DAKWAAN DAN ALAT BUKTI (Kitab Subul As-Salam Hadits Nomor 1322)

 

DAKWAAN DAN ALAT BUKTI

(Kitab Subul As-Salam Hadits Nomor 1322)



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembuktian sangatlah penting pada proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses penyelesaian perkara pidana, mulai dari penyidikan sampai putusan akhir disampaikan dimuka persidangan oleh majelis hakim, yang mana dari semua itu berhubungan dengan pembuktian dan cara membuktikan. 

Melalui pembuktian dapat menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah atau tidak bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan berdasarkan surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut umum. Apabila dalam pemeriksaan sidang pengadilan hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti bersalah, maka pengadilan akan menjatuhkan pidana (hukuman) kepada terdakwa, apabila terdakwa terbukti tidak bersalah maka terdakwa diputus bebas, dan apabila dakwaan terhadap terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. 

Jadi apabila terdakwa tidak terbukti bersalah menurut alat-alat bukti yang sudah ditentukan dalam undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa maka terdakwa di bebaskan begitu pula sebaliknya apabila terdakwa terbukti bersalah sesuai dengan alat-alat bukti menurut pasal 184 Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang hukum acara pidana maka akan di jatuhkan pidana kepadanya, maka dalam hal ini hakim harus hati-hati dan bertindak cermat dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian.


B. Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dakwaan dan alat bukti ?

2.      Bagaimana hadis tentang dakwaan dan bukti ?

3.      Apa saja bentuk bukti yang bias dijadikan sebagai alat pembuktian dalam peradilan ?

C. Tujuan

1.      Untuk mendefinisikan mengenai dakwaan dan alat bukti.

2.      Untuk memahami hadis tentang dakwaan dan bukti.

3.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk bukti yang dapat dijadikan sebagai alat pembuktian dalam peradilan.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Dakwaan dan Alat Bukti

1. Definisi Dakwaan

Dakwaan merupakan dasar penting dalam acara pidana karena dakwaan berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim memeriksa dan memutuskan suatu perkara pidana. Surat dakwaan juga penting karena dakwaan tersebut dapat menjadikan batasan-batasan dalam pemeriksaan perkara.[1] Putusan yang diambil oleh hakim hanya bisa mengenai peristiwa batasan-batasan dalam surat dakwaan tersebut. Terdakwa tidak dapat dihukum karena suatu tindak pidana yang tidak disebutkan dalam surat dakwaan. Demikian juga dalam hukum pidana, yang walaupun disebutkan didalamnya, tetapi jika tindak pidana tersebut hanya dapat dihukum dalam suatu keadaan tertentu yang ternyata memang ada, tetapi tidak dituduhkan. Demikian juga tidak dapat dipidana jika pidana tersebut telah terjadi secara lain dari yang telah dinyatakan di dalam dakwaan.

a. Bentuk surat dakwaan

Dalam praktik proses penuntutan dikenal dengan beberapa bentuk surat dakwaan, antara lain :

1)      Dakwaan tunggal

Terdakwa hanya didakwakan melakukan satu tindak pidana saja yang mana penuntut umum merasa yakin bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang dilakukan tersebut.

2)      Dakwaan subsidair

Didalamnya dirumuskan beberapa tindak pidana berlapis, dimulai dari delik yang paling berat ancaman pidananya sampai dengan yang paling ringan. Akan tetapi yang sesungguhnya didakwakan dan harus dibuktikan dalam siding pengadilan hanya satu dakwaan.

3)      Dakwaan alternative

Rumusan dalam dakwaan alternative mirip dengan dakwaan subsidair, namun dasar pertimbangan dakwaan alternative sendiri adalah karena penuntut umum belum yakin benar tentang kualifikasi atau pasal yang tepat untuk diterapkan pada tindak pidana tersebut, maka untuk memperkecil peluang lolosnya terdakwa dari dakwaan maka digunakan bentuk dakwaan alternative. 

4)      Dakwaan kumulatif

Didakwakan secara bersamaan beberapa delik dakwaan yang yang masing-masing berdiri sendiri. Bentuk dakwaan ini digunakan untuk menghadapi seseorang yang melakukan beberapa tindak pidana.

5)      Dakwaan campuran/kombinasi

Merupakan gabungan antara dakwaan kumulatif dengan alternative ataupun dakwaan subsidair. Dalam dakwaan campuran terdapat dua perbuatan akan tetapi jaksa ragu-ragu mengenai perbuatan yang dilakukan tersebut.[2]

2. Definisi Alat Bukti

Alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat bukti tersebut dapat dipergunakan

 

sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.

Pengertian pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuanketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.[3]

Hukum pembuktian merupakan bagian dari acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, system yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan pembuktian tersebut, serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.[4]

B. Hadis Dakwaan dan Bukti

عَنِ  ابْنِ  عَبَّا س  رَضِيَ  اللُ  عَنْهُمَـا ؛ أنََّ  رَسُوْلَ  اللِ  صَلَّـى اللُ  عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ  قَالَ   :لَوْ  يُعْطَى النَّاسُ  بدِعَْوَاهمُْ 

 لََدعََّى رِجَا ل  أمَْوَالَ  قَوْ م  وَدِمَاءَهمُْ  ، وَلَكِنِ  الْبَيِ نَةُ  عَلَـى الْـمُدعَِّيْ  ، وَالْيَمِينُْ  عَلَـى مَنْ  أنَْكَرَ

Dari Ibnu Abbas r.a, bahwa Nabi SAW bersabda, “Seandainya manusia itu diberikan dengan dakwaan/pengakuan mereka pastilah manusia mengklaim darah dan harta orang-orang, akan tetapi sumpah itu wajib atas orang terdakwa.” (Muttafaq ‘Alaih)

Al Baihaqi mempunyai riwayat dengan sanad yang shahih, “Bukti itu atas penggugat sedang sumpah itu atas orang yang mengingkari.”

Peringkat Hadis

 

Penambahan Al Baihaqi itu sanadnya sahih sebagaimana yang dikatakan oleh penyusun kitab. Dalam kitab Al Arba’in Imam AnNawawi menganggapnya hasan, demikian juga Ibnu Shalah menghasankannya. Ibnu Rajab berkata, “Imam Ahmad dan Abu Ubaid mengambil dalil dengan hadis itu, mereka berdua tidak menjadikannya dalil kecuali bahwa dihadapan mereka ada hadis shahih yang dapat dijadikan argument, ada banyak hadis yang semakna dengan hadis itu,” kemudia ia menyebutkannya satu persatu dalam Syarh Al Arba’in.

Makna Mufrodat

 لَوْ  يُعْطَى النَّاسُ

seandainya manusia itu diberikan

 بدِعَْوَاهمُْ

dengan dakwaan/pengakuan mereka

 لََدعََّى رِجَا ل

pastilah manusia

 أمَْوَالَ

Mengklaim

 قَوْ م

Darah

 وَدِمَاءَهُمْ

dan harta orang-orang

 الْبَيِ نَ ةُ

Sumpah itu wajib

 عَلَـى

diatas

 الْـمُدعَِّيْ

Orang terdakwa

 وَالْيَمِيْ نُ

bukti

 عَلَـى

atas

 مَنْ  أنَْكَ رَ

Yang mengingkari

 

Hal-Hal Penting dari Hadis

1)      Nabi SAW dalam hadis ini menerangkan bahwa barangsiapa yang menggugat seseorang dengan suatu gugatan, maka ia harus ada verifikasi dan bukti atas gugatannya itu. Apabila ia tidak mempunyai bukti maka orang yang digugat wajib bersumpah untuk menolak hak yang digugatkan kepadanya.

2)      Kemudian Nabi SAW menyebutkan hikmah keharusan adanya bukti atas penggugat dan sumpah atas orang yang mengingkarinya yaitu seandainya setiap orang yang menggugat itu diberikan apa yang digugatnya maka pastilah setiap orang yang tidak takut kepada Allah mengklaim atas darah dan harta orang-orang yang tidak bersalah dan mereka didustai dengan klaim itu, akan tetapi Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui telah membuat aturan dan hukum agar himpitan kejahatan menjadi longgar dan kezaliman serta kerusakan menjadi sedikit.

3)      Sumpah itu wajib atas tergugat dan bukti itu atas penggugat sebagaimana terdapat dalam riwayat Al Baihaqi. Hal demikian itu bahwa sumpah berada pada pihak yang kuat dari kedua orang yang saling melakukan pembelaan itu. Karena tergugat ialah pihak yang kuat dengan tanpa adanya bukti dari penggugat, karena pada asalnya adalah bebas dari tanggungannya maka sumpah cukup dari tergugat.

4)      Bukti menurut kebanyakan para ahli adalah kesaksian, sumpah, dan penolakan (eksepsi). Sedangkan menurut para peneliti ialah nama setiap menerangkan dan menjelaskan kebenarannya itu kesaksian, indikasi dari suatu kondisi, dan pemaparan penggugat pada semisal barang temuan.

5)      Hadis diatas merupakan bentuk aturan yang luhur dari beberapa aturan pengambilan keputusan dan kebanyakan hukum berkisar pada aturan tersebut. Hadis ini juga termasuk suatu dasar dari dasar-dasar pengambilan keputusan hukum, karena pengambilan keputusan hukum diantara manusia itu terjadi ketika ada perselisihan.

C. Bentuk Bukti sebagai Alat Pembuktian

Pembuktian ialah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan di depan persidangan.[5]

Jenis alat bukti yang sah dan kekuatan pembuktian

1)      Keterangan saksi

Keterangan saksi merupakan suatu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengan, lihat, dan alami sendiri. Hanya keterangan saksi yang diberikan dimuka siding yang berlaku sebagai alat bukti yang sah.6

Adapun orang-orang yang tidak dapat di dengar sebagai saksi antara lain :

a)      Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus dari salah satu pihak.

b)      Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai,

c)      Anak-anak yang belum berusia 15 Tahun,

d)      Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat,

Sedangkan seseorang yang dapat digunakan atau di dengar sebagai saksi apabila memenuhi syarat antara lain :

a)      Berumur diatas 15 tahun (pasal 145 (1) sub 3e jo (4) HIR, pasal 1912 (1) KUHPerdata).

b)      Tidak sedang terganggu jiwanya (pasal 145 (1) sub 4c HIR, pasal 1912 (1) KUHPerdata).

 

c)      Bukan keluarga sedarah dan semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak (pasal 145 (1) sub 1e HIR, pasal 1910 (1) KUHPerdata).

d)      Seseorang yang melihat atau mengalami sendiri kejadian itu memang ada yang dengan sengaja diajak untuk menyaksikannya, tetapi ada juga yang hanya secara kebetulan saja.[6]

2)      Keterangan ahli

Keterangan ahli merupakan apa yang orang ahli nyatakan disidang pengadilan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.

3)      Surat

Alat bukti surat merupakan segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang merupakan buah pikiran atau isi hati dari orang yang membuatnya. Jadi, surat yang dijadikan alat pembuktian lebih ditekankan pada adanya tanda-tanda bacaan yang menyatakan buah pikiran dari seseorang yang membuatnya.

Surat merupakan alat bukti yang sah, dengan empat macam surat antara lain :

a)      Berita acara dan suarat lainnya dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri dan disertai dengan alas an tentang itu.

 

b)      Surat dibuat menurut aturan undang-undang atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal tatalaksana yang menjadi tanggung jawab dan diperuntukan bagi pembuktian suatu hal atau keadaan.

c)      Surat keterangan dari orang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai suatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.

4)      Alat bukti petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa suatu tindak pidana. Petunjuk yang dimaksud hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan saksama berdasarkan hati nuraninya.[7]

5)      Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri.[8]


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Dari pembahasan diatas dapat disumpulkan antara lain :

1.      Dakwaan merupakan dasar penting dalam acara pidana karena dakwaan berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim memeriksa dan memutuskan suatu perkara pidana. Surat dakwaan juga penting karena dakwaan tersebut dapat menjadikan batasanbatasan dalam pemeriksaan perkara.[9] Putusan yang diambil oleh hakim hanya bisa mengenai peristiwa batasan-batasan dalam surat dakwaan tersebut. Terdakwa tidak dapat dihukum karena suatu tindak pidana yang tidak disebutkan dalam surat dakwaan.

2.      Alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.

3.      Pembuktian ialah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan di depan persidangan


DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah. 2013. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm: 167

Jurnal UMM. Dalam pdf: https://eprints.umm.ac.id

Puspita Dwi Rarna. 2010. Analisis Bentuk Dakwaan dan Strategi Pembuktian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hlm:16

Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandara Maju, hlm: 11

Ridwan Syahrani. 2004. Materi Dasar Hukum Pidana. Bandung: Aditya Bakti, hlm: 83

Pasal 185 ayat (1) KUHAP

Teguh Samudera. 1992. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Alumni, Bandung., hlm 67

Pasal 188 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP Pasal 189 KUHAP

 



[1] Andi Hamzah. 2013. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm: 167

[2] Jurnal UMM. Dalam pdf: https://eprints.umm.ac.id

[3] Puspita Dwi Rarna. 2010. Analisis Bentuk Dakwaan dan Strategi Pembuktian. Surakarta:

Universitas Sebelas Maret. Hlm:16

[4] Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung:

Mandara Maju, hlm: 11

[5] Ridwan Syahrani. 2004. Materi Dasar Hukum Pidana. Bandung: Aditya Bakti, hlm: 83 6 Pasal 185 ayat (1) KUHAP

[6] Teguh Samudera. 1992. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Alumni, Bandung., hlm 67

[7] Pasal 188 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP

[8] Pasal 189 KUHAP

[9] Andi Hamzah. 2013. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm: 167

Lebih baru Lebih lama