KRITERIA
CUCU YANG BERHAK MEMPEROLEH WARISAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum waris
merupakan bagian dari hukum keluarga yang mencerminkan sistem dan bentuk hukum
yang berlaku dalam masyarakat serta menjadi ciri khas umat Islam, namun dalam
prakteknya sering menimbulkan polemik dalam pelaksanaannya, hal ini disebabkan
oleh budaya masyarakat yang plural. Permasalahan hukum waris tersebut disebabkan sistem kekeluargaan dalam
suatu masyarakat, dimana banyak peraturan adat yang telah berlaku secara turun
temurun memiliki perbedaan dengan hukum Islam. Dan sumber persoalan tersebut
bukan timbul dari Alquran, melainkan interpretasi dan friksi di kalangan
masyarakat itu sendiri.
Hukum
waris Islam menetapkan bahwa cucu dihijab oleh anak laki-laki untuk mendapat
harta warisan kakek dan nenek. Hal itu disebabkan karena cucu berada pada
urutan kedua, sedangkan anak berada pada urutan pertama. Cucu dihubungkan oleh
anak kepada pewaris, dan anak berhubungan langsung dengan pewaris. Dalam kitab
Ahkam al-Mawarits menyebutkan bahwa: “Cucu itu terhalang oleh anak laki-laki
dari si mayit; terhalang juga oleh bapaknya, karena dialah yang berhubungan langsung
dengan si mayit; atau terhalang oleh pamannya, karena ia menjadi ashabah
terdekat dengan si mayit’.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini kami akan menjelaskan mengenai Kriteria Cucu Yang
Berhak Memperoleh Warisan. Walaupun makalah kami jauh dari kesempurnaan, tapi
kami berharap semoga dapat bermanfaat untuk kita semua.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
dalil dan istinbat yang berhubungan dengan hukum kriteria cucu yang berhak memperoleh warisan ?
2. Bagaimana
ketentuan hukum kriteria cucu yang berhak memperoleh warisan ?
3. Bagaimana Ijtihad tentang Warisan Cucu?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui dalil dan istinbat yang berhubungan dengan hukum kriteria cucu yang
berhak memperoleh warisan.
2. Untuk
mengetahui ketentuan hukum kriteria cucu yang berhak memperoleh warisan.
3.
Untuk mengetahui Ijtihad tentang
Warisan Cucu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dalil dan Istinbat Yang Berhubungan Dengan
Kriteria Cucu Yang Berhak Memperoleh Warisan
Dalam hal pewarisan bagi umat muslim
berlaku Hukum Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam penerimaan harta warisan
didasarkan pada Azas Ijbari, yaitu harta warisan berpindah dengan sendirinya
menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli
waris.[1]
Pengaturan mengenai Hukum Kewarisan Islam di Indonesia diatur berdasarkan
Al-Quran, Hadist, dan juga diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam dalam Buku II (Hukum Kewarisan) yang pada intinya
adalah berasal dari kitab-kitab fiqih para ulama terkemuka yang dasar-dasar
hukumnya diambil dari kitab-kitab fiqih mawaris. Dalam Al-Quran surat
An-Nisa ayat 7
للر جال نصيب مما
ترك الوالدن والاقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدن والاقربون مم قل منه او كثر
نصيبا مفروضا
diatur secara tegas mengenai Hukum Kewarisan
Islam yang artinya adalah: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.” Selain itu ketentuan mengenai Hukum
Kewarisan Islam terdapat dalam hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya
“Berikanlah faraid (bagian yang telah ditentukan dalam Al-Quran) kepada yang
berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan
laki-laki yang terdekat.”
Seperti halnya dengan hukum kewarisan
lainnya, Hukum Kewarisan Islam juga terdapat pengaturan tentang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang harus diikuti dan ditaati oleh setiap umat muslim.
Pelanggaran atas hak orang lain atau kelalaian dalam melaksanakan kewajiban
akan menjadikan timbulnya permasalahan. Dalam setiap permasalahan yang timbul
harus diselesaikan dengan cara yang sebaik-baiknya dan seadil-adilnya demi
terciptanya ketertiban dan kedamaian ditengah-tengah masyarakat.[2]
Terutama pada kedudukan cucu yang sebagai pengganti ahli waris dalam hukum
waris Islam tidak tercantum dalam Al-Quran dan Hadist, hanya diakui
melalui Ijtihad yang dilakukan para ulama. Namun dalam Kompilasi Hukum Islam
keberadaan akan cucu diakui sebagai pengganti dari orang tuanya yang telah
meninggal terlebih dahulu dari pewaris dan perlindungan hukum terhadap cucu
sebagai ahli waris pengganti melalui Kompilasi Hukum Islam yang memberikan
penga-kuan adanya kedudukan ahli waris pengganti sehingga melalui penegasan
adanya ahli waris pengganti mendapatkan legalisasi secara penuh dimana
ketentuan tersebut tidak terdapat dalam Hukum Waris Islam klasik.
Para ulama berpendapat bahwa untuk
keluarga dekat yang tidak mendapatkan warisan, seseorang wajib membuat wasiat,
sebagaimana terdapat dalam Surat Al- Baqarah ayat 180 :
كتب عليكم اذا حضر
احدكم الموت ان ترك خيرا الوصية للوالدين والاقربين بالمعروف حقاعلى المتقين
Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang benyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnyasecara ma’ruf,
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” Berdasarkan ayat
tersebut dan pendapat para ulama untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan
ahli waris dari kerabat dekat yang tidak mendapatkan bagian warisan, khususnya
dalam hal cucu yang tidak mendapat warisan karena tertutup (hijab) oleh anak
laki-laki, maka diberikanlah wasiat kepada cucu tersebut yang disebut dengan
Wasiat Wajibah dengan ketentuan bahwa besar bagian maksimal yang diterima oleh
cucu hanya sepertiga dari warisan, yang berarti bahwa bagian yang di terima
cucu tidak sebesar bagian yang diterima oleh orang tuanya seandainya masih
hidup.
Ketentuan mengenai ahli waris pengganti di
akomodir oleh Kompilasi Hukum Islam yaitu yang terdapat dalam Pasal 185.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, ahli waris yang di ganti itu adalah ahli
waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. Rumusan Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai ketentuan ahli waris pengganti.
Penggunaan kalimat “dapat digantikan” pada Pasal 185 ayat 1 memunculkan ketidak
pastian tampilnya ahli waris. Kata “dapat” dapat ditafsirkan ada ahli waris
yang mungkin dapat digantikan dan ada yang mungkin tidak dapat digantikan,
karena keadaan ahli waris sendiri. Hal ini terjadi dalam hubungan pewaris
dengan ahli warisnya melalui ikatan perkawinan antara suami dan isteri, karena
adanya saling mewarisi antara suami dan isteri apabila di antara mereka ada
yang meninggal terlebih dahulu dari yang lainnya, suami yang meninggal lebih
dahulu daripada isterinya maka isteri menjadi ahli warisnya dan begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu dalam kasus suami isteri tidak dapat diterapkan
teori ahli waris pengganti. Ahli waris yang dapat digantikan posisinya adalah
hanya berlaku dalam hubungan darah (nasab) saja, yaitu hubungan keturunan
pewaris, orang tua pewaris, dan saudara-saudara pewaris. [3]
Menurut pemahaman Hazairin dalam masalah hak cucu atas harta kakeknya
dikarenakan orang tuanya telah meninggal sebelumnya, cucu dalam hal ini adalah ahli waris karena penggantian, yaitu orang-orang yang
menjadi ahli waris karena tidak ada lagi
penghubung antara mereka dengan si pewaris. Pendapat beliau ini berdasarkan ayat Al-Qur’ān surah an-Nisā’: 33
yang berbunyi:
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا
مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ ۗ وَالَّذِيْنَ عَقَدَتْ
اَيْمَانُكُمْ فَاٰتُوْهُمْ نَصِيْبَهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ
شَيْءٍ شَهِيْدًا
Artinya: “Bagi tiap-tiap harta
peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami
jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah
setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (QS.
an-Nisā’ : 33).
Hazairin menerjemahkan ayat tersebut
sebagai berikut: “Bagi mendiang anak, Allah mengadakan mawālī (ahli
waris karena penggantian) sebagai ahli waris dalam harta peninggalan ayah
atau ibunya, dan bagi mendiang aqrab n, Allah mengadakan mawālī sebagai ahli
waris dalam harta peninggalan sesama aqrab-nya”. Jika kalimat panjang ini
dipendekkan maka berbunyi: “Bagi setiap orang Allah mengadakan mawālī bagi harta peninggalan orang tua dan
keluarga dekat.
B.
Ketentuan Hukum Kriteria Cucu yang
Berhak Memperoleh Warisan
Hak kewarisan cucu dalam Yurisprudensi
Mahkamah Agung di Indonesia bersumber dari Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penyusunan
KHI periode terakhir di Indonesia dimulai pada 1983, yaitu sejak
penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung RI dan
Menteri Agama RI tentang penunjukan pelaksana proyek pembangunan hukum Islam
melalui yurisprudensi, guna keseragaman dan menjadi rujukan para hakim pada
pengadilan Agama. Panitia bekerja selama lebih kurang lima tahun, dan pada
tahun 1988 rumusan KHI siap untuk diajukan kepada pemerintah menuju legalitas
perundang-undangan. Menurut Abdurrahman, selama tiga tahun lebih menunggu
tindak lanjut rancangan KHI, akhirnya Presiden Soeharto menandatangani
Instruksi Presiden Nomor 1 tanggal 10 Juni 1991. Usaha yang ditempuh dalam
proses penyusunan KHI adalah pengkajian kitab, yurisprudensi, studi
perbandingan, wawancara dan lokakarya. Ahmad Rofiq menyebutkan: “Bahwa
usaha-usaha yang ditempuh adalah melalui jalur-jalur sebagai berikut:(a).Pengkajian kitab-kitab fiqh, (b).
Wawancara dengan para ulama, (c). Yurisprudensi Pengadilan Agama, (d). Studi
perbandingan hukum dengan Negara lain, (e). Lokakarya/seminar materi hukum
untuk Pengadilan Agama”. [4]
KHI memuat pembaruan hukum kewarisan. Di
antaranya keberadaan ahli waris pengganti. Pasal 185 KHI menyebutkan: (1).
“Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya
dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173”.
(2). “Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti”. Isi pasal di atas, cucu dapat mewarisi
bersama anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka tidak dapat ditutup oleh anak
laki-laki, karena berstatus menggantikan ayah atau ibu mereka yang telah
meninggal lebih dahulu.[5]
Setelah di berlakukannya Undang-Undang No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama menjadi mandiri dimana
semua putusan putusan Pengadilan Agama tidak perlu mendapat pengukuhan dari
Pengadilan Negeri. Sebagai pelengkap legitimasi dari badan Peradilan Agama, di
keluarkanlah Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 yaitu Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan Instruksi Presiden tersebut, pada bagian konsideran huruf (b)
disebutkan bahwa Kompilasi Hukum Islam dapat digunakan sebagai pedoman bagi
Instansi pemerintah termasuk Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang di ajukan kepadanya. Disusunnya
Kompilasi Hukum Islam di harapkan agar tidak terjadi kesimpangsiuran putusan
dalam lembaga Peradilan Agama karena sebelum di bentuk Kompilasi Hukum Islam,
belum ada satu pedoman yang dapat di pakai oleh hakim Pengadilan Agama atau
dengan kata lain Pengadilan Agama belum memiliki hukum materiil. Hukum materiil
yang di gunakan oleh hakim Pengadilan Agama adalah hukum Islam yang terdapat
dalam kitab-kitab fiqih beberapa abad yang lalu, termasuk juga kitab fiqih
mawaris untuk menyelesaikan perkara waris. Sampai saat ini, Kompilasi Hukum
Islam masih dipertahankan dan di jadikan sebagai pedoman oleh para hakim dalam
menyelesaikan perkara-perkara hukum perdata Islam termasuk hukum waris. Alasan Kompilasi Hukum Islam tersebut masih
di pertahankan dan menjadi rujukan para hakim adalah karena belum di cabut
keberadaannya. Berbeda dengan Undang-Undang, Instruksi Presiden sepanjang belum
di cabut keberadaannya maka masih tetap akan berlaku.[6]
C.
Ijtihad Ulama Mengenai Harta Warisan Untuk Cucu
Walaupun penggolongan ahli waris
sudah ditetapkan namun terjadi perbedaan pandangan dalam cara atau bentuk
pelaksanaan ketentuan-ketentuan ahli waris, yaitu di satu pihak mengacu kepada
mazhab Hanafi, Syafi’I, Maliki, Hambali, dan pengikutnya. Perbedaan itu
berkenaan dengan status (terhalangnya) cucu-cucu pewaris yang ayah atau ibu
mereka meninggal terlebih dahulu dari pewaris untuk menerima harta warisan
apabila pewaris tersebut mempunyai seorang anak laki-laki atau dua anak
perempuan. Pendapat mazhab itu didasari oleh pemikiran bahwa terutupnya lapisan
kedua dari keturunan garis lurus ke bawah seorang anak laki-laki atau dua orang
anak perempuan dari lapisan pertama karena mereka lebih dekat kepada pewaris
dari segi tingkatannya.[7]
Kedudukan ahli waris pengganti dalam Hukum
Kewarisan Islam terdapat berbagai macam pendapat mengenai ada atau tidaknya
ahli waris pengganti sebagai ahli waris yang menggantikan kedudukan orang
tuanya yang telah meninggal dunia, yang perlu diperhatikan dalam suatu
pembagian harta warisan pewaris, yaitu :
a.
Pewaris benar-benar telah meninggal atau
dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal.
b.
Ahli waris benar-benar masih hidup ketika
pewaris meninggal.
c.
Benar-benar dapat diketahui sebab warisan
pada ahli waris atau dengan kata lain benar-benar dapat diketahui bahwa ahli
waris bersangkutan berhak mewaris.
d.
Tidak terdapat penghalang warisan.
Persyaratan adanya ahli waris harus dalam keadaan masih hidup akan menutup
kemungkinan adanya ahli waris pengganti,apabila ahli waris yang sebenarnya
sudah meninggal dunia, maka akan ada penggantian tempat yang diakui sebagai
ahli waris.
Kedudukan ahli waris pada prinsipnya
adalah menggantikan hak hidup orang yang digantikannya, bukan hanya terbatas
dalam hal mewaris saja. Kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti tidak diatur
secara rinci dalam Al-Quran sehingga terdapat perbedaan pendapat di antara para
ahli mengenai kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti.
Menurut Mazhab Syafi’I terdapat tiga macam
ahli waris, yaitu:
1.
Dzawil Furudh, yaitu ahli waris yang
mempunyai bagian yang sudah ditentukan dalam Al-Quran.
2.
Ashabah, yaitu ahli waris yang mempunyai
bagian sisa dari Dzawil Furudh, tetapi apabila tidak ada ahli waris Dzawil
Furudh sama sekali, maka mereka menerima seluruh harta warisan.
3.
Dzawil Arham, yaitu ahli waris yang
mempunyai hubungan keluarga dengan pewaris tetapi tidak termasuk ahli waris
Dzawil Furudh dan Ashabah. Ahli waris Dzawil Arham baru mendapat bagian warisan
sesudah ahli waris Dzawil Furudh dan Ashabah tidak ada, atau bisa mendapat
warisan melalui wasiat.[8]
Sistem yang dianut oleh Mazhab Syafi’I
adalah bersifat patrilineal karena hukum kekeluargaannya menarik garis
keturunan dari garis laki-laki atau garis bapak sehingga hanya anak laki-laki
yang dapat menjadi penghubung. Selain itu dalam Mazhab Syafi’I dikenal juga
adanya hijab menghijab (saling menghalangi) yang artinya seorang ahli waris
dapat menyebabkan ahli waris lainnya terhalang menerima bagian. Mazhab Syafi’I
juga mengenal istilah penggantian tempat mewaris, akan tetapi bukan seperti
penggantian tempat murni yang dikemukakan oleh Hazairin, menurut mazhab Syafi’I
hanya dalam kasus-kasus tertentu saja cucu dapat mewaris dari kakeknya, dan
cucu tersebut bukan mewaris karena penggantian tempat, akan tetapi mewaris
berdasarkan kedudukannya sendiri, yaitu:
1.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki bila tidak
ada anak laki-laki bila tidak ada anak laki-laki lain dari pewaris yang masih
hidup. Hal tersebut terjadi apabila tidak ada ahli waris lain, hanya seorang
cucu laki-laki dari anak laki-laki yang mewaris. Cucu tersebut berhak mewaris
seluruh harta warisan kakeknya apabila dia hanya seorang diri. Lain halnya
apabila masih terdapat anak lakilaki dari pewaris, maka cucu laki-laki tersebut
akan terhalang oleh anak lakilaki dalam mendapatkan warisan.
2.
Cucu perempuan dari anak laki-laki
pewaris, manakala tidak ada anak laki-laki dari pewaris dan tidak ada cucu
laki-laki dari anak laki-laki akan menjadikannya ashabah.
3.
Seorang cucu perempuan dari anak laki-laki
pewaris, manakala cucu tersebut mewaris bersama dengan seorang anak perempuan
pewaris, cucu akan mendapat bagian 1/6 dari harta peninggalan.[9]
Dasar dari mazhab Syafi’I adalah bahwa
dalam ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah kewarisan kedudukan cucu, dan
termasuk juga ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi tidak dirinci
bagian-bagiannya atas warisan Al-Quran hanya menjelaskan kelompok ahli waris
dengan kedudukan tertentu dan bagian- bagiannya sudah di rinci, mereka disebut
ahli waris langsung yaitu yang terdiri dari anak, ayah, ibu, dan saudara yang
merupakan ahli waris karena hubungan darah, serta suami atau isteri sebagai
ahli waris karena hubungan perkawinan. Hukum kewarisan Sunni dalam kaitannya
dengan ahli waris pengganti sifatnya diskriminatif dan terbatas. Diskriminatif
maksudnya adalah bahwa dalam hukum kewarisan Sunni yang dapat menjadi ahli
waris pengganti hanyalah cucu yang melalui garis anak laki-laki., sedangkan
cucu dari garis anak perempuan tidak berhak menerima waris. Terbatas maksudnya
adalah bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki hanya akan menerima warisannya
apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki lain yang masih hidup.,
sedangkan cucu perempuan baru akan menerima warisan apabila pewaris tidak
mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan yang masih hidup.
Para ulama fiqih mengemukakan pendapatnya
bahwa yang disebut ahli waris pengganti adalah para ahli waris yang menerima
bagiannya bukanlah bagian ahli waris yang mereka gantikan, yang artinya bahwa
mereka tidak sepenuhnya menggantikan kedudukan ahli waris yang menghubungkan
mereka kepada pewaris. Mereka menerima hak waris karena kedudukannya sendiri
sebagai ahli waris. Ijtihad yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit dalam
menentukan bagian cucu dengan pendapatnya bahwa dalam keadaan apapun cucu yang
berhak memperoleh harta kakeknya haruslah cucu melalui garis keturunan
laki-laki sepanjang tidak ada saudara laki-laki dari ayahnya yang masih hidup.
Penonjolan kedudukan laki-laki atau melalui garis keturunan laki-laki
dipengaruhi oleh pemikiran patrilineal yang dianut masyarakat Arab pada waktu
itu. Cucu dari anak laki-laki tidak berhak mewaris apabila masih ada anak
laki-laki pewaris yang masih hidup dirasa tidak adil oleh para jumhur ulama,
sehingga untuk mengatasi masalah tersebut jumhur ulama menekankan kepada Wasiat
Wajibah sebagai jalan keluar terhadap cucu yang tidak mewaris. Bukan seperti
yang dikemukakan oleh Hazairin mengenai penggantian tempat mewaris.[10]
Penetapan hukum
dalam KHI tentang kewarisan cucu merupakan bentuk ijtihad dengan pola maslahah
karena bertujuan untuk menetapkan suatu aturan yang berdasar pada kemaslahatan
umum, dan untuk mendapatkan bentuk ijtihad yang valid, maka harus memenuhi
kualifikasi tertentu terkait dengan metode maslahah yaitu:
1.
Penetapannya dilakukan setelah diadakan penelitian tentang
persoalan yang dihadapi sehingga dapat diketahui tentang benar dan tidaknya
sesuatu serta mengandung manfaat atau mudharat dengan cara membandingkan
diantara keduanya.
2.
Bersifat umum, bukan individual yaitu jika diterapkan hukum dalam
suatu persoalan akan bermanfaat bagi seluruh atau sebagaian besar umat dan
masyarakat.
3.
Tidak bertentangan dengan nash
Proses ijtihad
terhadap kewarisan cucu dalam pasal 185 KHI merupakan bentuk ijtihad terhadap
persoalan yang tidak terdapat di dalam nash, karena dalam Alquran tidak
ada yang menjelaskan tentang bagian kewarisan cucu seperti hak bagian ahli
waris yang lain, hanya saja ada pendapat yang menafsirkan kata “mawali” dalam
Surat an- Nisa’ ayat 33 sebagai waris pengganti,
Namun demikian
secara umum tidak ada ayat lain yang dapat dijadikan landasan tentang persoalan
ini. Hazairin menyimpulkan bahwa makna lafaz al-mawali dalam surat
an-Nisa’ ayat 33 adalah ahli waris karena penggantian sedangkan ulama
mutaqaddimin menafsirkan sebagai ahli waris biasa atau asabah. Perbedaan
ini bersumber pada perbedaan pilihan i’rab struktur ayat. Menurut ulama
mutaqaddimin lafaz likullin yang terletak di awal ayat di-idafat-kan
kepada mal (warisan) atau insan (pewaris), sedang lafaz al-mawali
ditafsirkan sebagai ahli waris atau asabah. Sedangkan Hazairin lafaz
likullin di-idafat-kan kepada insan yang bermakna ahli
waris dan lafaz al-mawali pun bermakna ahli waris. Dengan adanya dua
lafaz ini, maka yang pertama bermakna ahli waris biasa (utama) dan yang kedua
bermakna ahli waris pengganti, hal di atas sejalan dengan kaidah tafsir yaitu
apabila ada dua lafaz nakirah yang sama atau semakna dalam satu kalimat,
maka isi lafaz yang pertama berbeda dengan yang kedua.[11]
Dalam penetapan
hukum mengenai kewarisan cucu juga tidak terlepas dari pengaruh prinsip adat
yang menganut empat prinsip dasar yaitu:
1.
Hukum Islam melegalisir hukum adat jika tidak bertentangan.
2.
Hukum Islam menerima hukum adat pada persoalan yang prinsipil
kendatipun dalam pelaksanaan akan berbeda karena harus disesuaikan dengan
situasi dan kondisi.
3.
Lebih diutamakan hukum Islam
daripada hukum adat jika terjadi perbedaan yang prinsipil.
4. Islam menolak hukum adat yang membawa kemadharatan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kedudukan cucu
sebagai ahli waris pengganti dalam hukum waris Islam tidak tercantum dalam
Al-Quran dan Hadist, hanya diakui melalui Ijtihad yang dilakukan para ulama.
Namun dalam Kompilasi Hukum Islam keberadaan akan cucu diakui sebagai pengganti
dari orang tuanya yang telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris.
Perlindungan hukum terhadap cucu sebagai ahli waris pengganti melalui Kompilasi
Hukum Islam yang memberikan pengakuan adanya kedudukan ahli waris pengganti
sehingga melalui penegasan adanya ahli waris pengganti mendapatkan legalisasi
secara penuh dimana ketentuan tersebut tidak terdapat dalam hukum waris Islam
klasik. Selain itu, kebanyakan para hakim Peradilan Agama dalam
mempertimbangkan keputusannya dalam hal waris juga melihat pengaturan yang
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai panduan.
DAFTAR
PUSTAKA
Nazar Kusmayanti,Lisa Krisnayanti,
Hak Dan Kkedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Dalam Sistem
Pembagian Waris Ditinjau Dari Hukum Islam Dan KHI. Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA
Vol. 19. No. 1, Agustus 2019.
Abdurrahman,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 2004.
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Cet. 1, Gama Media,
Yogyakarta.
Hak dan Kedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti, Jurnal
Ilmiah Islam Futura Vol. 19. No. 1,
Agustus 2019.
Alyasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah.
Pratiwi, Aisyah Eka. 2016. Keadilan
Distributif Kewarisan Cucu Yatim dalam Kompilasi Hukum Islam. Tesis.
Malang: Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim.
Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata. 2002. Fiqh Mawaris: Hukum
Kewarisan Islam. Cet. II . Jakarta: Gaya Media.
[1]
Nazar Kusmayanti,Lisa Krisnayanti, Hak
Dan Kkedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Dalam Sistem Pembagian Waris
Ditinjau Dari Hukum Islam Dan KHI. Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 19. No. 1,
Agustus 2019, Hlm, 70.
[2]
Nazar Kusmayanti,Lisa Krisnayanti, Hak
Dan Kkedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Dalam Sistem Pembagian Waris
Ditinjau Dari Hukum Islam Dan KHI. Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 19. No. 1,
Agustus 2019, Hlm. 70-71.
[3]
Nazar Kusmayanti,Lisa Krisnayanti, Hak
Dan Kkedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Dalam Sistem Pembagian Waris
Ditinjau Dari Hukum Islam Dan KHI. Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 19. No. 1,
Agustus 2019, Hlm. 80
[4] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 2004, hlm. 55-56.
[5]
Ahmad Rofiq, Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia, Cet. 1, Gama Media, Yogyakarta, 2001, hlm. 89.
[6]
HAK DAN KEDUDUKAN CUCU SEBAGAI AHLI WARIS PENGGANTI
Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 19. No. 1, Agustus2019 |
81
[7]
Nazar Kusmayanti,Lisa Krisnayanti, Hak
Dan Kkedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Dalam Sistem Pembagian Waris
Ditinjau Dari Hukum Islam Dan KHI. Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 19. No. 1,
Agustus 2019, Hlm. 72
[8]
Nazar Kusmayanti,Lisa Krisnayanti, Hak
Dan Kkedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Dalam Sistem Pembagian Waris
Ditinjau Dari Hukum Islam Dan KHI. Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 19. No. 1,
Agustus 2019, Hlm. 74
[9]
Nazar Kusmayanti,Lisa Krisnayanti, Hak
Dan Kkedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Dalam Sistem Pembagian Waris
Ditinjau Dari Hukum Islam Dan KHI. Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 19. No. 1,
Agustus 2019, Hlm. 74-75
[10]
Nazar Kusmayanti,Lisa Krisnayanti, Hak
Dan Kkedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Dalam Sistem Pembagian Waris
Ditinjau Dari Hukum Islam Dan KHI. Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 19. No. 1,
Agustus 2019, Hlm. 78-79
[11] Alyasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, hlm. 208