TAFSIR AYAT PERADILAN TENTANG PEMBEBANAN
HUKUM
1.
Pembebanan
Hukum yang sesuai dengan Q.S Al-Baqarah ayat 233
وَالۡوَالِدٰتُ
يُرۡضِعۡنَ اَوۡلَادَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِ لِمَنۡ اَرَادَ اَنۡ يُّتِمَّ
الرَّضَاعَةَ ؕ وَعَلَى الۡمَوۡلُوۡدِ لَهٗ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ
بِالۡمَعۡرُوۡفِؕ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ اِلَّا وُسۡعَهَا ۚ
لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ ۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوۡلُوۡدٌ
لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الۡوَارِثِ مِثۡلُ ذٰ لِكَ ۚ فَاِنۡ اَرَادَا
فِصَالًا عَنۡ تَرَاضٍ مِّنۡهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَا ؕ
وَاِنۡ اَرَدْتُّمۡ اَنۡ تَسۡتَرۡضِعُوۡٓا اَوۡلَادَكُمۡ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ
اِذَا سَلَّمۡتُمۡ مَّآ اٰتَيۡتُمۡ بِالۡمَعۡرُوۡفِؕ وَاتَّقُوا اللّٰهَ
وَاعۡلَمُوۡٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ بَصِيۡ
Terjemahan: “Dan
ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin
menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian
mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula
seorang ayah (men-derita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti
itu pula. Apa-bila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan
permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika
kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
a.
Makna Mufradat
(يُرْضِعْنَ)
yaitu hendaknya mereka menyusukan, (حَوۡلَيۡنِ
كَامِلَيۡنِ) haul artinya tahun sedangkan kaamilaini adalah shifah
mu’akkidah atau sifat penegas. (وَعَلَى
الْمَوْلُوْدِ لَهٗ) yang berarti bapak (رِزْقُهُنَّ) yang berarti harus memberi makan (وَكِسۡوَتُهُنَّ) dan pakaian kepada ibu atas imbalan
penyusuan jika si ibu itu sudah ditalak. (بِالۡمَعۡرُوۡفِ)
artinya sebatas kemampuannya (وُسۡعَهَا)
kemampuannya, yaitu batas maksimal kemampuan seseorang: bagian selanjutnya dari
batas ini disebut “ketidakmampuan”, Taklif artinya pembebanan.
(لَا تُضَآرَّ
وَالِدَةٌ ۢ بِوَلَدِهَا) janganlah seseorang ibu menderita
kesengsaraan gara-gara anaknya, misalnya si ibu dipaksa menyusuinya apabila ia
tidak mau. (وَلَا مَوۡلُوۡدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ)
dan juga seorang ayah jangan sampai menderita kesengsaraan gara-gara anaknya. (وَعَلَى الۡوَارِثِ) pewaris ayah, yaitu si anak, (مِثۡلُ ذٰ لِكَ) yakni anak pun berkewajiban memberi
nafkah dan pakaian dari hartanya jika ia punya harta, kepada ibunya serta tidak
menyengsarakannya, sama seperti kewajiban ayahnya kepada ibunya.. Sebagian
ulama berkata “maksud al-waarits disini adalah pewaris anak itu (yang akan
mewarisinya jika ia mati)”. Makna yang pertama adalah pilihan Thabari,
Zamakhsyari, dan lain-lain. Kalimat (وَعَلَى
الْوَارِثِ) di’athafkan kepada firman-Nya (وَعَلَى
الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ)
sedang kalimat yang berada diantara dua penggal kalimat ini merupakan
penjelasan mengenai al-ma’ruuf ini, yang terhitung sebagai jumlah mu’taridhah
(kalimat selipan) yang disisipkan diantara ma’thuuf dan ma’thuuf ‘alaih. Dengan
demikian, makna firman ini begini: “pewaris ayah punya kewajiban yang sama
dengannya, yaitu memberi nafkah dan pakaian”. Artinya, jika ayah meninggal,
orang yang mewarisinya harus menggantikan tugasnya dalam memberi nafkah dan
pakaian kepada ibu anak itu dengan cara yang baik dan tidak memberi
kesengsaraan.
b.
Asbabun Nuzul
Pada
surat Al-Baqarah ayat 233 ini menjelaskan tentang hukum radha'ah, yang mana
mempunyai hubungan sangat erat dengan ayat sebelumnya, karena ayat sebelumnya
menjelaskan tentang nikah, thalaq serta hal lain yang berkaitan dengan hukum
keluarga (pernikahan). Sebagai akibat dari perilaku thalaq, maka tidak sedikit
seorang istri merasa sakit hati dan ingin melampiaskan dendam. Pelampiasan ini
mereka lakukan dengan cara bersikap acuh kepada anak mereka yang masih kecil
bahkan sampai tidak mau untuk memberikan Air Susu Ibu yang sangat dibutuhkan
oleh anak bayinya. Oleh sebab itulah ayat ini diturunkan sebagai
perempuan-perempuan yang ditalak untuk tetap memberikan perhatian dan kasih
sayang dengan sepenuh hati dan kerelaan kepada anaknya.[1]
c.
Tafsir Ayat
Dijelaskan
bahwa ketika seorang perempuan berhalangan untuk menyusui anaknya ia boleh
menyusukan anaknya kepada orang lain. Dalam syariat, hal ini disebut dengan
radha’ah. Menyusukan anak tidak selalu dikatakan radha’ah. Dijelaskan dalam
syariat, radha’ah hanya terjadi pada
usia menyusui yaitu dua tahun jika lebih dari itu tidak bisa dikatakan
radha’ah.
Dengan
radha’ah muncul implikasi hukum, misalnya ibu yang menyusui dan saudara
persusuannya termasuk dalam kategori orang yang haram dinikahi.
Ayat (dan
kewajiban ayah menanggung dan pakaian mereka dengan cara yang patut) bahwa ketika seorang mempercayakan anaknya
untuk disusui orang lain, hendaknya ia memberikan upah yang layak. Ayat ini
juga menegaskan agar kehadiran seorang anak tidak sampai membawa mudharat bagi
kedua orangtuanya. Misalnya, jika si ibu tidak kusa untuk menyusui karena
faktor kesehatan atau yang lain, hendaknya ia mencari solusi, diantaranya
dengan menyusukan anaknya kepada orang lain dengan membayar seumalah uang
sebagai imbal jasa.
Dalam
ayat (apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyaratan
anatar keduanya karena tidak ada dosa maka tidak ada dosa atas keduanya)
bahwa ketika kedua orangtua bermaksud menyapih anaknya sementara usianya belum
genap dua tahun, maka tidak ada dosa bagi keduanya selama hal itu dibicarakan
dengan baik. Diakhir ayat, Allah SWTmenyerukn kepada hambanya agar senatiasa
bertakwa kepada Allah SWT. Dengan memerhatikan aturan–aturan tentang persusuan
ini. [2]
d.
Kandungan Hukum
Kandungan
hukum yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah ayat 233 bahwa perintah menyusukan
anak ditujukan kepada para walidat. Lafaz الولدات (al-walidat) memiliki
dua maksud yaitu Allah telah mewajibkan kepada para suami untuk menanggung
rizki dan pakaian istrinya, dan ditunjukkan kepada ibu yang masih berstatus
istri bai’ suaminya (tidak dithalaq), dengan alasan bahwa ibu yang telah
dithalaq itu tidak berhak memperoleh tanggungan pakaian, tetapi ia hanya berhak
memperoleh upah atas jasa menyusuinya.
Terdapat
beberapa pendapat terkait hukum penyusuan yaitu Mazhab Maliki berpendapat bahwa
menyusui adalah kewajiban bagi seorang ibu dalam kondisi: Pertama Jika si ibu
masih berstatus Istri atau tidak bercerai, kedua jika si bayi tidak mau menyusu
pada payudara lain selain milik ibu kandungnya, dan ketiga jika ayah si bayi
tidak ada baik karena hilang ataupun telah meninggal dunia. Dan jumhur ulama
berpendapat bahwa penyusuan itu disunnahkan, kecuali jika dalam kondisi:
pertama si bayi tidak mau menyusu pada payudara lain selain milik ibu
kandungnya, kedua si bapak tidak mampu membayar jasa perempuan lain untuk
menyusui anaknya, dan ketiga si bapak mampu membayar jasa penyusuan tetapi tidak
menemukan perempuan lain untuk menyusui anaknya.
2.
Pembebanan
Hukum yang sesuai dengan Q.S Al-Baqarah ayat 286
لَا يُكَلِّفُ
اللّٰهُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَهَا ؕ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا
اكۡتَسَبَتۡؕ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَاۤ اِنۡ نَّسِيۡنَاۤ اَوۡ اَخۡطَاۡنَا ۚ
رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَاۤ اِصۡرًا كَمَا حَمَلۡتَهٗ عَلَى الَّذِيۡنَ
مِنۡ قَبۡلِنَا ۚرَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖ ۚ
وَاعۡفُ عَنَّا وَاغۡفِرۡ لَنَا وَارۡحَمۡنَا
ۚ اَنۡتَ مَوۡلٰٮنَا فَانۡصُرۡنَا عَلَى الۡقَوۡمِ
الۡكٰفِرِيۡنَ
Terjemahan: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang
dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.
(Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami
dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum
kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak
sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami.
Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang
kafir."”
a.
Makna Mufradat
(لَا يُكَلِّفُ
اللّٰهُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَهَا) artinya Allah swt tidak
akan membebani seseorang di luar kemampuannya. Ini merupakan kelembutan, kasih
sayang, dan kebaikan-Nya terhadap makhluk-Nya. (لَهَا مَا
كَسَبَتۡ) artinya berupa kebaikan
yang ia lakukan. (وَعَلَيۡهَا مَا اكۡتَسَبَتۡ) yaitu berupa keburukan yang ia perbuat. Hal itu menyangkut
amal perbuatan yang termasuk dala taklif (yang harus di lakukan). (رَبَّنَا لَا
تُؤَاخِذۡنَاۤ اِنۡ نَّسِيۡنَاۤ اَوۡ اَخۡطَاۡنَا) artinya, kemudian Allah
swt berfirman, memberikan bimbingan kepada hamba-hamba-Nya dalam memohon
kepada-Nya. Dan Dia telah menjamin akan memenuhi permohonan tersebut.
(رَبَّنَا وَلَا
تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَاۤ اِصۡرًا كَمَا حَمَلۡتَهٗ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِنَا) artinya, janganlah Engkau membebani kami dengan amal-amal yang
berat meskipun kami mampu menunaikannya, sebagaimana yang telah Engkau
syariatkan kepada umat-umat yang terdahulu sebelum kami, berupa
belenggu-belenggu dan beban-beban yang mengikat mereka. (رَبَّنَا وَلَا
تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖ) artinya, berupa
kewajiban, berbagai macam musibah dan ujian. Janganlah Engkau menguji kami
dengan apa yang kami tidak mampu menjalaninya.
(وَاعۡفُ عَنَّا) artinya, atas kekhilafan dan kesalahan yang Engkau ketahui
yang pernah terjadi antara kami dengan-Mu. (وَاغۡفِرۡ
لَنَا) maksudnya, kesalahan-kesalahan yang
pernah terjadi di antara kami dengan hamba-hamba-Mu. Maka janganlah Engkau
memperlihatkan kepada mereka keburukan-keburukan kami dan perbuatan jelek kami.
(وَارۡحَمۡنَا) yaitu, pada segala hal yang akan datang.
Maka janganlah Engkau menjatuhkan kami ke dalam dosa yang lain. (اَنۡتَ مَوۡلٰٮنَا) maksudnya, Engkaulah pelindung dan
pembela kami. Kepada-Mu kami bertawakal. Engkaulah tempat memohon pertolongan,
dan kepada-Mu kami bersandar. Tidak ada daya dan kekuatan pada kami melainkan
karena pertolongan-Mu. (فَانۡصُرۡنَا عَلَى الۡقَوۡمِ
الۡكٰفِرِيۡنَ) yaitu orang-orang yang mengingkari agama-Mu, menolak
keesaan-Mu dan risalah nabi-Mu, menyembah Ilah selain diri-Mu, serta
menyekutukan-Mu dengan hamba Mu. Maka tolonglah kami untuk mengalahkan mereka,
hingga pada akhirnya kami mendapatkan kemenangan atas mereka di dunia dan di
akhirat. Maka Allah pun menjawab: “Ya.”.
b.
Asbabun Nuzul
Ayat
di atas melukiskan kekhawatiran para sahabat yang sangat takut kepada azab
Allah Swt. Para sahabat dahulunya adalah orang-orang yang hidup, diajarkan dan
di besarkan di dalam lingkungan kehidupan Arab jahiliyyah. Pikiran, hati,
kepercayaan dan adat istiadat jahiliah telah sangat berpengaruh di dalam diri
mereka. Setelah Nabi Muhammad Saw diutus, mereka mengikuti seruan Nabi dan
masuk agama islam dengan sepenuh hati. Walaupun demikian bekas-bekas pengaruh
kepercayaan dan kebudayaan Arab jahiliyyah masih ada di dalam jiwa mereka.
Kepercayaan dan kebudayaan tersebut akan hilang dan terhapus secara berangsur-angsur
saat setiap turun ayat-ayat Alquran setiap menjelaskan risalah yang dibawanya
kepada mereka.
Rasa
kekhawatiran akan diazab Allah tersebut tergambar pada pernyataan Umar bin
Khattab kepada Huzaifah. Beliau pernah bertanya kepada Huzaifah, “Adakah engkau
(Huzaifah) dapati pada diriku salah satu dari tanda-tanda munafik?” Maka untuk
menghilangkan kekhawatiran itu dan menentramkan hati mereka, maka turunlah
surat al-Baqarah ayat 286. Dengan turunnya ayat ini, hati para sahabat merasa
tenang dan tentram karena mereka telah yakin bahwa segala larangan dan perintah
Allah Swt itu sesuai dengan kemampuan manusia.[3]
c.
Tafsir Ayat
Ajaran
agama Allah itu mudah,tidak ada unsur kesulitan di dalamnya. Allah tidak
menuntut dari hamba-hambanya sesuatu yang tidak mereka sanggupi. Barangsiapa
yang mengerjakan kebajikan, maka akan memperoleh ganjaran baik, dan barangsiapa
yang berbuat keburukan, maka akan memperoleh balasan yang buruk. Wahai tuhan
kami, jangan Engkau menyiksa kami jika kami lupa terhadap sesuatu yang Engkau
wajibkan atas kami atau kami berbuat salah dengan melakukan sesuatu yang Engkau
larang untuk dikerjakan. Wahai tuhan kami janganlah Engkau bebani kami dengan
amalan-amalan yang berat yang telah Engkau bebankan kepada umat-umat yang
berbuat maksiat sebelum kami sebagai hukuman bagi mereka. Wahai tuhan kami,
janganlah Engkau membebankan kepada kami perkara yang kami tidak mampu
memikulnya, baik dalam bentuk bentuk perintah-perintah syariat dan musibah
musibah.
Dan
hapuskanlah dosa-dosa kami dan tutuplah kekurangan-kekurangan kami dan sudilah
berbuat baik kepada kami. Engkau adalah penguasa urusan kami dan pengaturnya.
maka tolonglah kami menghadapi orang orang yang mengingkari agama-Mu dan
mengingkari keesan-Mu serta mendustakan nabi-Mu,Muhammad sholallohu alaihi
wasallam, dan jadikanlah kesudahan yang baik bagi kami di hadapan mereka di
dunia dan akhirat.
d.
Kandungan Hukum
Kandungan
hukum dari ayat ini yaitu kita bisa pahami bahwa batas kemampuan setiap orang
berbeda-beda dalam menghadapi ujian dari Allah. Misalnya ujiannya para Nabi dan
Rasul pasti lebih berat dari kita manusia biasa. Sebut saja Nabi Muhammad saw
harus menghadapi kaum jahiliyah yang setiap saat meneror dan mengancam
keselamatan nyawanya. Begitu pula Nabi Nuh as yang berdakwah hampir seribu
tahun tetapi hanya mendapat segelintir umat yang bersedia mengikutinya.
Ayat
di atas juga menjadi pengingat bagi kita saat sedang terpuruk dan banyak beban
hidup. Kita sebagai orang beriman harus senantiasa berserah diri kepada Allah
di samping selalu berusaha sekuat kita. Kemudian, kita sebagai manusia yang
diciptakan Allah sebagai tempatnya salah dan lupa juga harus selalu mohon ampun
kepada-Nya, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Pemberi Pertolongan.
3.
Pembebanan
Hukum yang sesuai dengan Q.S An-Nisa’ ayat 84
فَقَٰتِلْ فِى
سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ ۚ وَحَرِّضِ ٱلْمُؤْمِنِينَ ۖ
عَسَى ٱللَّهُ أَن يَكُفَّ بَأْسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ أَشَدُّ
بَأْسًا وَأَشَدُّ تَنكِيلًا
Terjemahan: “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah
kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat
para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang
yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya).”
a.
Makna Mufradat
Allah
Swt. memerintahkan kepada hamba dan Rasul-Nya (yaitu Nabi Muhammad saw) untuk
ikut terjun ke dalam kancah peperangan, berjihad di jalan Allah. Barang siapa
yang menolak, tidak ikut berperang, maka tiada paksaan atas dirinya untuk
mengikuti peperangan. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: (لَا تُكَلَّفُ
إِلَّا نَفْسَكَ) artinya tidaklah kamu
dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri. Kemudian Allah berfirman (وَحَرِّضِ
ٱلْمُؤْمِنِينَ) artinya kobarkanlah
semangat orang-orang mukmin (untuk berperang). (عَسَى ٱللَّهُ
أَن يَكُفَّ بَأْسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟) artinya mudah-mudahan
Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu, maksudnya berkat upayamu
dalam mengorbakan semangat mereka untuk berjihad, maka bangkitlah semangat
mereka untuk melawan musuh-musuh mereka kemudian membela negeri Islam dan para
pemeluknya serta berjuang dengan penuh keteguhan dan kesabaran. (وَٱللَّهُ
أَشَدُّ بَأْسًا وَأَشَدُّ تَنكِيلًا) artinya Allah amat
besar kekuatan dan amat keras siksaan-Nya, maksudnya Dia berkuasa terhadap
mereka di dunia dan di akhirat.
b.
Asbabun Nuzul
Sejarah
menyebutkan bahwa setelah kekalahan kaum Muslimin di Uhud, Abu Sufyan telah
menentukan waktu untuk melakukan serangan berikutnya. Pada waktu yang telah
ditentukan juga, rasulullah saw memanggil dan mengundang Muslimin untuk
membicarakan masalah ini. Namun kenangan pahit mereka di Uhud telah menyebabkan
banyak sekali yang enggan datang. Sekaitan dengan hal ini, ayat ini diturunkan
dan diperintahkan kepada Rasulullah saw, sekiranya tidak ada satu orangpun yang
datang, engkau berkewajiban berperang dan berangkat ke medan tempur. Hal ini harus dilakukan
sekalipun engkau berkewajiban mengajak Muslimin untuk berjihad.
Rasulullah
saw melakukan perintah Allah ini dan sedikit orang menyertai. Tapi musuh
ternyata tidak hadir di tempat yang telah dijanjikan dan tidak terjadi perang.
Di sinilah janji Allah untuk mencegah orang-orang kafir memukul Muslimin
terbukti.
c.
Tafsir Ayat
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Anir ibnu Nabih, telah menceritakan kepada kami
Hakkam, telah menceritakan kepada kami Al-Jarrah Al-Kindi, dari Abu Ishaq yang
menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Barra ibnu Azib tentang seorang
lelaki yang menghadapi musuh sebanyak seratus orang, tetapi ia tetap berperang
melawan mereka, yang pada akhirnya dia termasuk orang yang disebut di dalam
firman-Nya: “dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam
kebinasaan” (Al-Baqarah: 195). Maka Al-Barra ibnu Azib menjawab bahwa Allah
Swt. telah berfirman pula kepada Nabi-Nya, yaitu: Maka berperanglah kamu
pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu
sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin (untuk berperang) (An-Nisa:
84). Dengan kata lain, lelaki tersebut tidak termasuk ke dalam larangan yang
disebutkan ayat di atas.
Imam
Ahmad meriwayatkannya melalui Sulaiman ibnu Daud, dari Abu Bakar ibnu Ayyasy,
dari Abu Ishaq yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Barra
mengenai seorang lelaki yang maju sendirian melawan orang-orang musyrik yang
jumlahnya banyak, “apakah dia termasuk orang yang menjatuhkan dirinya ke dalam
kebinasaan?” Al-Barra menjawabnya “tidak”, karena sesungguhnya Allah mengutus
Rasul-Nya dan berfirman kepadanya: Maka berperanglah kamu pada jalan Allah,
tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri (An-Nisa:
84). Sesungguhnya hal yang kamu sebutkan hanyalah menyangkut masalah nafkah. Hal
yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur Abu Bakar ibnu Ayyasy
dan Ali ibnu Abu Saleh, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra dengan lafaz yang sama.
Kemudian
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad,
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Nadr Al-Askari, telah menceritakan
kepada kami Muslim ibnu Abdur Rahman Al-Harsi, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Himyar, telah menceritakan kepada kami Sufyan As'-Sauri, dari Abu
Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa ketika diturunkan kepada Nabi Saw.
ayat berikut, yaitu firman-Nya: Maka berperanglah kamu pada jalan Allah,
tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri.
Banyak
hadis yang diriwayatkan mengenai masalah ini, yaitu anjuran berperang di jalan
Allah, antara lain ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui
sahabat Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"مَنْ آمَنَ
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ، وَآتَى الزَّكَاةَ، وَصَامَ
رَمَضَانَ، كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، هَاجَرَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ جَلَسَ فِي أَرْضِهِ الَّتِي وُلِدَ فِيهَا" قَالُوا:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا نُبَشِّرُ الناسَ بِذَلِكَ؟ فَقَالَ: "إِنَّ
فِي الْجَنَّةِ مائةَ دَرَجَةٍ، أعدَّها اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ، بَيْنَ كُلِّ دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، فَإِذَا
سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ.
وَأَعْلَى الْجَنَّةِ، وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ، وَمِنْهُ تُفَجَّر
أَنْهَارُ الْجَنَّةِ"
Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan salat, menunaikan
zakat, dan puasa bulan Ramadan, maka sudah semestinya bagi Allah memasukkannya
ke dalam surga, baik ia hijrah di jalan Allah ataupun tetap tinggal di tempat
kelahirannya. Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bolehkah kami
menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?" Rasulullah Saw.
bersabda: Sesungguhnya di dalam surga terdapat seratus derajat (tingkatan)
yang telah disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang berjihad dijalan Allah;
jarak antara tiap-tiap dua derajat sama dengan jarak antara langit dan bumi.
Apabila kalian memohon kepada Allah, mintalah kepadanya surga Firdaus, karena
sesungguhnya surga Firdaus adalah tengah-tengah surga dan surga yang paling tinggi.
Di atasnya terdapat Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah, dan dari surga Firdaus
mengalirlah semua sungai surga.
Diriwayatkan
hal yang semisal melalui hadis Ubadah, Mu'az, dan Abu Darda. Dari Abu Sa'id
Al-Khudri, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"يَا أَبَا
سعيد، من رضي بالله ربا، وبالإسلام دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَجَبَتْ لَهُ
الْجَنَّةُ" قَالَ: فَعَجِبَ لَهَا أَبُو سَعِيدٍ فَقَالَ: أَعِدْهَا عليَّ
يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَفَعَلَ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَأُخْرَى يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا الْعَبْدَ مِائَةَ
دَرَجَةٍ فِي الْجَنَّةِ، مَا بَيْنَ كُلِّ دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ" قَالَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
"الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ"
Hai
Abu Sa'id, barang siapa yang rela Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai
agamanya, dan Muhammad sebagai Rasul dan Nabi (panutannya), maka pastilah ia
masuk surga. Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa mendengar hal itu Abu Sa'id
merasa takjub, lalu bertanya, "Ulangilah lagi kepadaku, wahai
Rasulullah." Abu Sa'id mengucapkan demikian sebanyak tiga kali, kemudian
baru Rasulullah Saw. bersabda lagi: Dan yang lainnya lagi menyebabkan Allah
mengangkat seorang hamba karenanya seratus derajat (tingkatan) di dalam surga;
jarak antara tiap-tiap dua derajat sama dengan jarak antara langit dan bumi.
Abu Sa'id Al-Khudri bertanya, "Wahai Rasulullah, amalan apakah itu?"
Rasulullah Saw. menjawab: “Berjihad di jalan Allah”.
d.
Kandungan Hukum
Dari ayat tadi
terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1)
Seorang pemimpin haruslah senantiasa
di barisan terdepan saat menghadapi bahaya dan ancaman. Bahkan bila tinggal
seorang diri, tetap ia tidak boleh meninggal medan tempu. Bila perintah ini
ditaati, niscaya bantuan Tuhan akan datang kepadanya.
2)
Tugas para nabi mengajak warga
kepada agama, bukan mendesak dan memaksa mereka.
3)
Setiap orang bertanggung jawab atas
perbuatannya sendiri, tidak terkecuali para nabi.
4)
Kekuatan ilahi adalah kekuatan yang
paling unggul dengan syarat masyarakat menjalankan tugas masing-masing.[4]
4.
Pembebenan
Hukum yang sesuai dengan Q.S Al-An’am ayat 152
وَلَا تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡيَتِيۡمِ اِلَّا
بِالَّتِىۡ هِىَ اَحۡسَنُ حَتّٰى يَبۡلُغَ اَشُدَّهٗ ۚ
وَاَوۡفُوۡا الۡكَيۡلَ وَالۡمِيۡزَانَ بِالۡقِسۡطِ ۚ لَا نُـكَلِّفُ نَفۡسًا
اِلَّا وُسۡعَهَا ۚ وَاِذَا قُلۡتُمۡ فَاعۡدِلُوۡا وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبٰى ۚ
وَبِعَهۡدِ اللّٰهِ اَوۡفُوۡا ؕ ذٰ لِكُمۡ وَصّٰٮكُمۡ بِهٖ لَعَلَّكُمۡ
تَذَكَّرُوۡنَ
Terjemahan: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani
seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah
sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia
memerintahkan kepadamu agar kamu ingat."”
a.
Makna Mufradat
(وَلَا
تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡيَتِيۡمِ اِلَّا بِالَّتِىۡ هِىَ) artinya Dan
janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara dengan sikap
yang (اَحۡسَنُ) lebih baik
yakni cara yang di dalamnya mengandung kemaslahatan/manfaat bagi anak yatim
hingga ia dewasa (حَتّٰى يَبۡلُغَ اَشُدَّهٗ)
seumpamanya dia telah balig.
(وَاَوۡفُوۡا
الۡكَيۡلَ وَالۡمِيۡزَانَ بِالۡقِسۡطِ) dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil secara adil dan tidak curang. (لَا نُـكَلِّفُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَهَا) Kami tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kemampuannya sesuai
dengan kemampuannya dalam hal ini: jika berbuat kekeliruan di dalam menakar
atau menimbang sesuatu, maka Allah swt mengetahui kebenaran niat yang
sesungguhnya, oleh karena itu maka ia tidak berdosa.
(وَاِذَا
قُلۡتُمۡ) Dan apabila kalian berkata dalam masalah hukum atau
lainnya (فَاعۡدِلُوۡا) maka hendaklah
engkau berlaku adil jujur (وَلَوۡ)
kendatipun dia orang yang bersangkutan (كَانَ
ذَا قُرۡبٰى) adalah kerabatmu keluarga. (وَبِعَهۡدِ
اللّٰهِ اَوۡفُوۡا ؕ ذٰ لِكُمۡ وَصّٰٮكُمۡ بِهٖ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُوۡنَ)
dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu
agar engkau ingat dengan memakai tasydid agar menjadikannya sebagai
pelajaran dan juga dibaca sukun.
b.
Asbabun Nuzul
Ata ibnus Saib telah meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu
Abbas, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian dekati
harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (Al-An'am: 152)
dan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
aniaya
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), dan penuhilahjanji Allah. Yang demikian
itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. al-An’aam: 152)
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), dan penuhilahjanji Allah. Yang demikian
itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. al-An’aam: 152). Atha’
bin as-Saib mengatakan dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
“Ketika Allah swt. menurunkan: wa laa taqrabuu maalal yatiimi illaa bil latii
Hiya ahsan (“Dan janganlah kamu dekatt harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih bermanfaat.”) Dan juga ayat yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara dhalim.” (QS. An-Nisaa’: 10).
c.
Tafsir Ayat
Apabila kalian telah mengerahkan
usaha-usaha kalian, maka tidak masalah bagi kalian dalam hal yang mungkin masih
terjadi kekurangan padanya. Kami tidak membebani seseorang, melainkan sekedar
kesanggupannya. Jika kalian berkata, maka usahakanlah sekuat tenaga untuk
berbuat adil dalam berucap tanpa condong dari kebenaran, baik dalam
menyampaikan berita, persaksian dan pemutusan hukum serta pemberian pembelaan.
Walaupun obyek yang terkait dengan
ucapan tersebut merupakan kaum kerabat dari kalian. Maka janganlah kalian
condong kepadanya tanpa alasan yang benar. Dan penuhilah janji Allah yang
mengikat kalian untuk komitmen dengan syariatNya. Hal-hal yang dibacakan kepada
kalian ini yang berupa hukum-hukum, Allah memerintahkan kalian untuk
melaksanakannya dengan harapan kalian mau mengingat-ngingat nasib kalian kelak.[5]
d.
Kandungan Hukum
Kandungan hukum dari ayat ini yaitu perlu diperhatikan bahwa
perintah-perintah yang menyusul kata ”diharamkan“ itu adalah apa yang Tuhan
menyuruh kita melaksanakannya dan bukan apa yang dilarang mengerjakannya.
Dengan demikian, yang dilarang itu kebalikan dari apa yang diperintahkan.
Perintah-perintah itu telah disebut di sini dengan jelas, sedangkan
larangannya tidak disebut, tapi tersirat di dalamnya. Jadi, di satu pihak
dengan mempergunakan kata “diharamkan“ dan, di pihak lain, dengan mengikutinya
atas perintah-perintah yang positip, ayat ini menggabungan di dalamnya
perintah-perintah yang langsung dan larangan-larangan.
Sesudah perintah-perintah tentang perlindungan terhadap jiwa, selanjutnya
disebutkan perintah melindungi harta. Setelah perintah menjaga lidah, datang
perintah menjaga hati seperti tersirat dalam kata-kata dan sempurnakanlah janji
Allahswt; sebab, jika perintah-perintah terdahulu berhunungan dengan perjanjian
dengan manusia, maka yang sekarang bertalian janji dengan Tuhan.
PENUTUP
A.
Simpulan
Pada surat
Al-Baqarah ayat 233 ini menjelaskan tentang hukum radha'ah, yang mana mempunyai
hubungan sangat erat dengan ayat sebelumnya, karena ayat sebelumnya menjelaskan
tentang nikah, thalaq serta hal lain yang berkaitan dengan hukum keluarga
(pernikahan).
Dengan
turunnya surat Al-Baqarah ayat 268, hati para sahabat merasa tenang dan tentram
karena mereka telah yakin bahwa segala larangan dan perintah Allah Swt itu
sesuai dengan kemampuan manusia.
Sejarah
menyebutkan bahwa setelah kekalahan kaum Muslimin di Uhud, Abu Sufyan telah
menentukan waktu untuk melakukan serangan berikutnya. Pada waktu yang telah
ditentukan juga, rasulullah saw memanggil dan mengundang Muslimin untuk
membicarakan masalah ini. Namun kenangan pahit mereka di Uhud telah menyebabkan
banyak sekali yang enggan datang. Sekaitan dengan hal ini, surat An-Nisa ayat
84 diturunkan dan diperintahkan kepada Rasulullah saw, sekiranya tidak ada satu
orangpun yang datang, engkau berkewajiban berperang dan berangkat ke medan tempur. Hal ini harus dilakukan
sekalipun engkau berkewajiban mengajak Muslimin untuk berjihad.
Turunya surat
Al-An’am ayat 152 disebutkan dan janganlah kalian mendekati wahai para penerima
wasiat, harta anak yatim yang meningggal bapaknya sedangkan dia masih kecil
kecuali dengan cara yang menyebabkan hartanya menjadi lebih baik dan dapat dia
manfaatkan, sampai dia mencapai usia baligh dan berakala matang. Ketika dia
telah mencapainya, maka serahkanlah hartanya kepadanya. Dan sempurnakanlah
takaran dan timbangan dengan adil hingga sempurna dan penuh.
DAFTAR PUSTAKA
Hanfi M Muchlis. 2017. ASBABUN-NUZUL:
Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur’an. Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an.
Rahman Safiyur Hashim Abu. 1999. Al-Misbah
Al-Munir fi TahzibTafsir Ibnu Katsir, Terj. Syaikh Shalliyyurrahman
al-Mubarakhuri. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir.
Departemen Agama Republik Indonesia.
1995. Al-Qur‟an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti.
Shihab Quraish. 2002. Tafsir
Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Tafsirweb,
https://tafsirweb.com/2276-quran-surat-al-anam-ayat-152.html, pada tanggal 18
Maret 2020, pukul 21.20.
[1] Muchlis M.
Hanafi, ASBABUN-NUZUL: Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur’an
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2017), hlm. 128.
[2] Abu Hashim
Safiyur Rahman, Al-Misbah Al-Munir fi TahzibTafsir Ibnu Katsir, Terj.
Syaikh Shalliyyurrahman al-Mubarakhuri, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 1999),
hlm. 135-136.
[3] Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti, 1995), hlm. 422.
[4] Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.
[5] Tafsirweb,
https://tafsirweb.com/2276-quran-surat-al-anam-ayat-152.html, pada tanggal
18 Maret 2020, pukul 21.30.