TATA CARA RUJUK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Rujuk
ialah kembali kepada ikatan pernikahan dari raj’I yang dilakukan dalam masa
iddah dengan cara-cara tertentu. Oleh karena itu, apabila masa iddahnya telah
selesai, maka tidak lagi disebut rujuk, karena harus melalui akad nikah baru.
Secara terminologis, rujuk adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan
istri yang telah ditalak raj’I, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa
iddah.
Rujuk
dapat dikategorikan sebagai tindakan hukum yang terpuji, karena setelah
pasangan suami istri itu mengalami masa-masa kritis konflik diantara mereka
yang diakhiri dengan perceraian, timbul kesadaran baru dan napas baru untuk
merajut tali perkawinan yang pernah putus guna merenda hari esok yang lebih
baik lagi. Mereka kembali pada keutuhan ikatan perkawinan, yang disemangati
oleh hasil koreksi terhadap sisi ini, perceraian merupakan media evaluasi bagi
diri masing-masing suami istri untuk menatap secara jernih, komunikasi, saling
pengertian, dan romantika perkawinan yang mereka jalani.
Melakukan rujuk tidak
berbeda dengan akad nikah, artinya istri yang akan dirujuknya menyetujuinya dan
disaksikan oleh dua orang saksi. Satu hal yang perlu diketahui bahwa rujuk yang
dilakukan pada masa iddah itu, statusnya sama dengan nikah baru, setelah habis
masa iddah.
Artinya talak raj’I itu sudah mengurangi
jumlah talak yang menjadi hak suami. Apakah suami merujuknya selama dalam masa
iddah atau membiarkan masa iddah istrinya habis kemudian suami menikahinya
dengan akad yang baru. Malahan sekiranya iddah raj’i itu dibiarkan habis dan
dibiarkan juga menikah dengan laki-laki lain, kemudian mereka bercerai, dan
nikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama, maka jumlah talak yang
menjadi hak suami, tinggal sisanya. Jadi, misalnya suami telah menalak raj’I
satu kali, maka ia tinggal memiliki hak dua kali.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Rujuk ?
2. Apa
saja dasar Hukum dan Syarat Rujuk ?
3. Bagaimana
Tata Cara Rujuk ?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari rujuk.
2. Untuk
mengetahui dasar hukum dan syarat rujuk.
3. Untuk
mengetahui tata cara rujuk.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Rujuk
Rujuk dalam bahasa
arab berasal dari kata raja’a – yarji’u – ruju’, bentuk mashdar, yang artinya
kembali. Istilah ini yang kemudian dibakukan dalam hukum perkawinan di
Indonesia. Secara terminologis, rujuk adalah kembalinya suami kepada hubungan
nikah dengan istri yang telah dicerai raj’I, dan dilaksanakan selama istri
masih dalam masa iddah.[1]
Dalam
Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) adalah:
“kembalinya suami kepada istrinya yang
ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih di masa iddah”2
Definisi yang dikemukakan KBBI tersebut diatas secara esensial bersamaan
maksudnya dengan yang dikemukakan dalam kitab fiqh, meskipun redaksionalnya
sedikit berbeda. Dari definisi-definisi tersebut diatas terlihat beberapa kata
kunci yang menunjukkan hakikat dari perbuatan hukum yang bernama rujuk
tersebut, yaitu :
a. Kata
atau ungkapan “kembali suami kepada istrinya” hal ini mengandung arti bahwa
diantara keduanya sebelumnya telah terikat dalam tali perkawinan, namun ikatan
tersebut sudah berakhir dengan perceraian. Laki-laki yang berkembali kepada
orang lain dalam bentuk perkawinan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini.
b. Ungkapan
atau kata “yang telah ditalak dalam bentuk raj‟iy”,mengandung arti bahwa istri
yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau baiin. Hal
ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istrri yang belum dicerai atau telah
dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj‟iy, tidak disebut rujuk.
c. Ungkapan
atau kata ”masih dalam masa iddah”, mengandung arti bahwa rujuk itu hanya
terjadi selama istri masih berada dalam mahasa iddah. Bila waktu iddah telah
habis, mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan nama rujuk.
Untuk maksud itu suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad baru.[2]
Sedangkan rujuk
menurut para ulama madzhab adalah sebagai berikut:
1) Hanafiyah,
rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya penggantian dalam
masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan hilang bila masa
iddah.
2) Malikiyah,
rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak, karena takut berbuat dosa
tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya tersebut dari talak ba‟in, maka
harus dengan akad baru, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan rujuk.
3) Syafi‟iyah,
rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan setelah dijatuhi talak
satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini bahwa istri diharamkan
berhubungan dengan suaminya sebagaimana berhubungan dengan orang lain, meskipun
sumi berhak merujuknya dengan tanpa kerelaan. Oleh karena itu rujuk menurut
golongan syafi‟iyah adalah mengembalikan hubungan suami istri kedalam ikatan
pernikahan yang sempurna.
4) Hanabilah,
rujuk adalah kembalinya istri yang dijtuhi talak selain talak ba‟in kepada
suaminya dengan tanpa akad. Baik dengan perkataan atau perbuatan (bersetubuh)
dengan niat ataupun tidak.[3]
Pada
asalnya hukum rujuk adalah jaiz (boleh), akan tetapi bias menjadi haram,
makruh, sunnah, dan wajib.
1. Haram,
jika perceraian lebih baik daripada rujuk
2. Makruh,
bila diperkirakan justru akan merugikan bila dilakukan rujuk
3. Sunnah,
bila diperkirakan rujuk lebih baik dan bermanfaat daripada tetap cerai, dan
bagi suami yang mentalak istrinya dengan talak bid’i
4. Wajib,
khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu, jika salah seorang
istrinya ditalak sebelum gilirannya disempurnakannya.[4]
B. Dasar
Hukum dan Syarat Rujuk
1. Dasar Hukum rujuk
Adapun dasar hukum rujuk terdapat dalam
Al-Qur‟an dan As-Sunnah, yaitu :
1. Al-Qur‟an
a. Q.S. Al-Baqarah ayat 228
وَا لْمُطَلَّقٰ
تُ يَت رََ بصَّْنَ بِ اَ
نْفُسِهِنَّ ثلَٰثةََ قُرُوْْٓء
ۗ وَلَ يحَِ ل لَهُنَّ
ا نَْ يَّكْتمُْنَ مَا خَلَقَ اللُّٰ ف
يِْ ارَْحَا مِهِنَّ انِْ كنَُّ
يُؤْمِنَّ بِا للِّٰ وَا لْيَوْمِ
الْٰ خِ رِ ۗ وَبُعُوْلَتهُُنَّ احََ ق
بِرَدِ هِنَّ فيِْ ذٰلِكَ
انِْ اَرَا د وُْا اِصْ لَ حًا ۗ وَلَهُنَّ مِثلُْ
الذَِّيْ عَلَيْهِنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ ۖ وَلِل رِجَا لِ عَلَيْهِ نَّ دَرَجَة ۗ وَا للُّٰ
عَزِيْ
ز حَكِيْ م
"Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri
mereka (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan
hari Akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam
(masa) itu jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai
hak seimbang
dengan kewajibannya menurut cara
yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Maha
Perkasa,
Maha Bijaksana."
b. Q.S. Al-Baqarah ayat 229
الَطَّلَ قُ
مَرَّتٰنِ ۖ فَ اِ مْسَا ك بِمَعْرُوْف
ا وَْ تسَْرِيْ ح بِاِحْسَا ن ۗ وَلَ
يحَِ ل لَـکمُْ انَْ
تأَخُْذوُْا مِمَّ ا
اٰتيَْتمُُوْهنَُّ شَيْــئاً
ا لَِّ ا نَْ يََّخَا فَ ا
اَ لَّ يُقِيْمَا حُدوُْدَ اللِّٰ ۗ فَ اِ نْ خِفْتمُْ
اَ لَّ يقُِيْمَ ا حُدوُْدَ اللِّٰ ۙ فَلَ
جُنَا حَ
عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتدَتَْ بِ
ه ۗ تِلْكَ حُدوُْد ُ اللِّٰ فَلَ
تعَْتدَوُْهَا ۚ وَمَنْ
يَّتعَدََّ حُدوُْدَ اللِّٰ
فَ اُ ولْٰٓئِكَ
همُُ
الظٰلِمُوْ نَ
"Talak (yang dapat dirujuk) itu dua
kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik atau melepaskan dengan
baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak
mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran
yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum
Allah, mereka itulah orang-orang zalim."
c. Q.S. Al-Baqarah ayat 231
وَ اِ ذَا
طَلَّقْتمُُ النِ سَاءَْٓ فبََلَغْنَ
اجََلَهُنَّ فَ اَ مْسِكُوْه نَُّ
بِمَعْرُوْف اوَْ سَ رِحُوْهنَُّ بِمَعْرُوْف
ۗ وَلَ تمُْسِكُوْهنَُّ ضِرَا رًا لِ تعَْتدَوُْا ۚ وَمَنْ يفَّْعلَْ
ذٰلِكَ فَقدَْ ظَلمََ
نَفْسَ ه ۗ وَلَ تتَخَِّذ وُْ ا
اٰيٰتِ اللِّٰ هُزُوًا وَّا ذْكُرُوْا نِعْمَ تَ اللِّٰ عَلَيْكمُْ
وَمَ ا انَْزَلَ عَلَيْكمُْ
مِنَ الْكِتٰ بِ وَا لْحِكْمَ ةِ
يَعِظكُمُْ بِ ه ۗ وَا تقَُّو ا
اللَّٰ
وَا عْلَمُ وْا انََّ اللَّٰ بِك لُِ
شَيْ ء عَلِيْ م
"Dan apabila kamu menceraikan
istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan
cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan
janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barang
siapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri. Dan
janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan. Ingatlah nikmat
Allah kepada kamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu, yaitu Kitab
(Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu."
Ayat di atas pada hakekatnya niat suami
untuk merujuk istrinya tersebut didasari dengan maksud ishlah. Sehingga dapat
memungkinkan adanya perbaikan rumah tangga yang kedua kalinya.
2. Rujuk Bersadarkan As-Sunnah
a. Sabda Nabi Saw. Dalam kisah umar,
hadits riwayat Bukhari dan muslim.
“Diriwayatkan dari ibnu umar r.a berkata.
“sesungguhnya dia telah menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Khusus itu
terjadi pada jaman Rasulullah SAW. Kemudian masalah itu ditanyakan oleh Umar
bin Al-khathab kepada Rasulullah Saw,. Ia,. Lalu beliau bersabda, “perintahkan
supaya dia rujuk (kembali) kepada istrinya, kemudian menahannya sampai istrinya
suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi kemudian apabila mau, dia dapat
menahannya ataupun menceraikannya, asalkan dia belum mencampurinya, itulah
tempo iddah yang diperintahkan oleh Allah yang maha mulia lagi maha agung bagi
yang diceraikan”.
Kemudian hadits di atas menjelaskan bahwa
jika seseorang menghendaki ridho Allah Swt. Maka perceraian bukanlah jalan
terbaik dari sebuah perkawinan untuk berakhir. Adanya masa iddah dalam
perceraian merupakan upaya untuk berfikir kepada suami memberikan pemulihan
langakah yang terbaik dengan beberapa pertimbangan demi kemaslahatan hidupnya
yang lebih lanjut dalam keluarga.
Dalam hadits riwayat An-Nasa‟i Muslim Ibnu Majah dan Abu
Daud, Nabi Saw. Bersabda: “Dalam riwayat
lain dikatakan: Bahwa Ibnu Umar menthalak salah seorang istrinya haid dengan
sekali talak. Lalu umar menyampaikan hal itu kepada Nabi Saw. Maka beliau
bersabda: “suruhlah dia untuk merujuknya, kemudian bolehlah ia mentalaknya jika
suci atau ketika ia hamil.
2. Rukun dan Syarat Rujuk
1) Suami
yang merujuk dengan syarat berakal, baligh, dan tidak dipaksa
2) Istri
yang dirujuk dengan syarat sudah pernah dicampurinya dalam keadaan talak raj’I
dan masih dalam waktu masa iddah 3) Shighat (ucapan) ada dua, yaitu:
a. Sharih
(jelas) seperti “Aku rujuk engkau”, “Aku terima kembali dengan engkau”.
b. Kinayah
(tidak jelas) misalnya : “Aku nikahi engkau. Rujuk dengan ucpan kinayah
memerlukan niat, yaitu apabila ia tidak niat maka tidak sah rujuk itu.
Disyaratkan ucapan rujuk itu tidak bertalak (digantungkan), misalnya “Aku rujuk
engkau jika engkau mau”. Rujuk semacam ini tidak sah walaupun istrinya mau.
Rujuk yang dibatasi
waktunya juga tidk sah, misalnya : “Aku rujuk engkau sebulan”.
c. Saksi,
karena saksi dalam rujuk itu diperlukan, yaitu dengan dua orang yang adil.
Seperti dalam firman Allah SWT dalam
QS. At-Thalaq : 2
فَ اِ ذَا
بَلَغْنَ اجََلَهُنَّ فَ اَ مْسِكُوْهنَُّ بِمَعْرُوْ
ف اوَْ فَا رِقُوْهنَُّ بِمَعْرُوْ
ف وَّاشَْهِدوُْا ذَوَيْ عَد
لْ مِنْك مُْ وَ اَ قِيْمُوا الشَّهَا
دَة َ لِلِّٰ ۗ ذٰ لِكمُْ يُوْعَظُ
بِ ه مَ نْ كَا َنَ يُؤْمِنُ
بِا للِّٰ وَا لْيَوْمِ الْٰ
خِ رِ ۙ وَمَنْ
يَّـتـَّقِ
اللَّٰ يجَْعلَْ لَّ ه
مَخْرَجًا
"Maka apabila mereka telah mendekati
akhir idahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan
hari Akhirat. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan
jalan keluar baginya,"[5]
C. Tata
Cara Rujuk
Tata cara dan prosedur
rujuk telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang
Kewajiban Pegawai Pencatat
Nikah dan Tata Kerja
Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan
bagi yang beragama Islam, kemudian dikuatkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
167, 168, dan 169. Dalam Permenag RI tersebut, rujuk diatur dalam Pasal 32, 33,
34, dan 38.
Pasal 167 Kompilasi menyatakan:
1) Suami
yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami
istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan
lain yang diperlukan. (Dalam Pasal 32 ayat (1) Permenag RI No. 3/75 hanya
menyebutkan PPN atau P3NTR yang mewilayahi tempat tinggal istri).
2) Rujuk
dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
3) Pegawai
Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat memeriksa dan menyelidiki apakah
suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat rujuk menurut hukum
munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj’I,
apakah perempuan yang akan dirujuk itu istrinya.
d. Setelah
itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta
saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
4) Setelah
rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah menasehati suami istri tentang
hukum-hukum dan
kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Proses pencatatan rujuk adalah sebagai berikut :
1. Ke
kantor desa/kelurahan
Untuk mendapatkan Surat keterangan untuk
rujuk (model R1) dengan memperlihatkan Akta Cerai.
2. Ke
kantor urusan agama
Untuk:
Memberitahukan kehendak untuk rujuk, Pemeriksaan rujuk, Membayar Biaya
Pencatatan Rujuk, Pengumuman Kehendak Rujuk.
3. Pelaksanaan
rujuk
a. Rujuk
dapat dilaksanakan di Balai Nikah (KUA)
b. Atas
permintaan yang bersangkutan pelaksanaan rujuk bias dilaksanakan di luar Balai
Nikah
c. Menerima
kutipan Buku Pencatatan Rujuk
d. Mengikuti
penasehatan Rujuk
4. Ke
Pengadilan Agama
a. Memberitahukan
Rujuk (Model RC)
b. Menerima
Kembali Kutipan Akta Nikah (Model NA)
Orang yang akan rujuk,
harus datang bersama istrinya ke Kantor Urusan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal istri, dengan membawa dan menyerahkan surat-surat sebagai berikut :
a. Foto
Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) masing-masing 1 (satu) lembar.
b. Surat
Keterangan untuk rujuk dari Kepala Desa/Lurah tempat berdomisili (blanko model
R1).
c. Akta
Cerai asli beserta lampiran putusan dari Pengadilan Agama.
Sebelum rujuk dicatat akan diperiksa terlebih dahulu :
a. Apakah
suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat rujuk.
b. Apakah
rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam masa iddah talak raj’i.
c. Apakah
perempuan yang akan dirujuk itu bekas istrinya.
d. Apakah
ada persetujuan bekas istri.[6]
Selanjutnya, setelah rujuk dilaksanakan, lebih
banyak bersifat teknis administrative, yang menjadi tugas dan kewenangan
Pegawai Pencatat Nikah atau P3NTR Kompilasi Pasal 168 menyatakan:
1) Dalam
hal rujuk dilakukan dihadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk
dibuat rangkap 2 (dua), di isi dan di isi dan ditandatangani oleh masing-masing
yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat
Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk
dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
2) Pengiriman
lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
3) Apabila
lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua dengan berita acara tentang
sebab-sebab hilangnya.
Selanjutnya pasal 169 Kompilasi menguraikan langkah
administrative lainnya:
1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan pengirimannya kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami istri
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Rujuk
dalam bahasa arab berasal dari kata raja’a – yarji’u – ruju’, bentuk mashdar,
yang artinya kembali. Istilah ini yang kemudian dibakukan dalam hukum
perkawinan di Indonesia. Secara terminologis, rujuk adalah kembalinya suami
kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’I, dan dilaksanakan
selama istri masih dalam masa iddah. Hukum rujuk pada dasarnya adalah jaiz (boleh), akan tetapi bisa menjadi
haram, makruh, sunnah, dan wajib dengan berbagai syarat dan ketentuan .
Dengan mengacu pada berbagai dalil
al-quran dan al hadist.
Tata
cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3
Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat
Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama
dalam melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang beragama
Islam, kemudian dikuatkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 167, 168, dan 169.
Dalam Permenag RI tersebut, rujuk diatur dalam Pasal 32, 33, 34, dan 38.
B. Saran
Dalam penyusunan
makalah ini masih memerlukan kritikan dan saran bagi pembahasan materi
tersebut. Selanjutnya kami berharap makalah yang kami buat dapat membantu
pembaca agar dapat memahami.
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq Ahmad.2017. hukum Perdata Islam Di Indonesia. Depok: Rajawali Pers.
PT Raja Grafindo Persada. Edisi rvisi, hlm 253.
KBBI Offline
Amir Syarifudin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara
Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: kencana, 2006), hlm:
337
Moh. Saifulloh. Fikih Islam Lengkap. Surabaya: Terbit
Terang., h.517
Abdurrahman Al-jaziri. Al-Fiqh ala Mazahib Al-Arba’ah, hlm,
378
Suciati Nani. 2015. Penerapan Tata Cara Rujuk Menurut KHI
Pada Kantor Urusan
Agama (KUA). UIN Alauddin Makassar. Hlm, 64-65
[1] Rofiq Ahmad.2017. hukum
Perdata Islam Di Indonesia. Depok: Rajawali Pers. PT Raja Grafindo Persada.
Edisi rvisi, hlm 253. 2 KBBI Offline
[2]
Amir Syarifudin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara Munakahat dan
Undang-Undang
Perkawinan. (Jakarta: kencana, 2006), hlm: 337
[3]
Abdurrahman Al-jaziri. Al-Fiqh ala Mazahib Al-Arba’ah, hlm, 378
[4]
Moh. Saifulloh. Fikih Islam Lengkap. Surabaya: Terbit Terang., h.517
[5]
Via Al-Qur’an Indonesia. https://quran-indo.com
[6]
Suciati Nani. 2015. Penerapan Tata Cara Rujuk Menurut KHI Pada Kantor Urusan
Agama (KUA).
UIN Alauddin Makassar. Hlm, 64-65