MAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM PEMBAGIAN SUMBER HUKUM ISLAM

 

MAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM PEMBAGIAN SUMBER HUKUM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hukum (peraturan atau norma) adalah suatu hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan yamg dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Dalam ilmu Fiqih, kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu hukum.

Dalil-dalil hukum tersebut oleh jumhur ulama ada yang disepakati dan ada juga yang tidak disepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Quran, As-sunnah, ijma’, dan qiyas. Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati adalah isthisan, istishab, maslahah mursalah, urf’, qawl shahabi, syar’man qablana. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi dua bagian yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat menjadikan sebagai sumber hukum.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa saja sumber hukum islam yang di sepakati?

2.      Apa saja sumber hukum islam yang tidak di sepakati?

C.    Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui sumber hukum Islam yang di sepakati

2.      Untuk mengetahui sumber hukum Islam yang tidak di sepakati

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sumber Hukum yang di Sepakati (Muttafaqun ‘alaiha)

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Menurut Amir Syarifuddin sebagaimana dikutip oleh Kutbiddin Aibak, hukum Islam adalah seperangkat peraturan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikuti untuk semua yang beragama Islam.[1]

Sumber atau dalil fikih yang disepakati, seperti dikemukakan ‘Abd al-Majid Muhammad al-Khafawi, ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir, ada 4 (empat), yaitu Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Hal ini berpegang pada QS. An-Nisa ayat 59.

1.      Al-Qur’an

Kata Al Qur’an dalam bahasa arab dari kata Qara’a artinya membaca.Bentuk masdarnya artinya “bacaan” dan apa yang tertulis padanya. Seperti tertuang dalam ayat Al Qur’an, sedangkan secara istilah Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, tertulis dalam bahasa arab yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir bila membacanya mengadung nilai ibadah. Adapun hukum-hukum yang terkandung didalamnya meliputi:[2]

a.       Hukum-hukum I’tiqakodiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan seperti rukun iman.

b.      Hukum khuluqiyah yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlaq manusia.

c.       Hukum- hukum amaliyah,yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Hukum amaliyah ini ada dua, mengenai ibadah dan muammalah.Hukum al qur’an yang berkaitan dengan ibadah dan bidang al-ahwal al-syakhsiyah/ ihwal atau perorangan atau keluarga.

2.      As - Sunnah

Sunnah secara bahasa berarti cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji.Sunnah atau hadits mempunyai beberapa arti dekat, baru, berita. Sedangkan menurut istilah semua yang bersumber dari Nabi SAW., selain al-Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuan. Adapun hubungan as-sunnah dengan al-Qur’an dilihat dari sisi materi hukum yang terkandung didalamnya sebagai berikut:[3]

a.         Muaqqid

Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dikuatkan dan dipertegas lagi oleh as-sunnah, misalnya tentang sholat, zakat terdapat dalam al-Qur’an dan dikuatkan oleh as-sunnah

b.      Bayan

Yaitu as-sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang belum jelas, dalam hal ini ada 3 hal, antara lain: memberikan perincian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang mujmal, membatasi kemutlakan , mentakhsiskan keumuman dan menciptakan hukum baru.

3.      Ijma’

a.      Pengertian dan landasan Ijma’

Kata ijma’ secara bahasa berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan atau kesepakatan tentang suatu masalah. Menurut istilah ushul fiqih, seperti yang dikemukakan abdul karim zaidan, adalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat islam tentang hukum syara’ pada satu massa setelah rasulullah saw wafat.  Dalil yang menjadikan keabsahan ijma dalam landasan hukum yaitu:

a)      QS. AN- nisa ayat 115.

b)      hadits rasulullah saw riwayat abu daud dan at tirmidzi yang berbunyi, dari ibnu umar. Rasulullah saw bersabda; sesungguhnya allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad saw. atas kesesatan. (HR. At tirmidzi).

b.      Macam-Macam Ijma’

Menurut abdul karim zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’ sarih (Tegas) dan Ijma’ Sukuti  ( persetujuan yang  diketahui lewat diamnya sebagai ulama).[4]

Ijma’  Sarih adalah kesepakatan tegas dari para mujtahid di manterhadapa masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas  dari para mujtahid dimana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuanya secara tegas terhadap kesimpulan itu. Sedangkan ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainya hanya diam tanpa komentar. Para ulama usul fikih berbeda pendapat tentang ijma’ sukuti ini. Menurut Imam Syafi’I dan kalangan Malikiyah, ijma sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagian mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu, karena dianggap lebih senior. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, ijma’ sukuti adalah sah dijadikan sumber hukum. Karena diamnya sebagian ulma mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka mensetujuinya. Pendapat lain  yaitu pendapat sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian ulama mujtahid tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’ namun pendapat seperti itu dianggap lebih kuat dari pendapat perorangan.

4.      Qiyas

Qiyas menurut bahasa artinya “Mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”. Pengertian lain dari qiyas adalah menyamakan hukum suatu persoalan yang tidak dijelaskan dalam nash (al-Qur’an dan hadits) dengan hukum persoalan yang dijelaskan dalam nash karena dua persoalan tersebut mempunyai kesamaan ‘illah. Yang dimaksud dengan ‘illah adalah sifat yang diduga menjadi sebab hukum yang ada pada persoalan yang dijelaskan dalam nash .

Qiyas merupakan metode penemuan hukum. Dalam metode ini terdapat 4 rukun (unsur utama), yaitu:[5]

1)        Al-asl, yaitu persoalan yang telah dijelaskan hukumnya dalam nash.

2)        Al-far’ yaitu persoalan yang belum dijelaskan hukumnya dalam nash dan hendak dicari hukumnya.

3)        Hukm al-asl, yaitu hukum persoalan yang jelah dijelaskan dalam nash.

4)        ‘al-‘illah, yaitu sifat yang ada pada al-asl dan al-far’

Sebagai contoh, Al-Quran telah menjelaskan hukum khamr , yaitu haram dikonsumsi. Bagaimana dengan mengkonsumsi bir? ‘illah diharamkannya khamr adalah membukkan. Ketika illah ini ada pada bir, maka dapat ditetapkan bahwa hukum bir adalah haram berdasarkan qiyas pada khamr.

Kedudukan qiyas sebagai dalil hukum didasarkan pada Al-Quran dan hadis. Fiman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 59

hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya, dan ulul amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia pada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah-Nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ada pula sebuah riwayat sebagai berikut, “dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Maka beliau bertanya, “bagaimana engkau akan memutus perkara?” Mu’adz menjawab, “aku akan memutus berdasarkan kitab Allah.” Nabi bertanya, “jika tidak ada dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “maka berdasarkan sunnah Rasulullah.” Nabi bertanya, “jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab, “aku akan berijtihad dengan pikiranku.” Nabi bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah saw.”

B.     Sumber Hukum yang tidak di Sepakati (Mukhtalafun ‘alaiha)

1.      Istihsan

 Istihsan secara harfiah berarti menganggap sesuatu lebih disukai. Dalam pengertian yuristiknya, istihsan adalah metode untuk menggunakan pendapat pribadi untuk menghindari segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan yang mungkin timbul dari penerapan hukum secara harafiah. Dengan kata lain, itu adalah penyimpangan, pada masalah tertentu, dari aturan ulama terhadap aturan lain untuk alasan hukum yang lebih relevan yang memerlukan penyimpangan seperti itu. Definisi berbeda berikut juga telah diberikan oleh ahli hukum untuk istihsan:[6]

a)      Menerbitkan vonis oleh ahli hukum hanya karena tampaknya baikbaik saja baginya.

b)      Argumen dalam pikiran jurispruden yang dia tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.

c)      Mengganti argumen untuk fakta yang diterima untuk kepentingan rakyat.

d)      Al-Bazdawi, ahli fiqih mazhab Hanafi, menyatakan bahwa istihsan adalah berpindah dari qiyas biasa ke qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.

e)      Golongan maliki, salah satunya Ibnu al-Araby mendefinisikan istihsān sebagai berikut yang artinya: “Mendahulukan ditinggalkannya tuntutan dalil, menurut jalan pengecualian (istisna) dan keringanan karena bertentangannya di dalam sebagian yang dituntutnya”.

Sebagai sumber penting dari hukum dan jurispraktat Islam udence Istihsan adalah bagian integral dari Syari'ah, karena itu telah memainkan peran penting dalam adaptasi hukum Islam dengan perubahan kebutuhan masyarakat.

2.      Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah menurut bahasa berarti manfaat, dan kata mursalah berarti lepas. Dari dua kata tersebut maslahah mursalah menurut istilah sesuatu yang dianggap ,maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung mauoun yang menolaknya sehingga disebut maslahah mursalah (maslahah yang lepas dari dalil secara khusus).[7]

Para ulama sepakat bahwa maslahah mursala tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena harus diamalkan sebagaimana adanya yang diwariskan oleh Rasulullah. Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalat. Kalangan Zairiyah, sebagian dari kalangan Syafiiyah dan Hanafiyah tidak mengakui maslahah mursalah sebagai landasan pembentukan hukum. Sedangkan kalangan Maalikiyah dan Hanabilah serta sebagian dari kalangan Syafiiyah berpendapat bahwa maslahah mursalah secara sah dapat dijadikan landasan penetapan hukum.

Macam-macam maslahah mursalah, menurut Abdul Karin Zaidan antara lain:

1.      al-maslahah al-mu’tabarah, yaitu maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya.

2.      al-maslahah al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syariat.

3.      al-maslahah al-Mursalah. Maslahat macam ini terdapat dalam masalah-masalah muamalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dan tidak pula ada bandingannya dalam Al-Quran dan sunnah untuk dapat dilakukan analogi.

Syarat-syarat memfungsikan Maslahah Mursalah menurut Abdul Wahab Khallaf, yaitu:

1.    Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki, yaitu yang benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkannya

2.    Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan dalam kasus kepentingan pribadi

3.    Sesuatu yang dianggap maslahat itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada ketegasannya dalam Al-Qur’an dan sunnah, atau ijma’

3. ‘Urf

‘Urf secara bahasa adalah sesuatu kebiasaan yang dilakukan. Menurut istilah yaitu apa yang dikenal manusia dan berlaku padanya, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu.[8] Banyak ulama fikih mengartikan ‘urf sebagai kebiasaan yang dilakukan namyak orang (kelompok) dan timbul dari kreatifitas atau imajinatif dalam membangun  nilai-nilai budaya. Disamping itu, baik dan buruknya kebiasaan tidak menjadi persoalan yang begitu urgent asalkan dilakukan secara kolektif, maka kebiasaan yang seperti ini termasuk kategori ‘urf.[9]

Mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabillah dan kalangan Syafiiyah. Menurut Al-Tayyib Khudari Al-Sayyid mazhab besar fikih sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan riciannya terdapat perbedaan sehingga ‘urf dimasukkan dalam kelompok dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.

Macam-macam ‘urf menurut Abdul Karim Zaidan adalah:

1.      Al-‘Urf al-‘Am (adat kebiasaan umum), adalah yang berlaku untuk semua negeri dalam suatu perkara. Contohnya ungkapan “engkau telah haram aku gauli” kepada istrinya sebagai ungkapan untuk menjatuhkan talak, kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan sewa tertentu tanpa menentukan secara pasti berapa lamanya mandi dan berapa kadar air yang digunakan.

2.      Al-‘Urf al-Khas (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu. Contohnya kebiasaan masyarakat Irak menggunakan kata al-dabbah hanya kepada kuda.

‘Urf dari aspek diperhitungkan atau tidak diperhitungkan sebagai landasan hukum antara lain:

1.      ‘Urf yang tidak baik (fasid) yaitu sesuatu yang dibiasakan oleh orang-orang tetapi menyalahi syara’ atau menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.

2.      ‘Urf yang baik (shahih) yaitu ‘urf yang dibiasakan oleh orang-orang dan tidak bertentengan dengan dalil syar’i tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkam dan tidak membatalkan yang wajib.

Syarat-syarat yang harus ada pada ‘urf agar dapat dijadikan sebagai rujukan ijtihad:

1.      Tidak bertentangan dengan nash yang qath’I, harus berlaku umum, tidak bagi orang per orang.

2.      Harus sudah berlaku sebelum penetapan hukum yang didasarkan pada ‘urf.

3.      Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut dalam Al-Quran atau hadis.

4.      Tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syar’I dan tidak mengakibatkan kemudhorotan juga kesempitan.

4. Istishab

Istishab secara lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai.[10]  Sedangkan Imam Ibnu Al-Subki mendefinisikan istishab sebagai menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang merubahnya.

Macam-macam istishab menurut Muhammad Abu Zahra, antara lain:

1.    Istishab al-Ibahah al-ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalat.

2.    Istishab al-baraah al-ashliyahi yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif samapi ada dalil yang mengubah statusnya, dan bebas dari kesalahan sampai ada bukti yang mengibah statusnya.

3.    Istishab al-hukm, yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.

4.    Istishab al-wasf, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.

Para ulama sepakat bahwa tiga macam istishab (Istishab al-Ibahah al-ashliyah, Istishab al-baraah al-ashliyahi, Istishab al-hukm) sah dijadikan sebagai landasan hukum. Mereka berbeda pendapat pada istishab al-wasf,  dalam hal ini ada dua pendapat:[11]

1)      Kalangan Hanabilah dan Syafiiyah, berpendapat bahwa istishab al-wasf dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada.

2)      Kalangan Hanafiyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa istishab al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang udah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru.

5.      Syar’u Man Qablana

Syar’u secara etimologi berarti mengalir. Sedangkan syar’u man qablana adalah hukum-hukum allah yang dibawa oleh para Nabi atau Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. dan berlaku untuk umat mereka pada zaman itu.

Yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran Nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, nabi Musa, dan Nabi isa. Apakakah syariatt-syariat yang diturunkan kepada mereka yang diinformasikan dalam Al-Qur’an dan hadits SAW. berlaku pula bagi umat nabi Muhammad SAW? para ulama sepakat bahwa syariat para Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu.[12]

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat Nabi terdahulu yang tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Isalm dan tidak pula ada penjelasan yang membatalkannya. Misalnya persoalan hukum Qishas (hukum setimpal) dalam syariat Nabi Musa yang diceritakan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 45.

Menurut kalangan Hanfiyah, malikiyah, mayoritas kalangan Syafi’iyah, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hambal, hukum-hukum seperti itu berlaku bagi umat Islam. Dengan alasan sebagai berikut:

1.        Pada dasarnya syariat itu adalah satu karena datang dari Allah. Oleh karena itu, apa yang disyariatkan kepada para Nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. hal ini didasarkan dalam firman Allah surat As-Syura ayat 13

2.      Terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para Nabi terdahulu, anatar lain firman Allah surat An-Nahl ayat 123 dan surah Al-An’am ayat 90

Sedangkan menurut para ulama Muktazilah, Syi’ah, sebagian kalangan Syafiiyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hambal, syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-Qur’an tidak menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad Saw.. kecuali ada ketegasan untuk itu. Diantara alasan mereka:

1.      Firman Allah surat Al-Ma’idah ayat 48 yang menunjukkan bahwa setiap umat itu mempunyai syariat tersendiri. Itu berarti, syariat Nabi terdahulu tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad SAW.

2.      Dalam dialog antara Nabi SAW. dengan Mu’az bin jabal tentang cara Mu’az menyelesaikan perkara tidak menemukan jawaban dalam Al-Qur’an dan sunnah, Mu’az mengatakan bahwa ia akan menggunakan ijtihad dengan akal pikirnya. Dia tidak menyinggung untuk mengambil ketentuan dari syariat sebelumya

6.      Sadd Al-Dzari’ah

Secara bahasa sad al-dzari’ah berarti menutup jalan yang menutup suatu tujuan. Sedangkan menurut istilah adalah menutup jalan yang mengantarkan kepada kebinasaan atau kejahatan.

Sadd al-dzari’ah merupakan prinsip hukum yang bersifat preventif. Perbuatan yang pada dasarnya mubah dipandang haram atau makruh karena berpotensi menyebabkan seseorang melakukan perbuatan yang menimbulkan madlarat. Karena itu sad al-dzari’ah bisa disebut sebagai perpanjangan tangan dari maslahah mursalah, yaitu mencegah kemadlaratan.

Mengenai kehujjahannya, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal menjadikannya sebagai salah satu dalil hukum. Sedangkan Imam Syafii, Imam Abu hanifah, dan Madzhab Syi’ah menerapkannya pada kondisi tertentu. Adapun madzab Zahiri menolak sad al-dzari’ah sama sekali.

Perbuatan-perbuatan yang menjadi jalan kepada kerusakan terbagi kepada dua macam, yaitu:[13]

Pertama, perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai jalan bagi sesuatu yang diharamkan, melainkan esensi perbuatan itu adalah haram. Karena itu keharaman perbuatan seperti itu tidak termasuk dalam pembahasan sad al-dzari’ah.

Kedua, perbuatan yang secara esensial dibolehkan (mubah) namum perbuatan itu berpotensi menimbulkan atau menjadi jalan kepada sesuatu yang diharamkan. Perbuatan ini termasuk dalam pembahasan sad al-dzari’ah, dan terbagi menjadi:

1.      Perbuatan itu dapat dipastikan akan mengakibatkan kebinasaan.

2.      Perbuatan itu mengandung kemungkinan, meskipun kecil, membawa kepada sesuatu yang dilarang

3.      Perbuatan itu kemungkinannnya akan mengantarkan kepada kemudlaratan lebih besar dari pada kemaslahatan.

 

7.      Qawl Shahabi

Qawl shahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat rasulullah adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Seperti Umar bin Khattab, Abdullah bun Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah diantara para sahabat yang berfatwa tentang hukum Islam.[14]

Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah  atas sahabat lainnya, hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah  atas tabiin dan orang-orang setelah tabiin. Dalam hal ini ulama memiliki tiga pendapat, diantaranya adalah:[15]

1.      Menurut Imam Maliki, Abu Bakar ar-Razi, Abu Said, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dalam mazhab Qadimnya, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mazhab sahabat (qaul shahabi) dapat menjadi hujjah. Hal ini berdasar pada QS. Ali Imran ayat 110. Ayat ini menganjurkan ma’ruf kepada para sahabat, sedangkan perbuatan ma’ruf  adalah wajib. Karena itu pendapat para sahabat wajib diterima.

2.      Menurut jumhur Asya’iyyah dan mu’tazilah, Imam Syafii dalam mazhabnya yang jadid (baru) dan Abu Hasan al-Kharha dari golongan Hanafiyah mengatakan bahwa mazhab sahabat secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah  atau dasar hukum. Hal ini berdasar pada Surah Al-Hasyr ayat 2 dimana Allah menganjurkan kepada orang-orang yang memiliki pandangan atau pikiran untuk mengambil I’tibar (pelajaran). Yang dimaksud I’tibar dalam ayat tersebut ialah qiyas dan ijtihad sedangkan dalam hal mujtahid sama saja dengan sahabat atau buian sahabat.

3.      Ulama Hanafiyah , Imam Malik, qaul qadim Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat sahabat didahulukan. Hal ini berdasar pada surat At-Taubah ayat 100.


 

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa macam-macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu hukum sangat beragam. Dalil-dalil hukum tersebut oleh jumhur ulama ada yang menjadikan sebagai sumber hukum, dan ada yang tidak.

Dalam pemberlakuan syariat, Allah SWT. mempunyai tujuan tertentu yaitu kemaslahatan manusia dalam arti bahwa umat manusia dapat memperoleh kemaslahatannya di dunia dan di akhirat dengan pelaksanaan syariat itu. Dalam hal ini Allah memang memiliki tujuan atas pemberlakuan hukum terhadap keseluruhan dari dalil syariat, dan Allah memiliki tujuan terbaik bagi manusia. Dari sumber hukum baik yang telah di sepakati maupun yang masih di perselisihkan tersebut merupakan ciri khas dalam pengambilan sumber hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara pandang atau metode yang berbeda-beda sesuai dengan pemahaman dan dalilnya masing-masing.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ayu kisdiyanti, Adinda. 2020. pendekatan teologis dalam memahami maksud syariat dan hukum yang tidak disepakati. Kudus. Jurnal IAIN Kudus.

Masfuful Fuad, Ahmad. 2016. Qiyas Sebagai Salah Satu Metode Istinbat Al Hukm. Jurnal Pemikiran Hukum Islam.

Syarufuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta. Kencana.

Zainuddin, Faiz. 2015. Konsep Islam Tentang Adat: Telaah Adat dan ‘Urf Sebagai Sumber Hukum Islam.  

Jumantoro, Totok. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta. Amzah.

Umam, Khairul. 2000. Ushul Fiqih. Bandung. Pustaka Setia.

Aibak, Kutbuddin. 2014. Otoritas dalam hukum islam (Telaah Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl). Yogyajarta. UIN Sunan Kalijaga.

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta. Prenada media.

Nazar bakry, Sidi. 2003. Fiqh dan Ushul fiqh. Jakarta. Pt. Raja Grafindo persada.

Lis Sulistiani, Siska. 2018. Perbandingan Sumber Hukum islam. Jurnal Peradaban dan Hukum Islam.



[1] Kutbuddin Aibak, “Otoritas dalam hukum islam (Telaah Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl)”. (Yogyajarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014). Hlm. 94

[2] Siska Lis Sulistiani, “Perbandingan Sumber Hukum islam”, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol. 1 no. 1 (Maret , 2018), hlm. 105

[3] Siska Lis Sulistiani, “Perbandingan Sumber Hukum islam”, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol. 1 no. 1 (Maret , 2018), hlm. 111

[4] Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005),  hlm 129.

[5] Ahmad Masfuful Fuad, “Qiyas Sebagai Salah Satu Metode Istinbat Al-Hukm”, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XV, No. 1 (Juni, 2016), hlm.  4-8.

[6] Adinda ayu kisdiyanti, pendekatan teologis dalam memahami maksud syariat dan hukum yang tidak disepakati, (Kudus: Jurnal IAIN Kudus, 2020), hlm. 8-9.

[7]Satria effendi, ushul fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005),  hlm 142-143

[8] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 1.

[9] Faiz Zainuddin, “Konsep Islam Tentang Adat: Telaah Adat dan ‘Urf Sebagai Sumber Hukum Islam”, Vol. 9 No. 2 (Desember, 2015), hlm. 5.

[10] Amir Syarufuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 364.

[11] Satria effendi, ushul fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005),  hlm 162.

[12] Sidi Nazar bakry, Fiqh dan Ushul fiqh, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 379

[13] Satria effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005),  hlm. 172

[14] Satria effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005),  hlm. 169

[15] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 182.

Lebih baru Lebih lama