MAKALAH AL YAQINU LA YUZALU BI SYAK

 

MAKALAH AL YAQINU LA YUZALU BI SYAK

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Manusia hidup tidak mungkin lepas dari beragam perasaan senang, sedih, sakit, sehat, kuat, lemah, rajin, malas, dan beragam sifat manusiawi lainya. Begitupun rasa yakin dan ragu, selalu menyertai denyut nadi kehidupan manusia. Islam pun sebagai agama yang rahmtan lil alamiin memiliki pengertian dan perhatian besar pada hal-hal yang bersifat psikologis-antropologis ini. Rasa yakin yang bisa mengawal hidup manusia, baik dalam dunia bisnis, relasi sosial, hingga interaksi spriritualnya, merupakan modal primer yang tidak layak di sia-siakan. Rasa yakin yang akan mengiringi manusia menuju kunci kesuksesan dan keberhasilanya menggapai kebahagiaan hidup dunia akhirat. Sebaliknya, orang yang tidak punya keyakinan, perjalanan hidupnya akan goyah tak tentu arah. Karenanya, keraguan yang menganggu pikiran sebagaimana pesan substansial kaidah ini tidak akan mampu menggoyahkan status hukum yang telah dimiliki oleh keyakinan.

Kaidah ini menandaskan bahwa hukum yang sudah berlandas kan keyakinan tidak dapat dipengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan tidak akan menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya. Seseorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada dalam kondisi suci dengan berwudlu misalnya tidak akan hilang hukum kesucianya di sebabkan munculnya keraguan setelah itu. Karena sebelum keraguan itu timbul, dia telah menyakini keabsahan thaharah yang telah dilakukan.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Definisi Kaidah Al Yaqinu La Yuza Bi Syak?

2.      Apa Dalil Landasan Kaidahnya?

3.      Bagaimana aplikasi Kaidahnya?

C.    Tujuan Masalah

1.      Mengetahui Definisi Kaidah Al Yaqinu La Yuzalu Bi Syak

2.      Mengetahui Dalil Landasan Kaidahnya

3.      Mengetahui Aplikasi Kaidahnya

 

BAB II

PEMBAHASAN

1.      Definisi Kaidah

Dalam bahasa arab, diskursuskan seputar makna kata yaqin (selanjutnya di-Indonesiakan menjadi yakin) cukup semarak di bicarakan, terutama dalam kajian ilmu Fiqih, Uahul Fiqih, maupun Kaidah fiqih. Dilihat dari sisi bahasa, yakin secara sederhana di maknai sebagai ketetapan hati (Thuma’ninah Al-qalb) atas suatu kenyataan atau realitas tertentu. Umpamanya seseorang mamiliki ketetapan hati bahwa hari ini adalah hari rabu, maka dia telah yakin bahwa hari ini adalah hari rabu. Lebih jauh, Al-Ghozali menandaskan bahwa yakin adalah”kemantapan hati untuk membenarkan sebuah objek hukum, dimana hati juga mampu memastikan bahwa kemantapan itu adalah hal yang benar.  [1]Sementara yakin dalam konteks kaidah ini mempunyai makna lebih luas dari pada pengertian secara etimologi. Sebab yang dimaksud yakin disini juga memasukan Zhan (praduga kuat), dimana dzan sendiri belum mencapai derajat yakin. Namun para fukaha’ terbiasa menggunakan kata Al-ilmu (tahu) dan yakin untuk menunjuk makna dzan, dan sebaliknya.

Dalam kerangka ini, Al-nawawi menandaskan bahwa bila ada orang yang di percaya ( Tsiqah) memberi tahu bahwaair yang kita pakai berwudlu terkena najis, maka pengetahuan kita yang berdasarkan berita tadi telah dikategorikan yakin. Padahal sebenarnya kemantapan hati kita baru harus mencapai taraf dzan (asumsi atau presepsi kuat), karena kita tidak melihat langsung najis yang menimpa air yang kita gunakan berwudlu itu. Karenanya, fuqaha’ sering kali menamai dzan seperti itu dengan kalimat yakin atau al-ilmu(tahu). Konsekuensinya, kita wajib mensucikan kembali anggota badan yang terkena air najis tersebut sekaligus wajib mengulangi sholat. [2]

Sedangkan Syak Secara literal biasa diartikan sebagai keraguan atau kebimbangan. Secara lebih spesifik, ahli fiqih memaknai syak sebagai keraguan dan kebimbangan akan terjadinya sesuatu atau tidak terjadinya. Yang agak berbeda adalah makna syak yang di ajukan ahli ushul fiqih, yakni keseimbangan hati dalam menyikapi sesuatu. Dalam pengertian ini, hati kita tidak lebih cenderung kepada salah satu dari dua kemungkinan yang ada. Semisal seseorang yang ragu, apakah temanya yang sedang di tunggu akan datang atau tidak, tanpa melebihkan kemungkinan antara datang dan tidak tersebut.Dengan pemahaman ini, ushuliyyin sering melontarkan kritik epistimoilogis ( teori ilmu pengetahuan) kepada para fuqaha” seputar rumsuan kaidah ini . Sebab menurut ushuliyyin, apabila seseorang telah di hinggapi keraguan dalam hatinya, maka keyakinan yang sebelumnya telah bulat pasti akan hilang, atau minimal terganggu dan tidak utuh lagi. Sedangkan kaidah ini mengklaim bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan; ini jelas sesuatu yang mengada ada, demikian menurut ushuliyyin.

Menanggapi kritik ini, fuqaha’ menegaskan bahwa yang dimaksud tidak hilang”(La yuzhalu) bukan berarti keyakinan itu sendiri yang sendiri yang sirna, sebab hal itu mustahil terjadi, melainkan hukum yang telah terbangun berdasarkan keyakinan itulah yang tidak akan hilang. Hal ini berdasarkan arguman pokok, bahwa pada dasarnya keyakinan memiliki nilai hukum lebih kuat dari pada keraguan. Sebab, ketika dalam hati telah terbangun suatu keyakinan, maka dia tidak dapat digoyahkan oleh situasi, kondisi, atau faktor eksternal apapun. Artinya, dalam sebuah keyakinan terdapat hukum pasti yang tidak akan tergoyahkan oleh hal-hal yang baru timbul, kecuali oleh keyakinan yang lain.

Terlepas dari kontradiksi diatas, Al-Nawawi menandaskan bahwa syak dalam istilah fuqaha’ didefinisikan sebagai keraguan antara wujud dan tidaknya sesuatu. Hak ini dapat dilihat dari penggunaan istilah syak atau ragu dalam masalah air, kemudian soal hadats, najasah, sholat, puasa, thalaq, semuanya mengandung pengertian kebimbangan antara ada dan tidak ada; anaar wujud dan tidak wujud, anatara dikerjakan dan tidak dikerjakan. Keraguan dalam kasus ini bisa bersifat sama kuat atau seimbang antara keberadaan dan tidak keberadaanya, dan bisa pula ada yang lebih tinggi salah satu kadarnya. Secara lebih sistematis, sebagian ulama’ memilah kondisi hati dalam lima bagian berikut:

1.      Yakin, yakni keteguhan hati yang bersandar dalam dalil qath’iy(petunjuk pasti).

2.      I’tiqad, yaitu keteguhan hati yang tidak bersandar pada dalil qath’iy.

3.      Dzan, yakni presepsi atau asumsi hati terhadap dua hal berbeda, dimana salah satunya lebih kuat.

4.      Syak,yaitu sebentuk prasangka terhadap dua hal tanpa mengunggulkan salah satu diantara keduanya.

5.      Wahm, atau kemungkinan yang lebih lemah dari dua hal yang di asumsikan.[3]

2.      Landasan Hukum

Pondasi terbangunya kaidah ini adalah firman Allah SWT. Dalam QS. Yunus :36 yang berbunyi:

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

 “Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka saja. Sesungguhnya prasangka itu tidak akan mengantarkan kebenaran sedikitpun”

Ayat ini pada mulanya menyoroti karakter orang-orang musyrik yang seringkali berpegangan pada prasangka-prasangka yang tidak bisa di buktikan kebenaranya. Terhadap tuhan yang mesti disembahpun mereka masih cenderung berimajinasi pada benda-benda mati yang dalam presepsi mereka dapat memberi jaminan keselamatan dan kelangsungan hidup. Dengan ayat ini, Allah SWT memberi penegasan akan hal yang mesti dijadikan bijakan berfikir dan bertindak: yakni yang jelas-jelas dapat menunjukkan pada kebenaran, bukan yang masih diragukan. Karena walau bagaimanapun, hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya tidak dapat disejarahkan dengan keyakinan. Dari penegasan ini akan memunculkan keniscayaan bahwa apabila terjadi keragu-raguan yang berpotensi untuk mempengaruhi hal-hal yang telah diyakini sebelumnya, sudah barang tentu tidak dapat mempengaruhi keyakinan yang sudah ada, selama belum ada elemen-elemen fundamental yang dapat menunjukan bukti falid bahwa keyakinan itu tidak sesuai kenyataan: Al-yaqin la yuzalu bi al-syak. [4]

Hadist Nabi Muhammad SAW yang menjadi pondasi kaidah ini antara lain:

اذا وجد احدكم في بطنه شياء فاء شكل عليه اخرج منه شيء ام لا؟ فلا يخرجن من المسجد حتي يسمع صوتا او يجد ريحا

“Apabila salah seorang diantara kalian merasakan’sesuatu’didalam perutnya, kemudian dia ragu, apakah telah keluar sesuatu (dari parutnya) atau tidak, maka janganlah dia keluar dari masjid (membatalkan sholatnya), samapai dia mendengar suara atau mencium bau”(H.R Muslim).

Menurut Al-Nawawi, hadist ini merupakan salah satu landasan dasar yurisprodensi islam yang kemudian dijadikan fundamen terbangunya kaidah-kaidah fiqih, dari hadits ini pula terbangun konsep serta metodologi-analitis mengenai status objek, yakni dengan cara melihat status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur eksternal yang falid dan mampu mempengaruhi” keaslian “nya, secara eksplisit, hadist ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah telah merasakan keluarnya angin atau tidak. Dalam hal ini,Nabi saw mengesahkan, keraguan yang beru timbul itu tidak dapat mempengaruhi status wudlunya. Kecuali jika dia memang telah benar-benar mendengar bunyi nya atau mencium bau angin tersebut. Proses mendengar maupun mencium bau ini biasa dijadikan indikasi kuat bahwa wudlunya telah batal[5].

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

“Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.” (HR. Muslim)

3.      Turunan Kaidah

1)      الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان

“Menurut dasar yang asli memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada sekarang

Contoh :

a.       Ketika bulan ramadhan seseorang ragu pada saat makan sahur apakah sudah memasuki waktu fajar atau belum. Puasa orang tersebut pada pagi harinya dihukumi sah. Karena dasar aslinya keadaan waktunya masih malam, bukan waktu fajar.

b.      Pembeli radio menggugat kepada penjual karena radio yang dibeli dari penjual tersebut pada saat dirumah tidak dapat digunakan. Gugatan pembeli dikalahkan karena menurut asalnya radio yang dijual ditetapkan dalm keadaan baik.

2)      الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة

Menurut Yang Dasar Asli Tiada Tanggung Jawab”

Contoh :

a.       Jika ada orang yang memberi hadiah kepada orang lain namun dengan persyaratan, dan ada perselisihan tentang persyaratan/penggantian tersebut, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang menerima hadiah. 

b.      Dalam hal kerusakan barang, dan terjadi perbedaan nilai kerusakan barang itu maka yang dimenangkan adalah orang yang dirugikan. Sebab menurut asalnya ia tidak dibebani tanggungan tambahan.

3)      الْأَصْلُالْعَدم

“Menurut dasar yang asli ketiadaan sesuatu”

Contoh :

a.       Orang yang berhutang kepada orang lain, telah mengaku membayar hutangnya dengan pengakuannya sendiri. Sedangkan orang yang menghutangi tidak mengakui pengakuan tersebut. Maka dalam perselisihan ini dimenangkan oleh orang yang menghutangi karena belum adanya pembayaran hutang yang meyakinkan dan pengakuan pembayaran hutang masih diragukan.

b.      Dalam kasus mudharabah, orang yang menjalankan modal orang lain melaporkan belum mendapat keuntungan. Maka laporan itu, dibenarkan karena sejak diadakan akad mudharabah belum ada keuntungsn. Dalam hal ini, belum memperoleh keuntungan adalah nyata sedangkan keuntungan yang diharapkan belum pasti.

4)      الْأَصْلُفِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيم

“Asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjuk keharamannya”. Contoh :

a.       Binatang yang susah ditentukan keharamannya karena tidak terdapat sifat dan ciri keharaman, maka binatang itu halal dimakan. Misalnya binatang jerapah dan gajah.

5)      الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَبِالزَّمَأنِ

“Asal setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat dengan kejadiannya”

Contoh :

a.       Seseorang mengambil wudhu di sumur, beberapa hari kemudian diketahui di dalam sumur ada bangkai tikus, sehingga menjadikan keraguan. Dalam masalah ini, ia tidak wajib mengganti shalat yang sudah dikerjakannya.

b.       Seorang dokter mengoperasi pasien, operasi tersebut berhasil. Tetapi beberapa hari kemudian, pasien tersebut meninggal. Dalam persoalan ini, dokter tidak dapat diminta pertanggungjawaban kematien pasien karena ada kemungkinan kematiannya ada hal lain yang mendekati peristiwa kematian.

6)      من شك افعل شيأ ام لا فالاصل انه لم يفعله

“Barang siapa ragu-ragu apakah ia mengerjakan sesuatu atau tidak, maka menurut asalnya ia dianggap tidak melakukannya.”

Contoh :

a.       Seseorang yang shalat dan ragu apakah ia sudah mengerjakan I’tidal atau belum. Maka, shalatnya harus diulang karena dianggap tidak mengerjakan.

7)      من تيقن الفعل وشك في القليل اوالكثير حمل علىالقليل لانهالمتيقن

“Barang siapa meyakinkan berbuat dan meragukan tentang banyak atau sedikitnya, maka dibawanya kepada yang sedikit.”

Contoh :

a.       Debitur yang berkewajiban mengangsur uang yang telah disetorkan kepada kreditur apakah sudah 5 atau 6 kali maka dianggap baru mengangsur 5 kali. Karena yang sedikit itulah yang sudah diyakini kepastiannya.

8)      الْأَصْلُفِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَة

“Menurut dasar yang asli dalam pembicaraan adalah yang hakiki.”

Contoh :

a.       Si A bersumpah tidak akan membeli barang kepada si B, namun si A menyuruh si C untuk membeli barang kepada si B. kejadian seperti itu tidak dapat dikatakan melanggar sumpah.

b.      Ketika seseorang telah mengatakan memberikan rumah kepada orang lain, arti hakikat dari kata memberikan ialah memindahkan hak kepemillikan. Jika sang pemberi rumah tersebut mengelak pemindahan hak milik dan dia menganggap rumah tersebut hanya untuk ditempati. Maka, perkataan pemberi rumah tersebut tidak dianggap atau tidak dihiraukan.

4.      Aplikasi Kaidah

Banyak sekali persoalan-persoalan hukum yang di cakup kaidah ini, diantaranya adalah keyakinan akan syahnya thaharah(bersuci). Seseorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada dalam kondisi suci semisal dengan berwudlu tidak akan hilang hukum thaharahnya disebabkan keraguan yang muncul kemudian. Karena sebelum keraguan itu timbul, dia telah menyakini keabsahan thaharahnya. Begitupun seseorang yang berhutang kepada temanya, kemudian dia ragu apakah nilai hutangnya sebanyak sepuluh ribu atau sebelas ribu? Maka dia diharuskan membayar sebelas ribu. Dengan argumen, apabila jumlah hutang yang sebenarnya adalah sebelas ribu, maka telah membayarnya dengan tepat. Namun jika hanya sepuluh ribu, berarti dia telah berbuat kebaikan dengan bersedekah melalui kelebihan nilai nominal yang dibayarkan.Sebaliknya, bila keraguanya adalah tentang apakah dia telah melunasi hutangnya atau belum, maka hutangnya masih dianggap belum terbayar. Karena keraguan bahwa ia telah membayar hutang tidak dapat merubah suatu hal yang sudah pasti sebelumnya, berupa kenyataan bahwa dia memiliki hutang. Contoh lainya adalah bila tali perkawinan antara suami-istri telah nyata-nyata syah, tapi suatu ketika timbul keraguan apakah sang suami telah menjatuhkan talak atau tidak? Maka hukum nikahnya tetap dianggap syah, karena hukumnya asal berupa tali pernikahan diantara keduanya telah syah sejak semula.Alasan mendasar menganggap kebimbangan tidak bisa menghilangkan keyakinan adalah karena posisi keraguan(syak) dianggap lebih lemah dari pada keyakinan. Keyakinan hanya bisa hilang bila telah ada sebab-sebab pasti yang mampu menghilangkan nilai-nilai dasar keyakinan, yang dalam bahasa fuqaha’ disebut Al-sabab al-muzil (sebab yang mampu menghilangkan).[6]

BAB III

PENUTUP

A.    Simpulan

Dalam bahasa arab, diskursuskan seputar makna kata yaqin (selanjutnya di-Indonesiakan menjadi yakin) cukup semarak di bicarakan, terutama dalam kajian ilmu Fiqih, Uahul Fiqih, maupun Kaidah fiqih. Dilihat dari sisi bahasa, yakin secara sederhana di maknai sebagai ketetapan hati (Thuma’ninah Al-qalb) atas suatu kenyataan atau realitas tertentu. Umpamanya seseorang mamiliki ketetapan hati bahwa hari ini adalah hari rabu, maka dia telah yakin bahwa hari ini adalah hari rabu. Lebih jauh, Al-Ghozali menandaskan bahwa yakin adalah”kemantapan hati untuk membenarkan sebuah objek hukum, dimana hati juga mampu memastikan bahwa kemantapan itu adalah hal yang benar.

Landasan hukum terbangunya kaidah ini adalah firman Allah SWT. Dalam QS. Yunus :36

Banyak sekali persoalan-persoalan hukum yang di cakup kaidah ini, diantaranya adalah keyakinan akan syahnya thaharah(bersuci). Seseorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada dalam kondisi suci semisal dengan berwudlu tidak akan hilang hukum thaharahnya disebabkan keraguan yang muncul kemudian. Karena sebelum keraguan itu timbul, dia telah menyakini keabsahan thaharahnya

B.     Saran

Dalam penyusunan makalah ini masih memerlukan kritikan dan saran bagi pembahasan materi tersebut. Selanjutnya kami berharap makalah yang kami buat dapat membantu pembaca agar dapat memahami.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Muhammad Khalid al-attasi, Syarh Majallah al-Ahkam al-Adliya

 

Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim

 

Abu Muhammad bin Muhammad al-ghazali, al- musthafa(Dar Al-khutub Al-Ilmiyah,Beirut)

 

Ahmad bin Ahmad bin al-Hawali, Ghamzu ‘uyun’ al-Basha’ir hasyiah Asybah li Ibn Nujaim(Dar al-Thiba’ah al-Amirah, Istanbul,1290 H),

 

Muhammad bin jarir bin Yazid al-Thabariy, Tafsir al-Thabari(Dar al-fikri, Beirut,1405 H

 

Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min al-Hishni, 1997, Dirasah wa Tahqiq(Al-Rusydu,Syirkah al-Riyadl,



[1] Abu Muhammad bin Muhammad al-ghazali, al- musthafa(Dar Al-khutub Al-Ilmiyah,Beirut),35

[2] Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min al-Hishni,Dirasah wa Tahqiq(Al-Rusydu,Syirkah al-Riyadl,1997),268.

[3] Ahmad bin Ahmad bin al-Hawali, Ghamzu ‘uyun’ al-Basha’ir hasyiah Asybah li Ibn Nujaim(Dar al-Thiba’ah al-Amirah, Istanbul,1290 H),131-134.

[4] Muhammad bin jarir bin Yazid al-Thabariy, Tafsir al-Thabari(Dar al-fikri, Beirut,1405 H),116.

[5] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim(Beirut,1983),90.

[6] Muhammad Khalid al-attasi, Syarh Majallah al-Ahkam al-Adliyah(Mhatba’ah Hims,,1349),18.

Lebih baru Lebih lama