PENGURUS HARTA PENINGGALAN
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia di dalam perjalanan hidupnya di dunia selalu akan mengalamai 3 (tiga) peristiwa yang penting yaitu: pertama, waktu ia pertama kali dilahirkan, kedua, waktu ia kawin, dan ketiga, pada waktu ia meninggal dunia. Setiap manusia di dalam perjalanan hidupnya di dunia selalu akan mengalamai 3 (tiga) peristiwa yang penting yaitu: pertama, waktu ia pertama kali dilahirkan, kedua, waktu ia kawin, dan ketiga, pada waktu ia meninggal dunia.
Setiap manusia di dalam perjalanan hidupnya di dunia selalu akan mengalamai 3 (tiga) peristiwa yang penting yaitu: pertama, waktu ia pertama kali dilahirkan, kedua, waktu ia kawin, dan ketiga, pada waktu ia meninggal dunia. Suatu keluarga terlahir karena adanya perkawinan dan berakhir karena perceraian atau kematian. Berbicara mengenai kemati-an erat kaitannya dengan waris. Apabila se-seorang meninggal memiliki harta kekayaan, maka yang menjadi pokok persoalan bukan-lah peristiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan yang ditinggalkan. Artinya siapa-kah yang berhak atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh almarhum dan siapakah yang wajib menanggung dan membereskan hutang- hutang almarhum jika meninggalkan hutang- hutang yang menjadi kewajibannya.
Berdasarkan Pasal 1126 KUHPerdata, jika suatu warisan terbuka, tiada seorang yang menuntutnya, ataupun apabila semua waris yang terkenal menolaknya, maka dianggaplah warisan tersebut sebagai harta peninggalan yang tak terurus dan Pasal 1127 KUHPerdata menjelaskan Balai Harta Peninggalan demi hukum ditugaskan menjalankan pengurusan atas setiap warisan yang tak terurus. Beranjak dari latar belakang tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap pengurusan harta peninggalan yang tak terurus sangat penting, baik untuk khalayak umum maupun akademisi. Oleh karena itu, makalah “Pengurus Harta Peninggalan” ini kami upayakan sebagai bentuk untuk mempermudah kita kalaupun tidak bisa dikatakan sebagai bentuk kemudahan, setidaknya sebagai penambah wawasan kita terkait pengurus harta peninggalan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pengurus harta peninggalan?
2. Bagaimana cara pengangkatan pengurus harta peninggalan?
3. Apa kewajiban pengurus harta peninggalan?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari pengurus harta peninggalan
2. Untuk mengetahui cara pengangkatan pengurus harta peninggalan
3. Untuk mengetahui mengenai kewajiban pengurus harta peninggalan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pengurus Harta Peninggalan
Pengurus
harta peninggalan diatur oleh BW dalam pasal 1019 sampai dengan pasal 1022 BW.
Dimulai dari pasal 1019 BW yang menetapkan bahwa pewaris berhak untuk menunjuk
seseorang pengurus harta peninggalan untuk selama waktu tertentu atau selama
hidupnya ahli waris. Si peninggal warisan ini dapat menunjuk pengurus harta
warisan hanya hak memetik hasil yang diberikan kepada ahli waris yang di bawah
umur atau yang ada di bawah pengampunan.
Selanjutnya
jika pengurus harta peninggalan ini karena suatu hal kemudian berhalangan untuk
melaksanakan tugasnya, dan oleh si pewaris tidak ditentukan penggantinya maka
hakim harus menunjuk penggantinya setelah mendengarkan pendapat dari jaksa
(1020 BW). Cara penunjuk pengurus harta peninggalan ini oleh pasal 1019 BW
ditentukan dalam testamen atau di dalam akta notaris khusus dan tidak boleh
dalam akta bawah tangan.
Dengan
penunjukan tersebut maka seseorang yang ditunjuk dapat menolak penunjukannya
(1021 BW), namun jika ia tidak menolak, maka ia harus melakukan tugas dan
kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Bagi seorang pengurus harta peninggalan
yang tidak ditentukan upahnya oleh pewaris, maka pengurus harta peninggalan ini
dapat memperhitungkan upahnya menurut pasal 411 BW yaitu 1 ½ % dari yang
diterima oleh anak yang dibawah perwaliannya untuk harta warisan, atau 2%
pengeluaran, atau 3% dari hasil.
Pengurusan
harta peninggalan tak terurus yang dilakukan Balai Harta Peninggalan dapat
berupa perjanjian sewa dengan pihak penyewa harta peninggalan tak terurus
dan/atau penjualan harta peninggalan tak terurus. Namun apabila dalam
pengurusan harta peninggalan tak terurus, sewaktu-waktu muncul ahli waris yang
berhak atas harta peninggalan tersebut maka Balai Harta Peninggalan bertanggung
jawab atas segala sesuatu yang telah diurusnya kepada ahli waris tersebut.
Balai Harta
Peninggalan yaitu sebagai wakil dari kepentingan orang-orang yang karena hukum
atau keputusan hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kewenangan hukum merupakan
kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang didasarkan pada asas
legalitas (Ridwan, 2006:90). Balai Harta Peninggalan merupakan unit pelaksana
teknis atau satuan kerja yang berada pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia yang secara teknis berada dibawah dan bertanggung
jawab kepada Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum melalui Direktorat
Perdata.[1]
Berdasarkan
Pasal 1127 KUHPerdata dijelaskan bahwa Balai Harta Peninggalan, demi hukum
ditugaskan menjalankan pengurusan atas setiap warisan yang tak terurus. Pada
pasal 1128 ayat (1) KUHPerdata dijelaskan bahwa Balai Harta Peninggalan, ketika
mulai mengurus harta warisan itu, harus menyegel barang-barang warisan,
kemudian mengadakan perincian dari barang-barang itu, selanjutnya mengurus
barang-barang itu dan menyelesaikannya. Balai Harta Peninggalan juga diwajibkan
memanggil para ahli waris yang ada, dengan melakukan panggilan-panggilan umum
yang dimuat dalam surat-surat kabar, dan dengan dengan cara-cara lain yang
dianggap layak (Pasal 1128 ayat (2) KUHPerdata).
B. Cara Pengangkatan Pengurus Harta Peninggalan
Pada
hakikatnya tugas BHP dapat dibagi kedalam 4 (empat) klasifikasi, yaitu:
1. Pengampu bagi yang tidak cakap
bertindak di bidang hak milik, yaitu:
a. Melindungi kepentingan anak di bawah umur;
b. Pengampu Pengawas.
2. Pengelola uang pihak ketiga karena tidak diketahui pemiliknya,
yaitu:
a. Uang yang berasal dari orang
tidak hadir (afwezigheid);
b. Uang yang berasal dari harta
tiada kuasanya (onbeheerde);
c. Uang yang berasal dari transfer
dana;
d. Uang yang berasal dari Jamsostek.
3. Bidang hak waris, yaitu:
a. Membuat surat keterangan hak
mewaris;
b. Mendaftarkan wasiat yang terbuka;
c. Membuka wasiat tertutup;
d. Pemecahan dan pembagian waris
(boedelsheiding).
4. Bidang kepailitan, yaitu:
a. Demi hukum sebagai Kurator
Negara;
b. Pengurus Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang;
c. Likwidator PT.
Adapun sumber tugas BHP berasal dari
3 (tiga) instansi pemerintah lainnya, yaitu Pengadilan Negeri setempat dan
Kantor Catatan Sipil, dan dari Notaris. Dengan Pengadilan Negeri, BHP memiliki
hubungan kerja antara lain dalam hal:
1. Putusan Pailit (Pengadilan negeri-Niaga);
2. Penetapan atau putusan ketidakhadiran (Afwezigheid);
3. Penetapan pengangkatan wali;
4. Penetapan harta tak terurus (Onbeheerde);
5. Penetapan ijin jual.[2]
Dalam undang-undang perlindungan
anak ini diatur juga antara lain mengenai perwalian dan wali pengawas. Pasal 33
UU No.23/2002 menentukan bahwa: Dalam hal orang tua tidak cakap melakukan
perbuatan hukum, tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaanya, maka
seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk wali anak
yang bersangkutan. Pengangkatan wali dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Wali wajib mengelola harta milik
anak.Dalam pasal 34 UU No.23/2002 menentukan bahwa: “wali yang ditunjuk
berdasarkan penetapan pengadilan dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan
hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak”.[3]
Berkaitan dengan tata cara
penunjukan/pengangkatan kurator oleh pengadilan niaga, dalam pasal 15 ayat 2 Undang-Undang
No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU disebutkan dalam hal debitor,
kreditor, atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit
tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada pengadilan maka Balai harta
Peninggalan diangkat selaku kurator.
Dalam Pasal 1
angka 5 UUK No. 37 Tahun 2004 dikatakan bahwa “Kurator adalah Balai Harta
Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk
mengurus dan membereskan harta debitur pailit dibawah pengawasan hakim pengawas
sesuai dengan undang-undang ini”.
Ketentuan yang mengatur mengenai kurator diatur dalam Pasal 70 UU
No. 37 Tahun 2004:
1)
Kurator
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 adalah:
a)
Balai Harta
Peninggalan.
2)
Yang dapat
menjadi kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah:
a)
Orang
perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang
dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/ atau membereskan harta pailit; dan
b)
Terdaftar pada
kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan
peraturan perundang-undangan. [4]
C. Kewajiban Pengurus Harta Peninggalan
Secara nyata Allah SWT menyebutkan
tindakan tersebut dalam surat An-Nisaa’ (4), ayat 11 dan 12. Dalam kedua ayat
tersebut Allah SWT menyatakan bahwa harta warisan menurut bagian yang
ditentukan dilakukan “sesudah diberikan wasiat yang diwasiatkan dan sesudah
dibayar hutang yang dibuat pewaris”. Ketentuan ini dalam ayat 11 disebut satu
kali dan dalam ayat 12 disebutkan sebanyak tiga kali.
دَيْنٍاَوْبِهَآ يُّوْصٰىوَصِيَّةٍ بَعْدِمِنْۢ
Artinya: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas)
setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan sesudah dibayar) hutangnya.”[5]
Berdasarkan ayat tersebut, jelas adanya keharusan
untuk membebaskan hak- hak orang lain yang tersangkut dalam harta peninggalan
itu. Seandainya harta yang ditinggalkan itu banyak, sehingga sesudah
dikeluarkan segala macam kewajiban yang terdapat didalamnya, masih banyak harta
yang ditinggalkan, tidak ada persoalan kewajiban mana yang harus dipenuhi
terlebih dahulu. Tetapi bila harta yang ditinggalkan sedikit dan tidak cukup
untuk menyelesaikan semua kewajiban, perlu difikirkan kewajiban mana yang lebih
dahulu dipenuhi. Oleh sebab itu perlu dijelaskan disini urutan-urutan kewajiban
yang harus dilakukan oleh ahli waris terlebih dahulu terhadap harta
peninggalan.
Al-Quran hanya menjelaskan dua kewajiban
yang disebutkan secara berurutan sebagai prasyarat pembagian warisan untuk ahli
waris, yaitu wasiat dan hutang. Sekalipun dalam Al-Qur an Allah menyebutkan
wasiat lebih dahulu dari hutang, namun tidak berarti dalam pelaksanaannya,
wasiat harus mendahului pembayaran hutang. Yang dikehendaki Allah dalam ayat
ini ialah wasiat dan hutang harus lebih dahulu diselesaikan sebelum pembagian
warisan.[6]
Jika seorang meninggal dunia sebelum harta
peninggalannya dibagikepada ahli warisnya, terlebih dahulu ahli waris
berkewajiban membayar semua kewajiban yang bersangkut paut dengan harta
peninggalan itu.
1. Membayar
Biaya Penyelenggaraan Jenazah.
Walaupun didalam Al-Quran tidak dijelaskan
sama sekali tentang biaya penyelenggaraan jenazah,namun hasil ijtihad dari
Ulama Jumhur menetapkan bahwa biaya pengurusan jenazah merupakan tindakan
pertama yang harus dilakukan.[7]
Biaya penyelenggaraan jenazah dalam istilah fiqh mawaris dikenal dengan nama
tajhiizul mayit ( المیت تجھیز) adalah segala yang diperlukan oleh
seseorang yang meninggal dunia mulai dari wafatnya sampai kepada penguburannya.
Diantara kebutuhan tersebut antara lain biaya memandikan, mengkafankan,
menguburkan, dan segala yang diperlukan sampai diletakkan ketempat yang
terakhir.[8]
Semua biaya penyelenggaraaan jenazah tersebut jika tidak ada yang menanggungnya
harus diambilkan dari hartanya sendiri.
Biaya penyelenggaraan jenazah harus
menurut cara yang dipandang ma’ruf oleh agama Islam, yaitu tanpa
berlebihlebihan dan tanpa terlalu menyedikitkan, harus menurut ukuran yang
wajar. Karena jika berlebihan akan mengurangi hak ahli waris dan jika sangat
kurang akan mengurangi hak si mayit.
2. Membayar
Hutang-Hutang Pewaris.
Hutang dari seseorang yang telah meninggal
tidak menjadi beban ahli warisnya, karena hutang dalam pandangan Islam tidak
diwarisi. Hutang tetap menjadi tanggung jawab yang meninggal yang dibebankan
kepada harta yang ditinggalkannya. Kewajiban ahli waris adalah hanya sekedar
menolong membayarkan hutang tersebut dari harta peninggalannya.
Karena hutang pewaris itu harus dibebankan
kepada harta yang ditinggalkannya, untuk tidak membebani ahli waris dengan
hutangnya itu, maka tindakan pembayaran hutang harus dilaksanakan sebelum
pembagian harta warisan.
Hutang adalah merupakan suatu tanggungan
yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari prestasi yang pernah diterima oleh
seseorang. Jika si pewaris meninggalkan hutang yang belum dibayar ketika ia
masih hidup, baik yang berkaitan dengan sesama manusia, maupun hutang kepada
Allah SWT. Hutang tersebut harus dilunasi dari harta peninggalan pewaris
setelah dikeluarkan biaya penyelenggaraan jenazahnya. Melunasi hutang adalah termasuk
kewajiban yang utama demi untuk membebaskan pertanggungan jawabnya dengan orang
yang memberinya hutang di akhirat nanti.
Hutang-hutang manusia dapat
diklasipikasikan menjadi dua macam, yaitu:
Hutang kepada Allah( الله دین)
Seperti mengeluarkan zakat, pergi haji dan pembayaran kafarah, dan sebagainya.
Hal ini disebut dengan hutang secara majazi bukan secara haqiqy, karena
kewajiban untuk menunaikan hal tersebut bukan sebagai imbalan dari suatu
prestasi yang pernah diterimanya, tetapi sebagai pemenuhan kewajiban yang
dituntut sewaktu dia masih hidup.
Hutang kepada manusia (العباد دین)
adalah merupakan suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari
prestasi yang pernah dia terima sewaktu masih hidup.
3. Melaksanakan
atau Membayar Wasiat Pewaris.
Wasiat adalah memberikan hak memiliki
sesuatu secara sukarela yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya
peristiwa kematian atau pesan seseorang untuk memberikan sesuatu kepada orang
lain, diberikan setelah dia meninggal dunia.[9]
Besarnya jumlah wasiat yang akan
dilaksanakan adalah tidak boleh lebih dari 1/3 harta peninggalan setelah
dikurangi biaya pengurusan jenazah dan setelah dibayar seluruh hutang-hutang si
mati.
Manusia selalu bercita-cita supaya amal
perbuatannya didunia diakhiri dengan amal-amal kebajikan untuk menambah amal
taqarrub (mendekatkan diri) nya kepada Allah SWT, atau untuk menambah
kekurangan amal perbuatannya sewaktu dia masih hidup. Wasiat itu disyari’atkan
untuk memenuhi kebutuhan orang lain, karena didalam wasiat terdapat unsur
pemindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain sebagaimana dalam waris
mewarisi. Hanya saja pemindahan hak milik tersebut tidak boleh lebih dari 1/3
harta peninggalan setelah dikurangi kewajiban-kewajiban biaya penyelenggaraan
jenazah dan biaya pembayar hutangnya. Hal ini adalah supaya tidak merugikan
para ahli waris.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
alai
Harta Peninggalan adalah unit Pelaksana Teknis dalam lingkungan Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia selanjutnya membidangi perwalian, pengampunan,
ketidakhadiran, harta peinggalan tidak terurus, pendaftaran surat wasiat, surat
keterangan waris, keilitan, aset bank dalam likuidasi, dan Harta Tidak Terurus.
Balai Harta Peninggalan berkewajiban untuk memberikan perhitungan dan
pertanggungjawaban secara singkat dan memperlihatkan efek-efek dan surat-surat
yang berhubungan dengan pengelolaan itu kepada jawatan kejaksaan pada
Pengadilan Negeri yang telah mengangkatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Novianti,
Imaniar Putri. 2015. Kedudukan dan
Kewenangan Balai Harta Peninggalan dalam Pengelolaan Harta Peninggalan Tak
Terurus. Jurnal Pandecta unnes vol 1 no 1
Nurhidayah,
“Jurnal Eksistensi Balai Harta Peninggalan dalam Penanganan
Kasus Kewarisan Anak”.
2019. (Fakultas Syari’ah dan Hukum Islam
Negeri Alauddin Makassar), Vol. 1 No. 1
Oktober.
Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan Balai Harta Peninggalan.
H. Simatupang, Taufiq, 2016.
“Jurnal Eksistensi dan efektifitas pelaksanaan tugas balai harta peninggalan di
Indonesia”, Jakarta, Vol. 18 No. 3, September 2018.
[1] Imaniar Putri Novianti, Kedudukan dan Kewenangan Balai Harta
Peninggalan dalam Pengelolaan Harta Peninggalan Tak Terurus, Jurnal
Pandecta unnes vol 1 no 1, juni 2015, hal 128
[2]Taufiq H.
Simatupang, “Jurnal Eksistensi dan efektifitas pelaksanaan tugas balai harta
peninggalan di Indonesia”, (Jakarta: 2016), Vol. 18 No. 3, September 2018, hlm. 405
[3] Nurhidayah,
“Jurnal Eksistensi Balai Harta Peninggalan dalam Penanganan Kasus Kewarisan
Anak”. (Fakultas Syari’ah dan Hukum Islam Negeri Alauddin Makassar), Vol. 1
No. 1 Oktober 2019, hlm. 35.
[4] Kurator Nien
Rafles Siregar, Sumber: www.hukum online.com, diakses 15 April 2020, hlm. 125
[5] Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 78.
[6] Muhammad ‘Ali as-Sayis, Tafsir Ayat al- Ahkam, (Mesir : Muhammad
‘Ali Shabiah, 1953), h. 47
[7] Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar ( Mesir : Mustafa al-Babiy al-Halabiy,
1966), hal 780.
[8] Al-Sayid Saabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz III, ( Beirut : Dar
Al-Fikri, 1983), hal 452.
[9] Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, Op.Cit, h. 55.