Studi Kritis terhadap Sistem ‘Ashabah
Dasar Hukum dan Asal Usulnya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum
kewarisan Islam Sunni memberikan posisi khusus kepada semua laki-laki yang
hubungan kekerabatannya dengan pewaris secara langsung atau melalui laki-laki
dan tidak melewati perempuan. Mereka ini disebut ashabah. Seorang ashabah tidak
akan terhalang oleh perempuan walaupun hubungan kekerabatan ashabah dengan
pewaris sangat jauh dibandingkan dengan perempuan tersebut. Meskipun sistem ini
hasil penafsiran terhadap nash, namun penafsiran tersebut tidak bisa dilepaskan
dari pengaruh sistem kekerabatan patrilineal Arab dan bertentangan dengan
sejumlah asas hukum kewarisan al-Qur’an serta mengandung sejumlah kemusykilan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa dasar hukum ‘Ashabah?
2.
Bagaimana asal usul ‘Ashabah?
3.
Apa saja macam-macam ‘Ashabah?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui dasar hukum
‘Ashabah.
2.
Untuk mengetahui asal usul ‘Ashabah.
3.
Untuk mengetahui macam-macam
‘Ashabah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dasar Hukum
‘Ashabah
Pengertian 'Ashabah berawal dari kata at-ta'shib yang merupakan
bentuk mashdar dari kata 'ashshoba – yu'ashshibu – ta'shiiban. Namun demikian,
kata 'ashabah selanjutnya disebut dengan 'ashabah yang biasanya digunakan juga
dalam bentuk tunggal dan jamak, baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam istilah ulama fiqih, 'ashabah berarti ahli waris yang tidak
mempunyai bagian tertentu, baik besar maupun kecil, yang telah disepakati para
ulama (seperti: ash-habul furudh) atau yang belum disepakati oleh mereka
(seperti : dzawil arhaam). 'As-shabah jamak dari kata tunggal 'ashib yaitu
kerabat si mayit yang mewarisi harta warisannya dengan bagian yang tidak
ditentukan.
Jika ahli waris tersebut sendiri saja maka dia akan mengambil semua
harta warisa, adapun jika bersama dengan ahli waris yang bagiannya ditentukan
maka dia mengambil sisa dari pembagian harta warisan setelahnya, sedangkan jika
para ahli waris yang bagiannya ditentukan telah mengambil bagian dari harta
warisan sehingga tidak ada yang tersisia maka gugurlah bagiannya.
Dasar hukum ‘ashabah dijelaskan pada al-qur’an dan hadist.
1.
Al-qur’an
Dalil Al-Qur’an yang dimaksud ialah Q.S An-Nisa’ ayat 11 yang
berbunyi:
ۚ
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ
لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ
فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ
Artinya: “Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga” (Q.S
An-Nisa’:11)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa
bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam
(1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai
anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua. Ayat
tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka
ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan
berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil
bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan
ayah disebabkan ia sebagai ‘ashabah.
Dalil Al-Qur’an yang lainnya ialah
dalam Q.S An-Nisa’ ayat 176 yang artinya “jika seorang meninggal dunia, dan
ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya
yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak.” (an-Nisa’: 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan
bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan
menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata
pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat “wahuwa yaritsuha”
memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna
‘ashabah.
2.
Hadist
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan
Rasulullah saw:
أَلْحِقُوا
الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر. قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ
Artinya: “Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi
hak laki-laki yang paling utama.” (HR Bukhari)
Hadits
ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada
ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki
yang paling utama dari ‘ashabah.
Ada
satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah
dengan menyebut “dzakar” setelah kata “rajul”, sedangkan kata “rajul”
jelas menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang
dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan
sebagai ‘ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia
sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata
“dzakar”.
B.
Asal-usul ‘Ashabah
Kata ‘ashabah merupakan bentuk jamak dari bentuk tunggal ‘at-shib,
meskipun bentuk tunggal ini tidak digunakan oleh orang Arab. Orang Arab biasa
menggunakan kata ‘as}abah untuk jamak dan tunggal, dan dijamakkan lagi menjadi
‘ashabaht. secara bahasa, ‘ashabah berarti orang-orang yang mengelilingi dan
melindungi.
‘Ashabah merupakan istilah yang dikenal dalam masyarakat Arab
sebelum datangnya Islam dalam pengertian kerabat dekat (atau yang dipandang
dekat) dari seseorang yang seluruhnya
terdiri atas laki-laki yang terhubung dengan orang tersebut melalui laki-laki,
baik kerabat dari garis (tharf ) keturunan, orangtua, saudara maupun paman.
Karena kerabat laki-laki dari jalur laki-laki tersebut mengelilingi dan seakan-akan
membalut seseorang maka mereka disebut ‘ashabah.
Adanya kelompok ‘ashabah dalam masyarakat Arab adalah konsekuensi
dari sistem kekerabatan patrilineal. Dalam masyarakat dengan sistem kekerabatan
patrilineal, mereka yang termasuk dalam satu kelompok kerabat semuanya
terhubung melalui laki-laki. Seseorang dengan orang lain tidak termasuk satu
kelompok kerabat jika keduanya tidak terhubung melalui laki-laki. Karena itu,
laki-laki yang termasuk satu kelompok kerabat tertentu adalah laki-laki yang
saling terhubung melalui laki-laki, dan tidak melewati perempuan. Jika hubungan
kekerabat tersebut dilihat dari seseorang (ego), maka yang termasuk kerabat
dari ego tersebut hanyalah laki-laki (dan perempuan) yang hubungan
kekerabatannya dengan si ego tersebut melalui laki-laki dan/atau tidak melewati
perempuan. Sebaliknya, semua laki-laki (dan perempuan) yang hubungan
kekerabatannya dengan si ego melalui perempuan maka tidak termasuk dalam
kelompok kerabatnya. Dengan demikian, adanya kelompok kerabat laki-laki yang
dalam masyarakat Arab disebut dengan istilah ‘ashabah adalah sebuah kemestian
dalam sistem kekerabatan patrilineal. Semua laki-laki yang termasuk ke dalam
kelompok kerabat seorang ego adalah ‘ashabahnya, dan sebaliknya, ‘ashabah
seorang ego adalah semua laki-laki yang termasuk dalam kelompok kerabat ego
tersebut.
Pada masa itu, pada prinsipnya hanya laki-laki dewasa dari kelompok
‘ashabah ini yang dapat memperoleh warisan. Dengan memperhatikan fakta
sosiohistoris ini dan kelemahan hadis-hadis tentang keahliwarisan ‘ashabah maka
sangat beralasan untuk menduga bahwa kelompok ahli waris ‘ashabah dalam hukum
kewarisan Islam beserta aturan prioritas
yang berlaku di antara mereka diambil alih dari sistem agnatic adat Arab kuno.[1]
Bahkan para ahli hukum Islam Barat menganggap bahwa konsep ‘ashabah dalam hukum
Islam diambil begitu saja dari hukum adat tribal Arabia pra-Islam Smith, maka
harta warisan itu jatuh kepada ‘ashabah. [2]
Dengan mendasarkan kesimpulannya pada hukum kewarisan Islam yang di dalamnya
terdapat konsep ‘ashabah maka Smith secara tidak langsung mengatakan bahwa
konsep ‘ashabah itu diambil dari hukum adat Arabi pra-Islam.
Menurut Powers, anggapan pengadopsian konsep ‘ashabah dari hukum
tribal Arab pra-Islam telah menancapkan akar yang kokoh dalam wacana
intelektual Barat. Bahkan dalam pandangan mereka tidak hanya istilah itu yang
diambil alih dari hukum tribal Arab pra-Islam, melainkan juga kandungan
maknanya. Pandangan inilah yang melandasi keyakinan para ahli hukum Islam
seperti Marçais, Bousquet dan bahkan Coulson tentang kemungkinan untuk
merekonstruksi hukum kewarisan tribal Arabia pra-Islam dengan cara menyaringnya
dari hukum kewarisan Islam. Tetapi, menurut Powers, pandangan yang telah
bertahan selama dua puluh tahun ini kemudian mendapat sanggahan serius. Sebuah
penelitian yang dilakukan R. Brunschvig menunjukkan bahwa ‘ashabah Arabia
pra-Islam tidaklah identik dengan‘ashabah pada masa Islam. Menurut Brunschvig,
sebagaimana dikutip Powers, prinsip yang mendasari kewarisan Arab pra-Islam
bukanlah prinsip “keturunan langsung” sebagaimana dalam ‘ashabah Islam,
melainkan prinsip senioritas. [3]
Apa yang dikemukakan Brunschvig menurut penulis tidak kontradiktif
dengan dan tidak serta-merta menggugurkan pandangan para orientalis sebelumnya,
melainkan hanya melengkapi. Sebagaimana diketahui, dalam sistem kewarisan Arab
pra-Islam, yang berhak untuk memperoleh warisan adalah kerabat laki-laki
(‘ashabah) dewasa yang berperan melindungi
keluarga dan kelompok kerabatnya. Karena itu informasi tentang praktek
kewarisan pada masa itu sering menunjukkan bahwa kerabat seniorlah yang
memperoleh warisan dari orang yang meninggal dunia. Sedangkan anak-anaknya
justru tidak diberi warisan karena mereka belum dewasa dan hidup di bawah
pengampuan kerabat senior tersebut. Prinsip senioritas dalam kewarisan ini
merupakan hal yang rasional dalam konteks masyarakat kesukuan patrilineal.
Dalam masyarakat semacam ini, kepemimpinan dengan segala tanggung jawabnya
dalam sebuah kelompok kerabat ada di tangan laki-laki senior. Karena itu,
ketika al-Qur’an memberikan hak waris kepada anak-anak yang belum dewasa, baik
laki-laki maupun perempuan, orang-orang Arab (para Sahabat) saat itu
menganggapnya aneh dan merasa keberatan. [4]
Pemberian hak waris kepada anak-anak merupakan penyimpangan dan bagian dari
perubahan yang dilakukan oleh al-Qur’an terhadap adat kewarisan Arab pra-Islam.
Tidak sekedar memberikan hak waris kepada anak-anak secara mutlak,
al-Qur’an bahkan menempatkan mereka sebagai ahli waris paling utama. Pengaturan
kewarisan yang dibuat al-Qur’an dimulai dari pemberian hak waris kepada
anak-anak, dan kemudian menjadikan anak sebagai faktor yang mempengaruhi hak
dan bagian ahli waris yang lain. Ketentuan mengenai hak dan kedudukan kewarisan
anak ini bersifat pasti (qathi’) dan menjadi bagian dari sistem kewarisan Islam
(termasuk hukum kewarisan Islam Sunni). Dengan demikian maka prinsip senioritas
telah diganti oleh Islam dengan prinsip keturunan langsung.
Namun perbedaan antara prinsip senioritas dalam sistem kewarisan
Arab pra-Islam dengan prinsip keturunan langsung dalam sistem kewarisan Islam
tidak menafikan keterpengaruhan hukum kewarisan Islam oleh sistem kewarisan
Arab pra-Islam. Meskipun keturunan menjadi ahli waris utama dalam hukum
kewarisan Islam, tetapi tata urutan orang-orang yang berhak menerima sisa atau
bagian tidak tertentu (fardh) dalam hukum kewarisan Islam Sunni diadopsi dari
sistem ‘ashabah pra-Islam.
Tata urutan ‘as}abah dalam hukum kewarisan Islam Sunni merupakan
sesuatu yang tidak dapat dikonstruk oleh fuqaha’ sendiri dengan menggunakan
akal pikiran mereka. Mesti ada sumber tertentu yang darinya tata urutan
tersebut diambil: sumber tekstual (al-Qur’an dan Hadis Nabi) atau sumber
kultural (sistem kekerabatan Arab). Karena tidak ada sumber tekstual baik
al-Qur’an maupun hadis Nabi yang menetapkan tata urutan orang-orang yang berhak
menerima warisan sisa, di satu sisi, dan ada kesamaan antara tata urutan
‘ashabah dalam hukum kewarisan Islam
dengan tata urutan ‘ashabah Arab pra-Islam, di sisi lain, maka dapat
disimpulkan bahwa tata urutan ‘ashabah dalam hukum kewarisan Islam diambil dari
‘ashabah Arab pra-Islam.
C.
Macam-macam
‘Ashabah
Adapun
ahli waris ashabah terdiri dari dua kelompok, yaitu ashabah nasabiyah dan ashabah sababiyah.
1.
Ashabah Nasabiyah
Ashabah
nasabiyah adalah ashabah yang disebabkan karena adanya hubungan darah dengan
sipewaris. Ashabah nasabiyah terbagi kepada tiga yaitu:
a)
Ashabah bi nafsih
Ashabah bi
nafsih, yaitu orang yang menjadi ashabah disebabkan oleh dirinya sendiri,
maksdunya adalah ashabah yang menjadi ashabah disebabkan karena kedudukannya.
Ashabah bi nafsih merupakan semua laki-laki yang nasabnya dengan orang yang
meninggal tidak diselingi oleh perempuan.[5]
Yang termasuk ashabah bi nafsih yaitu:
1)
Anak laki-laki, baik seorang atau beberapa
orang
2)
Cucu laki-laki dari anak laki-laki, bila tidak
ada anak laki-laki
3)
Ayah, bila tidak ada anak atau cucu
4)
Kakek, bila tidak ada ayah
5)
Saudara laki-laki kandung, bila tidak ada anak
atau cucu lakilaki
6)
Saudara laki-laki seayah, bila tidak ada
saudara laki-laki kandung dan ahli waris yang menghijab saudara laki-laki
kandung
7)
Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung,
bila tidak ada saudara laki-laki seayah dan yang menghijab saudara laki-laki-
seayah
8)
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah,
bila tidak ada anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
9)
Paman kandung, bila tidak ada anak laki-laki
dari saudara lakilaki seayah dan orang-orang yang menutupnya
10)
Paman seayah, bila tidak ada paman kandung dan
yang menghijabnya
11)
Anak laki-laki dari paman kandung, bila tidak
ada paman seayah dan ahliwaris yang menghijab paman seayah
12)
Anak laki-laki dari paman seayah, bila tidak
ada lagi ahli waris ashabah yang lain
b)
Ashabah bi ghairih
Ashabah bi ghairih adalah perempuan
yang bagiannya ½ (setengah) dalam keadaan sendirian dan 2/3 (dua pertiga) bila
bersama dengan seorang saudara perempuannya atau lebih. Ahli waris perempuan
dalam ashabah bi ghairih ini yakni: anak perempuan, cucu perempuan, saudara
perempuan kandung dan saudara perempuan se-ayah.[6]
Adapun keadaan yang menjadikan ahli
waris ashabah bi ghairih apabila:
1)
Anak perempuan seorang atau lebih atau
bersama-sama menjadi ahli waris (ashabah bi ghairih) dengan seorang anak
laki-laki atau lebih.
2)
Cucu perempuan dari anak laki-laki bersama-sama
menjadi ahli waris (ashabah bi ghairih) dengan cucu laki-laki.
3)
Dengan adanya saudara laki-laki kandung maka
saudara perempuan kandung menjadi ashabah bi ghairih.
4)
Saudara perempuan se-ayah menjadi ashabah bi
ghairih karena anak laki-laki se-ayah.
Pembagian antara laki-laki dan perempuan dalam
ashabah bi ghairih adalah tetap 2:1 (dua banding satu); 2 (dua) untuk laki-laki
dan 1 (satu) untuk perempuan. Meskipun dalam ashabah bi ghairih terdapat
persamaan kedudukan antara ahli waris
laki-laki dan ahli perempuan perempuan dalam ashabah (ashabah bi ghairih),
namun dalam hal pembagian, tetpa
menggunakan perbandingan 2:1 (dua berbanding satu).
Dasar hukum mengenai pembagian ahli waris
laki-laki yang mendapatkan dua bagian dan ahli waris perempuan mendapat satu
bagian, sehingga dua berbanding satu, yaitu Surah An-nisa’ ayat 11:
يُوۡصِيۡكُمُ اللّٰهُ فِىۡۤ
اَوۡلَادِكُمۡ ۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ الۡاُنۡثَيَيۡنِ
Artinya:
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk)
anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan…” (Q.S An-Nisa’:11)
c)
Ashabah ma’a ghairih
Ashabah ma’a ghairih adalah setiap perempuan
yang memerlukan perempuan lain untuk menjadi ashabah. Yang menjadi ashabah
ma’al ghairih ini adalah saudara perempuan kandung, karena mewaris bersama
dengan anak perempuan, cucu perempuan, cicit perempuan dan seterusnya sampai ke
bawah.[7]
2.
Ashabah Sababiyah
Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang
berhubungan pewarisnya timbul karena sebab-sebab tertentu, yaitu:
a)
Sebab perkawinan, yaitu suami atau isteri
b)
Sebab memerdekakan hamba sahaya
Sebagai ahli warisan sababiyah, mereka dapat
menerima warisan apabila perkawinan suami-isteri tersebut sah. Begitu juga
hubungan yang timbul sebab memerdekakan hamba sahaya, hendaknya dapat
dibuktikan menurut hukum yang berlaku.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Ashabah merupakan istilah yang dikenal
dalam masyarakat Arab sebelum datangnya Islam dalam pengertian kerabat dekat
(atau yang dipandang dekat) dari seseorang
yang seluruhnya terdiri atas laki-laki yang terhubung dengan orang
tersebut melalui laki-laki, baik kerabat dari garis (tharf) keturunan,
orangtua, saudara maupun paman. Karena kerabat laki-laki dari jalur laki-laki
tersebut mengelilingi dan seakan-akan membalut seseorang maka mereka disebut
‘ashabah.
Adapun ahli waris ashabah terdiri dari dua kelompok, yaitu ashabah nasabiyah dan ashabah sababiyah.
1.
Ashabah Nasabiyah
2.
Ashabah Sababiyah
DAFTAR PUSTAKA
Abid Hussain.
2005. The Islamic Law of Succession. Riyadh: Darussalam.
W. Robert
Smith, Kinship & Marriage in Early Arabia. 1966. Oosterhout, Netherlands:
Anthropological Publications.
Powers,
Peralihan Kekayaan., 114.
A. Hamid
Sarong, Rukiyah, dkk. 2009. Fiqh. Banda Aceh: Bandar Publishing.
Sudarsono.
2001. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Surahwardi K.
Lubis dan Komis simanjuntak. 2004. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Ahmad Rofiq.
1998. Fiqih Mawaris. Jakarta: PT raja Grafindo Persada.
[1] Abid Hussain,
The Islamic Law of Succession (Riyadh: Darussalam, 2005)
[2] W. Robert
Smith, Kinship & Marriage in Early Arabia (Oosterhout, Netherlands:
Anthropological Publications, 1966), 65-66
[3] Powers,
Peralihan Kekayaan., 114.
[4] Al-T{abari>
mengemukakan sebuah riwayat yang bersumber dari Ibn ‘Abbas, bahwa setelah Allah
menurunkan ayat yang memberikan hak waris kepada anak-anak laki-laki dan
perempuan serta ayah dan ibu, orang-orang Arab atau sebagian di antara mereka
tidak senang dan mengatakan, “Istri diberi hak seperempat atau seperedelapan,
anak perempuan diberi hak separoh, anak laki-laki belum dewasa juga diberi hak,
padahal mereka tidak berperang membela kaumnya dan juga tidak memperoleh
rampasan perang (ghanimah). Jangan bicarakan hal ini lagi, siapa tahu Rasul
nanti lupa. Atau kita sampaikan kepadanya keberatan kita, siapa tahu Rasul
nanti mengubahnya.” Maka ada sebagian di antara mereka yang menyampaikan kepada
Rasul, “Wahai Rasulullah, apakah kita memberikan warisan kepada anak perempuan
padahal dia tidak menunggang kuda dan tidak berperang membela kaumnya, dan kita
memberikan warisan kepada anak kecil padahal dia tidak membutuhkan apa-apa?!”
Lihat al-T{abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n., VIII: 32.
[5] A. Hamid
Sarong, Rukiyah, dkk, Fiqh, (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2009), hal. 246.
[6] Sudarsono,
Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 326.
[7] Surahwardi K.
Lubis dan Komis simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 97.
[8] Ahmad Rofiq,
Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1998), hal. 54