LEGITIEME
PORTIE
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Legietimie Portie adalah
bagian mutlak para ahli waris yang sama sekali tidak dapat dilanggar dengan
suatu penetapan yang dimuat dalam wasiat. Peraturan mengenai Legitieme
Portie tersebut oleh Undang-Undang dipandang sebagai suatu pembatasan
kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat menurut kehendak hatinya sendiri.
Pada
asasnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur mengenai apa yang akan terjadi
dengan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Seseorang pewaris
mempunyai kebebasan untuk mencabut hak waris dari para ahli warisnya, meskipun
ada ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang yang menentukan siapa-siapa yang
akan mewarisi harta peninggalannya dan berapa bagian masing-masing, akan tetapi
ketentuan-ketentuan tentang pembagian itu bersifat hukum mengatur dan bukan
hukum memaksa.
Biasanya orang menyimpulkan sifat
hukum legitime portie (bagian mutlak) dari sejarah. Pada permulaan abad
kesembilan belas masih terdapat dua sistem, yaitu sistem Romawi dan sistem
Prancis Jerman. Pembuat undang-undang tahun 1938 menurut pendapat Hamaker, Ter
Braak telah memilih sistem Romawi, tetapi menurut pendapat Land Meijers yang
telah dipilih adalah sistem Prancis- Jerman. Ciri dari sistem Prancis-Jerman
Bahwa menurut sistem ini legitimaris adalah ahli waris bagian mutlak dan karena
itu untuk bagian yang seimbang itu ia adalah berhak atas aktivanya dan
menanggung hutang-hutangnya, ciri dari legitime Romawi ialah bahwa legitimaris
tidak dianggap sebagai ahli waris dari bagiannya melainkan hanya mempunyai hak
tagih atas barang-barang seharga bagian mutlaknya. Sebenarnya mengenai sifat
hukum dari legitime itu tidak dapat dicari di dalam sejarah melainkan dari
Undang-Undang itu sendiri dan jurisprudensi.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian legitieme portie?
2. Siapakah
Ahli waris yang berhak atas legitieme portie?
3. Bagaimana
cara menentukan besarnya legitieme portie?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui tentang pengertian legitieme portie
2. Untuk
mengetahui ahli waris yang berhak atas legitieme portie
3. Untuk
mengetahui cara menentukan besarnya legitieme portie.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Legitieme Portie
Pengertian
tentang Legitime Portie ini dapat kita temukan dalam Pasal 913 KUHPerdata.:
“Bagian Mutlak atau legitime Portie, adalah sesuatu bagiam dari harta peninggalan
yang harus diberikan kepada waris, dalam garis lurus menurut undang-undang,
terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik
selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat[1]”
legitimaris
menurut Pitlo, adalah: ahli waris ab intestato yang dijamin oleh undang-undang
bahwa ia akan menerima suatu bagian minimum dalam harta peninggalan yang
bersangkutan. Baik dengan jalan hibah ataupun secara pemberian sesudah
meninggal (making bijdode) pewaris tidak boleh mencabut hak legistimaris ini.
Legitime
Portie (atau wettelijk erfdeel), yang secara harafiah diterjemahkan “sebagai
warisan menurut Undang-Undang”, dikalangan praktisi hukum sejak puluhan tahun
dikenal sebagai “bagian mutlak” (legitime Portie). Bagian mutlak adalah bagian
dari warisan yang diberikan Undang-Undang kepada ahli waris dalam garis lurus
ke bawah dan ke atas. Bagian mutlak tidak boleh ditetapkan atau dicabut dengan
cara apapun oleh pewaris, baik secara hibah-hibah yang diberikan semasa pewaris
hidup maupun dengan surat wasiat melalui hibah wasiat (legaat) dan erfstelling)
Menurut
Prof. Subekti, S.H., seorang pakar hukum perdata nasional, Legitieme Portie
adalah bagian warisan yang sudah di tetapkan menjadi hak para ahli waris dalam
garis lencang dan tidak dapat di hapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Bahwa tujuan dari pembuat undang-undang dalam menetapkan legitiemie portie ini
adalah untuk menghindarkan dan melindungi anak si wafat dari kecenderungan si
wafat menguntungkan orang lain. Jadi kalau kita telaah lebih jauh sesungguhnya
hal ini sama dengan hukum adat dan hukum Islam dimana dalam hal ini juga
membatasi hak si penghibah untuk membuat hibah wasiat[2].
Terdapat
2 (dua) cara seorang ahli waris mendapatkan warisan. Pertama, pewarisan secara
ab intestatodan kedua, pewarisan secara testamentair. Pewarisan secara ab
intestate adalah pewarisan menurut undang-undang yang mengutamakan hubungan
darah sebagai faktor penentu dalam hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli
waris. Sedangkan, pewarisan secara testamentair adalah pewarisan karena
ditunjuk dalam surat wasiat atau testament. Di dalam Hukum Perdata yang diatur
dalam KUHPerdata membahas mengenai pembatasan yang tidak boleh dilanggar dalam
membuat suatu surat wasiat. Di mana dalam surat wasiat terdapat batasan-batasan
yang bertujuan untuk melindungi ahli waris yang lebih berhak daripada orang
yang ditunjuk di dalam surat wasiat tersebut. Sehingga, terdapat ketentuan
dimana setiap ahli waris berhak mendapat bagian mutlak yang tidak dapat diganggu
gugat. Oleh karena itu, pemberian hibah kepada pihak lain tidak boleh melanggar
dan merugikan bagian ahli waris menurut undang-undang, karena ahli waris
menurut undang-undang memiliki bagian mutlak (legitime portie), yang diatur
dalam Pasal 913KUHPerdata yang sama sekali tidak dapat dilanggar bagiannya.
Ahli
waris yang memiliki bagian mutlak disebut juga legitimaris. Artinya selama ahli
waris yang bagiannya ditetapkan dalam surat wasiat tidak merugikan bagian
mutlak ahli waris legitimaris, wasiat tersebut dapat dilaksanakan. Apabila
bagian mutlak ahli waris legitimaris dirugikan oleh ahliwaris testamentair,
maka harus dikembalikan kepada ahli waris legitimaris, sesuai dengan bagian
yang seharusnya mereka dapatkan. Misalnya,untuk kantor pertanahan, telah
menerapkan syarat seperti demikian dalam permohonan pendaftaran hibah, yaitu
adanya surat persetujuan dari calon ahli waris penghibah.Padahal,jika dapat
dibuktikan bahwa pemberian hibah tersebut tidak melanggar bagian mutlak
(legitieme portie) dari ahli waris dalam sistem kewarisan perdata barat, maka
hibah tetap dapat dilaksanakan[3]
B.
Waris Yang Berhak Atas Legitime Portie
Syarat untuk dapat
menuntut suatu bagian mutlak (legitime portie) adalah :
1. Orang
harus merupakan keluarga sedarah dalam garis lurus, dalam hal ini kedudukan
garwa (suami / isteri) adalah berbeda dengan anak-anak. Meskipun sesudah tahun
1923 Pasal 852a KUHPerdata menyamakan garwa (suami/isteri) dengan anak, akan
tetapi suami/isteri tidak berada dalam garis lurus kebawah, mereka termasuk
garis kesamping. Oleh karna itu isteri/suami tidak memiliki legitime portieatau
disebut non legitimaris.
2. Orang harus ahli waris ab intestato. Melihat
syarat tersebut tidak semua keluarga sedarah dalam garis lurus memiliki hak
atas bagian mutlak. Yang memiliki hanyalah mereka yang juga waris ab
instestato.
3. Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan
wasiat pewaris, merupakan ahli waris secara ab intestato.[4]
Untuk
ahli waris dalam garis kebawah, jika pewaris hanya meninggalkan satu orang anak
sah menurut Pasal 914 KUHPerdata adalah ½ dari bagiannya menurut undang-undang,
jika meninggalkan dua orang anak sah, maka besarnya bagian mutlak adalah 2/3
dari bagian menurut undang-undang dari kedua anak sah tersebut, sedangkan jika
meninggalkan tiga orang anak sah atau lebih, maka besarnya bagian mutlak adalah
¾ dari bagian para ahli waris tersebut menurut ketentuan undang-undang. Bagian
menurut Undang-Undang adalah bagian ahli waris atas harta warisan sandainya
tidak ada hibah atau testament yang bisa dilaksanakan.
Untuk
ahli waris dalam garis keatas, besarnya bagian mutlak menurut ketentuan Pasal
915 KUHPerdata, selamanya ½ dari bagian menurut undang-undang. Sedangkan bagian
mutlak dari anak luar kawin yang telah diakui (Pasal 916 KUHPerdata) selamanya
½ dari bagian anak luar kawin menurut ketentuan Undang-Undang.
Ahli
waris yang tidak mempunyai bagian mutlak atau legitime portie, yaitu pertama
suami/isteri yang hidup terlama. Kedua para saudara-saudara dari pewaris.
Mereka tidak berhak (non legitimaris) karena berada dalam garis kesamping.
Digunakan tidaknya perhitungan berdasarkan legitime portie sangat tergantung
pada ada atau tidaknya hibah atau testament tang bisa dilaksanakan.[5]
Legitimaris Sebagai Ahli
Waris
Apakah legitimaris itu
ahli waris atau bukan, ini banyak dipersoalkan dan diperdebatkan oleh para ahli
hukum. Hal ini ada kaitannya dengan Pasal 920 KUHPerdata yang diantara lain
menyebutkan bahwa tuntutan pengurangan itu hanya dapat terjadi jika legitimaris
(atau ahli waris/penerima haknya) menuntutnya.[6]
Apabila si pewaris tidak
menghabiskan harta kekayaan karena ia telah menghibahkanya atau mewasiatkannya,
maka sisanya atau yang ada, dibagi diantara para ahli waris ab intestato dalam
mana juga termasuk para legitimaris. Dalam kedudukannya itu tentunya
legitimaris mempunyai saisine (Pasal 833 KUHPerdata). Tetapi bagaimana jadinya
apabila si pewaris telah mengasingkan seluruh harta kekayaanya.
Undang – Undang memang
menggunakan kata-kata “wettlijk erfdeel” (bagian warisan menurut undang-undang)
dan juga digunakannya sering kata-kata “erfgenamen” (ahli Waris) bila yang
dimaksud adalah legitimaris. Karena itu dapat saja disimpulkan bahwa
legitimaris adalah ahli waris, dan dari sini lebih lanjut dapat disimpulkan
bahwa apabila legitimaris menerima pelanggaran atas hak legitimenya maka ia
tetap tidak kehilangan kedudukanya sebagai ahli waris. Kedudukannya sebagi ahli
waris hanyalah dapat hilang dengan cara seperti yang disebutkan dalam Pasal
1057 KUHPerdata. Ialah “verwerping” (penolakan) terhadap harta warisan yang
harus dilakukan secara tegas dengan surat pernyataan yang harus dilakukan
secara tegas dilakukan dihadapan panitera Pengadilan Negeri.[7]
Jika kita memperhatikan
berbagai Pasal dalam KUHPerdata, Pasal 874,913 dan 929, maka jelas bahwa
legitimaris merupakan ahli waris atau mempunyai kedudukan sebagai ahli waris.
Legitimaris hanya merupakan ahli waris apabila ia mengemukakan haknya atas
bagian mutlaknya. Apa yang dinikmatinya karena “inkorting” (pengurangan)
diperolehnya karena hak ahli waris, tujuan dari tuntutan pengurangan atau
pemotongan adalah agar pemberian-pemberian yang dilakukan dengan hibah atau
wasiat itu dikurangi, jadi batal sepanjang hal itu diperlukan untuk memberikan
kepada legitimaris apa yang menjadi haknya sebagai ahli waris. Jalan pemikiran
demikian dapat ditemukan dalam Pasal 928 KUHPerdata :
“Segala barang tak
bergerak yang karena pengurangan harus kembali lagi dalam harta peninggalan,
karena pengembalian itu bebaslah dari segala beban, dengan mana si penerima
pengaruniaan telah membebaninya” .[8]
Apabila legitimaris
mengurangi suatu hibah barang tak bergerak, maka barang ini bukannya berpindah
dari si penerima hibah ke legitimaris, melainkan hibah itu batal dan dianggap
tidak pernah terjadi, orang yang meninggal itu tidak pernah kehilangan barang
dan dianggap masih selalu berada di dalam budelnya, ternyata setelah
pengurangan itu berpindah karena pewarisan dari si pewaris kepada si
legitimaris, maka ia tidak memperoleh kedudukan sebagai ahli waris karena
hukum, akan tetapi ia menjadi ahli waris oleh karena ia mengemukakan pembatalan
dari ketetapan-ketetapan yang melanggar legitime nya.
C.
Cara Menentukan besarnya legitieme portie
Legitime Portie (bagian
mutlak) Menurut Pasal 913 KUHPerdata :
“Bagian mutlak atau Legitime Portie, adalah
sesuatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris, dalam
garis lurus menurut undang-undang, terhadap mana si yang meninggal tak
diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih
hidup, maupun selaku wasiat”
Sedangkan menurut Pitlo, bagian yang dijamin
oleh Undang-undang legitime portie/wettlijk erfdel :
“Merupakan hak dia/mereka yang mempunyai
kedudukan utama/istimewa dalam warisan, hanya sanak saudara dalam garis lurus
(bloedverwanten in de rechte lijn) dan merupakan ahli waris ab intestato saja
yang berhak atas bagian yang dimaksud”.
Pada asasnya orang mempunyai kebebasan untuk
mengatur mengenai apa yang akan terjadi dengan harta kekayaannya setelah ia
meninggal dunia. Seseorang pewaris mempunyai kebebesan untuk mencabut hak waris
dari para ahli warisnya, karena meskipun ada ketentuan-ketentuan di dalam
undang-undang yang menentukan siapa-siapa akan mewaris harta peninggalannya dan
berapa bagian masing-masing, akan tetapi ketentuan-ketentuan tentang pembagian
itu bersifat hukum mengatur dan bukan hukum memaksa. Akan tetapi untuk ahli
waris ab intestato (tanpa wasiat) oleh Undang-Undang diadakan bagian tertentu
yang harus diterima oleh mereka, bagian yang dilindungi oleh hukum, karena
mereka demikian dekatnya hubungan kekeluargaan dengan si pewaris sehingga
pembuat Undang-Undang menganggap tidak pantas apabila mereka tidak menerima
apa-apa sama sekali. Agar orang secara tidak mudah mengesampingkan mereka, maka
Undang-Undang melarang seseorang semasa hidupnya menghibahkan atau mewasiatkan
harta kekayaannya kepada orang lain dengan melanggar hak dari para ahli waris
ab intestato itu. Ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian yang
dilindungi undang-undang itu dinamakan “Legitimaris” sedang bagiannya yang
dilindungi oleh Undang-Undang itu dinamakan “Legfitime portie”. Jadi harta
peninggalan dalam mana ada legitimaris terbagi dua, yaitu “legitime portie”
(bagian mutlak) dan “beschikbaar” (bagian yang tersedia).
Bagian yang tersedia ialah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, ia
boleh menghibahkannya sewaktu ia masih hidup atau mewariskannya. Hampir dalam
perundang-undangan semua negara dikenal lembaga legitime portie. Peraturan di
negara satu tidak sama dengan peraturan di negara lain, terutama mengenai
siapa-siapa sajalah yang berhak atasnya dan legitimaris berhak atas apa.
Bagian yang kedua itu (bagian mutlak), diperuntukkan bagian para
legitimaris bersama-sama, bilamana seorang legitimaris menolak (vierwerp) atau
tidak patut mewaris (onwaardig) untuk memperoleh sesuatu dari warisan itu,
sehingga bagiannya menjadi tidak dapat dikuasai (werd niet beschikbaar), maka
bagian itu akan diterima oleh legitimaris lainnya. Jadi bila masih terdapat
legitimaris lainnya maka bagian mutlak itu tetap diperuntukkan bagi mereka ini,
hanya jika para legitimaris menuntutnya, ini berarti bahwa apabila legitimaris
itu sepanjang tidak menuntutnya, maka pewaris masih mempunyai
“beschikking-srech” atas seluruh hartanya.[9]
Di dalam KUHPerdata asas
legitime dilakukan secara hampir konsekwen, di berbagai tempat dapat
diketemukan ungkapan, ungkapan seperti mengingat (behoudens)
peraturan-peraturan yang ditulis untuk legitime. Pewaris hanya dapat merampas
hak ahli waris dengan mengadakan perbuatan-perbuatan pemilikan harta kekayaan
sedemikian rupa sehingga tidak meninggalkan apa-apa. Bila orang sewaktu
hidupnya menggunakan harta kekayaannya sebagai uang pembeli lijfrente (bunga
cagak hidup) dapat mengakibatkan bahwa orang yang tidak meninggalkan apa-apa
terutama apabila perkawinannya dilangsungkan tanpa perjanjian kawin bahwa harta
warisannya itu tidak boleh jatuh dalam harta kebersamaan harta kawin anaknya.
Meskipun ketentuan mengenai legitime bersifat hukum pemaksa akan tetapi
bukan demi kepentingan umum. Ketentuan itu ada demi kepentingan legitimaris dan
bukan kepentingan umum. Karena itu legitimaris dapat membiarkan haknya
dilanggar, hal mana sangat erat berhubungan dengan pendapat bahwa pelanggaran
legitime tidak mengakibatkan “nietigheid” (kebatalan demi hukum) melainkan
hanya “eenvoudige vernietigbaareid”(dapat diminta pembatalannya secara
sederhana).
Jika seorang yang berhak atas legitime portie
(bagian mutlak) menolak warisan, apakah orang lain dapat menjadi legitimaris,
apabila seorang meninggal dunia dengan meninggalkan kakak dan kakek, maka
warisannya jatuh pada kakeknya?, Kakek memang keluarga dalam garis lurus akan
tetapi bukan ahli waris (golongan ketiga) sedangkan kakak (golongan kedua),
Kakek sebagai ahli waris golongan ketiga tidak akan mewaris jika golongan kedua
masih ada, karena itu kakek ini tidak berhak atas legitime. Apabila kakaknya
menolak warisan (Pasal 1058 KUHPerdata) maka baru kakek menjadi ahli waris.
Apakah bagian mutlak dari salah seorang ahli waris dapat menjadi besar karena ada
orang lain yang menolak warisan, bagian mutlak selalu merupakan suatu bagian
seimbang dari apa yang akan diterima ahli waris ab intestato, hal ini diatur
dalam Pasal 1914 KUHPerdata. Kesulitan yang sama dapat timbul pada “onterving”
(pemecatan sebagai ahli waris) dan “onwaadig” (ketidak pantasan/tidak patut
mewaris).
Undang-Undang hanya menyatakan, bahwa
agar seseorang berhak untuk menuntut atas bagian mutlak (legitime portie), ia
harus merupakan ahli waris ab intestatodalam garis lurus ke atas, dengan tidak
memperhatikan apakah ahli waris tersebut secara langsung atau merupakan ahli
waris sebagai akibat dari penolakan terhadap harta peninggalan.
KUHPerdata memberikan hak
bagi ahli waris legitimaris yang berkenaan dengan adanya bagian mutlak. Hak
yang diberikan oleh Undang-Undang adalah hak untuk mengajukan tuntutan
pengurangan atau pengembalian yang diberikan kepada pihak ketiga tersebut
terhadap harta yang menjadi bagian mutlak (legitime portie). Para ahli waris
legitimaris berhak mengajukan tuntutan untuk memenuhi legitime portie mereka
melalui inkorting/pengurangan, dengan cara perbandingan diantara ahli waris
yang diberikan. Setelah didapati hasil perbandingannya maka dihitunglah bagian
mutlak ahli waris legitimaris dengan cara, bagian yang diberikan dikurangi
hasil perbandingan dikalikan dengan keseluruhan kekurangan bagian mutlak.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pengertian
tentang Legitime Portie ini dapat kita temukan dalam Pasal 913 KUHPerdata.:
“Bagian Mutlak atau legitime Portie, adalah sesuatu bagiam dari harta
peninggalan yang harus diberikan kepada waris, dalam garis lurus menurut
undang-undang, terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan
sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat
Ahli
waris yang tidak mempunyai bagian mutlak atau legitime portie, yaitu pertama
suami/isteri yang hidup terlama. Kedua para saudara-saudara dari pewaris.
Mereka tidak berhak (non legitimaris) karena berada dalam garis kesamping.
Digunakan tidaknya perhitungan berdasarkan legitime portie sangat tergantung
pada ada atau tidaknya hibah atau testament tang bisa dilaksanakan.
KUH
Perdata memberikan hak bagi ahli waris legitimaris yang berkenaan dengan adanya
bagian mutlak. Hak yang diberikan oleh Undang-Undang adalah hak untuk
mengajukan tuntutan pengurangan atau pengembalian yang diberikan kepada pihak
ketiga tersebut terhadap harta yang menjadi bagian mutlak (legitime portie).
Para ahli waris legitimaris berhak mengajukan tuntutan untuk memenuhi legitime
portie mereka melalui inkorting/pengurangan, dengan cara perbandingan diantara
ahli waris yang diberikan. Setelah didapati hasil perbandingannya maka
dihitunglah bagian mutlak ahli waris legitimaris dengan cara, bagian yang
diberikan dikurangi hasil perbandingan dikalikan dengan keseluruhan kekurangan
bagian mutlak
Daftar Pustaka
Muliana dan Akhmad Khisni, “Akibat
Hukum Akta Hibah Wasiat Yang Melanggar Hak Mutlak Ahli Waris (Legitieme
Portie),” Jurnal Akta Vol. 4No. 4(Desember 2017)
Israviza Notaria, Liza Priandhini, R.
Islama Dewi, AKIBAT
HUKUM PEMBATALAN AKTA HIBAH YANGOBJEKNYA HARTA WARISAN YANG BELUM DIBAGI KEPADA
AHLI WARIS DAN MELEBIHI LEGITIEME PORTIE BERDASARKANPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 2954 K/PDT/2017, Indonesian Notary, 2020 – https://notary.ui.ac.id
SENOADJI, ANDREAS PRASETYO (2007) PENERAPAN LEGITIME PORTIE (BAGIAN
MUTLAK) DALAM PEMBAGIAN WARIS MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA STUDI
KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REG NO. 148/PK/Perd/1982. Masters thesis, Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Komar Andhasasmitha, Hukum
Harta Perkawinan dan Waris menurut KUHPerdata,Ikatan Notaris Indonesia,
Jakarta, 1987
Hartono Soerjopratiknjo,
Hukum Waris Testamenter, Seksi Notaris FH UGM, Jogjakarta,1984,
[1] Suberti dan Tjitro Sudibyo. Op.cit. hal. 239
[2] Muliana dan Akhmad Khisni, “Akibat Hukum Akta
Hibah Wasiat Yang Melanggar Hak Mutlak Ahli Waris (Legitieme Portie),” Jurnal
Akta Vol. 4No. 4(Desember 2017), hlm. 739-740.
[3] Israviza Notaria, Liza Priandhini, R. Islama
Dewi, AKIBAT HUKUM
PEMBATALAN AKTA HIBAH YANGOBJEKNYA HARTA WARISAN YANG BELUM DIBAGI KEPADA AHLI
WARIS DAN MELEBIHI LEGITIEME PORTIE BERDASARKANPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
2954 K/PDT/2017, Indonesian Notary, 2020 – https://notary.ui.ac.id
[4] SENOADJI, ANDREAS PRASETYO (2007) PENERAPAN LEGITIME PORTIE (BAGIAN
MUTLAK) DALAM PEMBAGIAN WARIS MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA STUDI
KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REG NO. 148/PK/Perd/1982. Masters thesis, Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro.
[5] Ibid. hal. 68
[6] Andasasmita. Op.Cit. Hal. 326
[7] Ibid. Hal. 131
[8] Ibid., hal. 243.
[9] Komar Andhasasmitha, Hukum Harta Perkawinan dan Waris menurut
KUHPerdata,Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta, 1987 ,hlm.143
[10] Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter, Seksi Notaris FH
UGM, Jogjakarta,1984,hlm.308