MAKALAH TATA CARA RUJUK

 

TATA CARA RUJUK


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rujuk ialah kembali kepada ikatan pernikahan dari raj’I yang dilakukan dalam masa iddah dengan cara-cara tertentu. Oleh karena itu, apabila masa iddahnya telah selesai, maka tidak lagi disebut rujuk, karena harus melalui akad nikah baru. Secara terminologis, rujuk adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah ditalak raj’I, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.

Rujuk dapat dikategorikan sebagai tindakan hukum yang terpuji, karena setelah pasangan suami istri itu mengalami masa-masa kritis konflik diantara mereka yang diakhiri dengan perceraian, timbul kesadaran baru dan napas baru untuk merajut tali perkawinan yang pernah putus guna merenda hari esok yang lebih baik lagi. Mereka kembali pada keutuhan ikatan perkawinan, yang disemangati oleh hasil koreksi terhadap sisi ini, perceraian merupakan media evaluasi bagi diri masing-masing suami istri untuk menatap secara jernih, komunikasi, saling pengertian, dan romantika perkawinan yang mereka jalani.

Melakukan rujuk tidak berbeda dengan akad nikah, artinya istri yang akan dirujuknya menyetujuinya dan disaksikan oleh dua orang saksi. Satu hal yang perlu diketahui bahwa rujuk yang dilakukan pada masa iddah itu, statusnya sama dengan nikah baru, setelah habis masa iddah.

Artinya talak raj’I itu sudah mengurangi jumlah talak yang menjadi hak suami. Apakah suami merujuknya selama dalam masa iddah atau membiarkan masa iddah istrinya habis kemudian suami menikahinya dengan akad yang baru. Malahan sekiranya iddah raj’i itu dibiarkan habis dan dibiarkan juga menikah dengan laki-laki lain, kemudian mereka bercerai, dan nikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama, maka jumlah talak yang menjadi hak suami, tinggal sisanya. Jadi, misalnya suami telah menalak raj’I satu kali, maka ia tinggal memiliki hak dua kali.

B. Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan Rujuk ?

2.      Apa saja dasar Hukum dan Syarat Rujuk ?

3.      Bagaimana Tata Cara Rujuk ?

C. Tujuan 

1.      Untuk mengetahui pengertian dari rujuk.

2.      Untuk mengetahui dasar hukum dan syarat rujuk.

3.      Untuk mengetahui tata cara rujuk.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Rujuk

Rujuk dalam bahasa arab berasal dari kata raja’a – yarji’u – ruju’, bentuk mashdar, yang artinya kembali. Istilah ini yang kemudian dibakukan dalam hukum perkawinan di Indonesia. Secara terminologis, rujuk adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’I, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.[1]

                                Dalam     Kamus    Besar     Bahasa     Indonesia    (KBBI)     adalah:

“kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih di masa iddah”2 Definisi yang dikemukakan KBBI tersebut diatas secara esensial bersamaan maksudnya dengan yang dikemukakan dalam kitab fiqh, meskipun redaksionalnya sedikit berbeda. Dari definisi-definisi tersebut diatas terlihat beberapa kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perbuatan hukum yang bernama rujuk tersebut, yaitu :

a.       Kata atau ungkapan “kembali suami kepada istrinya” hal ini mengandung arti bahwa diantara keduanya sebelumnya telah terikat dalam tali perkawinan, namun ikatan tersebut sudah berakhir dengan perceraian. Laki-laki yang berkembali kepada orang lain dalam bentuk perkawinan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini.

b.      Ungkapan atau kata “yang telah ditalak dalam bentuk raj‟iy”,mengandung arti bahwa istri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau baiin. Hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istrri yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj‟iy, tidak disebut rujuk.

 

c.       Ungkapan atau kata ”masih dalam masa iddah”, mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selama istri masih berada dalam mahasa iddah. Bila waktu iddah telah habis, mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan nama rujuk. Untuk maksud itu suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad baru.[2]

Sedangkan rujuk menurut para ulama madzhab adalah sebagai berikut:

1)      Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya penggantian dalam masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan hilang bila masa iddah.

2)      Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak, karena takut berbuat dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya tersebut dari talak ba‟in, maka harus dengan akad baru, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan rujuk.

3)      Syafi‟iyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan setelah dijatuhi talak satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini bahwa istri diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana berhubungan dengan orang lain, meskipun sumi berhak merujuknya dengan tanpa kerelaan. Oleh karena itu rujuk menurut golongan syafi‟iyah adalah mengembalikan hubungan suami istri kedalam ikatan pernikahan yang sempurna.

4)      Hanabilah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijtuhi talak selain talak ba‟in kepada suaminya dengan tanpa akad. Baik dengan perkataan atau perbuatan (bersetubuh) dengan niat ataupun tidak.[3]

Pada asalnya hukum rujuk adalah jaiz (boleh), akan tetapi bias menjadi haram, makruh, sunnah, dan wajib.

 

1.      Haram, jika perceraian lebih baik daripada rujuk

2.      Makruh, bila diperkirakan justru akan merugikan bila dilakukan rujuk

3.      Sunnah, bila diperkirakan rujuk lebih baik dan bermanfaat daripada tetap cerai, dan bagi suami yang mentalak istrinya dengan talak bid’i

4.      Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu, jika salah seorang istrinya ditalak sebelum gilirannya disempurnakannya.[4]

B. Dasar Hukum dan Syarat Rujuk

1. Dasar Hukum rujuk

Adapun dasar hukum rujuk terdapat dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah, yaitu :

1. Al-Qur‟an

a. Q.S. Al-Baqarah ayat 228

وَا لْمُطَلَّقٰ تُ يَت رََ بصَّْنَ  بِ اَ نْفُسِهِنَّ  ثلَٰثةََ  قُرُوْْٓء   ۗ وَلَ  يحَِ ل  لَهُنَّ  ا نَْ يَّكْتمُْنَ  مَا خَلَقَ   اللُّٰ ف  يِْ ارَْحَا مِهِنَّ  انِْ  كنَُّ  يُؤْمِنَّ  بِا للِّٰ  وَا لْيَوْمِ  الْٰ  خِ رِ ۗ وَبُعُوْلَتهُُنَّ  احََ ق  بِرَدِ هِنَّ  فيِْ  ذٰلِكَ  انِْ  اَرَا  د وُْا اِصْ لَ حًا ۗ  وَلَهُنَّ  مِثلُْ  الذَِّيْ  عَلَيْهِنَّ  بِا لْمَعْرُوْفِ ۖ  وَلِل رِجَا لِ  عَلَيْهِ نَّ دَرَجَة   ۗ وَا للُّٰ 

 عَزِيْ  ز حَكِيْ م

"Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan)     mempunyai     hak      seimbang         dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Maha Perkasa,

Maha Bijaksana."

b. Q.S. Al-Baqarah ayat 229

الَطَّلَ  قُ  مَرَّتٰنِ  ۖ فَ اِ مْسَا  ك   بِمَعْرُوْف   ا وَْ تسَْرِيْ ح   بِاِحْسَا   ن  ۗ وَلَ  يحَِ ل  لَـکمُْ  انَْ  تأَخُْذوُْا مِمَّ ا  اٰتيَْتمُُوْهنَُّ  شَيْــئاً ا  لَِّ ا نَْ يََّخَا فَ  ا  اَ  لَّ يُقِيْمَا حُدوُْدَ  اللِّٰ  ۗ فَ اِ  نْ خِفْتمُْ   اَ  لَّ يقُِيْمَ ا حُدوُْدَ   اللِّٰ ۙ فَلَ 

 

جُنَا حَ  عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتدَتَْ  بِ ه  ۗ تِلْكَ  حُدوُْد ُ اللِّٰ  فَلَ  تعَْتدَوُْهَا ۚ وَمَنْ  يَّتعَدََّ  حُدوُْدَ  اللِّٰ  فَ اُ ولْٰٓئِكَ 

 همُُ  الظٰلِمُوْ نَ

"Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum

Allah, mereka itulah orang-orang zalim."

c. Q.S. Al-Baqarah ayat 231

وَ اِ ذَا طَلَّقْتمُُ  النِ سَاءَْٓ  فبََلَغْنَ  اجََلَهُنَّ  فَ اَ مْسِكُوْه نَُّ بِمَعْرُوْف   اوَْ  سَ رِحُوْهنَُّ  بِمَعْرُوْف   ۗ وَلَ  تمُْسِكُوْهنَُّ  ضِرَا رًا لِ تعَْتدَوُْا ۚ وَمَنْ  يفَّْعلَْ  ذٰلِكَ  فَقدَْ  ظَلمََ  نَفْسَ ه  ۗ وَلَ  تتَخَِّذ وُْ ا اٰيٰتِ  اللِّٰ  هُزُوًا وَّا ذْكُرُوْا نِعْمَ تَ اللِّٰ  عَلَيْكمُْ  وَمَ  ا انَْزَلَ  عَلَيْكمُْ   مِنَ  الْكِتٰ بِ وَا لْحِكْمَ ةِ يَعِظكُمُْ  بِ ه  ۗ وَا تقَُّو ا

 اللَّٰ  وَا عْلَمُ وْا انََّ  اللَّٰ  بِك لُِ  شَيْ  ء عَلِيْ م

"Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barang siapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan. Ingatlah nikmat Allah kepada kamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu, yaitu Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Ayat di atas pada hakekatnya niat suami untuk merujuk istrinya tersebut didasari dengan maksud ishlah. Sehingga dapat memungkinkan adanya perbaikan rumah tangga yang kedua kalinya.

2. Rujuk Bersadarkan As-Sunnah

a. Sabda Nabi Saw. Dalam kisah umar, hadits riwayat Bukhari dan muslim.

“Diriwayatkan dari ibnu umar r.a berkata. “sesungguhnya dia telah menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Khusus itu terjadi pada jaman Rasulullah SAW. Kemudian masalah itu ditanyakan oleh Umar bin Al-khathab kepada Rasulullah Saw,. Ia,. Lalu beliau bersabda, “perintahkan supaya dia rujuk (kembali) kepada istrinya, kemudian menahannya sampai istrinya suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi kemudian apabila mau, dia dapat menahannya ataupun menceraikannya, asalkan dia belum mencampurinya, itulah tempo iddah yang diperintahkan oleh Allah yang maha mulia lagi maha agung bagi yang diceraikan”.

Kemudian hadits di atas menjelaskan bahwa jika seseorang menghendaki ridho Allah Swt. Maka perceraian bukanlah jalan terbaik dari sebuah perkawinan untuk berakhir. Adanya masa iddah dalam perceraian merupakan upaya untuk berfikir kepada suami memberikan pemulihan langakah yang terbaik dengan beberapa pertimbangan demi kemaslahatan hidupnya yang lebih lanjut dalam keluarga.

Dalam hadits riwayat An-Nasa‟i Muslim Ibnu Majah dan Abu

Daud, Nabi Saw. Bersabda: “Dalam riwayat lain dikatakan: Bahwa Ibnu Umar menthalak salah seorang istrinya haid dengan sekali talak. Lalu umar menyampaikan hal itu kepada Nabi Saw. Maka beliau bersabda: “suruhlah dia untuk merujuknya, kemudian bolehlah ia mentalaknya jika suci atau ketika ia hamil.

2. Rukun dan Syarat Rujuk

1)      Suami yang merujuk dengan syarat berakal, baligh, dan tidak dipaksa

2)      Istri yang dirujuk dengan syarat sudah pernah dicampurinya dalam keadaan talak raj’I dan masih dalam waktu masa iddah 3) Shighat (ucapan) ada dua, yaitu:

a.       Sharih (jelas) seperti “Aku rujuk engkau”, “Aku terima kembali dengan engkau”.

b.      Kinayah (tidak jelas) misalnya : “Aku nikahi engkau. Rujuk dengan ucpan kinayah memerlukan niat, yaitu apabila ia tidak niat maka tidak sah rujuk itu. Disyaratkan ucapan rujuk itu tidak bertalak (digantungkan), misalnya “Aku rujuk engkau jika engkau mau”. Rujuk semacam ini tidak sah walaupun istrinya mau. 

Rujuk yang dibatasi waktunya juga tidk sah, misalnya : “Aku rujuk engkau sebulan”.

c.       Saksi, karena saksi dalam rujuk itu diperlukan, yaitu dengan dua orang yang adil. Seperti dalam firman Allah SWT dalam

QS. At-Thalaq : 2

فَ اِ ذَا بَلَغْنَ  اجََلَهُنَّ  فَ اَ مْسِكُوْهنَُّ  بِمَعْرُوْ  ف اوَْ  فَا رِقُوْهنَُّ  بِمَعْرُوْ  ف وَّاشَْهِدوُْا ذَوَيْ  عَد لْ   مِنْك مُْ وَ اَ قِيْمُوا الشَّهَا دَة َ لِلِّٰ  ۗ ذٰ  لِكمُْ  يُوْعَظُ  بِ ه  مَ نْ كَا َنَ  يُؤْمِنُ  بِا  للِّٰ وَا لْيَوْمِ  الْٰ  خِ رِ ۙ  وَمَنْ 

  يَّـتـَّقِ  اللَّٰ  يجَْعلَْ  لَّ ه  مَخْرَجًا

"Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya,"[5]

C. Tata Cara Rujuk

Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat

Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang beragama Islam, kemudian dikuatkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 167, 168, dan 169. Dalam Permenag RI tersebut, rujuk diatur dalam Pasal 32, 33, 34, dan 38.

Pasal 167 Kompilasi menyatakan:

1)      Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan. (Dalam Pasal 32 ayat (1) Permenag RI No. 3/75 hanya menyebutkan PPN atau P3NTR yang mewilayahi tempat tinggal istri).

2)      Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah

3)      Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat rujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj’I, apakah perempuan yang akan dirujuk itu istrinya.

d. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.

4)      Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang

 

hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.

Proses pencatatan rujuk adalah sebagai berikut :

1.      Ke kantor desa/kelurahan

Untuk mendapatkan Surat keterangan untuk rujuk (model R1) dengan memperlihatkan Akta Cerai.

2.      Ke kantor urusan agama

Untuk:  Memberitahukan kehendak untuk rujuk, Pemeriksaan rujuk, Membayar Biaya Pencatatan Rujuk, Pengumuman Kehendak Rujuk.

3.      Pelaksanaan rujuk

a.       Rujuk dapat dilaksanakan di Balai Nikah (KUA)

b.      Atas permintaan yang bersangkutan pelaksanaan rujuk bias dilaksanakan di luar Balai Nikah

c.       Menerima kutipan Buku Pencatatan Rujuk

d.      Mengikuti penasehatan Rujuk

4.      Ke Pengadilan Agama

a.       Memberitahukan Rujuk (Model RC)

b.      Menerima Kembali Kutipan Akta Nikah (Model NA)

Orang yang akan rujuk, harus datang bersama istrinya ke Kantor Urusan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri, dengan membawa dan menyerahkan surat-surat sebagai berikut :

a.       Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) masing-masing 1 (satu) lembar.

b.      Surat Keterangan untuk rujuk dari Kepala Desa/Lurah tempat berdomisili (blanko model R1).

c.       Akta Cerai asli beserta lampiran putusan dari Pengadilan Agama.

Sebelum rujuk dicatat akan diperiksa terlebih dahulu :

a.      Apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat rujuk.

b.      Apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam masa iddah talak raj’i.

c.      Apakah perempuan yang akan dirujuk itu bekas istrinya.

d.      Apakah ada persetujuan bekas istri.[6]

 Selanjutnya, setelah rujuk dilaksanakan, lebih banyak bersifat teknis administrative, yang menjadi tugas dan kewenangan Pegawai Pencatat Nikah atau P3NTR Kompilasi Pasal 168 menyatakan:

1)     Dalam hal rujuk dilakukan dihadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), di isi dan di isi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.

2)     Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.

3)     Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.

Selanjutnya pasal 169 Kompilasi menguraikan langkah administrative lainnya:

1)     Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan pengirimannya kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami istri 


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Rujuk dalam bahasa arab berasal dari kata raja’a – yarji’u – ruju’, bentuk mashdar, yang artinya kembali. Istilah ini yang kemudian dibakukan dalam hukum perkawinan di Indonesia. Secara terminologis, rujuk adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’I, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah. Hukum rujuk pada dasarnya  adalah jaiz (boleh), akan tetapi bisa menjadi haram, makruh, sunnah, dan wajib dengan berbagai syarat dan ketentuan . Dengan  mengacu pada berbagai dalil al-quran dan al hadist. 

Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat

Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang beragama Islam, kemudian dikuatkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 167, 168, dan 169. Dalam Permenag RI tersebut, rujuk diatur dalam Pasal 32, 33, 34, dan 38.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini masih memerlukan kritikan dan saran bagi pembahasan materi tersebut. Selanjutnya kami berharap makalah yang kami buat dapat membantu pembaca agar dapat memahami.


DAFTAR PUSTAKA

 

Rofiq Ahmad.2017. hukum Perdata Islam Di Indonesia. Depok: Rajawali Pers. PT Raja Grafindo Persada. Edisi rvisi, hlm 253.

KBBI Offline

Amir Syarifudin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: kencana, 2006), hlm: 337

Moh. Saifulloh. Fikih Islam Lengkap. Surabaya: Terbit Terang., h.517

Abdurrahman Al-jaziri. Al-Fiqh ala Mazahib Al-Arba’ah, hlm, 378

Suciati Nani. 2015. Penerapan Tata Cara Rujuk Menurut KHI Pada Kantor Urusan

Agama (KUA). UIN Alauddin Makassar. Hlm, 64-65

 

 



[1] Rofiq Ahmad.2017. hukum Perdata Islam Di Indonesia. Depok: Rajawali Pers. PT Raja Grafindo Persada. Edisi rvisi, hlm 253. 2 KBBI Offline

[2] Amir Syarifudin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara Munakahat dan Undang-Undang

Perkawinan. (Jakarta: kencana, 2006), hlm: 337

[3] Abdurrahman Al-jaziri. Al-Fiqh ala Mazahib Al-Arba’ah, hlm, 378

[4] Moh. Saifulloh. Fikih Islam Lengkap. Surabaya: Terbit Terang., h.517

[5] Via Al-Qur’an Indonesia. https://quran-indo.com

[6] Suciati Nani. 2015. Penerapan Tata Cara Rujuk Menurut KHI Pada Kantor Urusan Agama (KUA).

UIN Alauddin Makassar. Hlm, 64-65

Lebih baru Lebih lama