka ketika melakukan perbuatan atau
tindak
dalam keadaan mabuk dihukum sama dengan orang gila.
c.
Gila
Pertanggungjawaban
pidana dibebankan pada seseorang yang mukallaf, yaitu yang memiliki kemampuan
berpikir dan pilihan dalam berbuat. Jika kedua faktor tersebut tidak dimiliki
oleh seseorang maka tidak dapat dimintai petanggungjawaban. Kemampuan berpikir
seseorang itu bisa atau dapat hilang karena suatu bawaan sejak lahir atau
karena suatu sebab adanya gangguan dari luar. Manusia ketika mencapai
kedewasaan sudah dapat dengan matang menggunakan kekuatan berpikirnya, akan
tetapi karena adanya suatu gangguan atau karena serangan penyakit baik itu
sebagaian atau seluruh alam berpikirnya hilang bisa kapan dan dimana saja tanpa
ada waktu tertentu. Hilangnya kemampuan berpikir (akal sehat) dalam kehidupan
sehari-hari dapat dinamakan dengan gila. Abdul Qadir 'Audah memberikan suatu
definisi gila, sebagai berikut:
الجنون
بـأنه زوال العقـل أو اختلاله أو ضعفه
Artinya:
'Gila adalah hilangnya akal, rusak atau lemah'
Hilangnya kekuatan berpikir secara sempurna terkadang terus menerus maka itu dinamakan dengan gila terus menerus, namun hilangnya kekuatan beripikir secara sempurna tetapi tidak secara terus menerus, artinya hilangnya kekuatan beripikir hanya beberapa saat (gila kambuhan/berselang). Dari segi hukum jika terjadi tindak pidana, keadaan si pelaku dalam keadaan gila maka tidak ada hukuman baginya (dibebaskan dari hukuman). Gila bukan berarti memberi kebolehan tetapi dengan keadaan gila menghapuskan hukumannya dari si pelaku. Baik hukum nasional (hukum positif) maupun hukum Islam tidak ada perbedaan dalam masalah tindak pidana orang gila. Secara pidana perbuatan orang gila tidak dapat dihukum namun secara perdata perbuatan orang gila dipertanggungjawabkan oleh keluarga selama hak-hak tersebut berada di bawah perwalian keluarga, maka akan ada pertanggungjawaban perdata dalam bentuk ganti rugi.
d.
Di bawah umur
Konsep
pertanggungjawaban anak kecil (anak di bawah umur) merupakan konsep yang paling
baik dan tepat dalam hukum Islam. Di samping itu hukum Rumawi yang merupakan
hukum positif pertama di dunia membuat pemisahan pertanggungjawaban anak-anak
di bawah umur dengan orang dewasa dalam batasan usia tujuh tahun. Hukum ini
menjadikan anak berusia di atas tujuh tahun memiliki tanggungjawab pidana,
dalam keadaan seperti si anak yang belum mencapai umur dewasa menurut hukum
Islam telah mendapatkan tanggungjawab pidana atas
perbuatan
yang dilakukannya.
Hukum
Islam dipandang sebagai hukum pertama di dunia yang membedakan secara sempurna
antara anak kecil dengan orang dewasa dari segi tanggungjawab pidana. Dalam
hukum Islam tanggungjawab pidana terdiri dari dua unsur, yaitu mempunyai
kekuatan berpikir dan mempunyai pilihan. Menurut para fukaha, dasar dalam
menentukan usia dewasa adalah sabda Rasulullah SAW, yang artinya;
"Diangkat
pembebenan hukum dari tiga jenis orang; anak-anak sampai ia baliq, orang tidur
sampai ia bangun dan orang gila sampai ia sembuh/sadar."
Dari
makna hadits di atas "diangkat pembebanan" menunjukkan bahwa ada
syarat atau sebab sehingga adanya tuntutan syara'. Anak-anak sampai ia baliq
menunjukkan bahwa syarat/sebab yang harus ada adalah bermimpi basah, ini
merupakan hukum asal yang telah ditetapkan dalam Islam. Apabila seseorang anak
belum juga mengalami mimpi basah pada usia mencapai baliq, hal mana dianggap
telah terjadi seuatu kerusakan/kelainan pada orang tersebut, karena itu wajib
dianggap orang tersebut telah baliq yang mewajibkan padanya pembebanan hukum.
Alasan pendangan ini memberikan batasan usia delapan belas atau sembilan belas
tahun.
Di dalam
hukum pidana Indonesia (KUHP) ketentuan mengenai tanggungjawab pidana anak di
bawah umur disebutkan pada Pasal 45, menyebutkan bahwa jika seorang anak masih
berusia kurang dari enam belas tahun melakukan perbuatan tindak pidana, maka
Hakim dapat menentukan pilihan putusannya yaitu;
a)
Anak tersebut oleh mengembalikan pada orang tua
atau walinya tanpa ada penjatuhan hukuman.
b)
Anak tersebut diserahkan/dititipkan kepada
pemerintah untuk mendapatkan pendidikan, juga tanpa ada hukuman baginya
c) Anak tersebut dijatuhi hukuman, hukuman tersebut merupakan hukuman pokok maksimal yang dikurangi sepertiganya.