AHLI WARIS DAN PERMASALAHANNYA

AHLI WARIS DAN PERMASALAHANNYA 


 BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 

    Masalah waris adalah masalah yang sangat penting dan selalu menjadi salah satu pokok bahasan utama dalam hukum Islam, karena hal ini selalu ada dalam setiap keluarga dan masalah waris ini rentan dengan masalah/konflik di masyarakat akibat pembagian yang dianggap kurang adil atau ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.Oleh sebab itu syariat Islam membuat aturan yang begitu lengkap tentang masalah waris yang terdapat dalam Alquran seperti (QS. An-Naml: 16 dan An-Nisa : 7-12). Selain dari pada hukum Islam, hukum perdata (Burgerlijk Wetboek) juga ketat mengatur tentang waris dikarenakan aturan ini berlaku khusus kepada masyarakat nonmuslim. Walaupun demikian masih banyak masyarakat yang membagi warisannya dengan menggunakan hukum adat yang berlaku di masyarakat masing-masing.Secara teoritis orang yang beragama Islam harus melakukan pembagian warisannya menurut agama Islam, dan jika ada sengketa harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama sebagaimana kewenangan/kekuasaan Peradilan Agama yaitu berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :a. Perkawinan, b.Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c. waqafdan shadaqah. Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf bialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta  peningggalan, penentuan mengenai bagian masing-masing ahli waris, danmelaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Lebih lanjut dapat juga ditegaskan bahwa apabila terjadi sengketa tentangobjek hak milik dan bidang keperdataan lainnya, haruslah terlebih dahulu diputus oleh lingkungan Peradilan 

    Umum, hal ini secara tegas dikemukakan dalam Pasal 50 yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik ataukeperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, makakhusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahuluoleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”. 

B. Rumusan Masalah 

1. Siapa saja ahli waris yang tidak patut untuk menerima waris? 

2. Bagaimana menentukan besarnya warisan dari suami/istri kedua? 

3. Siapa saja ahli waris Pengganti? 

C. Tujuan Masalah 

1. Mengetahui siapa saja yang tidak patut untuk menerima warisan. 

2. Mengetahui cara menentukan besarnya warisan yang di peroleh suami/istri kedua. 

3. Mengetahui siapa saja ahli waris pengganti. 


BAB II
PEMBAHASAN 

A.    Ahli Waris yang Tidak Patut Dan Cakap Untuk Menerima Waris 

       Ahli waris adalah orang-orang yang berhak atas harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Tetapi tidak seluruh ahli waris yang ada selalu menerima harta peninggalan, sebab para ahli waris yang lebih dekat kepada pewaris, menutup yang lebih jauh berdasarkan urutan. Ahli waris menurut BW digolongkan menjadi Beberapa golongan, dengan pengertian apabila golongan pertama tidak ada maka golongan kedua yang berhak menerima, sedangkan golongan yang lainnya tidak berhak dan begitu seterusnya. Ahli waris dalam BW dibagi menjadi 2 (dua) yaitu ahli waris menurut ketentuan undangundang atau yang disebut dengan ahli Waris ab-intestato (ab-intestat) dan ahli waris karena ditunjuk oleh surat wasiat (testamen) atau yang disebut dengan ahli waris testamentair. Ahli waris yang Ditentukan oleh undang-undang khususnya yang diatur dalam Pasal 832 BW Dimana ketentuan tersebut menetapkan bahwa yang berhak menjadi ahli waris Adalah keluarga karena didasarkan pada hubungan darah dan hubungan perkawinan Dari pewaris. Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang termasuk dalam keluarga Sedarah yang berhak mewaris tersebut. Untuk menjawabnya, dapat kita lihat ketentuan dalam BW dimana ahli waris ab intestato ini dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu golongan pertama yaitu keluarga dalam garis lurus ke bawah tanpa batas, meliputi anak-anak beserta keturunan-keturunan mereka serta suami atau isteri yang ditinggalkan atau hidup terlama.  

        Suami atau isteri yang ditinggalkan atau hidup terlama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami atau istri tidak saling mewaris. Menurut ketentuan Pasal 852 BW, anak–anak walaupun dilahirkan dari perkawinan yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki–laki atau perempuan mendapatkan bagian yang sama, mewaris kepala demi kepala, dalam artian tidak membedakan gender. Kedua, golongan kedua, berdasarkan ketentuan Pasal 854-856 BW, apabila seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan maupun suami atau isteri dalam hubungan perkawinan. Sedangkan orang tua pewaris masih hidup, maka yang berhak mewaris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, yaitu meliputi orang tua dan saudara dari pewaris baik laki-laki maupun perempuan serta keturunannya. Berikutnya golongan ketiga, menurut ketentuan Pasal 853 jo. 859 BW, apabila pewaris tidak meninggalkan keturunan, isteri atau suami, saudara ataupun orang tua, maka saat warisan terbuka, warisan akan jatuh pada golongan ini. Pada golongan ini adalah keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas, yaitu meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris. 

        Warisan itu dibelah menjadi bagian yang sama (kloving), satu bagian diberikan kepada kakek dan nenek yang diturunkan bapak (golongan bapak) dan satu bagian lagi diberikan kepada kakek dan nenek yang menurunkan ibu (golongan ibu). Golongan ke empat, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 853 jo. Pasal 858 ayat 2 BW, apabila pewaris meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, isteri atau suami, saudara-saudara, orang tua, nenek dan kakek, maka warisan jatuh pada ahli waris yang terdekat pada tiap garis yaitu Anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat Ke enam (maksimal), meliputi paman, bibi serta keturunannya, baik dari garis ayah Maupun garis dari pihak ibu. Apabila ada beberapa orang yang derajatnya sama, Maka warisan akan dibagi berdasarkan bagian yang sama (kloving) antara pihak Garis ibu dan pihak garis ayah dari pewaris. Apabila keluarga sedarah dalam garis Menyimpang lebih dari derajat ke-enam, maka tidak mewaris. 

        Menurut Pasal 836 BW, dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 BW, Supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan Terbuka. Pada Pasal 2 BW menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan Seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan Si anak mengkehendakinya, namun apabila mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak Pernah telah ada. Jadi menurut pasal-pasal tersebut di atas syarat–syarat ahli waris Adalah ia mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris yang timbul karena Hubungan darah (Pasal 832 BW), hubungan perkawinan atau hubungan wasiat (Pasal 874 BW); ia harus sudah ada dan masih ada ketika si pewaris meninggal Dunia (Pasal 836 BW), dengan tetap memperhatikan ketentuan dari Pasal 2 BW; ahli Waris bukan orang yang dinyatakan tidak patut menerima warisan (onwaardig) atau Orang yang menolak harta warisan, adapun pasal yang mengatur mengenai orang Yang tidak patut menjadi ahli waris yaitu Pasal 838 BW. Apabila semua orang yang Berhak mewaris tidak ada lagi, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 873 ayat 1 BW, seluruh warisan dapat dituntut oleh anak luar kawin yang diakui (sebelum Perkawinan orang tuanya). 

        Sedangkan ahli waris testamenter adalah seseorang yang ditunjuk melaluisurat wasiat atau testamen untuk menerima harta peninggalan dari pewaris. Surat Wasiat atau testament (vide Pasal 875 BW) adalah suatu pernyataan dari seseorang Tentang apa yang dikendaki setelah ia meninggal dunia. Mempunyai kekuatan Berlaku sesudah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik Kembali. Pewaris semasa hidupnya dapat membuat surat wasiat untuk menunjuk Seseorang atau beberapa orang untuk menjadi ahli waris yang disebut erfstelling (vide Pasal 954-955 BW), yaitu orang yang ditunjuk melalui surat wasiat untuk Menerima harta peninggalan pewaris. Orang yang menerima wasiat itu disebut Dengan testamentaire erfgenaam, yaitu ahli waris menurut wasiat. Selain erfstelling, Ada yang disebut dengan legaat (vide Pasal 957 BW), yaitu pemberian benda Tertentu kepada seseorang melalui wasiat atau yang disebut dengan hibah wasiat. Namun pewaris dalam hal ini tidak dapat sewenangwenang membuat surat wasiat Yang dapat merugikan ahli waris ab intestato, sehingga BW mengatur mengenai Legitieme Portie (bagian mutlak, vide Pasal 913 BW) untuk melindungi hak-hak dari Ahli waris ab intestato, karena surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan Hak untuk mewaris secara ab intestato. 

Undang-undang KUH Perdata pasal 838 yang di anggap tidak berhak atau tidak patut untuk menerima warisan yaitu ada empat hal,seseorang ahli waris tidak patut mewaris, yaitu :  

1. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dihukum karena dipersalahkan membunuh atau setidak-tidaknya mencoba membunuh pewaris. 

2. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dihukum, karena dipersalhkan memfitnah dan  mengadukan pewaris, bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam hukuman pehjara empat tahun atau lebih. 

3. Ahli waris yang dengan  kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat. 

4. Seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat. 

    Apabila ternyata ahli waris yang tidak patut ini menguasai sebagian atau seluruh harta peninggalan dan ia berpura-pura sebagai ahli waris, ia wajib mengembalikan semua yang dikuasainya termasuk hasil-hasil yang telah dinikmatinya. Ketentuan tersebut bersifat alternatif bukan Kumulatif, dalam artian salah satu jenis sebab tersebut terbukti maka seseorang Dapat dikategorikan sebagai onwaardig. Kemudian orang yang tidak cakap untuk Mewaris berdasarkan surat wasiat (testament) diatur dalam Pasal 912 BW, yang Menentukan: orang yang telah dihukum karena membunuh pewaris, orang yang Telah menggelapkan, membinasakan dan memalsukan surat wasiat dan orang yang Dengan paksa atau kekerasan mencegah pewaris mencabut atau merubah surat Wasiat. 

    Dalam ketentuan hukum waris Islam, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam, seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht), Dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau Menganiaya berat pada pewaris dan/atau dipersalahkan secara memfitnah telah Mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. 

B. Menentukan Besarnya warisan Yang Di Peroleh Istri/Suami Kedua 

       Dalam hukum Islam dikenal dengan hukum waris, hukum kewarisan Islam merupakan bagian dari hukum keluarga yang mengatur tentang perolehan dan hak waris dari seseorang. Keluarga yang di tinggal mati oleh ayah atau ibunya, baik laki-laki atau perempuan sama-sama mempunyai hak menerima waris sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat kewarisan, maupun dalam kompilasi hukum Islam. Begitu pula halnya dengan para istri mempunyai hak menerima warisan dari suaminya yang meninggal dunia.Dalam Al-Qur‘an surat An-Nisa ayat 12: “Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istriistrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiatnya) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah, Allah Maha mengetahui, Maha Penyantun.Dari ayat tersebut dapat disimpulkan perolehan dan Hak Warisan suami istri:  

1. Suami mendapat 1/2 (separuh) apabila istri tidak meninggalkan anak.  

2. Suami mendapat 1/4 (seperempat) jika istri meninggalkan anak. 

3. Para Istri mendapat 1/4 (seperempat) jika suami tidak meninggalkan anak.  

4. Para Istri mendapat 1/8 (seperdelapan) jika suami meninggalkan anak.  

        Lalu bagaimana dengan perolehan dan hak waris istri kedua, ketiga, dan keempat ? (dalam Al-Qur‘an surat An-Nisa ayat 12 mengunakan kata “LAHUNNA” yang mempunyai makna para istri). Perolehan dan hak kewarisan para istri disini adalah seorang suami yang memiliki istri lebih dari pada satu apabila meninggal dunia dan pada saat meninggal dunia meninggalkan istri lebih dari satu maka para istri mendapatkan perolehan dan harta waris sebesar 1/4 (seperempat) jika suami tidak meninggalkan anak. Para istri mendapatkan perolehan dan harta waris sebesar 1/8 (seperdelapan) jika suami meninggalkan anak. Disamping itu bagaimana dengan cara pembagian arti dari 1/4 (seperempat) dan 1/8 (seperdelapan), dapat dimaknakan bahwa 1/4 atau 1/8 dihitung berdasarkan dengan jumlah istri yang ada saat suami meninggal dunia. Apabila suami meninggal dunia, meninggalkan 2 (dua) orang istri dan mempunyai anak maka perolehan dan hak waris dari kedua istri mendapatkan 1/8 bagian di bagi dengan 2 (dua) orang istri jadi masing-masing istri mendapatkan 1/16 bagian. Apabila suami meninggal dunia, meninggalkan 2 (dua) orang istri dan tidak mempunyai anak maka perolehan dan hak waris dari kedua istri mendapatkan 1/4 bagian di bagi dengan 2 (dua) istri jadi masing-masing istri mendapatkan 1/8 bagian.   

C. Ahli Waris Pengganti 

    Dalam Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres No.1 tahun 1991, ketentuan ahli waris pengganti dimuat dalam Pasal 185.Hazairin menyimpulkan adanya sistem penggantian dalam hukum kewarisan Islam berdasarkan pada Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 33 dengan istilah Mawali , yaitu ahli waris karena penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris.Para mujtahid terdahulu pada umumnya berpendapat bahwa kelompok yang disebut sebagai ahli waris pengganti itu, hak yang mereka terima bukanlah hak yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang digantikannya. Hal ini terlihat dalam contoh dibawah ini : 

a. Bagian yang diterima oleh cucu laki-laki adalah sebagaimana yang diterima oleh anak-anak laki-laki. Cucu perempuan dari anak laki-laki menerima warisan sebagaimana yang diterima oleh anak perempuan, tidak sebagaimana hak yang diterima oleh anak laki-laki yang digantikannya dan yang menghubungkannya kepada pewaris. 

b. Kakek menerima bagian sebagaimana yang didapat oleh ayah, baik sebagai dzawil furud maupun sebagai ashabah. Tetapi kakek tidak berkedudukan sebagai ayah sebagaimana terlihat dalam beberapa hal : 

1. Ayah dapat menutup hak kewarisan saudara, tetapi kakek dapat mewaris bersama saudara, kecuali menurut ulama Hanafi, kakek juga menutup kewarisan saudara. 

2. Ayah dapat menggeser hak kewarisan ibu dari sepertiga (1/3) harta menjadi sepertiga (1/3) dari sisa harta dalam masalah garawayni. Dalam hal ini kakek tidak dapat disamakan dengan ayah. 

c. Hak kewarisan nenek tidak sama dengan hak kewarisan ibu, karena nenek dalam keadaan bagaimanapun tetap menerima seperenam (1/6), sedangkan ibu kadang-kadang menerima sepertiga (1/3) yaitu bila pewaris tidak ada meninggalkan anak. 

d. Saudara Seayah tidak sepenuhnya menempati kedudukan saudara kandung, sebagaimana terlihat dalam keadaan dibawah ini : 

1. Saudara laki-laki kandung dapat menarik saudara perempuan kandung menjadi asabah sedangkan saudara seayah tidak dapat berbuat begitu. 

2. Saudara kandung dapat berserikat dengan saudara seibu dalam masalah musyarakah, sedangkan saudara seayah tidak dapat diperlakukan demikian. 

e. Anak saudara menerima warisan sebagai anak saudara, demikian pula paman dan anak paman menerima hak dalam kedudukannya sebagai ahli waris tersendiri.  

    Khusus menyangkut dengan masalah cucu, dalam keadaan apapun mujtahid terdahulu tetap menempatkannya sebagai cucu, bukan sebagai pengganti ayahnya. Cucu yang dimaksud disini khusus cucu melalui anak laki-laki. 

    Berdasarkan pendapat diatas, maka cucu yang ayahnnya sudah terlebih dahulu meninggal dunia, tidak berhak menerima warisan kakeknya bila saudara laki-laki dari ayahnya itu ada yang masih hidup . Sajuti Thalib mengemukakan pendapat bahwa ahli waris pengganti itu diambil dari pengertian mawali, maksudnya ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. Mereka yang menjadi mawali ini ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mewaris (bentuknya dapat saja dalam bentu wasiat) dengan si pewaris.  

    Sajuti Thalib mendasarkan argumentasi atau pendapatnya pada ajaran kewarisan bilateral menurut Qur’an dan hadis khususnya dalam masalah cucu dengan menafsirkan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 33, yang diuraikan dalam beberapa garis hukum, sebagai berikut : 

a. Dan bagi setiap orang kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).  

b. Dan bagi setiap orang kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan aqrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).  

c. Dan bagi setiap orang kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi ) harta peninggalan tolan seperjanjiannya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).  

d. Maka berikanlah kepada mereka warisan mereka. 

    Dengan demikian menurut ajaran bilateral Hazairin yang dianut oleh Sajuti Thalib beserta muridmuridnya dikenal adanya lembaga bij plaatsvervulling atau penggantian ahli waris.Sedangkan menurut ajaran Syafi’i (patrilinial) dikenal juga penggantian sepanjang cucu melalui anak laki-laki bila tidak ada anak lakilaki yang bukan ayah dari cucu tersebut masih hidup. Hukum Waris Islam memang tidak mengatur dengan tegas tentang penggantian ahli waris oleh karena itu masalah penggantian ahli waris dan kedudukan mereka dapat diketahui melalui perluasan maksudnya : pengertian anak diperluas kepada cucu, pengertian ayah diperluas kepada kakek, pengertian saudara diperluas kepada anak saudara. Dari dasar hukum mereka menjadi ahli waris, dapat mereka disebut sebagai ahli waris pengganti . Kedudukan Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Menurut Kewarisan Islam  

     Hukum waris Islam  mengalami perkembangan yang sangat signifikan di kalangan umat Islam di dunia tanpa merubah teks normatifnya, A.Hussaini mengatakan bahwa hukum waris Islam merupakan bentuk spesialis sebagai sebuah disiplin keilmuan dengan selalu berpatokan pada Al-Qur’an dan AsSunnah. 

a)    Ahli Waris Pengganti Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah 

    Apabila ayat-ayat Al-Qur’an dalam bidang kewarisan kita perhatikan maka akan kelihatan bahwa kedudukan cucu, kemenakan dan kakek serta ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi tidak dirinci bagian-bagiannya atas warisan.Kelompok ahli waris dengan kedudukan tertentu dan bagian yang sudah dirinci dalam Al-Qur’an disebut ahli waris langsung, yang terdiri dari anak, ayah, ibu, saudara merupakan ahli waris karena hubungan darah, dan suami, isteri adalah ahli waris karena hubungan perkawinan. Selain ini terdapat pula ahli waris yang mendapat bagian warisan disebabkan oleh karena tidak adanya ahli waris lain yang menghubungkannya kepada pewaris. Mereka menjadi ahli waris dan menempati penghubung yang sudah tidak ada, mereka ini disebut dengan ahli waris pengganti karena mereka menggantikan kedudukan ahli waris yang lebih dahulu meninggal dari pewaris. 

    Sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an, as-sunnah merupakan petunjuk apabila suatu persoalan tidak diatur atau hanya secara garis besarnya saja yang diatur oleh Al-Qur’an, as-sunnah dalam hal cucu, kemenakan dan kakek serta ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi juga tidak ada mengatur tentang bagian yang mereka peroleh atas warisan. Karena Al-Qur’an maupun as-sunnah tidak menegaskan bagian yang diterima cucu, kemenakan dan kakek serta ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi, maka dicarilah jalan keluarnya melalui Ijtihad.Mengenai ahli waris pengganti Al-Qur’an mengaturnya dalam Surat An-Nisaa’ yang artinya: “Bagi setiap individu, kami tetapkan sebagai ahli waris dari apa yang ditinggalkan oleh Ibu-Bapak dan karib-kerabat. Dan berikanlah kepada orangorang yang telah diikat oleh sumpahmu bagian dari mereka.Sesungguhnya Allah maha menyaksikan terhadap sesuatu.”Sehubungan dengan firman Allah “bagi setiap individu kami tetapkan sebagai ahli waris”. 

    Hal ini terjadi pada permulaan Islam kemudian hukum ini dinasakh.Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas (702, “Dan bagi setiap individu, kami jadikan ahli waris”Mawaliya berarti ahli waris. “Dan terhadap orang-orang yang sumpahmu telah mengikat”. Maksudnya adalah ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah, maka seorang Muhajir mewarisi pusaka orang Anshor sedangkan kerabatnya tidak mendapat bagian, melalui persaudaraan yang diciptrakan oleh Rasulullah Saw di antara mereka. 

b)    Ahli Waris Pengganti menurut Kompilasi Hukum Islam 

    Dalam KHI pengaturan tentang ahli waris dan bagian ahli waris dimuat dalam buku II secara jelas dan yang merupakan ketentuan yang diatur dan berlakunya ahli waris pengganti dalam pembagian warisan, yang selama ini tidak dikenal dalam mazhab Syafe’i.Ahli waris pengganti pada dasarnya ahli waris karena penggantian, dapat diartikan sebagai orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pada pewaris, sehingga kedudukannya digantikan olehnya.  Pasal 185 KHI berbunyi :  

Ayat 1 : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. 

Ayat 2 : Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. 

    Jika kita cermati bunyi Pasal 185 ayat 1 dan 2 mengandung pengertian yang luas, yang sebelumnya para ahli fiqih berbeda pendapat tentang kedudukan, jenis kelamin, hak yang diperoleh dan batasan bagian perolehan bagi mereka yang menjadi ahli waris pengganti. Dalam pasal tersebut semua perbedaan pendapat seperti di atas di akomodir menjadi satu pasal yang mengandung pengertian ahli waris pengganti dalam arti yang luas. Sistem kewarisan bilateral Hazairin dengan mawalinya pada prinsipnya sama dengan ahli waris pengganti KHI dengan tidak meninggalkan sistem kewarisan patrilinial Syafe’i yang tidak mengenal adanya ahli waris pengganti dengan acuan dan dasar utama Al-Qur’an. Jadi, dengan ada dan berlakunya Kompilasi Hukum Islam sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah kewarisan di Indonesia khususnya dalam hal adanya/tampilnya ahli waris pengganti sebagai yang mewaris bersama-sama dengan ahli waris lainnya.Pengaturannya dalam Pasal 185 ayat 1 dan 2 KHI, suatu pengaturan yang sangat singkat tetapi kalau dicermati terkandung makna yang cukup padat dari ayat tersebut. 

c)    Kedudukan Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Menurut Kewarisan KUH Perdata  Hukum kewarisan BW dikenal ada dua cara seseorang memperoleh hak warisan, yaitu pewarisan menurut Undang-undang (secara Ab Intestato) dan pewarisan secara testamentair (wasiat). 

    Ada dua cara perolehan berdasar Undang-Undang yaitu karena diri sendiri (uit eigen hoofed) dan mewarisi tidak langsung atau dengan cara mengganti (bijplaatsvervulling) ialah mewaris untuk orang sudah meninggal terlebih dahulu dari pada si pewaris. Ia menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dulu dari si pewaris 

    Perkataan Plaatsvervulling dalam bahasa Belanda berarti Penggantian tempat, yang dalam hukum waris berarti penggantian ahli waris. Lembaga penggantian tempat ahli waris bertujuan untuk memberi perlindungan hukum kepada keturunan yang sah dari ahli waris yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris dengan cara menyerahkan hak ahli waris tersebut kepada keturunannya yang sah. Mewaris secara tidak langsung atau mewaris karena penggantian (plaatsvervulling) pada dasarnya menggantikan kedudukan ahli waris yang telah lebih dulu meninggal dari pewaris diatur dalam Pasal 841 s/d 848 KUH Perdata. 

    Pasal 840 KUH Perdata mengatur, bahwa apabila anak-anak dari seorang yang telah dinyatakan tidak patut menjadi waris, atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka tidaklah karena kesalahan orang tua tadi dikecualikan dari pewarisan. Wirjono Projodikoro dalam hal ini menulis :  

“Menurut Asser penentuan ini juga berlaku apabila anak-anak itu secara penggantian ahli waris ( plaatsvervulling ) menjadi ahli waris, dengan alasan bahwa seorang anak tidak layak boleh dirugikan oleh perbuatan salah dari orang tuanya” a.Syarat-syarat sebagai plaatsvervulling 

Untuk terpenuhinya plaatsvervulling haruslah terpenuhinya hal-hal sebagai berikut : 

1. Orang  yang  menggantikan harus memenuhi syarat sebagai ahli waris. Ia harus ada pada saat pewaris meninggal dunia dan dia sendiri tidak boleh onwaardig. 

2. Orang yang digantikan tempatnya harus sudah meninggal. Orang tidak dapat menggantikan tempat orang yang masih hidup 

3. Orang yang menggantikan tempat orang lain haruslah keturunan sah dari orang yang tempatnya digantikan. Jadi anak luar kawin diakui tidak dapat bertindak sebagai pengganti. Dan hukum tidak mengenal penggantian dalam garis ke atas. 

b. Macam-Macam Penggantian Tempat (Plaatsvervulling) 

Menurut KUH Perdata dikenal 3 (tiga) macam penggantian tempat (Plaatsvervulling), yaitu: 

1. Penggantian dalam garis lencang ke bawah, yaitu penggantian seseorang oleh keturunannya, dengan tidak ada batasnya, selama keturunannya itu tidak dinyatakan onwaarding atau menolak menerima warisan (Pasal 842). Dalam segala hal, pergantian seperti di atas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal bilamana beberapa anak si yang meninggal mewaris bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya. 

2. Penggantian dalam garis kesamping (zijlinie), di mana tiaptiap saudara si meninggal dunia, baik sekandung maupun saudara tiri, jika meninggal dunia lebih dahulu, digantikan oleh anak-anaknya. Juga penggantian ini dilakukan dengan tiada batasnya (Pasal 853, jo. Pasal 856, jo. Pasal 857). 

3. Penggantian dalam garis ke samping menyimpang dalam hal kakek dan nenek baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, maka harta peninggalan diwarisi oleh golongan keempat, yaitu paman sebelah ayah dan sebelah ibu. Pewarisan ini juga dapat digantikan oleh keturunannya sampai derajat keenam (Pasal 861). 

1) Perbandingan Ahli Waris Pengganti antara Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan KUH Perdata a.Perbandingan 

Dari uraian di atas dapat di ambil perbandingan ahli waris pengganti antara hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan KUH Perdata. Pada prinsipnya ahli waris pengganti dalam pengertian kedua hukum tersebut sama, yaitu seseorang yang menggantikan kedudukan ahli waris yang lebih dulu meninggal dari pewaris yang seharusnya memperoleh harta warisan itu, dan ahli waris yang digantikan itu merupakan penghubung antara seseorang yang menggantikan dengan pewaris, serta ia nya ada pada saat pewaris meninggal, seperti anak yang menggantikan kedudukan ayahnya. 

 
BAB III 
PENUTUP

A.    Kesimpulan 

a) Dalam ketentuan hukum waris Islam, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam, seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht), Dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau Menganiaya berat pada pewaris dan/atau dipersalahkan secara memfitnah telah Mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. 

b) Perolehan dan hak kewarisan para istri disini adalah seorang suami yang memiliki istri lebih dari pada satu apabila meninggal dunia dan pada saat meninggal dunia meninggalkan istri lebih dari satu maka para istri mendapatkan perolehan dan harta waris sebesar 1/4 (seperempat) jika suami tidak meninggalkan anak. Para istri mendapatkan perolehan dan harta waris sebesar 1/8 (seperdelapan) jika suami meninggalkan anak. Disamping itu bagaimana dengan cara pembagian arti dari 1/4 (seperempat) dan 1/8 (seperdelapan), dapat dimaknakan bahwa 1/4 atau 1/8 dihitung berdasarkan dengan jumlah istri yang ada saat suami meninggal dunia. Apabila suami meninggal dunia, meninggalkan 2 (dua) orang istri dan mempunyai anak maka perolehan dan hak waris dari kedua istri mendapatkan 1/8 bagian di bagi dengan 2 (dua) orang istri jadi masing-masing istri mendapatkan 1/16 bagian. Apabila suami meninggal dunia, meninggalkan 2 (dua) orang istri dan tidak mempunyai anak maka perolehan dan hak waris dari kedua istri mendapatkan 1/4 bagian di bagi dengan 2 (dua) istri jadi masing-masing istri mendapatkan 1/8 bagian. 

c) Ahli waris pengganti pada dasarnya ahli waris karena penggantian, dapat diartikan sebagai orangorang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pada pewaris, sehingga kedudukannya digantikan olehnya. 

B.    Kritik dan Saran 

    Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, masih banyak yang harus ditambahkan isinya. Untuk itu, saran yang dapat disampaikan berdasarkan penulisan makalah ini yaitu, perlu adanya referensi-referensi tambahan untuk menguatkan isi dari makalah. 

 

DAFTAR PUSTAKA 

Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 

Oemarsalim,1987, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta 

R. Santoso Pudjosubroto, 1976, Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta 

R. Subekti, R. Tjitrosudibio, 1999, Kitab Undang Undang Hukum Perdata Terjemahan 

Lebih baru Lebih lama