MAKALAH HAK-HAK ATAS TANAH

 

MAKALAH HAK-HAK ATAS TANAH


BAB I

PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang

          Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa berupa sumber daya
alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan baik yang
langsung untuk kehidupanya seperti misalnya untuk bercocok tanam atau
untuk mencukupi kebutuhan tempat tinggal/perumahan, maupun untuk
melaksanakan usahanya seperti untuk tempat perdagangan, industri,
pendidikan, pembangunan sarana dan perasarana lainnya.[1]

          Hak milik atas tanah menurut Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pokok
Agraria menyatakan “Hak milik atas tanah adalah hak turun-temurun, terkuat
dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan Pasal 6.” Hak milik turun-temurun artinya dapat diwarisi oleh ahli
waris yang mempunyai tanah. Hal ini berarti hak milik tidak ditentukan jangka
waktunya seperti misalnya, hak guna bangunan dan hak Guna Usaha.
Hak milik tidak hanya akan berlangsung selama hidup orang yang mempunyainya,
melainkan kepemilikannya akan dilanjuti oleh ahli warisnya setelah ia
meninggal dunia. Tanah yang menjadi obyek hak milik (hubungan hukumnya)
itu pun tetap, artinya tanah yang dipunyai dengan hak milik tidak berganti-
ganti (tetap sama).

          Sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) UUPA “Hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.” Peralihan hak milik atas tanah dapat terjadi
karena perbuatan hukum dan peristiwa hukum. Peralihan hak milik atas tanah
karena perbuatan hukum dapat terjadi apabila pemegang hak milik atas tanah
dengan sengaja mengalihkan hak yang dipegangnya kepada pihak lain.
Sedangkan peralihan hak milik atas tanah karena peristiwa hukum, terjadi
apabila pemegang hak milik atas tanah meninggal dunia, maka dengan
sendirinya atau tanpa adanya suatu perbuatan hukum disengaja dari pemegang
hak, hak milik beralih kepada ahli waris pemegang hak. Peralihan hak milik
atas tanah dapat dilakukan dengan cara:

a.      Jual beli

b.      Tukar menukar

c.        Hibah

d.       Warisan.[2]

 

B.        Rumusan Masalah

Apa saja hak-hak atas tanah?

C.        Tujuan

Untuk mengetahui hak-hak atas tanah

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Hak-Hak Atas Tanah

Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegangan haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang di haki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjeadi kriteria atau tolak pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diataur dalam hukum tanah.

Dengan adanya hak menguasai dari negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu bahwa: “Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh masyarakat.”

Atas dasar ketentuan tersebut, negara berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa:

“Atas dasar hak mengusai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum.”

 Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa:

“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penatagunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi.”

Adapun hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA yang dapat diberikan kepada rakyat oleh negara ialah :

1.      Hak milik

Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UUPA). Ini berarti Hak Milik memiliki sifat 3T (turun temurun, terkuat dan terpenuhi). Turun temurun artinya hak atas tanah tersebut tetap berlangsung meskipun yang mempunyai Hak Milik meninggal dunia dan berlanjut kepada ahli warisnya sepanjang masih memenuhi persyaratan sebagai Hak Milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah ini berlangsung untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan secara yuridis dapat dipertahankan terhadap pihak lain. Selanjutnya makna terpenuhi dalam Hak Milik artinya pemegang Hak Milik memiliki wewenang yang luas, yaitu pemegang Hak Milik dapat mengalihkan, menjaminkan, menyewakan bahkan menyerahkan penggunaan tanah tersebut kepada pihak lain dengan memberikan hak atas tanah yang baru (Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai). Termasuk dalam lingkup terpenuhi adalah bahwa dari segi peruntukannya Hak Milik dapat dipergunakan untuk keperluan apa saja baik untuk usaha pertanian maupun non pertanian (rumah tinggal atau mendirikan bangunan untuk tempat usaha.[3]

Hak Milik di dalam Hukum Perdata di atur di dalam Pasal 570 KUH Perdata s.d. Pasal 624 KUH Perdata Bahwa dinyatakan Hak Milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya,asal tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan tidak menganggu hak orang lain (Pasal 570 KUH Perdata). Pengertian Hak Milik dalam Pasal 570 itu dalam arti luas karena benda yang dapat menjadi objek Hak Milik, tidak hanya benda tidak bergerak, tetapi juga benda yang bergerak. Lain halnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 20 UUPA dimana dalam rumusan itu hanya mengatur benda yang tidak bergerak khususnya atas tanah, sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa Pasal 20 UUPA berbunyi “Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 UUPA bahwa tanah mempunyai fungsi sosial termasuk pula tanah yang berstatus Hak Milik.[4]

Berdasarkan pasal 21 UUPA yang menjadi subyek hak milik adalah sebagai berikut:

1)      Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik

2)      Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik

3)      Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperoleh hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak itu hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lainnya tetap berlangsung.

4)      Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan ayat (3) Pasal ini.

            Pemegang hak milik atas tanah pada prinsipnya hanya dipunyai oleh perorangan, yaitu sebagai warga negara Indonesia tunggal. Oleh karena itu, hak milik pada dasarnya diperuntukkan khusus bagi warga negara Indonesia saja yang berkewarganegaraan tunggal.[5]

            Luasnya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada pemegang Hak Milik sebagaimana yang tersebut diatas, tidak berarti pemegang Hak Milik dapat berbuat apa saja atau tanpa batas atas penggunaan tanah tersebut. Meskipun tanah itu berstatus Hak Milik, pemegang Hak Milik dibatasi dalam suatu koridor aturan yang berlaku dimana pemegang hak wajib memperhatikan fungsi sosial atas tanah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria yang artinya :

1)      Dalama aktivitas penggunaan atau pemanfataan tanah tidak boleh menimbulkan kerugian kepada orang lain.

2)      Penggunaan tanah wajib disesuaikan dengan peruntukan yang telah di tetapkan sesuai dengan rencana tata ruang.

3)      Penggunaan atau pemanfaatan tanah wajib memperhatikan kepentingan umum selain kepentingan pribadi.

4)      Tanah yang digunakan atau dimanfaatkan harus dipelihara dengan baik dan mencegah terjadinya kerusakan tanah.

5)      Tanah yang digunakan tidak boleh di terlantarkan sehingga menimbulkan kerugian atas tanah tersebut, baik dari sisi kesuburan, penggunaan dan kemanfaatan atas tanah tersebut.[6]

            Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUPA menentukan bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Kata beralih mempunyai arti bahwa hak milik dapat beralih kepada pihak lain karena adanya peristiwa hukum. Apabila terjadi peristiwa hukum yaitu dengan meninggalnya pemegang hak maka hak milik beralih dari pemegang hak ke ahli warisnya, sehingga ahli waris wajib melakukan pendaftaran peralihan hak karena pewarisan tanah. Adapun kata dialihkan mempunyai arti bahwa hak milik dapat dialihkan karena adanya perbuatan hukum, misalnya jual-beli, tukar-menukar, hibah, inbreng, kepada pihak lain. Salah satu peralihan hak tersebut adalah jual-beli tanah.[7]

2.      Hak Guna Usaha

            Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan (Pasal 28 ayat 1). Kemudian, PP Nomor 40 Tahun 1996 menambahkan guna perusahaan perkebunan. [8] Untuk hak ini merupakan hak yang baru diciptakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, jadi tidak seperti hak milik yang telah dikenal sudah sejak jaman dahulu kala sebab hak guna usaha dan hak guna bangunan semula tidak dikenal oleh masyarakat kita sebab tidak ada persamaannya dalam hukum adat dan kedua hak di atas itu untuk memenuhi keperluan masyarakat moderen dewasa ini.            Luas tanah Hak Guna Usaha untuk perseorangan minimum 5 hektar dan luas maksimum 25 hektar. Sedangkan untuk badan hukum luas minimum 5 hektar dan luas maksimum ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional (Pasal 28 ayat 2 UUPA jo Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). Subjek dalam hukum Hak Guna Usaha adalah:

a.       Warga Negara Indonesia.

b.      Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 30 UUPA jo Pasal 2 PP Nomor 40 Tahun 1996).

            Jangka waktu Hak Guna Usaha 25 tahun dan untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 ayat 1, 2 dan 3 UUPA). Kemudian di dalam Pasal 8 PP No. 40 tahun 1996 mengatur jangka waktu Hak Guna Usaha untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun, dapat diperpanjang paling lama 25 tahun, dan diperbaharuan untuk waktu paling lama 35 tahun. Permohonan perpanjangan atau pembaharuan HGU diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGU tersebut. Perpanjangan atau pembaharuan HGU tersebut di catatkan dalam buku tanah pada kantor pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Persyaratan untuk melakukan perpanjangan yang dilakukan oleh pemegang hak adalah :

a.       Tanah masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut.

b.      Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.

c.       Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak (Pasal 9 ayat 1).[9]

            Kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha adalah:

a.       Membayar uang pemasukan kepada Negara

b.      Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian hak.

c.       Mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis.

d.      Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada di lingkungan HGU.

e.       Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f.        Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan HGU

g.      Menyerahkan kembali tanah diberikan dengan HGU kepada Negara setelah HGU tersebut dihapus.

h.      Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan (Pasal 12 ayat 1 PP Nomor 40 Tahun 1996).

            Hak guna usaha juga dapat hilang atau dihapuskan, menurut pasal 34 UUPA dijelaskan bahwa hapusnya Hak Guna Usaha jika :

1.      Jangka waktunya telah berakhir

2.      Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi

3.      Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir

4.      Dicabut untuk kepentingan umum

5.      Ditelantarkan

6.      Tanahnya musnah

7.      Ketentuan dalam Pasal 30 ayat 2 UUP[10]

3.      Hak Guna Bangunan

            Yang dimaksud dengan hak guna bangunan tercantum dalam pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi : (1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. (2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun. (3) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

            Menurut G. Kartasapoetra, hak guna bangunan yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Selain atas tanah yang di kuasai oleh negara, hak guna bangunan dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang.

            Dalam Pasal 35 UUPA diatas dijelaskan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keperluan dan keadaan bangunan-bangunannya. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang waktu paling lama 20 tahun. HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Penggunaan tanah yang dipunyai dengan HGB adalah untuk mendirikan bangunan-bangunan, meliputi bangunan rumah, tempat tinggal, usaha perkantoran, pertokoan industri dan lain-lain. Orang atau bandan hukum yang mempunyai HGB dan tidak lagi memenuhi syarat, dalam waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika dalam waktu tersebut tidak diperhatikan/dilaksanakan, maka hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan bahwa hak pihak lain akan dipindahkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

            Yang menjadi objek HGB menurut ketentuan Pasal 37 ayat (1) UUPA adalah tanah-tanah:

a.       Tanah Negara

b.      Tanah Hak Milik

            Sedangkan yang menjadi objek HGB menurut ketentuan Pasal 21 PP No. 40 Tahun 1996 adalah:

a.       Hak Milik

b.      Hak Pengelolaan

c.       Tanah Negara[11]

            Dalam kaitannya dengan kepemilikan Hak Guna Bangunan, ketentuan Pasal 36 Undang – Undang Pokok Agraria mengatur bahwa :

Ayat (1): Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah :

a.       warga negara Indonesia

b.      badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Ayat (2): Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.[12]

            Adapun ciri-ciri Hak Guna Bangunan (HGB) adalah:

a.       Dapat beralih dan dialihkan

b.      Jangka waktu terbatas

c.       Dapat dijadikan jaminan hutang

d.      Dapat dilepaskan oleh pemegang haknya

e.       Dapat terjadinya dari Hak Milik dan Tanah Negara

            Berdasarkan Pasal 40 UUPA HGB dapat hapus karena beberapa sebab:

a.       Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan

b.      Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang /pemegang hak pengelolaan/pemeganng Hak Milik sebelum waktunya berakhir, karena:

1)      Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak

2)      Tidak dipenuhinya syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian penggunaan tanah hak milik atau hak pengelolaan.

3)      Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

c.       Dilepaskan secara sukarela oleh pemegangnya sebelum jangka waktu berakhir.

d.      Dicabut untuk kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.

e.       Ditelantarkan

f.        Tanahnya musnah

g.      Ketentuan Pasal 36 ayat (2) UUPA, yaitu dimana pemegangnya tidak memenuhi syarat dan dalam waktu satu tahun tidak mengakhiri penggunaan HGB.[13]

4.      Hak pakai

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah Hak Milik atau di atas Tanah Pengelolaan. Hak Pakai memberi wewenang dan juga kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian haknya oleh pejabat yang berwenang atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah yang bersangkutann yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. Makna kata “menggunakan” berarti dapat mendirikan bangunan di atas tanah tersebut, sedang kata “memungut hasil”berarti memanfaatkan tanah tersebut untuk kepentingan pemegang haknya, misalnya pertanian, peternakan, perikanan atau perkebunan.[14]

Kewenangan yang terdapat dalam Hak Pakai tersebut diatas, memberikan gambaran bahwa Hak Pakai tersebut seolaholah hampir sama atau menyerupai jenis hak atas tanah yang lain seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha karena di dalamnya memberikan wewenang untuk mendirikan bangunan atau mengambil hasil pemanfaatan atas tanah tersebut. Di samping itu terhadap Hak Pakai juga dapat didaftarkan, sehingga mempunyai alat bukti hak berupa sertipikat. Kesamaan lain adalah Hak Pakai juga sama dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha.

 Perbedaannya dengan hak-hak tanah yang lain tersebut adalah Hak Pakai merupakan satu-satunya jenis hak atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang dapat diberikan kepada warga negara asing atau badan hukum asing, karena hak atas tanah ini memberikan wewenang yang terbatas (Pasal 42 UUPA). Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu tertentu. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang. Perpanjangan ini sering diartikan untuk selama 15 tahun akan tetapi Hak Pakai yang diberikan kepada subyek hukum tertentu diberikan dengan jangka waktu selama tanah tersebut digunakan, yaitu hanya diberikan kepada kementerian, lembaga pemerintah non departemen, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, perwakilan badan internasional, badan keagamaan dan badan-badan sosial. Sedangkan bagi para warga atau badan hukum perpanjangan masa Hak Pakai diberikan sesuai dengan keputusan pemberian haknya oleh kantor pertanahan setempat. Hak Pakai daapat diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan.

5.      Hak sewa

Di dalam praktek dikenal pula adanya hak pengelolaan yang bersumber pada UUPA, dimana perumusan mengenai hak pengelolaan tersebut dituangkan dalam PP. Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan pasal 1 ayat (3) sebagai berikut:

“Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya”

Tanah yang langsung dikuasai oleh negara yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk:

a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;

b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;

c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh prusahaan pemegang hak tersebut yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersngkutan dilakukan oleh pejabat yang berwenang sesuai PMDN No. 6 Tahun 1972 jo. No. 5 Tahun 1973 dan perundang-undangan lainnya yang berlaku;

d. Menerima uang pemasukan dan/atau uang wajib tahunan”. Seperti dengan hak-hak atas tanah yang lain dimana hak-hak tersebut dapat habis karena sesuatu hal, maka hak pengelolaan juga habis karena:

a. Dilepaskan oleh pemegang haknya;

b. Dibatalkan karena tanahnya tidak dipergunakan sesuai pemberian haknya;

c. Dicabut oleh Negara untuk kepentingan umum;

d. Karena berakhir jangka waktunya

Disamping penguasaan tanah negara dengan hak pengelolaan, dapat juga merupakan dasar untuk menyelenggarakan perusahaan tanah oleh daerahdaerah dan instansi-instansi lain. Pada umumnya tanah-tanah yang diberikan dengan hak pengelolaan itu merupakan tanah-tanah bangunan yang sudah dimatangkan sendiri oleh penerima hak

6.      Hak membuka tanah

Yang dimaksud dengan hak membuka tanah adalah memanfaatkan hutan dan penggunaan kawasan hutan oleh seluruh warga indonesia dan memiliki hak untuk pembukaan kawasan hutan. Hak membuka tanah adalah hak yang dimiliki oleh warga negara indonesia untuk membuka tanah yang di atur berdasarkan peraturan pemerintah. Menurut boedi harsono hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan sebenarnya bukan hak atas tanah yang sebenar nya dikatakan demikian karena kadua hak tersebut tidak memberk berwenang untuk membangunkan tanah. Tujuan dari dimasukan nya kedua hak ini dalam UUPA adalah untuk menselaraskan UPPA dengan hukum adat.

Dasar hukumnya yaitu pasal 46 UUPA menjelaskan bahwa, hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara indonesia yang teah di atur dengan peraturan pemerintah akan tetapi dengan rejeki hak memungut hasil hutan secara sah, tidak secara otomatis Dengan sendiri nya hak milik atas tanah tersebut diperoleh.

7.      Hak memungut hasil hutan

adalah hak yang dimiliki oleh warga atau anggota dalam masyarakat hukum tertentu untuk memungut hasil hutan yang termasuk wilayah masyarakat hukum tersebut. Orang yang akan memungut hasil hutan harus mendapat izin terlebih dahulu dari kepala persekutuan hukum yang bersangkutan atau kepala adat dan luas tanah tidak lebih dari 2 Ha. Jika luas tanahnya mencapai 5 Ha, harus ada izin dari Bupati setempat. Izin ini penting kerena pengaturan mengenai larangannya sudah jelas di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dalam pasal 50 ayat (3) huruf e yang melarang setiap orang yang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan dalam hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwenang.

Jadi setiap warga negara Indonesia memiliki hak atas pemungutan hasil hutan. Tapi perlu di ingat, pemungutan hasil hutan ini ada mekanismenya atau prosedurnya. Yang tujuannya agar masyarakat memiliki rasa tanggungjawab dalam rangka memilihara dan menjaga kelestarian hutan.

Salah satu masalah yang menjadi dilema dari periode ke periode yang menyangkut Hutan di Indonesia ialah pembalakan liar (Illegal Loging). Nampaknya, Illegal Loging merupakan masalah yang sangat sulit untuk diatasi bahkan diminimalisir oleh Negara kita. Dengan semakin maraknya praktek pembalakan liar, kawasan Hutan sudah masuk fase kritis. Seluruh jenis Hutan di Indonesia mengalami pembalakan liar. Tentunya, ini akan mengancam keanekaragaman hayati bahkan dapat menurunkan level kekayaan di Indonesia secara langsung dapat mengganggu keseimbangan alam yang telah tercipta. Menurut pendapat Pemerintah,praktek Illegal Logging per Tahunnya telah membuat Negara mengalami defisit. Tentunya, ini sangat buruk, ditambah lagi kerugian ini empat kali dari APBN yang telah di anggarkan pemerintah untuk sektor kehutanan.

Hutan yang merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, diperlukan system pengelolaan hutan yang bijaksana. Salah satunya ialah dengan menerapkan prinsip kelestarian. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pemahaman tentang hutan sebagai suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan serta dipahami oleh semua insan yang memanfaatkan hutan demi kehidupannya melalui penguasaan ilmu dan seni serta teknologi hutan dan kehutanan Hutan yang merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, diperlukan system pengelolaan hutan yang bijaksana. Salah satunya ialah dengan menerapkan prinsip kelestarian. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pemahaman tentang hutan sebagai suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan serta dipahami oleh semua insan yang memanfaatkan hutan demi kehidupannya melalui penguasaan ilmu dan seni serta teknologi hutan dan kehutanan.


 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA yang dapat diberikan kepada rakyat oleh negara ialah :

1.      Hak milik

Hak Milik di dalam Hukum Perdata di atur di dalam Pasal 570 KUH Perdata s.d. Pasal 624 KUH Perdata Bahwa dinyatakan Hak Milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya,asal tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan tidak menganggu hak orang lain (Pasal 570 KUH Perdata).

2.      Hak Guna Usaha

            Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan (Pasal 28 ayat 1). Kemudian, PP Nomor 40 Tahun 1996 menambahkan guna perusahaan Perkebunan

3.      Hak Guna Bangunan

            Yang dimaksud dengan hak guna bangunan tercantum dalam pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi : (1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

4.      Hak pakai

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah Hak Milik atau di atas Tanah Pengelolaan

5.      Hak pengelolaan

dalam PP. Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan pasal 1 ayat (3) sebagai berikut: “Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.

6.      Hak membuka tanah

Yang dimaksud dengan hak membuka tanah adalah memanfaatkan hutan dan penggunaan kawasan hutan oleh seluruh warga indonesia dan memiliki hak untuk pembukaan kawasan hutan.

7.      Hak memungut hasil hutan

adalah hak yang dimiliki oleh warga atau anggota dalam masyarakat hukum tertentu untuk memungut hasil hutan yang termasuk wilayah masyarakat hukum tersebut

 

                                    


 

DAFTAR PUSTAKA

Suradi,2005,Hokum Agrarian, Jakarta: Badan Penelitian IBLM

Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Waris., Remaja Rosda Karya, Bandung

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, hal.101 2005

Yulianti Jiwong, perolehan sertipikat hak milik karena jual-beli tanah dalam mewujudkan kepastian dan perlindungan huku di kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, (Depok : UAJY, 2012), hlm. 19

Indah Sari, “HAK-HAK ATAS TANAH DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA)”, Jurnal Mitra Manajemen, Vol. 9, No. 1, 2007. Hal. 28-29

Jiwong, Yulianti, Tesis : “perolehan sertipikat hak milik karena jual-beli tanah dalam mewujudkan kepastian dan perlindungan huku di kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta” (Depok : UAJY, 2012), Hal. 21

Pasal 28 ayat 1, Pasal 29 UUPA dan lihat juga Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mengatur tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) atas tanah.

Indah Sari, “HAK-HAK ATAS TANAH DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA)”, Jurnal Mitra Manajemen, Vol. 9, No. 1, 2007. Hal. 29-30.

Sukirman, Tesis : “pendaftran peralihan dari pemisah guna bangunan induk ke hak guna bangunan perseorangan dalam jual beli perumahan di kabupaten Sleman” (Depok : UAJY, 2012), Hal. 13

 



[1]  Suardi, Hukum Agraria,( Jakarta, Badan Penertbit IBLM), hlm 1

[2] Muhammad Abdul Kadir, Hukum Waris., (Bandung: Remaja Rosda Karya), hlm 50

[3] Op.Cit, hlm. 60

[4] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, hlm.101

[5] Yulianti Jiwong, perolehan sertipikat hak milik karena jual-beli tanah dalam mewujudkan kepastian dan perlindungan huku di kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, (Depok : UAJY, 2012), hlm. 19

[6] Indah Sari, “HAK-HAK ATAS TANAH DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA)”, Jurnal Mitra Manajemen, Vol. 9, No. 1, 2007. Hal. 28-29

[7] Opcit, hlm. 21

[8] Pasal 28 ayat 1, Pasal 29 UUPA dan lihat juga Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mengatur tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) atas tanah.

[9] Ibid, hal. 8

[10] Indah Sari, “HAK-HAK ATAS TANAH DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA)”, Jurnal Mitra Manajemen, Vol. 9, No. 1, 2007. Hal. 29-30.

[11] Ibid, hlm. 31

[12]Sukirman, Tesis : “pendaftran peralihan dari pemisah guna bangunan induk ke hak guna bangunan perseorangan dalam jual beli perumahan di kabupaten Sleman” (Depok : UAJY, 2012), Hal. 13

[13] Opcit, hlm. 31.

[14] Irawan Soerodjo, Op.Cit, 2014, hal 6

Lebih baru Lebih lama