Praktek Formula Penalaran Hukum Model IRFAC

Praktek Formula Penalaran Hukum Model IRFAC


A. Gabungan Penalaran Deduksi Induksi

    Gabungan berpikir deduksi dan induksi, berpikir gabungan di laksanakan dalam penalaran penelitian secara berurutan.  Semua penalaran yang menggunakan pikiran sudah tentu berpangkal pada logika. Dengannya, dapat diperoleh hubungan antar pernyataan. Namun, tidak semua anggapan atau pernyataan berhubungan dengan logika. Hanya yang bernilai benar atau salahlah yang bisa dihubungkan dengan logika. Disebut logika bilamana ia secara luas dapat definisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara benar, yang bermuara pada kesimpulan yang benar.  Penarikan kesimpulan dalam berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan logika deduktif dan logika induktif.

    Dalam logika penalaran, yang menjadi pertimbangan adalah pernyataan-pernyataan yang ada sebelumnya. Masing-masing hanya dapat bernilai salah atau benar namun tidak keduanya. Hal inilah yang sebelumnya disebut sebagai proposisi. Proposisi yang telah dihimpun ini nantinya akan dapat dievaluasi dengan beberapa cara, seperti: deduksi dan induksi. 

    Dalam hal penalaran hukum, dikenal dua metode dalam melakukan penalaran yakni metode penalaran deduktif dan metode penalaran induktif. Penalaran deduktif merupakan suatu prosedur penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan yang bersifat lebih khusus. Penalaran induktif merupakan prosedur penalaran yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran dedukatif. 


B. Penalaran Hukum Model IRFAC

    Legal reasoning diartikan sebagai proses dan kegiatan berfikir dari seseorang terhadap hukum dalam lingkungan sosial dan kulturalnya. Ketika seorang hakim menjatuhkan putusan, maka legal reasoning-nya adalah apa landasan hakim menjatuhkan putusan tersebut. Bagaimanakah cara hakim berfikir dan memandang peristiwa hukum yang ia hadapi. Serta ketepatan antara reason (pertimbangan, alasan) dengan putusan.

    Pembentukan legal reasoning sangat dipengaruhi oleh sudut pandang dari subjek-subjek yang melakukan kegiatan penalaran, in casu hakim. Sudut pandang inilah yang kemudian bermuara menjadi orientasi berpikir yuridis, yakni berupa model-model penalaran di dalam disiplin hukum, khususnya sebagaimana dikenal luas sebagai aliran-aliran filsafat hukum.

    Menurut Sidarta, salah satu faktor yang mempengaruhi sudut pandang seorang hakim dalam membentuk legal reasoning adalah keluarga sistem hukum yang dianut.  Keluarga sistem hukum memainkan peranan penting dalam menentukan model-model penalaran yang disajikan dalam kerangka orientasi berpikir yuridis.

    Selanjutnya untuk memudahkan peneliti memahami legal reasoning hakim, ada dua konsep atau formula yang bisa digunakan. Pertama adalah pembentukan legal reasoning melalui formula IRAC (Issue, Rule, Analysis, Conclusion) yang ditawarkan oleh Prof. Peter Suber, dari Philosophy Department, Earlham University (16).  Sedangkan, formula kedua formula IRFAC (Issue, Rule, Facts, Analysis, Conclusion) yang ditawarkan oleh K.Krasnow Waterman, Ph.D. dari Faculty of Law North Western University (17).  Keistimewaan formula IRAC dan IRFAC ini adalah bahwa keduanya memungkinkan para hakim untuk menyederhanakan kompleksitas permasalahan hukum menjadi sebuah rumus atau formula sederhana.

    Formula IRFAC terbentuk dari LIMA elemen, yaitu :

1. Issues, adalah permasalahan-permasalahan yang terkait dengan aturan hukum. Isu hukum diperoleh dari fakta-fakta dan alasan suatu perkara diajukan ke pengadilan.

2. Rules, aturan hukum apa saja yang berlaku terhadap isu hukum tersebut.

3. Facts, fakta atau keadaan yang tidak dibantah atau yang bersesuaian satu sama lain berdasarkan keterangan saksi dan keterangan terdakwa serta barang bukti yang relevan dengan unsur dakwaan.

4. Analysis, mencari jawaban apakah aturan-aturan hukum tersebut dapat diterapkan terhadap fakta-fakta khusus dari isu hukum dibahas.

5. Conclusion, adalah kesimpulan terpenuhi tidaknya aturan hukum dalam isu yang sedang diperiksa.

    Kesalahan terbesar yang sering terjadi yaitu terdapat kecenderungan untuk hanya menyoroti permasalahan atau isu hukumnya saja kemudian mengutip aturan-aturan hukum yang hendak diterapkan, tanpa membuat atau melakukan analisis sama sekali. Padahal, yang terpenting bukanlah sekedar menemukan hukumnya saja, melainkan juga menerapkan aturan hukum tersebut terhadap serangkaian fakta atau keadaan yang dijumpai. Analisis merupakan bagian terpenting dari formula IRFAC, karena di sinilah terjadi proses berpikir atau penalaran (reasoning) yang sesungguhnya. Ketepatan analisis akan sangat memudahkan memahami kesimpulan hukum yang diambil hakim.


C. Contoh Dalam Hukum Umum dan Hukum Islam

1. Legal Reasoning Hakim Pengadilan Negeri Batang Tentang Hukum Operasi Ganti Kelamin Penderita Transeksual.

    Kasus ini diawali dengan adanya permohonan pengesahan perubahan kelamin AW dari seorang laki menjadi seorang perempuan bernama NAA kepada Pengadilan Negeri Batang. Kemudian dalam ketetapan PN Batang mengabulkan permohoan tersebut. Berdasarkan formula IRFAC, legal reasoning putusan hakim Pengadilan Negeri Batang No. 19 / Pdt.P / 2009 / PN.Btg. tentang hukum operasi ganti kelamin transeksual diperoleh dengan pencarian 4 (empat) komponen yang dipahami sekaligus digunakan hakim dalam perkara yang diperiksa. Unsur tersebut meliputi; issue, rules, analisys dan conclusion. 

a. Isu Hukum (legal issues)

    Isu hukum sebuah perkara disarikan dari fakta-fakta yang ditemukan hakim di dalam proses persidangan. Berdasarkan salinan putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Batang dalam perkara nomor 19 / Pdt.P / 2009 / PN. Btg., ditambah wawancara dengan Ibu Widyatinsri Kuncoro Yakti selaku hakim yang menangani perkara yang diajukan oleh AW, diperoleh ringkasan fakta sebagai berikut :

1. Bahwa pemohon lahir di Semarang pada tanggal 14 Agustus 1979 dengan jenis kelamin laki-laki dan diberi nama AW.

2. Bahwa sejak usia balita pemohon memiliki dorongan bertingkah laku sebagai perempuan, sementara secara fisik alat kelamin laki-laki pemohon juga tidak berukuran normal karena berukuran lebih kecil, tidak dapat ereksi dengan sempurna (lembek) walaupun masih dapat melakukan ejekulasi. Juga ditemukan tanda-tanda kelelakian pemohon tidak tumbuh dengan sempurna ditandai tidak tumbuhnya jakun. Data ini diperkuat keterangan saksi yaitu kedua orang tua Pemohon.

3. Bahwa untuk mencari jalan keluar dari kelainan yang dideritanya, pemohon kemudian diperiksa oleh Tim Dokter dari RS Karyadi Semarang. Pemeriksaan secara intensif pada diri pemohon meliputi tes psikologi, tes hormonal, tes kepribadian, tes kesehatan yang dilakukan oleh ahli-ahli seperti psikiater, Psikolog, Bedah, Penyakit Dalam, Genetikal, Obstetry dan Ginecology dan dinyatakan layak untuk melakukan operasi ganti kelamin. Kemudian Pemohon dirujuk ke RS Dr. Soetomo Surabaya dan terhadap diri Pemohon sekali lagi dilakukan observasi serupa diketuai oleh Prof. Dr. Djohansyah marzoeki, dr, SpBp (K) dan hasil pemeriksaan oleh tim tersebut dinyatakan Pemohon layak melakukan operasi ganti kelamin.

4. Pada hari Kamis tanggal 20 januari 2005 dilakukan operasi ganti kelamin terhadap Pemohon di RSUD Dr. Soetomo Surabaya oleh tim yang diketuai oleh Prof. Dr. Djohansyah marzoeki, dr, SpBk (K). Dengan keberhasilan operasi ini artinya sejak operasi tersebut organ kelamin pemohon berubah menjadi organ kelamin perempuan. Pemohon telah membuktikan organ kelamin barunya melalui hubungan seksual dan menyatakan dapat berfungsi sesuai dengan keinginannya.

5. Bahwa dengan berhasilnya operasi ganti kelamin pemohon maka terjadi perbedaan antara jenis kelamin pemohon yang tercatat dalam administrasi Negara dengan jenis kelamin senyatanya yang terdapat pada pemohon. Maka permohonan yang diajukan pemohon tidak lain dalam rangka merubah identitas formal jenis kelamin pemohon agar terjadi kesesusuaian antara jenis kelamin yang tercatat dalam administrasi kenegaraan dengan jenis kelamin fisik Pemohon.

    Sekilas dari 2 (dua) isu hukum di atas tidak menyinggung sama sekali kedudukan hukum operasi ganti kelamin yang dilakukan pemohon sebagaimana yang menjadi obyek penelitian. Namun demikian dalam kasus ini perubahan identitas yang terjadi pada pemohon disebabkan oleh kejadian lain yakni adanya tindakan operasi ganti kelamin. Keadaan ini menjadikan hakim dituntut untuk juga mencari kebenaran materil dari tindakan operasi ganti kelamin tersebut. Dengan demikian sangat beralasan bahwa dalam isu hukum nomor satu sebagaimana telah disebutkan di atas, terkandung isu hukum tentang “kedudukan hukum operasi ganti kelamin yang dilakukan pemohon menurut hukum perdata”. 

b. Aturan Hukum yang Terkait (Rules)

    Berdasarkan pengetahuan hakim kasus perubahan status hukum jenis kelamin seseorang yang berjenis kelamin laki-laki menjadi seorang yang berjenis perempuan atau sebaliknya yang disebabkan oleh adanya tindakan operasi ganti kelamin, sampai saat ini belum ada aturan hukumnya secara spesifik dalam positif di Indonesia. Namun perkara ini bisa dikaitkan dengan beberapa aturan hukum yaitu :

1. Undang-undang Dasar 1945. Pasal 27 menjamin bahwa setiap warga Negara memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Dalam pasal 28 salah satunya diatur bahwa pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi.

2. Pasal 21 dan pasal 29 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia menyatakan bahwa hak setiap orang atas keutuhan dirinya baik jasmani maupun rohani dan setiap orang berhak atas pengakuan hukum untuk mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan keadaan pribadinya.

3. Pasal 2 UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur hak tiap penduduk untuk memperoleh dokumen kependudukan yang berdasarkan pasal 58 UU No. 23 Tahun 2006 ini menjelaskan bahwa administrasi kependudukan meliputi data pribadi termasuk jenis kelamin sesuai dengan keadaan tiap penduduk.

4. Pasal 77 UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Di dalamnya juga diatur bahwa tidak seorangpun dapat merubah/mengganti/ menambah identitas dirinya tanpa ijin Pengadilan.

5. Negara melalui pengadilan negeri telah beberapa kali mengesahkan keberadaan sebagaimana pemohon. Salah satunya adalah penetapan hakim No. 26 / 1985 / SP yang mengesahkan perubahan jenis kelamin terhadap Sdr. Boedi Wibowo.

    Dalam perkara ini terdapat beberapa isu hukum. Namun sesuai dengan tema hanya akan mendeskripsikan analisa hakim terhadap 1 (satu) isu hukum yakni bagaimana analisa hakim tentang kedudukan hukum operasi ganti kelamin penderita transeksual. Berdasarkan konsideran yang terdapat dalam salinan putusan Pengadilan Negeri Batang No. 19 / Pdt. P / PN.Btg dan hasil wawancara peneliti dengan Ibu Widyatinsri Kuncoro Yakti selaku hakim yang menangani perkara ini, diperoleh analisa hakim sebagai berikut:

1. Perubahan jenis kelamin seseorang akibat operasi kelamin sampai saat ini belum ada pengaturan dalam hukum. Namun demikian kekosongan hukum dalam sebuah perkara yang diajukan ke pengadilan adalah hal yang wajar karena pada dasarnya hukum tercipta karena kebutuhan masyarakat pembentuknya sehingga hukum memang selalu tertinggal dari kebutuhan masyarakat. Dan dalam kondisi seperti ini hakim terikat dengan suatu ketentuan dalam Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadili.

2. Pemohon adalah benar menderita transeksual, yaitu terlihat dari kecenderungan perilaku Pemohon dimana secara fisik memiliki organ  kelamin laki-laki tapi berperilaku seperti seorang perempuan dan berkeinginan kuat untuk menjadi seorang perempuan. Berdasarkan keterangan dokter di persidangan kelainan transeksual pemohon diakibatkan oleh perkembangan hormon dan kromosom pemohon yang sebetulnya lebih dominan kepada hormon dan kromosom perempuan. Dampaknya pemohon berkecenderungan berperilaku dan berpenampilan yang tidak terhindarkan sebagaimana layaknya perempuan bukan karena faktor lingkungan atau kebiasaan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa perbedaan penampilan fisik  dengan jiwa seperti terjadi pada pemohon membuat suatu ketersiksaan dan mendorong untuk mengaktualisasikan dirinya sebagaimana apa yang mereka rasakan. Bahkan pada akhirnya AW melakukan operasi ganti kelamin dari organ kelamin laki-laki menjadi organ kelamin perempuan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menyesuaikan kondisi jiwanya yang begitu kuat menghendaki dia menjadi seorang perempuan.

3. Untuk melakukan operasi ganti kelamin seperti yang dilakukan oleh Pemohon tidaklah mudah. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah memiliki standarisasi tertentu di mana orang yang ingin melakukan operasi ganti kelamin harus melalui serangkaian tes dan observasi yang ketat. Operasi ganti kelamin hanya bisa dilakukan ketika tim medis menyatakan bahwa orang tersebut layak melakukan operasi ganti kelamin.

4. Operasi ganti kelamin yang dilakukan pemohon pada hari Kamis tanggal 20 januari 2005 di RSUD Dr. Soetomo, telah terlebih dahulu melewati serangkaian tes sebagaimana ditetapkan IDI. Hasilnya pemohon dianggap layak melakukan operasi ganti kelamin. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan pemohon, Surat Keterangan Tim Operasi RS. Dr. Soetomo, dan keterangan dokter ahli di depan persidangan. Degan rangkaian proses tes yang panjang sebelum operasi dilakukan telah menepis kekhawatiran bahwa akan banyaknya laki-laki berpenampilan perempuan melakukan operasi perubahan kelamin dengan mudah dan dengan alasan yang dibuat- buat. Karena dalam proses tersebut terdapat filterisasi yang jelas dan ketat dari Tim Medis yang bekerja di bawah sumpah jawaban dan standar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

5. Keberadaan golongan transeksual seperti Pemohon tidaklah dapat dipungkiri dan golongan tersebut juga merupakan warga negara Indonesia yang hak-haknya dijamin baik oleh UUD 45 maupun perundangan di bawahnya. UUD 45 menjamin bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan yang lebih khusus salah satunya dijabarkan dalam Pasal 281 angka (1) salah satunya menyatakan bahwa pengakuan sebagai pribadi dihadapan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi. Di mana pasal tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 21 dan Pasal 29 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa hak setiap orang atas keutuhan dirinya baik jasmani maupun rohani dan setiap orang berhak atas pengakuan hukum untuk mengaktualisasikan diri sesuai dengan keadaan pribadinya.  

Berdasarkan seluruh analisa di atas, maka hakim Pengadilan Negeri Batang memandang cukup alasan hukum untuk menyatakan bahwa perubahan kelamin yang dilakukan oleh pemohon sah menurut hukum dan jenis kelamin pemohon adalah perempuan sejak operasi ganti kelamin berhasil dilakukan.


    2. Legal Reasoning MUI Tentang Fatwa Hukum Operasi Ganti Kelamin Penderita Transeksual

    Terkait dengan Fatwa MUI 03/MUNAS-VIII/2010 Tentang operasi ganti kelamin penderita transeksual. Ketika formula IRAC diterapkan untuk mencari legal reasoning fatwa MUI tersebut. Maka diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Isu Hukum

Isu hukum yang ada dalam fatwa MUI No. 03/MUNAS-VIII/2010 tidak muncul dari kasus spesifik yang terjadi pada subyek hukum tertentu. Fatwa ini muncul dari fakta berupa fenomena semakin bermunculannya praktek penggantian alat kelamin dari jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya. Fakta tersebut mendorong munculnya isu hukum di masyarakat yang mempertanyakan bagaimana “hukum operasi penggantian kelamin penderita transeksual dilihat dari perspektif hukum Islam”.

b. Dalil-dalil hukum yang Terkait

Berbeda dengan hukum perdata, menurut pandangan MUI dalam sumber hukum Islam terdapat cukup ayat dan hadits yang menyinggung langsung maupun tidak langsung terhadap hukum operasi-operasi kelamin. Adapun dalil-dalil yang digunakan dalam fatwa MUI No. 03/MUNAS-VIII/MUI/2010 tersebut adalah :

1. Dalil tentang penciptaan manusia terdiri dari dua jenis kelamin dan indicator untuk mengetahui jenis kelamin seseorang. QS. Al-Hujurat [49] :13

2. Dalil tentang larangan merubah ciptaan Allah SWT yang disarikan dari Firman Allah SWT. dalam QS. An-Nisa [4]: 19, QS. Ar-Rum [30]:30, QS. Al-Baqarah[2]: 216, QS. An-NIsa [4] : 19, QS. Ali ‘Imran [3]: 36, dan dari Abdullah ibn Mas’ud RA. (HR. Imam Bukhari)

3. Larangan berperilaku transeksual : Hadits dari Abdullah ibn Abbas RA (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibn Majah) Analisa MUI tentang operasi ganti kelamin penderita transeksual diawali dengan penjelasan tentang konsep jenis kelamin. Jenis kelamin dalam studi hukum Islam ada 2 (dua) yaitu laki-laki dan perempuan. Islam tidak mengenal jenis kelamin ketiga. Bagaimana menentukan jenis kelamin seseorang?. Untuk menjawab pertanyaan ini menurut kacamata MUI terlebih dahulu harus dipahami siapa yang berhak menentukan jenis kelamin seseorang?. Penentuan jenis kelamin seseorang adalah hak prerogratif Tuhan. Penjelasan ini secara langsung dan jelas dari pemahaman teks/lafadz “khalaqnaakum min dzakarin wa untsaa” (QS. Al-Hujurat [49]: 13). Artinya Allah yang telah meciptakan manusia terdiri atas jenis laki-laki dan perempuan. Ayat tersebut masuk katagori dlahir dan petunjuk hukumnya dapat dipahami dengan penalaran ibarat al-nash dalam memahami lafadz/teks. Selanjutnya untuk mengetahui jenis kelamin pilihan Tuhan adalah dengan mengetahui tempat (alat) dimana dia buang air kecil (min aina yabul). Di situlah kata Rasulullah SAW kelamin seseorang.

Menurut MUI, apa yang saat ini semakin banyak dijadikan alternatif oleh para penderita transeksual yaitu melakukan operasi perubahan kelamin jelas tidak tepat dan merupakan kesalahan yang fatal akibatnya. Islam tidak mengenal dan tidak membolehkan mengganti kelamin karena beberapa alasan berikut: Pertama, yang bermasalah bukan fisiknya melainkan psikisnya. Dengan demikian perubahan kelamin tidak akan menyelesaikan masalah. Kedua, tindakan ini akan menimbulkan masalah hukum bagi yang bersangkutan karena menurut Islam faktor psikis tidak bisa menjadi alasan kebolehan operasi kelamin. Ketiga, Seseorang yang melakukan operasi perubahan kelamin berarti dia sudah melawan kodrat yang diberikan allah SWT.

Ditegaskan oleh Aminudin Yakub bahwa analisa peserta MUNAS terhadap operasi ganti kelamin penderita transeksual telah menemukan dalil hukum yang kuat (qath’i). Kesimpulan hukum ini bukan diperoleh melalui ijtihad, tapi cukup dengan mengeluarkan hukumnya (istinbath) melalui kajian kebahasaan (bayani) terhadap dalil-dalil tersebut. Itu disepakati oleh semua peserta MUNAS yang hadir. 

Analisa lain yang digunakan MUI. Keharaman perilaku transeksual sendiri telah ditunjukkan secara jelas dalam lafadz “la’ana Rasulullah al-mutasyabbihiina min al-rijal bi al-nisa wa al-mutasyabbihaati min nisa bi al-rijaal”, artinya “Rasulullah SAW melaknat kaum laki-laki yang menyerupakan diri dengan perempuan, juga kaum perempuan yang menyerukan diri dengan laki-laki.” Artinya petunjuk Hukum larangan transeksual ini didapatkan melalui ibarat al-nass, menempati tingkatan tertinggi dalam penunjukkan hukum secara lafdziyah (tekstual). Ibarah al-nass sendiri adalah makna yang segera dapat dipahami dari lafadz nash dan memang makna itulah yg dimaksud.Demikian juga dalil hadits tersebut apabila dilihat dari kejelasannya masuk dalam katagori dzahir. Sehingga harus diamalkan tuntutan hukumnya berdasarkan makna lafadz tersebut selama tidak ada petunjuk lain yang mengalihkannya. keharaman perilaku transeksual muncul berdasarkan dalil dan metode istinbath yang kuat. Dalam hal ini operasi ganti kelamin termasuk dalam perilaku menyerupai lawan jenis yang dilarang keras.

Tindakan operasi ganti kelamin apa pun sebabnya melanggar ketentuan syariat. Kelainan kejiwaan seseorang yang merasa dirinya sebagai jenis kelamin yang berbeda dengan kelamin fisiknya (tanseksual) tidak bisa menjadi alasan kebolehan operasi penggantian kelamin dari organ kelamin laki-laki menjadi organ kelamin perempuan dan juga sebaliknya. 


3. Komparasi Antara Legal Reasoning Hakim dan Legal reasoning Komisi Fatwa MUI Tentang Hukum Operasi ganti Kelamin Penderita Transeksual

a. Isu Hukum (issues)

Dengan mengkomparasikan isu hukum yang pahami oleh Pengadilan Negeri Batang dan MUI. Jelas nampak bahwa sekalipun berangkat dari fakta yang tidak sama persis dan terutama pengadilan memeriksa kasus ini berdasarkan adanya permohonan tentang perubahan status jenis kelamin AW. Namun keduanya keduanya menghadapi isu hukum pokok yang sama yakni “kedudukan hukum tindakan operasi ganti kelamin bagi penderita transeksual”

b. Dasar Hukum Terkait (Rules)

1. Hukum Perdata

Hukum perdata tidak memiliki dasar hukum spesifik terkait dengan penggantian kelamin yang disebabkan oleh tindakan operasi. Dasar hukum yang digunakan adalah aturan-aturan perundang-undangan yang lebih umum. Yakni UUD 1945 yang mengatur kesamaan hak-hak warga Negara, dan undang-undang tentang hak asasi manusia.

2. Hukum Islam

Sekalipun sumber hukum Islam tidak memiliki istilah khusus bagi penderita transeksual namun banyak dalil yang bisa dikaitkan langsung dengan tindakan operasi penggantian kelamin penderita transeksual.

Analisis hukum merupakan bagian terpenting dari formula IRFAC, karena disinilah terjadi proses berpikir/penalaran yang sesungguhnya. Ketepatan memahami analisa hukum hakim sangat memudahkan memahami kesimpulan hukum yang diambil hakim. Analisa hukum hakim sangat dipengaruhi oleh sudut pandangnya ketika melakukan kegiatan penalaran hukum. Sementara sudut pandang seorang hakim sangat dipengaruhi oleh keluarga sistem hukum yang dianut. Keluarga sistem hukum memainkan peranan penting dalam menentukan model-model penalaran yang disajikan dalam kerangka orientasi berpikir yuridis.

Namun demikian model-model penalaran berdasarkan keluarga system hukum ini bukan sebuah kepastian. Perubahan sosio-kultural memungkinkan mengubah kondisi tersebut. Kondisi ini akan segera kita lihat pada nalisa hukum berikut ini.

1. Hukum Perdata

Hukum positif di Indoensia yang sebenarnya lebih sering dikatagorikan masuk kepada keluarga hukum civil law, dengan karakter abstrak, kaku, dan menggunakan pendekatan berpikir deduktif. Ternyata semua karakter tersebut tidak berlaku dalam kasus transeksual ini. Tidak adanya dasar hukum spesifik tentang perubahan kelamin yang disebabkan operasi ganti kelamin telah memaksa hakim Pengadilan Negeri Batang menggunakan model berpikir sebaliknya yakni konkrit, obyektif dan menggunakan pendekatan induktif. Hal ini terlihat dari penggunaan pandangan medis oleh hakim. Hakim menganggap bahwa sudut pandang medis lebih tepat dalam memahami kasus transeksual. Dari sudut pandang ini dipahami bahwa penentuan jenis kelamin (seksual) melibatkan unsur fisik dan unsur psikis dan bisa berlangsung seumur hidup. Sehingga kondisi-kondisi tertentu – seperti transeksual -bisa menjadi alasan perubahan jenis kelamin seseorang setelah terlebih dahulu melewati prosedur yang telah ditetapkan. 

Obyektifitas hakim terlihat ketika dalam pandangan medis sendiri belum ada  kesepakatan tentang penyebab transeksual apakah murni disebabkan factor psikis atau juga bisa disebabkan factor fisik seperti hormonal?. Hakim menggunakan pendapat yang kedua karena fakta di persidangan ditemukan bahwa pemohon (AW) telah menderita transeksual sejak kecil serta berdasarkan hasil pemeriksaan medis pemohon mengalami kelainan biologis berupa kelainan perkembangan hormonal. Yakni sebagai seorang laki-laki, hormon dan kromosomnya justru lebih dominan kepada hormon dan kromosom perempuan. Analisa hakim diperkuat dengan penggunaan pendapat saksi ahli (dokter) di persidangan bahwa penyimpangan hormonal pemohon berdampak kepada tidak sempurnanya perkembangan organ kelamin laki-laki pemohon, tidak tumbuhnya jakun, dan yang paling terlihat adalah memiliki kecenderungan berperilaku dan berpenampilan yang tidak terhindarkan sebagaimana perempuan sekalipun secara fisik pemohon adalah laki-laki. Dengan demikian hakim menggunakan pendapat yang kedua bahwa factor biologislah yang menjadi menyebabkan pemohon menderita transeksual. Fakta-fakta tersebut kemudian diposisikan hakim sebagai premis minor untuk selanjutnya dihubungkan dengan undang-undang hak asasi manusia dan UUD sebagai premis mayor untuk dianalisa sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan hukum. Proses seperti ini menunjukkan bahwa hakim menggunakan pendekatan induktif dalam menganalisa perkara dan menempatkan premis minor sejajar dengan premis mayor.

2. Hukum Islam

Berkebalikan dengan Hakim Pengadilan, Pembahasan MUI tentang operasi ganti kelamin penderita transeksual nampak sangat tekstualis. Yaitu model pemikiran yang cenderung berkarakter positivistis, sangat mengacu pada teks dan menggunakan pendekatan berpikir deduktif. Karakter-karakter tersebut mirip dengan karakter keluarga hukum civil law sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. 

Penalaran hukum sebagaimana diperagakan MUI dalam kasus operasi ganti kelamin transeksual disadari atau tidak, memang diarahkan kepada pencapaian pembenaran-pembenaran menurut sistem logika tertutup (closed logical system). Sistem logika demikian berbau simplistis karena sangat menggantungkan pada perumusan premis mayor. Hal ini terlihat walaupun pembahasan tentang operasi ganti kelamin ini melibatkan para ahli di bidang kedokteran namun hukum kasus tersebut muncul dengan memberikan peran yang lebih besar pada premis mayor (naql) dan menekan peran premis minor yakni analisa obyektif terhadap fenomena transeksual,. Hal ini nampak dari kesimpulan analisa MUI bahwa transeksual apapun sebabnya tidak bisa menjadi alasan kebolehan tindakan operasi ganti kelamin.

1. Hukum Perdata

Kesimpulan hukumnya, pada diri AW terdapat fakta-fakta tertentu yang menjadikan dia layak untuk melakukan tindakan operasi ganti kelamin. Atau tindakan operasi ganti kelamin AW sah secara hukum. Keberhasilan operasi penggantian kelamin transeksual diikuti dengan perubahan hak-hak dan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan undang-undang.

2. Hukum Islam

Tindakan operasi ganti kelamin AW dan juga tindakan operasi ganti kelamin penderita transeksual lainnya, apapun sebabnya melanggar syariat Islam. Penderita transeksual yang telah melakukan operasi ganti kelamin tetap dalam posisi jenis kelamin sebelum dilakukan operasi kelamin.


Sumber:

Jujun S. Supriasumantri. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.

Miftahul Qodri. “Benang Merah” Penalaran Hukum, Argumentasi Hukum dan Penegakan Hukum. Jurnal Hukum Progresif. Vol. 7, No. 2, Oktober 2019.

B.Arief Sidharta, Penalaran Hukum dalam Sudut Pandang Keluarga Sistem Hukum dan Studi Hukum. (Makalah, 2006)

Peter Suber. 2006. Learn the Secret to Legal Reasoning: The IRAC Formula. Earlham: Earlham University Press.

Arsyad Sanusi. Legal Reasoning dalam Penafsiran Konstitusi. (lihat dalam Blognya Arfan. 21).

Asep Dadang Abdullah. Legal Reasoning Hukum Operasi Ganti Kelamin, Jurnal Istinbath, Vol. 12, No. 1, Desember 2013.

Lebih baru Lebih lama