MAKALAH HUKUM AGRARIA EKSISTENSI HUKUM ADAT

 

 MAKALAH HUKUM AGRARIA EKSISTENSI HUKUM ADATEKSISTENSI HUKUM ADAT


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang

Setiap masyarakat di seluruh dunia mempunyai tata hukum di dalam wilayah negaranya. Tidak ada suatu bangsa yang tidak mempunyai tata hukum nasionalnya. Hukum nasional bangsa merupakan cerminan dari kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Karena hukum merupakan akal budi bangsa dan tumbuh dari kesadaran hukum bangsa, maka hukum akan tampak dari cerminan kebudayaan bangsa tersebut.

Di Indonesia, salah satu hukum yang merupakan pencerminan kepribadian bangsa adalah hukum adat, yang merupakan penjelmaan jiwa bangsa tersebut dari abad ke abad. Adat yang dimiliki oleh daerah-daerah adalah berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya satu yaitu ke-Indonesiaannya. Oleh karena itu adat bangsa Indonesia dikatakan merupakan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya berbedabeda, tetapi tetap satu. Adat tersebut selalu berkembang dan senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat dan erat hubungannya dengan tradisi rakyat. Dengan demikian adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat, yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat tersebut.

Hukum adat juga dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Keberadaan hukum adat tidak pernah akan mundur atau tergeser dari kehidupan hukum nasional, hal terlihat dari terwujudnya kedalam hukum nasional yaitu dengan mengangkat hukum adat menjadi hukum nasional terlihat pada naskah sumpah pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional yang modern. Dari sejarah tersebut,  kita perlu memahami bagaimana hukum adat ini bisa mempertahankan eksistensinya di masa sekarang.

B.        Rumusan Masalah

1.      Bagaimana eksistensi hukum adat di Indonesia?

2.      Bagaimana eksistensi hak ulayat menurut hukum adat?

3.      Bagaimana pemanfaatan hak milik adat untuk kegiatan pembangunan dan permasalahannya?

4.      Bagaimana hubungan hukum adat dan hukum agraria?

C.       Tujuan

1.      Untuk mengetahui eksistensi hukum adat di Indonesia.

2.      Untuk mengetahui eksistensi hak ulayat menurut hukum adat.

3.      Untuk mengidentifikasi pemanfaatan hak milik adat untuk kegiatan pembangunan dan permasalahannya.

4.      Untuk mengidentifikasi hubungan hukum adat dan hukum agraria.

BAB II

A.       Eksistensi Hukum Adat di Indonesia

Keberadaan hukum adat secara resmi telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi penggunaannyapun terbatas. Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana menyebutkan ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Hal tersebut mempunyai arti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam sistem hukum Indonesia. Disamping itu juga diatur dalam Pasal 3 UUPA “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Polemik yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak ulayat atau kepemilikan hak atas tanah.[1] Hak ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat yang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan diakui oleh negara dimana dalam teorinya hak ulayat dapat mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama juga halnya dengan hak-hak perorangan dan ini pula yang merupakan sifat istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat, “semakin kuat kedudukan hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin mengempis tetapi apabila semakin kuat hak milik itu maka keberadaan hak ulayat itu akan berakhir”. Dengan telah diakuinya hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat tetapi mengapa masih banyak permasalahan itu terjadi di daerah-daerah Indonesia. Banyak penggunaan tanah ulayat yang berakhir sengketa karena tidak sesuai dengan seharusnya. Hal itu timbul karena para investor seharusnya berurusan langsung dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat untuk melaksanakan suatu perjanjian. Tetapi kenyataannya malah investor tersebut mendapatkan tanahnya melalui pemerintah yang mengakibatkan masyarakat adat selaku pemilik protes karena mengapa melakukan kegiatan investor ditanah mereka. Timbul juga sebuah kerugian sebagai efek samping dari terjadinya sengketa karena tanah tersebut dalam status quo sehingga tidak dapat digunakan secara optimal dan terjadilah penurunan kualitas sda yang bisa merugikan banyak pihak.

Negara dimana sebagai pemberi sebuah jaminan kepastian hukum adat terhadap masyarakat hukum adat dengan di berlakukannya UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) diharapkan dapat mengurangi terjadinya sengketa dan memberikan keadilan untuk masyarakat adat. Karena dalam pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat seharusnya secara otomatis hak-hak ulayat tersebut diakui tetapi dalam prakteknya tidak. Jangan sampai terjadinya tumpang tindih aturan yang berakibat kaburnya kepemilikan serta penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat adat dalam tatanan hukum Indonesia karena tidak adanya kepastian kedudukan tersebut.

Untuk konsep kedepannya diharapkan untuk adanya jaminan kepastian hukum tentang pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Dimana haruslah dibuat secara lebih mendalam atau rinci peraturan perundang-undangannya baik itu bisa dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah dimana yang jelas dibawah undang-undang, apakah bisa dibuat dalam bentuk tertulis dalam hal hak atas tanah atau untuk pelaksanaannya. Supaya ada kejelasan hak milik dari pada masyarakat hukum adat itu kedepannya karena selama ini hukum adat memang dikenal dalam UUPA dan juga diatur dalam UUD 1945 tapi sejauh mana keberadaan hukum adat itu bisa menganulir hukum positif tidak ada kejelasannya.

B.        Eksistensi Hak Ulayat dalam Hukum Adat

Tanah ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.[2] Keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat di Indonesia pada saat sekarang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Ada wilayah persekutuan hukum adat yang hak ulayatnya masih dijalankan dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakatnya tetapi ada juga wilayah daerah yang karena menguatnya sifat individualistis dan masyarakat dan melemahnya sifat komunalistis menjadikan hak ulayat itu tidak berlaku sepenuhnya atau memudar bahkan hilang dalam kehidupan masyarakat.

Didalam perkembangannya kemudian menyangkut dengan hak ulayat tersebut terlihat di dalam Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ditegaskan rumusan yang tegas antara hak ulayat dengan tanah ulayat sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 1 yang menyebutkan bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat, sedangkan masyarakat hukum adat sendiri adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.[3]

Penegasan tentang hak ulayat dan tanah ulayat yang dirumuskan di atas masih belum memberikan kepastian hukum terhadap konsep tanah ulayat sebagai suatu hak. Dari rumusan hak ulayat terlihat bahwa hak yang dimaksud disini adalah untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah adat dari suatu masyarakat hukum adat di Indonesia. Kalau ditelusuri pemaknaan dari konsep kewenangan terdapat konsep perizinan dan konsep hak. Kewenangan di dalam lapangan hukum publik yang disebut dengan perizinan. Izin adalah pernyataan mengabulkan atau tidak melarang, persetujuan dan membolehkan. Apabila diperhatikan rumusan kewenangan yang diberikan kepada masyarakat hukum adat untuk mengambil manfaat dari tanah, maka yang terlihat hanyalah konsep izin, bukan konsep hak yang dimaknai dalam hukum. Karena di dalam hukum konsep hak adalah segala sesuatu yang diorganisir oleh hukum. Konsep hak bukan hanya izin yang diberikan tetapi konsep hak melekat kepada subjek karena hubungan hukum. Hubungan hukum yang ditimbulkan karena perbuatan hukum.

Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat, ditentukan bahwa:[4]

1.      Ketentuan hukum adat setempat sangat menentukan dalam pelaksannaan hak ulayat

2.      Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila ketentuan hukum adat masih diakui dan dilaksanakan dan ditaati oleh setiap orang sebagai warga persekutuan hukum adat tersebut. Untuk menjalani  kehidupan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari hari dilakukan pada tanah ulayat mereka. Mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku diatur berdasarkan tatanan hukum adatnya. Pengakuan hak ulayat dilakukan jika menurut kenyataannya masih ada yaitu jika terdapat segolongan orang yang terikat pada tatanan hukum adatnya.

Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya terdapat pada Pasal 18B Undang-Undang dasar 1945 dan Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan - kesatuan msyarakat hukum adatnya beserta hak tradisionalnya sepanjang masih ada. Undang-Undang Hak asasi manusia menentukan bahwa indentitas budaya masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Hak ulayat pada saat ini masih diakui, berfungsi, dan dipatuhi sebagai Lembaga dalam masyarakat, akan tetapi keberadaannya harus disesuaikan dengan kepentingan nasional, Negara, dan Bangsa Indonesia.

Seiring dengan perkembangan zaman, maka pergerakan pola hidup dan corak hidup masyarakat Indonesia dari semula tradisional menuju ke pola atau corak modern yang mengakibatkan secara berlahan - lahan nilai yang terkandung dalam hak ulayat menjadi bergeser. Hal tersebut menjadikan masyarakat tidak lagi mendepankan kebersamaan tetapi cenderung untuk berpikir individualistis, sehingga banyak hak ulayat masyarakat hukum adat yang awalnya dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat hukum adat untuk dimanfaatkan secara Bersama-sama demi kepentingan persekutuan beralih menjadi kepemilikan pribadi.

Adapun Faktor Melemahnya Eksistensinya Hak Ulayat, yaitu:[5]

1.      Kultur masyarakat mulai berubah dengan adanya pengaruh globalisasi saat ini, masyarakat sudah mulai meninggalkan cara - cara lama yang bersifat kepentingan bersama (hak komunal) dalam mempertahankan hak atas tanah bathin, dengan demikian pengakuan terhadap tanah bathin ini sudah mulai melemah. Selain itu, makin menguatnya pengakuan terhadap hak individu atas fatlah dan halkan, dengan cara (mendaku) hutan yang sebenarnya wilayah tanah bathin, dan memproses menjadi penguasaan/kepemilikan tanah hak milik (pribadi). Ketentuan dalam Perundang - Undangan menyatakan bahwa apabila seseorang telah menguasai suatu tanah/wilayah selama 20 tahun berturut - turut tanpa ada protes dari pihak lain maka mereka memproses hak atas tanah tersebut menjadi hak milik pribadi.

2.      Adanya kebijakan Pemerintah yang membuka peluang untuk membuka wilayah perkebunan sawit, karet, pertambangandan lain-lain bagi investor baik dari Luar Negeri maupun Dalam Negeri, yang wilayah tersebut sebenarnya adalah merupakan wilayah tanah bathin masyarakat hukum adat. Dengan adanya kebijakan pembukaan lahan tersebut, maka wialyah tanah bathin semakin menepis, bahkan kalau hal ini tidak diantisipasi dengan bijak oleh Pemerintah maka tidak menutup kemungkinan hak atas tanah bahtin akan lenyap.

Jadi pada umumnya hak ulayat terdapat diseluruh wilayah Indonesia dan keberadaannya tergantung pada persekutuan yang ada dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum adat masing-masing daerah. Dalam kondisi sosial ekonomi saat ini dengan pertumbuhan penduduk yang semakin cepat dan era industrialisasi yang sudah sejak lama merambah ke seluruh pelosok negeri tidak terkecuali daerah-daerah yang kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang pengakuan hak ulayatnya masih kuat berupa tanah ulayat, penulis menyangsikan bahwa eksisitensi hak ulayat khususnya dalam hal tanah ulayat masih dapat dipertahankan. Disamping itu pengakuan hak ulayat oleh pemerintah secara yuridis formal telah ada, yang semula hak ulayat dianggap hak privat Negara, yaitu merupakan bagian dari domein tidak bebas Negara. Pengakuan terhadap hak ulayat tersebut bertolak pangkal dari pengakuan bahwa hak ulayat tersebut masih ada dalam kenyataaanya pada masyarakat hukum adat yang bersangkutan, walaupun pengakuan tersebut masih ambivalen, karena disitu pemerintah mengakui keberadaan tanah ulayat tersebut, disisi lain pemerintah menggariskan dalam pelaksanaan hak ulayat tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, persatuan bangsa dan peraturan yang tercantum dalam UUPA. Untuk itu perlu dirumuskan dengan jelas hal-hal yang menyebabkan ambivalen pengakuan Negara terhadap hak ulayat misalnya dengan mendifinisikan dan menghindari multi tafsir dari kalimat “sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, persatuan bangsa dan peraturan yang tercantum dalam UUPA” dalam undang-undang agraria dengan harapan dapat lebih memberikan kepastian hukum, keadilan dan kelestarian keberadaan hak ulayat/tanah ulayat masyarakat hukum adat.

C.       Pemanfaatan Hak Milik Adat untuk Kegiatan Pembangunan dan Permasalahannya

Dalam praktek pemantapan hak milik adat untuk kegiatan pembangunan masih terjadi kasus-kasus yang merugikan masyarakat adat. Lain halnya dengan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penult. Hak ini menunjukkan bahwa negara yang dapat memberikan hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum menurut peruntukkan dan keperluannya, misalnya: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra/Pemerintah Daerah) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat 4).

Dalam pemanfaatan hak milik adat oleh pihak swasta (investor asing) terus terjadi masalah akibat ketidakseimbangan hasil yang didapatkan oleh masyarakat adat. Untuk eksplorasi tanah adat oleh investor asing terkait dengan kegiatan pertambangan di mana wilayah konsesi pertambangan menjadi milik masyarakat adat terjadi masalah-masalah yang cukup serius sampai saat ini. Kasus PT. Newmont Minahasa Raya, kasus PT. Freeport menggambarkan tentang pengabaian hak masyarakat adat oleh perusahaan investasi asing. Pengabaian terhadap hak masyarakat adat dan hak milik adat disebabkan karena tidak adanya penghargaan dan pengakuan oleh investor asing terhadap hak-hak masyarakat adat ketika berbenturan dengan kegiatan eksplorasi pertambangan.

D.       Hubungan Hukum Adat dan Hukum Agraria

Salah satu realisasi pemikiran penggunaan hukum adat sebagai landasan Hukum Nasional tercermin dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, atau yang lazim disebut sebagai UUPA. Di dalam pasal 5 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa, berlaku hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.[6]

Di dalam hubungannya dengan konsep atau pengertian hukum adat, perumus UUPA mengartikan hukum adat sebagai “hukum yang asli” yang sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak. Hanya saja UUPA tidak menjelaskan hukum adat yang akan dijadikan dasar, mengingat di Indonesia tiap daerah memiliki adatnya masing-masing.

Jadi berdasarkan ketentuan pasal 5 UUPA, untuk hukum agraria berlaku hukum adat mengenai tanah. Artinya bahwa segala masalah hukum mengenai tanah harus diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan hukum adat. Namun walaupun menjadi dasar dari hukum agraria nasional, tidak semua hukum tanah adat yang asli secara langsung dijadikan dasar melainkan hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Dan sebelum dijadikan dasar UUPA, Hukum adat tanah terlebih dahulu harus disesuaikan dan disempurnakan dalam hubungannya dengan negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional. Oleh karena itu hukum adat yang dijadikan dasar hukum agraria nasional adalah hukum adat yang telah di-saneer, yang berarti telah dibersihkan cela-celanya serta ditambah kekurangan-kekurangannya supaya dapat berlaku di seluruh wilayah Indonesia.[7]

Hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum agraria nasional menghadapi kendala-kendala tertentu, yang berkait dengan sifat pluralisme hukum adat, dimana masing-masing masyarakat adat mempunyai hukum adatnya sendiri-sendiri, yang tentu saja di dalamnya terdapat perbedaan. Untuk itu dicari persamaan-persamaannya yaitu dengan merumuskan azas-azas lembaga hukum atau sistem hukumnya. Hal-hal inilah yang diambil dalam hukum adat untuk dijadikan dasar utama dalam penbentukan hukum agraria nasional, sehingga hukum agraria nasional dapat bercorak sederhana dan dapat menjamin kepastian hukum.


 

BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan

Hukum adat sebagai hukum non statutoir, atau sesuai dengan sifatnya akan secara terus menerus tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sebagai hukum tradisional dan asli hukum Indonesia, hukum adat digolongkan sebagai hukum yang primitif, sehingga tidak jarang banyak pihak yang meragukan eksistensi dan pendayagunaannya pada era modern seperti saat ini. Pihak yang meragukan tersebut menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, sehingga jika dibandingkan dengan hukum yang tertulis, hukum adat dinilai tidak dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Alasan lainnya adalah karena pada era unifikasi hukum, sangatlah sulit memadukan atau memilih hukum adat yang akan dijadikan patokan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa hukum adat di setiap daerah di Indonesia memiliki perbedaan.

Polemik yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak ulayat atau kepemilikan hak atas tanah.[8] Hak ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat yang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan diakui oleh negara dimana dalam teorinya hak ulayat dapat mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama juga halnya dengan hak-hak perorangan dan ini pula yang merupakan sifat istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat, “semakin kuat kedudukan hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin mengempis tetapi apabila semakin kuat hak milik itu maka keberadaan hak ulayat itu akan berakhir”.

Pembentukan hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum agraria nasional menghadapi kendala-kendala tertentu, yang berkait dengan sifat pluralisme hukum adat, dimana masing-masing masyarakat adat mempunyai hukum adatnya sendiri-sendiri, yang tentu saja di dalamnya terdapat perbedaan. Untuk itu dicari persamaan-persamaannya yaitu dengan merumuskan azas-azas lembaga hukum atau sistem hukumnya.

B.        Saran

Dalam penyusunan makalah ini masih memerlukan kritikan dan saran bagi pembahasan materi tersebut. Selanjutnya kami berharap makalah yang kami buat dapat membantu pembaca agar dapat memahami.

DAFTAR PUSTAKA

Susylawati, Eka. 2009. “Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia”. Jurnal Al-Ihkam. Vol. IV No. 1, Juni 2009, hlm. 125-150. Diakses dari http://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/alihkam/article/ view/267

Syuryani. 2016. ”Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Masa Investasi”. Jurnal Menara Ilmu. Vol. X.  Jilid 2. No. 73 Desember 2016. hlm. 111-119. Diakses dari https://jurnal.umsb.ac.id/index.php/ menarailmu/article/view/50

Nasir, Gamal Abdul. “Mengawal Pengakuan dan Eksistensi Hak Ulayat/ Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat”. Hukum Rasedental Prosiding Seminar Nasional. 2018. hlm. 356-366. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/ handle/11617/9710

Hasan, Umar. Suhermi dan Sasmiar. Eksistensi Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat”. Jurnal Sains Sosio Humaniora. Vol. 4. No. 2. Des 2020. hlm. 649-660. Diakses dari https://online-journal.unja.ac.id/JSSH/ article/view/11523/10379

Tim FH UNJA. 2020. Keberadaan Hukum Adat dalam Sistem Hukum Indonesia. In Opini. Diakses dari https://law.unja.ac.id/keberadaan-hukum-adat-dalam-sistem-hukum-indonesia/



[1] Gamal Abdul Nasir, Mengawal Pengakuan dan Eksistensi Hak Ulayat/ Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Hukum Rasedental Prosiding Seminar Nasional, 2018, hlm. 360.

[2] Syuryani, “Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Masa Investasi”, Jurnal Menara Ilmu, Vol. X, Jilid 2, No. 73 Desember 2016, hlm. 111.

[3] Gamal Abdul Nasir, Mengawal Pengakuan..., hlm. 362.

[4] Umar Hasan, Suhermi, Sasmiar, Eksistensi Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat, Jurnal Sains Sosio Humaniora, Vol. 4, No. 2, Des 2020, hlm. 651.

[5] Umar Hasan, Suhermi, Sasmiar, Eksistensi Hak Ulayat..., hlm. 659.

[6] Eka Susylawati, “Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia”, Jurnal Al-Ihkam, Vol. IV No. 1, Juni 2009, hlm. 132.

[7] Urip Santoso, Hukum Agraria dan hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 69.

[8] Gamal Abdul Nasir, Mengawal Pengakuan dan Eksistensi Hak Ulayat/ Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Hukum Rasedental Prosiding Seminar Nasional, 2018, hlm. 360.

Lebih baru Lebih lama