MAKALAH PENELITIAN HUKUM EMPIRIS

 

MAKALAH PENELITIAN HUKUM EMPIRIS


A.       Definisi Penelitian Hukum Empiris

Secara etimologi, Penelitian hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu empirical legal research, dalam bahasa Belanda disebut empirisch juridisch onderzoek, sedangkan dalam bahasa Jerman disebut dengan istilah empirische juristische recherche”.[1] Berbagai istilah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris itu secara sederhana diartikan sebagai penelitian yang mengkaji dan menganalisis tentang perilaku hukum individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum dan sumber data yang digunakannya berasal dari data primer, yang diperoleh langsung dari dalam masyarakat.[2]

Penelitian hukum empiris ini oleh Wignjosoebroto diistilahkan dengan penelitian hukum non-doktrinal. Disebut demikian karena kajian-kajiannya bersifat aposteriori, artinya, idea dan teori datangnya belakangan, sedangkan fakta dan data akan tertampak lebih dahulu. Strategi pemikirannya dengan demikian akan bersifat induksi. Idea hanya hipotesis, harus ditunjang pembuktian data agar bisa terangkat sebagai tesis.[3] Sementara Marzuki menyebut penelitian hukum empiris dengan istilah penelitian sosio legal (socio legal research). Disebut demikian karena “penelitian ini hanya menempatkan hukum sebagai gejala sosial. Dalam hal ini, hukum dipandang dari segi luarnya saja.[4]

Menurut Wignjosoebroto, penelitian hukum non-doktrinal adalah penelitian yang tak hanya akan bincang tentang hukum (undang-undang) sebagai preskripsi-preskripsi yang terekam sebagai dead letters law, tapi juga sebagai kekuatan sosial-politik yang terstruktur di dalam organisasi penegakannya, berikut proses-prosesnya di tengah konteks sosio-kulturalnya. Ini adalah studi-studi dengan penelitian tentang text in context. Lebih lanjut dijelaskannya pula bahwa, “hasil penelitian yang nondoktrinal ini jelas kalau bukan berupa imperativa (yang tentu saja bersifat formal pula). Penelitian-penelitian non-doktrinal yang sosial dan empirik atas hukum akan menghasilkan teori-teori tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat, berikut perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses-proses perubahan sosial.[5]

Dengan demikian, titik fokus dalam penelitian hukum empiris adalah perilaku hukum individu atau masyarakat. Di sini, hukum dikaji bukan sebagai norma sosial, melainkan sebagai suatu gejala sosial, yaitu hukum dalam kenyataan di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tujuannya adalah untuk menemukan konsep-konsep mengenai proses terjadinya hukum dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Menurut Zainuddin Ali, penelitian hukum empiris diarahkan untuk mempelajari fenomena sosial dalam masyarakat yang tampak aspek hukumnya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian hukum empiris merupakan penelitian hukum yang dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis bekerjanya hukum di dalam masyarakat, yang termanifestasi ke dalam perilaku hukum masyarakat. Penelitian hukum empiris berupaya untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana perilaku hukum masyarakat dan bagaimana bekerjanya hukum di dalam lingkungan masyarakat. Ada dua hal yang menjadi fokus kajian dalam definisi ini, yaitu : (1) subjek yang diteliti, dan (2) sumber data yang digunakan. Subjek yang diteliti dalam penelitian hukum empiris, yaitu perilaku hukum (legal behavior), yaitu perilaku nyata dari individu atau masyarakat yang sesuai dengan apa yang dianggap pantas oleh kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Sementara itu sumber data yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang berasal dari masyarakat atau orang-orang yang terkait secara langsung terhadap objek penelitian.

B.        Karakteristik Penelitian Hukum Empiris

Pada penelitian hukum empiris hukum dikonsepkan sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variabel-variabel sosial yang lain. Apabila hukum sebagai gejala sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variabel bebas/sebab (independent variabel) yang menimbulkan pengaruh dan akibat pada berbagai aspek kehidupan sosial, kajian itu merupakan kajian hukum yang sosiologis (socio-legal research). Namun, jika hukum dikaji sebagai variabel tergantung/akibat (dependent variable) yang timbul sebagai hasil dari berbagai kekuatan dalam proses sosial, kajian itu merupakan kajian sosiologi hukum (sociology of law)”.[6]

            Terkait penelitian hukum empiris, Zulfadli Barus menjelaskan bahwa hukum dalam pendekatan sosiologis diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak otonom sehingga keberlakuannya ditentukan oleh faktorfaktor non yuridis. Itulah sebabnya, hukum dilihat sebagai produk interaksi sosial. Artinya hukum itu dipatuhi oleh masyarakat sehingga efektif berlaku karena hukum tersebut dianggap telah merupakan representasi dari rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat tersebut.[7] Intinya, hukum bukan hanya gejala normatif, juga gejala sosial. Dengan begitu, hukum harus berubah mengikuti perubahan masyarakat agar tidak terjadi kekosongan hukum. Jadi, posisi hukum adalah sebagai pelayan masyarakat dimana hukum harus mengikuti kemauan masyarakat yang berkembang sebagai tuannya”.

            Menurut Barus, apabila penelitian hukum normatif bermula dari das solen (law in books) menuju das sein (law in actions), maka penelitian hukum sosiologis bermula dari das sein (law in actions) menuju ke das solen (law in books). Lebih dari itu, penelitian hukum empiris dibangun di atas dasar peta konseptual empiris-obyektif-konstruktif yang unsur-unsurnya terdiri dari: empirisme, historical jurisprudence, a posteriori, sintesa, induksi, korespondensi, obyektivitas, generalisasi, konstruktif, field research, data primer, dan kuantitatif”.

            Barus menjelaskan pula bahwa peneliti dalam penelitian hukum empiris bekerja mulai dari fakta-fakta sosial (ekonomi, politik dan lain-lain) baru menuju ke fakta-fakta hukum, karena hukum dilihat sebagai gejala sosiologis, yaitu hukum dilihat sebagai produk interaksi sosial. Metode ini dilaksanakan untuk memperoleh data primer sebanyak mungkin, dengan menggunakan kuesioner, wawancara atau observasi.

            Masih menurut Barus, apabila interaksi sosial berubah maka hukum harus berubah pula mengikuti perkembangan masyarakat tersebut. Bila hukum tidak berubah maka akan terjadilah kekosongan hukum. Hal ini berbahaya karena dapat menimbulkan disintegrasi sosial dan membuka peluang munculnya anarki karena penyelesaian setiap konflik semata-mata didasarkan pada power dan bukan pada prinsipprinsip kebenaran dan keadilan. Itulah sebab dalam perspektif ini hukum dilihat sebagai alat perubahan sosial karena supremasi tidak terletak pada hukum tetapi pada interaksi masyarakat. Dalam perspektif ini, tujuan hukum adalah untuk mewujudkan rasa keadilan yang hidup ditengahtengah masyarakat.

            Merujuk pada uraian di atas, diperoleh gambaran bahwa penelitian hukum empiris memiliki karakteristik tersendiri, yaitu:

1.      Pertama, titik fokus penelitian hukum empiris adalah perilaku hukum dari individu atau masyarakat hukum. Jadi hukum dilihat sebagai suatu gejala sosial, yaitu hukum dalam kenyataan di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, keabsahan temuannya sangat dipengaruhi dunia empiris.

2.      Kedua, karena bersandar pada kenyataan masyarakat, maka sumber data utamanya adalah data primer yang diperoleh melalui studi lapangan (field research), dan didukung data data sekunder sebagai data awalnya yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research). Penelitian hukum empiris tetap bertumpu pada premis normatif, sebab hukum dikaji sebagai dependent variable.

3.      Ketiga, karena mengutamakan data primer, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum empiris dilakukan melalui pengamatan (observasi) dan wawancara (interview). Untuk kepentingan tersebut, dibutuhkan adanya penetapan sampling, terutama jika hendak meneliti perilaku hukum warga masyarakat.

4.      Keempat, penelitian hukum empiris menggunakan kajian yang bersifat a posteriori dengan pendekatan penalaran induksi untuk menjelaskan suatu gejala hukum.

5.      Kelima, penelitian hukum empiris dalam situasi tertentu membutuhkan hipotesis, terutama dalam penelitian yang bersifat korelatif yaitu mencari korelasi berbagai gejala hukum sebagai variabelnya. Bagaimana pun, kajian ilmu-ilmu sosial itu bersifat deskriptif. Keenam, dari sudut kebenaran yang dituju, penelitian hukum empiris hendak menemukan kebenaran korespendensi yaitu kesesuaian hipotesis atau asumsi yang dibangun dalam suatu penelitian dengan fakta yang berupa data.

 

C.       Objek Penelitian Hukum Empiris

Ditinjau dari objek kajiannya, penelitian hukum empiris dapat dibagi atas 5 (lima) jenis. Kelima objek kajian dalam penelitian empiris ini dijelaskan sebagai berikut:

1.        Penelitian efektivitas hukum

Penelitian ini merupakan penelitian yang mengkaji tentang keberlakuan, pelaksanaan, dan keberhasilan dalam pelaksanaan hukum. Jadi, kajian penelitian ini meliputi pengetahuan masyarakat, kesadaran masyarakat dan penerapan hukum dalam masyarakat.[8] Bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat menjadi objek yang dituju dalam penelitian ini. Menurut Aminuddin dan Asikin, penelitian hukum yang hendak menelaah efektivitas suatu peraturan perundang-undangan (berlakunya hukum) pada dasarnya merupakan penelitian perbandingan antara realitas hukum dengan ideal hukum. Ideal hukum adalah kaidah hukum yang dirumuskan dalam undang-undang atau keputusan hakim (law in book), sementara realitas hukum adalah hukum dalam tindakan (law in action). Dalam realitas hukum, orang seharusnya bertingkah laku atau bersikap sesuai dengan tata kaidah hukum.[9]

Masih menurut Aminuddin dan Asikin, apabila seseorang ingin meneliti efektivitas suatu undang-undang, hendaknya ia tidak hanya menetapkan tujuan dari undang-undang saja (baik dari perspektif kehendak pembuat undang-undang, atau tujuan langsung-tidak langsung, maupun tujuan instrumental-tujuan simbolis), melainkan juga diperlukan syarat-syarat lainnya, agar diperoleh hasil yang lebih baik.[10] Syarat-syarat tersebut, antara lain:

a.       perilaku yang diamati adalah perilaku nyata;

b.      perbandingan antara perilaku yang diatur dalam hukum dengan keadaan jika perilaku tidak diatur dalam hukum. Seandainya hukum sudah mampu mengubah perilaku hukum warga masyarakat, maka perilaku itu seharusnya akan sama dengan ketika ada hukum yang mengatur perilaku tersebut;

c.       harus mempertimbangkan jangka waktu pengamatan, jangan lakukan pengamatan yang sesaat, perlu dikemukakan kondisi-kondisi dari yang diamati pada saat itu; dan

d.      harus mempertimbangkan tingkat kesadaran pelaku.

2.        Penelitian kepatuhan terhadap hukum

Kepatuhan terhadap hukum merupakan penelitian yang mengkaji tingkat ketaatan atau kedisiplinan masyarakat terhadap hukum. Misalnya, meneliti tentang ketaatan masyarakat dalam berlalu lintas. Apakah subjek hukum pengguna jalan telah berlalu lintas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau tidak. Peranan lembaga atau institusi hukum didalam penegakan hukum merupakan penelitian yang mengkaji tentang tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum didalam menegakkan hukum. Misalnya, peran Jaksa di dalam melakukan penuntutan terhadap terdakwa. Apakah Jaksa dalam melakukan penuntutan telah didasarkan fakta hukum atau telah sesuai dengan prosedur hukum acara yang berlaku.

3.        Penelitian implementasi aturan hukum

Implementasi aturan hukum merupakan penelitian yang mengkaji dan menganalisis tentang pelaksanaan atau penerapan hukum didalam masyarakat. Misalnya, penelitian tentang penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditentukan syarat sahnya perkawinan, yaitu menurut hukum agama masing-masing dan dicatat. Namun , dalam kenyataan banyak pejabat yang tidak melakukan pencatatan perkawinan, seperti, yang terjadi pada kasus bupati Garut, Atjeng Fikri, yang telah melakukan perkawinan tanpa dilakukan pencatatan di KUA.

4.        Penelitian pengaruh aturan hukum terhadap masalah sosial

Pengaruh aturan hukum terhadap masalah sosial tertentu atau sebaliknya merupakan penelitian yang mengkaji dang menganalisis tentang daya yang ada atau timbul sesuatu yang ikut membentuk watak atau kepercayaan atau perbuatan dari masyarakat, sehingga dengan adanya aturan hukum itu mereka tidak lagi melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada. Hal ini dicontohkan, pengaruh UU No. 7 Tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial. Keberadaan UU ini dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya konflik sosial. Apakah dengan adanya UU konflik sosial, maka konflik sosial menjadi berkurang atau semakin tinggi tingkat konflik sosial.

5.        Penelitian pengaruh masalah sosial terhadap aturan hukum

Pengaruh masalah sosial terhadap aturan hukum merupakan penelitian yang mengkaji atau menganalisis tentang pengaruh masalah kemasyarakatan terhadap aturan hukum. Misalnya, meneliti tentang keberadaan masyarakat hukum adat yang berada di wilayah pertambangan PT. Newmont Nusa Tenggara. Masyarakat hukum adat tersebut, meminta kepada Pemerintahan Kabupaten Sumbawa supaya mereka dapat diakui keberadaan sebagai masyarakat hukum adat, yang dituangkan dalam Peraturan Daerah. Namun, Pemerintah Kabupaten Sumbawa belum memberikan tanggapan terhadap permintaan masyarakat adat tersebut, karena belum dilakukan penelitian secara holistik tentang keberadaan masyarakat hukum adat.

Dari kelima objek kajian penelitian hukum empiris di atas, hukum dipandang sebagai gejala sosial, dengan titik berat pada perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum. Oleh karena itu, dalam penelitian-penelitian yang demikian, hukum ditempatkan sebagai variabel terikat dan faktor-faktor nonhukum yang memengaruhi hukum dipandang sebagai variabel bebas. Menurut Marzuki, hasil yang hendak dicapai oleh penelitian semacam ini adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan: apakah ketentuan tertentu efektif di suatu daerah tertentu?; apakah ketentuan tertentu efektif untuk seluruh Indonesia?; faktor-faktor nonhukum apakah yang memengaruhi terbentuknya ketentuan-ketentuan suatu undang-undang?; dan apakah peranan lembaga tertentu efektif dalam penegakan hukum?.[11]

Penelitian dengan masalah-masalah seperti itu biasanya dimulai dengan hipotesis. Misalnya, “Kehadiran LBH di Kota Tangerang Selatan telah mendorong peningkatan pemahaman hukum masyarakat Kelurahan Buaran”. Hipotesis ini merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang nantinya akan diuji atau dibuktikan peneliti. Hanya saja hipotesis tidak harus selalu ada dalam penelitian hukum, tergantung pada tujuan dan lingkup permasalahan yang hendak diteliti. Artinya, jika penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap ciri-ciri atau karakter dari suatu keadaan, perilaku individu atau kelompok masyarakat, maka hipotesis tidak diperlukan. Akan tetapi jika penelitian tersebut bertujuan untuk memperoleh data tentang hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain, maka diperlukan hipotesis penelitian”.

D.       Pendekatan dalam Penelitian Hukum Empiris

Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan penelitian. Dalam penelitian hukum empiris, terdapat 3 (tiga) pendekatan. Ketiga pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :

1.       Pendekatan Sosiologi Hukum

Pendekatan sosiologi hukum merupakan pendekatan yang hendak mengkaji hukum dalam konteks sosial. Hasil yang diinginkan adalah menjelaskan dan menghubungkan, menguji dan juga mengkritik bekerjanya hukum formal dalam masyarakat. Bagaimana pun hukum selalu bertautan dengan individu dan masyarakat, sehingga bekerjanya hukum itu tidak lepas dari realitas sosial di mana hukum itu bersemai. Hukum dihadirkan agar individu dan masyarakat berperilaku sebagaimana yang dikehendaki hukum.

2.       Pendekatan Antropologi Hukum

Pendekatan antropologi hukum merupakan pendekatan yang mengkaji cara-cara penyelesaian sengketa, baik dalam masyarakat modern maupun masyarakat tradisional. Hoboel mengemukakan tiga alur dalam kajian antropologi hukum, yaitu : (1) ideologi, (2) deskriptif, dan (3) mengkaji ketegangan, perselisihan, keonaran, keluhan-keluhan. Hal-hal yang dianalisis dan dikaji pada kajian ideologis ini, yaitu identifikasi aturan-aturan yang umumnya di lingkungan masyarakat yang bersangkutan dipersepsikan sebagai pedoman untuk berlaku dan memang dianggap seharusnya menguasai perilaku.

Ada dua dimensi dari norma yaitu : (1) dimensi norma ideal, dan (2) dimensi perilaku yang terujud. Dimensi norma ideal adalah aturan hukum yang menjadi bagian pedoman bagi orang yang bertindak. Kajian deskriptif merupakan kajian yang menganalisis dan mengkaji bagaimana orang nyata-nyata berperilaku. Hal-hal yang dikaji berkaitan dengan kajian terhadap keterangan-keterangan, perselisihan, keonaran, keluhan-keluhan, yang meliputi : (1) jenis-jenis sengketa; (2) motif dari orang yang melakukan, dan (3) cara yang dilakukan untuk mengatasinya atau menyelesaikan.

3.       Pendekatan Psikologi Hukum

Pendekatan psikologi hukum merupakan pendekatan didalam penelitian hukum empiris, dimana dilihat pada kejiwaan manusia. Kejiwaan manusia tentu menyangkut tentang kepatuhan dan kesadaran masyarakat tentang hukum. yang dikaji disini, yaitu dengan faktor-faktor penyebab masyarakat melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

E.        Tips Jika Memilih Penelitian Hukum Empiris

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan Anda apabila memilih penelitian hukum empiris. Tips berikut ini akan membantu untuk mempermudah penelitian dengan tipe penelitian hukum empiris.

1.       Kemampuan Peneliti

Maksud dari kemampuan peneliti disini adalah menyangkut interes penelitian terhadap studi lapangan. Sebab, penelitian hukum empiris lebih banyak menghabiskan waktu penelitian di lapangan. Apabila peneliti tidak terbiasa dan tidak minat terhadap studi lapangan, maka penelitian dengan metode ini sangat sulit untuk dilaksanakan. Misalnya, peneliti tidak memiliki kemampuan adaptasi dengan lingkungan saat observasi maupun interview. Sehingga kemampuan peneliti khususnya terkait kemampuan menelitinya di lapangan menjadi kunci dari suksesnya penelitian hukum empiris ini.

2.       Waktu Penelitian

Penelitian hukum empiris sudah pasti akan memerlukan waktu yang lebih panjang daripada hukum normatif. Untuk itu sangat penting perencanaan waktu dan melihat waktu yang tersedia.

3.       Waktu Penelitian

Bahwa penelitian hukum empiris lebih banyak menggunakan teori-teori sosial sebagai pisau analisisnya. Dengan demikian, penguasaan peneliti terhadap teori tersebut sangat menunjang terlaksananya metode penelitian empiris ini.[12]

REFERENSI

Amiruddin. dan Zainal Asikin. (2006). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Barus, Zulfadli. (2013). “Analisis Filosofis tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Empiris”.  Jurnal Dinamika Hukum. Volume 13 No. 2.

Efendi, Jonaedi. dan Johnny Ibrahim. (2016). Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Jakarta: Prenadamedia Group.

Mamudji, Sri. dkk., (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Marzuki. Peter Mahmud. (2014). Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana).

Nasution, Bahder Johan. (2016). Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju.

Salim. dan Erlies Septiana Nurbani. (2014). Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Wignjosoebroto, Soetandjo. (2013). “Metode Penelitian Sosial/Nondoktrinal untuk Mengkaji Hukum dalam Konsepnya Sebagai Realitas Sosial”. Digest Epsitema. Volume 3.

Wignjosoebroto, Soetandjo. (2013). “Penelitian Sosial Berobjek Hukum”. Digest Epsitema. Volume 3.

 



[1] Salim H.S. dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 18.

[2] Ibid, hlm. 18.

[3] Soetandjo Wignjosoebroto, “Penelitian Sosial Berobjek Hukum”, Digest Epsitema, Volume 3 Tahun 2013, hlm. 9.

[4] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 12-13 & 47.

[5] Soetandjo Wignjosoebroto, “Metode Penelitian Sosial/Nondoktrinal untuk Mengkaji Hukum dalam Konsepnya Sebagai Realitas Sosial”, Digest Epsitema, Volume 3 Tahun 2013, hlm. 13.

[6] Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 110.

[7] Zulfadli Barus, “Analisis Filosofis tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Empiris”, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 13 No. 2, Mei 2013, hlm. 311.

[8] Sri Mamudji, dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 10.

[9] Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 123.

[10] Ibid, hlm. 128.

[11] Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2016), hlm. 131-132.

[12] Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Prenadamedia Group, Cimanggis, Depok, 2016, hlm. 151-155.

Lebih baru Lebih lama