PEMBEDAAN HAK KEWARISAN ANTARA SAUDARA KANDUNG DAN SEAYAH DENGAN SAUDARA SEIBU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem kewarisan Islam di Indonesia
sebelum lahirnya KHI, menganut sistem kewarisan Jumhur yang oleh Hazairin
dipandang sebagai sistem kewarisan patrilineal, sementara sistem kewarisan
Al-Quran menurutnya berbentuk bilateral. Hazairin melalui penafsirannya
terhadap beberapa ayat Al-Quran menetapkan dua garis hukum dalam menentukan
ahli waris, yaitu garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian.
Garis pokok keutamaan adalah suatu garis
hukum yang menentukan perikutan keutamaan antara golongan-golongan dalam
keluarga pewaris atau yang menentukan urut-urutan keutamaan di antara keluarga
pewaris. Sedangkan garis pokok penggantian adalah setiap orang dalam sekelompok
keutamaan di mana antara dia dengan si pewaris tidak ada penghubung atau tidak
ada lagi penghubung yang masih hidup atau telah meninggal lebih dahulu dari
pewaris. atau yang disebut dengan ahli waris pengganti. Sistem kewarisan
Hazairin ini banyak mengilhami ketentuan hukum waris dalam Buku II yang berbeda
dengan sistem kewarisan Jumhur maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), antara lain
tentang kewarisan saudara.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
bagian hak waris saudara kandung, seayah dan seibu?
2. Bagaimana
dalil dan istinbat hukum tentang hak
waris saudara kandung, seayah dan seibu?
C. Tujuan
1. Untuk
mengidentifikasi bagian hak waris saudara kandung, seayah dan seibu.
2. Untuk
menganalisis dalil dan istinbat hukum
tentang hak waris saudara kandung, seayah dan seibu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bagian Hak Waris Saudara Kandung Seayah dan Saudara Kandung
Seibu
1.
Bagian Saudara Laki-laki Kandung dan Saudara
Laki-laki Seayah
Jumhur menempatkan saudara laki-laki
sekandung dan seayah selalu sebagai zawil ashabah (binnafsi) sehingga mereka
tidak mempunyai bagian tertentu. Mereka mendapatkan sisa setelah ahli waris
zawil furudl mengambil bagain masing-masing. Sebagai konsekuensinya, mereka
dapat memperoleh bagian yang besar, atau memperoleh bagian yang kecil
tergantung sisa yang ada, bahkan bisa tidak memperoleh sama sekali jika harta
warisan itu habis diberikan kepada ahli waris zawil furudl.
Saudara laki-laki kandung yang
kedudukannya dipandang lebih utama dari saudara laki-laki seayah, maka saudara
laki-laki seayah terhijab oleh saudara laki- laki kandung, namun saudara laki-laki
seibu meskipun kedudukannya paling lemah, akan tetapi mereka tidak terhijab.
Mengenai hal ini akan dijelaskan dalam pembahasan saudara seibu.
2.
Bagian Saudara Perempuan Kandung dan Saudara
Perempuan Seayah
Bagian saudara perempuan kandung menurut
Jumhur adalah: 1\2 (setengah) apabila seorang diri, 2/3 (dan dua pertiga) jika
dua orang atau lebih, ushubah (bil ghair) apabila bersama mu'ashibnya, dan
ushubah (ma'al ghair) apabila bersama anak perempuan dan/atau bersama cucu
perempuan pancar laki-laki. Bagian saudara perempuan seayah mirip dengan
saudara perempuan sekandung hanya ditambah dengan bagain 1/6 sebagai pelengkap
dua pertiga apabila bersama seorang saudara perempuan kandung.
Karena kedudukan saudara sekandung
lebih utama daripada saudara seayah, maka saudara perempuan seayah tidak
mendapat bagian apabila ada saudara laki- laki kandung, atau dua orang saudara
perempuan kandung, atau seorang saudara perempuan kandung ketika berkedudukan
selaku ashabah ma'al ghair.
3.
Saudara Laki-laki dan Saudara Perempuan Seibu
Jumhur dalam prinsip kewarisannya selalu
menerapkan asas 2:1 antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi khusus untuk
saudara seibu prinsip tersebut ditiadakan karena telah bagian mereka telah
ditentukan oleh Allah dalam surah an-Nisa ayat 12. Saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu diberikan kedudukan dan bagian yang sama yakni 1/6
(seperenam) apabila seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) apabila dua orang atau
lebih.
Saudara seibu hanya dapat tampil sebagai
ahli waris apabila pewaris meninggal dalam keadaan kalalah sebagaimana dimaksud
dalam ayat 12 surah an-Nisa', sebab jika tidak dalam keadaan kalalah saudara
seibu pasti terhijab oleh far'ul-waris laki- laki maupun perempuan dan
ashlul-waris lakilaki. Namun demikian, meskipun garis kekerabatan saudara seibu
dipandang paling lemah dibanding dengan saudara sekandung dan saudara seayah,
akan tetapi saudara seibu tidak terhijab oleh sekandung maupun saudara seayah.
Ketentuan ini didasarkan kepada ayat 12 surah an-Nisa' yang memberikan bagian tetap
bagi saudara seibu.
Permasalahan yang dihadapi Jumhur adalah
ketika saudara seibu tampil sebagai ahli waris bersama saudara sekandung yang
berkedudukan sebagai ashabah sedangkan bagiannya telah habis diberikan kepada
zawil furudl, maka saudara kandung tidak mendapatkan bagian sama sekali. Untuk
memecahkan permasalahan ini, maka timbullah apa yang disebut prinsip pembagian
musyarakah, atau juga dikenal dengan kasus Umariyah, atau Minbariyah, atau
Himariyah, atau Hajariyah atau Yammiyah.
KHI tidak mengatur secara detail tentang
bagian saudara kecuali yang ada dalam pasal 181 dan pasal 182, namun dengan
memperhatikan beberapa pasal yang mengatur tentang saudara, antara lain pasal
174 ayat (1) huruf a yang menetapkan saudara termasuk kelompok ahli waris hubungan
darah, pasal 178 yang mengatur tentang Gharawain, dapat disimpulkan bahwa
bagian saudara dalam KHI sama dengan pendapat Jumhur.
B. Dalil dan Istinbat Hukum Tentang Hak Waris Saudara Kandung, Seayah dan Seibu
Dalam Al-Quran, mengenai hak kewarisan
saudara diatur dalam QS. AnNisa ayat 11, 12 dan 176. Allah berfirman QS.
An-Nisa ayat 11:
...فإَىِْ لَنْ يكَُيْ لََ ُ َلَدٌ َّ َزِحََ
ُ أبََ َاٍ ُ فلَِِهَُِّ ِ الخلُّجُُ ۚ
فإَىِْ كَاىَ لََ ُ إخِْ َةٌ فلَِِهَُِّ ِ
السُّدسُُ ...
Artinya: “...Jika seorang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya, maka ibunya mendapat sepertiga, jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam...” Dan dalam QS. An-Nisa ayat 12 Allah berfirman:
... َإِىْ كَاىَ زَجُلٌ يُ زَثُ كَلََلتًَ أَ
ِّ اهْسَأةٌَ َلََ ُ أخٌَ أَ ّْ أخُْتٌ فلَِكُلِّ َاحِدٍ هِ ٌْ ُوَا
السُّدسُُۚ فَ إىِْ كَاًُ ا أكَْخسََ هِيْ
ذَٰلَِكَ فَ ُنْ شُسَكَاءُ فيِ الخلُّجُِ ۚ هِيْ بعَْدِ َّصِيتٍَّ
يُْصَىَٰ بِ َا أَّ ْ
ديَْيٍ غَيْسَ هُضَازٍّ ۚ َّصِيتًَّ هِيَ اللََِّّ ۗ َاللََُّّ عَلِينٌ حَلِينٌ
Artinya: “...Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Kemudian dalam QS. An-Nisa ayat 176 Allah
berfirman:
يَسْتفَْتُْ كََ قلُِ اللََُّّ
يفُْتِيكُنْ فيِ الْكَلََلتَِ ۚ إىِِ اهْسُؤٌ َلكََ ليَْسَ لََ ُ َلدٌَ َلََ ُ
أخُْتٌ فلََ َا ًِصْفُ هَا تسََكَ ۚ َّ ُُ
َْ يسَِحُ َا إِىْ لنَْ يكَُيْ لَ َا َلَدٌ ۚ فإَىِْ كَاًَتاَ احٌَْتيَْيِ فلََ
ُوَا الخلُّخُاَىِ هِوَّا تسََكَ ۚ َإِىْ كَاًُ ا إخِْ َةً زِجَالًً َّ سَِاءً
فلَِلركََّسِ هِخلُْ حَظِّ الًُْْْخيََيْيِ ۗ
يبَُييُِّ اللََُّّ لكَُنْ أىَْ تضَِلُّ ا ۗ َاللََُّّ بكُِلِّ شَيْءٍ عَلِي نٌ
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
QS. An-Nisa ayat 12 dan 176 mengatur hak
kewarisan saudara tanpa menjelaskan atau membedakan saudara berdasarkan jenis
hubungannya. Secara dhohir kata Akh dan
Ukht dalam ayat tersebut dapat diartikan mecakup semua jenis saudara.[2]
Namun semua sahabat dan fuqaha diklaim sepakat bahwa dalam kedua ayat tersebut
untuk saudara sekandung dan seayah.
Pembedaan ini barangkali muncul karena
kebingungan mereka memahami kedua ayat yang sama menjelaskan hak kewarisan
saudara tetapi masing-masing memberikan ketentuan dan bagian yang berbeda untuk
saudara. Kebingungan ini kemudian memperoleh jawaban dari sebuah qira’ah syadzdzah (bacaan yang tidak
lazim) dari Sa‟d bin Abi Waqqas yang meskipun tidak lazim tetapi dijadikan
sandaran oleh para ulama. Dalam qira’ah tersebut
terdapat tambahan هِيْ امُّ pada
An-Nisa ayat 12, sehingga berbunyi:
َإِىْ كَاىَ زَجُلٌ يُ زَثُ كَلََلتًَ أَ ِّ اهْسَأةٌَ َلََ ُ
أخٌَ أَ ّْ أخُْتٌ هِيْ ا مٍُّ...
Artinya: “ Jika seorang laki-laki atau perempuan diwaris
secara kalalah dan dia mepunyai seorang saudara laki-laki atau saudara
perempuan seibu...”
Memang terjadi perbedaan penilaian
terhadap qira’ah syadzdzah ini.
Sebagian memandangnya sebagai mansukh,
dan sebagian yang lain menganggapnya sebagai tafsir saja. Lebih dari itu, hadis
tentang qira’ah syadzdzah tersebut
diriwayatkan tanpa sanad dan penjelasan tentang kualitasnya. [3]
Selain qira’ah syadzdzah tersebut, pembedaan terhadap saudara yang
dijelaskan dalam al-Nisa‟: 12 dengan yang dijelaskan dalam al-Nisa‟: 176 yang
menjadi pendapat seluruh fuqaha‟ juga didasarkan pada pendapat Abu Bakr. Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan Ibn Jarir dari Qatadah, bahwa Abu Bakr dalam
satu khutbahnya mengatakan: “Ketahuilah bahwa ayat yang diturunkan dalam awal
surat al-Nisa‟ mengenai pembagian
warisan (ayat 11) itu diturunkan Allah untuk menjelaskan anak dan orang tuanya,
ayat kedua (ayat 12) diturunkan untuk menjelaskan suami, istri dan saudara
seibu, dan ayat yang mengakhiri surat al-Nisa‟ (ayat 176) diturunkan untuk
menjelaskan warisan saudara-saudara sekandung. Dan ayat yang mengakhiri surat
al-Anfal (ayat 75) diturunkan untuk menjelaskan pusaka dzawi al-arham yang
sebagiannya lebih utama dari pada yang lain menurut ketentuan dalam kitab Allah
tentang „asabah yang berlaku pada dzawi al-arham.”[4]
Berdasarkan qawl Abu Bakr ini maka
fuqaha‟ pun membedakan antara saudara seibu dengan saudara sekandung, dan
saudara seayah disamakan dengan saudara sekandung karena sama-sama dihubungkan
melalui ayah (laki-laki).[5]
Pembedaan saudara antara yang
sekandung, seayah dan seibu ini, sebagaimana yang dibuat oleh fuqaha‟, juga
menimbulkan persoalan pada tataran praktis. Antara lain persoalan yang dikenal
dengan nama himariyyah atau hajariyyah, yaitu kasus di mana para
ahli warisnya terdiri atas suami, ibu, beberapa orang saudara seibu dan satu
atau beberapa orang saudara laki-laki sekandung. Dengan memperhatikan pembedaan
antar saudara berdasarkan hubungan kekerabatan tersebut, suami berhak
memperoleh 1/2 karena pewaris tidak meninggalkan anak, ibu memperoleh 1/6
karena pewaris meninggalkan beberapa saudara, beberapa saudara seibu memperoleh
1/3 karena lebih dari satu, dan saudara laki-laki kandung sebagai ahli waris ‘asabah yang berhak atas sisa harta
warisan tidak memperoleh warisan karena dalam kasus ini harta warisan telah
habis jika diberikan kepada para ahli waris ashab
al-furud tersebut sesuai dengan hak masing-masing. Lebih jelasnya
digambarkan di bawah ini:
Ahli Waris |
Bagian |
AM = 6 |
Suami |
1/2 |
3/6 |
Ibu |
1/6 |
1/6 |
2 saudara seibu |
1/3 |
1/6 |
1 saudara lk kandung |
ashabah |
0
|
Ketika menjadi khalifah, Umar bin
Khattab pernah memutus kasus seperti ini dua kali. Pada kali pertama, Umar
menggunakan memberi putusan dengan pembagian di atas sehingga saudara laki-laki
kandung tidak memperoleh warisan. Keputusan ini diterima oleh saudara laki-laki
kandung itu meskipun mungkin dengan rasa tidak puas.
Namun pada kasus kedua, saudara
laki-laki kandung tidak dapat menerima putusan semacam itu. Dia menganggap
putusan itu tidak adil. Bagaimana bisa dia yang saudara sekandung tidak
memperoleh warisan, sementara saudara seibu malah memperoleh warisan. Dia pun
mengajukan protes kepada Khalifah Umar. Di dalam protesnya itu, dia antara lain
mengatakan : “Wahai Amirul mukminin, anggaplah ayah kami adalah seokor keledai,
bukankah kami berasal dari ibu yang sama”.
Keberatan dari saudara laki-laki
kandung ini didengar oleh „Umar. Dengan kata lain, Umar mengakui bahwa
pembagian tersebut tidak adil. Dia pun merubah putusannya yang sebetulnya
sejalan dengan kaidah dalam hukum kewarisan Islam sebagaimana diterima oleh
para Sahabat, yaitu bahwa saudara seibu dibedakan dengan saudara sekandung dan
seayah; saudara seibu adalah ashab
al-furud sedangkan saudara sekandung dan seayah adalah ‘asabah. Dalam putusan barunya, Umar memberikan warisan untuk
saudara laki-laki kandung dengan cara membagi rata sisa harta warisan di antara
saudara laki-laki kandung dan saudara seibu, setelah diambil oleh suami dan
ibu. Cara pembagian ini dikenal dengan istilah musyarrakah, dan kasus ini dikenal dengan sebutan himariyyah karena saudara laki-laki
kandung tersebut menggunakan himar sebagai argumennya. Juga dikenal dengan
sebutan minbariyah karena ketika
menyelesaikan persoalan tersebut, Umar sedang berdiri di mimbar. Pembagian
dengan cara musyarrakah ini di satu
sisi menyimpang dari kaidah yang disepakati tersebut dan, di sisi lain,
menjadikan semua saudara meskipun berbeda hubungannya menjadi setara dan
memiliki hak waris yang sama.
Hazairin tidak sepakat menjadikan
perbedaan hubungan antar saudara sebagai alasan untuk membedakan hak kewarisan
mereka. Menurutnya, perbedaan bagian warisan di antara saudara harus dicari
sebabnya pada perbedaan keadaan (bersama siapa mereka mewaris), bukan pada
perbedaan macam hubungannya.[6]
Setelah mencari sebab perbedaan tersebut, Hazairin berpendapat bahwa al-Nisa‟:
12 mengatur kewarisan saudara ketika ada ayah, sedangkan al-Nisa: 176 untuk
kewarisan saudara ketika tidak ada ayah. Perbedaan tersebut menurutnya
diisyaratkan oleh bentuk perolehan saudara laki-laki. Dalam al-Nisa‟: 12,
saudara laki-laki memperoleh bagian sebagai ashab
al-furud, sehingga tidak ada halangan untuk mewaris bersama dengan ayah.
Sedangkan dalam al-Nisa‟: 176 saudara laki-laki memperoleh sisa sebagai ‘asabah
(atau dzawi al-qarabah menurut
istilah Hazairin), sehingga tidak bisa mewaris bersama dengan ayah.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari materi yang telah dipaparkan bahwa
penafsiran terhadap QS. An-Nisa ayat 12 dan 176 menghasilkan simpulan yang
membedakan hak kewarisan antara saudara sekandung dan seayah dengan saudara
seibu. Hal tersebut merupakan ketentuan ijtihadiya dan bersifat zanniy karena tidak didasarkan pada
Al-Quran maupun hadis. Dan bahwa ijtihad yang bersifat zanniy mempunyai kemungkinan untuk benar dan kemungkinan untuk
salah.
Dalam fikih mawaris klasik, terdapat
perbedaan antara saudara sekandung dan seayah dengan saudara seibu, ini
merupakan produk ijtihad yang bersifar zanniy.
Begitu pula dengan ketentuan dalam hukum kewarisan Peradilan Agama yakni
tidak ada perbedaan antara saudara sekanung dan seayah dengan saudara seibu,
ketentuan ini juga merupakan produk ijtihad yang bersiat zanniy.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini masih
memerlukan kritikan dan saran bagi pembahasan materi tersebut. Selanjutnya kami
berharap makalah yang kami buat dapat membantu pembaca agar dapat
memahami.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qarafi, Syihabuddin Ahmad bin Idris, Al-Dzakirah, XIII: 35
Arwan Firdaus
Muhammad. Kedudukan Saudara Dalam
Kewarisan Islam (Studi Komparasi
Sistem Kewarisan Jumhur, Hazairin, KHI, dan Buku II). diakses dari http://www.pa-muarateweh.go.id/images/ stories/data_pd/ Artikel_Hukum
/KEDUDUKAN
SAUDARA_DALAM_KEWARISAN_ISLAM.pdf pada
tanggal 5 April 2021 pukul 12:34
As-Shiddiqie, T.M Hasby, Fiqhul
Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama Mahkamah Agung RI, Buku II Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, edisi revisi (2013),
175.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an
dan Hadist, (Jakarta:Tinta Mas, 1982)
[1] Firdaus Muhammad Arwan, Kedudukan Saudara Dalam Kewarisan Islam (Studi Komparasi Sistem Kewarisan Jumhur,
Hazairin, KHI, dan Buku II), hlm.1. (diakses dari http://www.pa-muarateweh.go.id/images/stories/data_pdf/Artikel_Hukum/KEDUDUKAN SAUDARA DALAM_KEWARISAN_ISLAM.pdf pada
tanggal 5 April 2021 pukul 12:34)
[2]
Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi, Al-Dzakirah,
XIII: 35.
[3] Abubakar, Ahli Waris., 97-98.
[4] Lihat al-Tabari, Jami‘ al-Bayan, IX: 431; Abu Bakr Ahmad ibn al-Husayn ibn „Ali alBayhaqi, Al-Sunan al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub,
2003), VI: 379.
[5] Pendapat Abu Bakr ini
diikuti oleh para ulama. Bahkan Ibn Qudamah mengatakan bahwa pendapat tersebut
telah menjadi ijma‟ ahli ilmu. Lihat Ibn
Qudamah, al-Mughni, IX: 6-7.
[6] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan
Hadith (Jakarta: Tintamas, 1981), 51.
[7]
Hazairin, Hukum Kewarisan., 55-56.