PENYELESAIAN SENGKETA TANAH

 PENYELESAIAN SENGKETA TANAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sengketa atau konflik pertanahan menjadi persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan dan selalu ada dimana-mana. Sudah menjadi fenomena yang inheren dalam sejarah kebudayaan dan peradaban manusia, terutama sejak masa agraris dimana sumber daya berupa tanah mulai memegang peranan penting sebagai factor produksi untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Sebelum UUPA diberlakukan, hukum tanah yang berlaku di Indonesia masih merupakan hukum tanah warisan pemerintah Hindia Belanda. Kemudian sesudah diberlakukannya UUPA, hukum tanah nasional yang berlaku adalah hukum tanah yang mengatur jenis-jenis ha katas tanah dalam aspek perdata dan dalam sapek administrasi yang berisi politik pertanahan nasional yang semuanya itu bertujuan akhir penciptaan unifikasi hukum pertanahan di Indonesia. UUPA sebagai hukum agraria nasional dari hukum adat.

Pada dasarnya pilihan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan dua proses. Proses penyelesaian sengketa melalui litigas di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya. Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win solution” dihindari dari kelambatan proses penyelesaian yang diakibatkan karena hal procedural dan administrative, menyelesaikan komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.

Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya dapat ditempuh apabila para pihak menyepakati penyelesaiannya melalui pranata pilihan penyelesaian sengketa. Dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan, maka diperlukan strategi yang komprehensif guna mngantisipasi dan mengurangi angka sengketa di bidang pertanahan. Selama sengketa berlangsung, tanah yang menjadi obyek konflik biasanya berada dalam keadaan status quo sehingga tanah yang bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan. Akibatnya akan terjadi penurunan kualitas sumber daya tanah yang dapat merugikan kepentingan banyak pihak dan tidak tercapainya asas manfaat tanah.

B. Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan persengketaan tanah?

2.      Apa factor dari terjadinya persengketaan tanah?

3.      Apa saja strategi dalam mengantisipasi dan mengurangi sengketa pertanahan?

4.      Apa saja contoh dari penyelesaian sengketa tanah?

C. Tujuan

1.      Untuk mengetahui persengketaan tanah.

2.      Untuk mengetahui factor terjadinya persengketaan tanah.

3.      Untuk mengetahui strategi dalam mengantisipasi dan mengurangi sengketa pertanahan.

4.      Untuk mengetahui contoh dalam penyelesaian sengketa tanah.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sengketa Tanah

Sengketa tanah secara kualitas maupun kuantitas merupakan masalah yang selalu ada dalam tatanan masyarakat serta permasalahan yang sifatnya kompleks dan multi dimensi. Menurut Rusmadi sengketa hak atas tanah yaitu timbulnya sengketa hukum merupakan bermula dari pengaduan suatu pihak orang/badan yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan ha katas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Lebih lanjut menurut Rusmadi Murad, sifat permasalahan sengketa tanah ada beberapa macam:

a.       Masalah atau persoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat diterapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak, atau atas tanah yang belum ada haknya.

b.      Bantahan terhadap suatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak (perdata).

c.       Kekeliruhan atau kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar.

d.      Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek social praktis/bersifat strategis.

Menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, Pasal 1 butir 1 berbunyi: sengketapertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai, keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah, dan pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya serta penerbitan bukti haknya, antara pihak yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi dilingkungan

Badan Pertanahan Nasional.[1]

Terdapat dua istilah terhadap pengertian sengketa pertanahan yang saling berkaitan yaitu sengketa pertanahan dan konflik pertanahan. Dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, membedakan pengertian kedua istilah tersebut. Dalam Pasal 1 butir 2 diterangkan bahwa:[2] sengketa pertanahan yang disingkat dengan sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Sedangkan konflik pertanahan yang disingkat konflik adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis.

B. Factor Terjadinya Sengketa Tanah

Dalam bidang pertanahan, bidang hukum yang mengatur tata kehidupan warga Negara terdapat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan dijabarkan dalam UUPA yang telah mengatur masalah keagrariaan/pertanahan di Indonesia sebagai suatu peraturan yang harus dipatuhi. Jika dilihat secara factual landasan yuridis yang mengatur masalah keagrariaan/pertanahan tidak sepenuhnya dilaksanakan dengan konsekuen berbagai alas an sehingga menimbulkan masalah. Sumber masalah/konflik pertanahan yang ada sekarang antara lain:

a.       Pemilikan/penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata

b.      Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian.

c.       Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat yang golongan ekonominya lemah.

d.      Kurangnya pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah seperti hak ulayat.

e.       Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang ha katas tanah dalam pembebasan tanah.

Selanjutnya, penyebab yang bersifat umum timbulnya konflik pertanahan dalam dikelompokkan kedalam dua factor yaitu:

1.      Factor Hukum

Terdiri dari tiga bagian yaitu tumpang tindih peraturan perundangundangan dan tumpang tindih peradilan.

1)      Tumpang tindih peraturan, misalnya UUPA sebagai induk dari peraturan di bidang sumber daya agrarian, tetapi dalam pembuatan peraturan lainnya tidak menempatkan UUPA sebagai undang-undnag induk, sehingga adanya pertentangan dengan peraturan perundangan sektoral yang baru seperti undnagundang Kehutanan, Undang-undang Pokok Pertambangan, dan Undang-undang Penanaman Modal.

2)      Tumpang tindih peradilan misalnya dalam saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat meneangani suatu konflik pertanahan yaitu secara perdata, secara pidana, dan tata usaha Negara. Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum tentu menang secara pidana (dalam hal konflik disertai tindak pidana) atau akan menang secara tata usaha Negara (pada peradian TUN)

2.      Factor Nonhukum

Dalam factor nonhukum yang menjadi akar dari konflik pertanahan antara lain: adanya tumpang tindih penggunaan tanah, nilai ekonomi tanah tinggi, kesadaran masyarakat akan guna tanah meningkat, tanah berkurang sedangkan masyarakat terus bertumbuh, dan karena factor kemiskinan.[3]

Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa factor, yang sangat dominan dalam setiap sengketa pertanahan. Adapun factorfaktor tersebut antara lain:

a.       Peraturan yang belum lengkap,

b.      Ketidaksesuaian peraturan,

c.       Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia,

d.      Data yang kurang akurat dan kurang lengkap

e.       Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah,

f.        Data tanah dan transaksi tanah yang keliru

g.      Ulah pemohon hak atau adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.

Dengan demikian, sengketa tanah yang timbul di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam 4 permasalahan, yaitu:[4]

1.      Pengakuan kepemilikan atas tanah,

2.      Peralihan ha katas tanah,

3.      Pembebanan hak, dan

4.      Pendudukan eks tanah partikelir.

Ditinjau dari subyek yang bersengketa, sengketa pertanahan dapat dikelompokkan ke dalam 3 macam:5

1.      Sengketa tanah antar warga

 

2.      Sengketa tanah antara pemerintah daerah dengan warga setempat,

3.      Sengketa yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.

 

C. Strategi Mengantisipasi dan Mengurangi Sengketa Tanah

Beberapa upaya strategi yang dapat dilakukan sebagai berikut:

a)      Strategi Administrasi Negara, yang sangat membutuhkan professional yang komprehensif/holistic (multidisiplin) yang tidak bias diserahkan kepada professional yang berorientasi produk, perubahan struktur organisasi sektoral bukan berdasar produk (komoditas) tetapi struktur organisasi atas dasar proses. Hal ini meminimalisasi kepentingan-kepentingan sektoral atas dasar produk yang berdampak kebijakan yang dibuat menteri sebenarnya hanya hasil salah satu deputy yang tupoksinya produk bukan proses yang membutuhkan professional multidisiplin.

b)      Yudikatif, menyelesaikan timpang tindih perundangan dan rekomendasri perumusan paying regulasi pertanahan Negara dapat dibentuk KPN “Komisi Pertanahan Negara” yang merupakan bentuk implementasi regulasi kekuasaan Negara terhadap tanah Negara, yang sekarang diemban oleh kekuasaan pemerintah dan hanya sektoral.

c)      Strategi Legislative (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban mengatur semua kebijakan terkait kekuasaan Negara, RAPBN (rancangan anggaran pendapatan dan belanja Negara) sudah benar, RPTPN (rencana penyediaan tanah pembangunan Negara) saat belum bekerja legislative, executive pun menyerahkan kepada sektoral yang menguasai (administrative-BPN, penguasa tanah dominan kehutanan)

Dalam rangka memanfaatkan dan menggunakan tanah sebagai salah satu sumber daya agrarian secara adil, transparan dan produktif, keberadaan hak ulayat dan masyarakat adatnya perlu diperhatikan. Selain itu kelengkapan data mengenai keberadaan, jumlah/luas tanah beserta status penguasaannya haruslah lengkap dan up to date, sehingga dengan demikian akan tercipta tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Kalaupun terjadi sengketa atas tanah di suatu wilayah, dapat segera diatasi oleh pejabat setempat dan hasil penyelesaian sengketa tersebut akan lebih dapat diterima oleh para pihak yang bersangkutan. Kondisi inilah yang nantinya akan menciptakan pembaharuan hukum pertanahan dan sekaligus pembangunan masyarakatnya.[5]

D. Contoh Kasus dan Penyelesaian Sengketa Tanah

Hj. Sundari, 50 Tahun, bertempat tinggal di Dusun Plosorejo RT/RW 01/02, Desa Kemaduh, Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk memiliki tanah seluas kurang lebih 385 m2 yang diatasnya berdiri bangunan rumah yang sekarang ditempati olehnya.

Kemudian Hj. Siti Asiyah, 40 Tahun, bertempat tinggal di Dusun Plosorejo RT/RW 01/02, Desa Kemaduh, Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk memeliki tanah seluas 350 m2 yang diatasnya berdiri bangunan rumah yang ditempati pula oleh Hj. Asiyah beserta keluarganya, yang mana letak rumah Hj. Asiyah tersebut berada di depan rumah Hj. Sundari.

Pada tahun 2014, Hj. Asiyah membangun septic tank (bak untuk menampung air limbah yang digelontorkan dari WC) di sebagian tanah milik Hj. Sundari yang mana berakibat tertutupnya akses jalan masuk ke rumah Hj. Sundari dikarenakan pembangunan septic tank tersebut peris di depan halaman rumah Hj. Sundari. Penguasaan tanpa hak atas tanah Hj. Sundari seluar kurang lebih 0,7 m2 yang kemudian disebut sebagai obyek sengketa yang kemudian dibangun septic tank berukuran 1m x 0,7m yang menutup satu-satunya akses pintu masuk ke rumah Hj. Sundari dikarenakan pembangunannya persis di depan halaman pintu masuk menuju rumah Hj. Sundari.

Hj. Sundari pun telah menegur Hj. Asiyah dengen memberikan pernyataan bahwasanya sebagian tanah yang akan dijadikan septic tank adalah tanahnya. Namun Hj. Asiyah mengelak kalau tanah tersebut adalah sebagian tanah yang dimiliki oleh Hj. Sundari. Kemudian Hj. Sundari yang merasa tidak terima akan hal tersebut menanyakan kebenaran perihal tanah yang dijadikan obyek sengketa tersebut. Berdasarkan keterangan melalui desa dinyatakan bahwa tanah tersebut sebagian merupakan tanah Hj. Sundari dengan demikian tidak semua tanah tersebut milik Hj. Asiyah.

Hj. Sundari berdiskusi dengan keluarganya mengenai permasalahan ini dan memikirkan akan melakukan upaya hukum seperti apa dalam menyelesaikan permasalahan ini. Berdasarkan musyawarah keluarga akhirnya Hj. Sundari memilih menyelesaikan permasalahan ini dengan negosiasi agar tidak menghabiskan banyak waktu. Ketika dilakukan negosiasi Hj. Asiyah tetap melanjutkan pembangunan tersebut padahal sudah dibuktikan dengan dokumen dari Kepala Desa. Karena semakin keruh keadaan tersebut. Akhirnya Hj. Sundari meminta bantuan Kepala Desa Kemaduh untuk menyelesaikan permasalahan ini dan pada akhirnya jalur mediasi pun dilaksanakan.

Mediasi dilakukan oleh Kepala Desa Kemaduh sebagi mediator yang selanjutnya para pihak Hj. Asiyah dan Hj. Sundari menghadiri proses mediasi tersebut. Proses mediasi awalnya mendengarkan pernyataan kedua belah pihak, yang mana Hj. Asiyah tetap bersikukuh bahwasanya tanah yang sedang dilakukan pembangunan septic tank tersebut adalah bagian dari tanahnya sedangkan Hj. Sundari dengan bukti sertifikat tanah yang dimilikinya membantah bahwasanya tanah tersebut bukan milik Hj. Asiyah. Peran mediator dalam mengadili permaslahan ini adalah menengahi agar tidak saling emosi. Kemudian mediator memberikan pengertian berdasarkan Pasal 2 Perpu No. 51 Tahun 1960 menyebutkan bahwa “Dilarang memakai tanah tanpa ijin yang berhak atas kuasanya yang sah”. 

Dari hasil mediasi yang dilakukan menghasilkan keputusan bahwa kedua belah pihak telah sepakat Hj. Asiyah dapat meneruskan pembangunan septic tank miliknya akan tetapi harus memberikan kompensasi sebesar Rp. 20.000.000 kepada Hj. Sundari guna membuat akses jalan lain menuju rumahnya.

 

E. Contoh kasus yang kedua

 Keluarga Bu Siska membeli tanah di daerah Parapat dari Pak Majol dan membangun rumah, surat surat dan kepemilikan tanah sudah ada, namun belum sertifikat nasional. Setelah 7 tahun ada pihak yang mengklaim (si A) bahwa tanah Pak Majol adalah milik mereka, akibatnya hampir 28 rumah kena klaim kepemilikan si A, yang sudah tinggal berpuluh-puluh tahun lamanya. Setelah ditelusuri dan mengambil jalur hukum, si penuntut tidak menahu soal batas-batas tanah miliknya, karena tanah Pak Majol dan si penuntut dulunya adalah warisan nenek moyang mereka, jadi dari pihak tergugat mendatangkan saksi orang tua (kakek-kakek) ataupun orang yang mengerti batasan-batasan tanah dan mengaku tahu bahwa tanah yang kami tinggali bukanlah bagian dari tanah si A. Karena waktu pembagian tanah dia ikut sebagai saksi zaman dahulu, sementara saksi dari si penggugat adalah saksi yang tidak menahu batas-batas tanah tapi mengklaim itu tanah si A. Pak Majol sendiri sudah meninggal sesudah perkara ini. Setelah di pengadilan ayah saya dan seluruh warga mengajukan banding, karena kalah dalam sidang. Keluarga Bu Siska merasa ini tidak adil, karena saksi dari si penggugat kurang relevan. Langkah apa yang harus kami tempuh? Berikut langkah yang dilakukan untuk kasus sengketa tanah diatas.

           Pemindahan Hak atas Tanah karena Jual Beli

    Pada dasarnya, setiap pemindahan hak atas tanah wajib dibuktikan melalui akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), sebagaimana dijelaskan pada Pasal 37 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24”

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

    Jadi secara prinsip, seharusnya jual beli yang dilakukan oleh Bu Siska dengan Pak Majol dituangkan di dalam Akta Jual Beli (“AJB”) yang disahkan oleh PPAT, dan kemudian disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran tanah (perolehan surat tanda bukti kepemilikan tanah atau sertifikat).

Peralihan Hak karena Pewarisan

Di sisi lain sebaliknya, sebenarnya pihak A juga wajib melakukan pendaftaran atas pewarisan tanah yang menjadi sengketa tersebut, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42 ayat (1) PP 24/97:

 “Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertifikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris.”

Sengketa Batas Tanah

        Sebenarnya, yang menjadi permasalahan adalah apakah tanah yang dibeli oleh keluarga Bu Siska masuk sebagai tanah A atau tidak berdasarkan batas-batas tanah yang sebenarnya juga kabur berdasarkan penuturan Bu Siska. Diasumsikan, bahwa penentuan batas-batas tanah (patok-patok tanah) diselenggarakan pertama kali setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (“UUPA”) berlaku, sehingga dianggap penentuan batas-batas tanah ini sebagai penyelenggaraan pendaftaran tanah yang pertama kali.

       Di dalam kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali, dilakukan pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut beserta dengan pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

    Maka dari itu, memang benar perlu dihadirkan saksi-saksi yang berkaitan pada saat pengukuran tanah berlangsung, tetapi jika tidak dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang menguatkan keterangan saksi, maka berlaku adagium unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi, jika hanya terdapat satu saksi maka harus sesuai dengan alat bukti lain), sehingga keterangan saksi pihak Penggugat menjadi ditiadakan.

Ditambah lagi dengan adanya saksi tandingan yang dihadirkan oleh Tergugat, meskipun memang akhirnya keterangannya dianggap tidak berdasar, tetapi karena sifat hukum acara perdata yang menerapkan hakim yang bersifat pasif, maka harus dibuktikan oleh Penggugat bahwa keterangan saksi Tergugat memanglah tidak berdasar.

Langkah Hukum

    Sebagaimana telah dijelaskan di dalam duduk perkara, bahwa perkara ini sudah pada tahap banding di Pengadilan Tinggi. Maka langkah hukum selanjutnya adalah jelas mengajukan upaya kasasi di Mahkamah Agung.

 

Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Ada Calon Tak Paham Ius Curia Novit, karena pemeriksaan tingkat kasasi yang bersifat judex juris, yakni memeriksa penerapan hukum atau penerapan asas-asas hukum pada putusan tingkat di bawahnya, maka tidak dapat diajukan alat-alat bukti baru, kecuali pada tingkat Peninjauan Kembali, jika memang perkara harus sampai pada tingkat Peninjauan Kembali.

     Akan tetapi pada tingkat kasasi ini, masih dapat diusahakan bahwa terjadi kekeliruan penerapan asas hukum oleh hakim di tingkat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, seperti misalnya hakim di tingkat peradilan di bawah Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan beberapa alat bukti yang diajukan atau sebaliknya, hakim justru mempertimbangkan saksi yang sama sekali tidak relevan terhadap kasus, padahal hakim diwajibkan untuk mempertimbangkan kesesuaian kesaksian dengan alat bukti lainnya.      Atau, dapat pula diinvestigasi apakah sebenarnya saksi yang dihadirkan oleh Penggugat adalah saksi yang benar-benar independen atau ternyata disewa oleh pihak Penggugat untuk membela pihak mereka. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang saksi yang dihadirkan oleh Penggugat. Jika terbukti bahwa saksi tersebut tidak independen, maka keterangan saksi tersebut dapat tidak dihiraukan oleh hakim.


BAB III
PENUTUP

  A. Simpulan

Sengketa tanah secara kualitas maupun kuantitas merupakan masalah yang selalu ada dalam tatanan masyarakat serta permasalahan yang sifatnya kompleks dan multi dimensi. Menurut Rusmadi sengketa hak atas tanah yaitu timbulnya sengketa hukum merupakan bermula dari pengaduan suatu pihak orang/badan yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan ha katas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Dalam bidang pertanahan, bidang hukum yang mengatur tata kehidupan warga Negara terdapat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan dijabarkan dalam UUPA yang telah mengatur masalah keagrariaan/pertanahan di Indonesia sebagai suatu peraturan yang harus dipatuhi.

Beberapa upaya strategi yang dapat dilakukan sebagai berikut: Strategi Administrasi Negara, Yudikatif, serta Strategi Legislative (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban mengatur semua kebijakan terkait kekuasaan Negara, RAPBN (rancangan anggaran pendapatan dan belanja Negara) sudah benar, RPTPN (rencana penyediaan tanah pembangunan Negara) saat belum bekerja legislative, executive pun menyerahkan kepada sektoral yang menguasai (administrative-BPN, penguasa tanah dominan kehutanan)


Daftar Pustaka

Pasal 1 butir 1 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1999

Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan

 

SS. Rahmat. 2014. Sengketa yang Berkenaan dengan Hak Ulayat. Universitas Medan Area. Pdf:http://repository.uma.ac.id

 

Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria. Bandung. Alumni, 

 

Ali Ahmad Chomzah. 2002. Pedoman pelaksanaan UUPA dan tata cara pejabat membuat akta tanah. Bandung. Alumni, 

 

Roeroe D.L Sarah. 2013. Penegakan Hukum Agraria dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan dalam Proses Peradilan. Vol.1 No. 6. Edisi Khusus.h, 106-107 Dalam pdf:http://repo.unsrat.ac.id

 



[1] Pasal 1 butir 1 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara

Penanganan Sengketa Pertanahan

[2] Lihat Pasal 1 butir 2 Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan

[3] SS. Rahmat. 2014. Sengketa yang Berkenaan dengan Hak Ulayat. Universitas Medan Area.

Pdf:http://repository.uma.ac.id

[4] Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria. Bandung. Alumni, h.85 5 Ali Ahmad Chomzah. 2002. Pedoman pelaksanaan UUPA dan tata cara pejabat membuat akta tanah. Bandung. Alumni, h.64

[5] Roeroe D.L Sarah. 2013. Penegakan Hukum Agraria dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan dalam Proses Peradilan. Vol.1 No. 6. Edisi Khusus.h, 106-107 Dalam pdf:http://repo.unsrat.ac.id

Lebih baru Lebih lama