MAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM PEMBAGIAN SUMBER HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum (peraturan atau norma) adalah suatu hal yang mengatur tingkah
laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa
kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan yamg
dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Dalam ilmu Fiqih,
kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam dalil
hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu hukum.
Dalil-dalil hukum tersebut oleh jumhur ulama ada yang disepakati dan
ada juga yang tidak disepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Quran,
As-sunnah, ijma’, dan qiyas. Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati adalah
isthisan, istishab, maslahah mursalah, urf’, qawl shahabi, syar’man qablana.
Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber
hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi dua bagian yang
sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat menjadikan sebagai sumber
hukum.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja sumber hukum islam yang di
sepakati?
2.
Apa saja sumber hukum islam yang
tidak di sepakati?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui sumber hukum Islam
yang di sepakati
2.
Untuk mengetahui sumber hukum Islam
yang tidak di sepakati
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sumber Hukum
yang di Sepakati (Muttafaqun ‘alaiha)
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari
agama Islam. Menurut Amir Syarifuddin sebagaimana dikutip oleh Kutbiddin Aibak,
hukum Islam adalah seperangkat peraturan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang
tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikuti untuk
semua yang beragama Islam.[1]
Sumber atau dalil fikih yang disepakati, seperti dikemukakan ‘Abd
al-Majid Muhammad al-Khafawi, ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir, ada 4
(empat), yaitu Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Hal ini berpegang pada QS.
An-Nisa ayat 59.
1.
Al-Qur’an
Kata
Al Qur’an dalam bahasa arab dari kata Qara’a artinya membaca.Bentuk masdarnya
artinya “bacaan” dan apa yang tertulis padanya. Seperti tertuang dalam ayat
Al Qur’an, sedangkan secara istilah Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw, tertulis dalam bahasa arab yang sampai kepada kita
dengan jalan mutawatir bila membacanya mengadung nilai ibadah. Adapun
hukum-hukum yang terkandung didalamnya meliputi:[2]
a.
Hukum-hukum I’tiqakodiyyah, yaitu
hukum yang berhubungan dengan keimanan seperti rukun iman.
b.
Hukum khuluqiyah yaitu hukum yang
berhubungan dengan akhlaq manusia.
c.
Hukum- hukum amaliyah,yaitu hukum
yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Hukum amaliyah ini ada dua, mengenai
ibadah dan muammalah.Hukum al qur’an yang berkaitan dengan ibadah dan bidang al-ahwal
al-syakhsiyah/ ihwal atau perorangan atau keluarga.
2.
As - Sunnah
Sunnah secara bahasa berarti cara yang dibiasakan atau cara yang
terpuji.Sunnah atau hadits mempunyai beberapa arti dekat, baru, berita.
Sedangkan menurut istilah semua yang bersumber dari Nabi SAW., selain al-Qur’an
baik berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuan. Adapun hubungan as-sunnah
dengan al-Qur’an dilihat dari sisi materi hukum yang terkandung didalamnya
sebagai berikut:[3]
a.
Muaqqid
Yaitu
menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dikuatkan
dan dipertegas lagi oleh as-sunnah, misalnya tentang sholat, zakat terdapat
dalam al-Qur’an dan dikuatkan oleh as-sunnah
b.
Bayan
Yaitu as-sunnah
menjelaskan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang belum jelas, dalam hal ini ada 3
hal, antara lain: memberikan perincian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
mujmal, membatasi kemutlakan , mentakhsiskan keumuman dan menciptakan hukum
baru.
3.
Ijma’
a.
Pengertian dan
landasan Ijma’
Kata
ijma’ secara bahasa berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan atau
kesepakatan tentang suatu masalah. Menurut istilah ushul fiqih, seperti yang
dikemukakan abdul karim zaidan, adalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan
umat islam tentang hukum syara’ pada satu massa setelah rasulullah saw
wafat. Dalil yang menjadikan keabsahan
ijma dalam landasan hukum yaitu:
a)
QS. AN- nisa ayat 115.
b)
hadits rasulullah saw riwayat abu
daud dan at tirmidzi yang berbunyi, dari ibnu umar. Rasulullah saw bersabda;
sesungguhnya allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat
Muhammad saw. atas kesesatan. (HR. At tirmidzi).
b.
Macam-Macam
Ijma’
Menurut
abdul karim zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’ sarih (Tegas) dan
Ijma’ Sukuti ( persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagai ulama).[4]
Ijma’ Sarih adalah kesepakatan tegas dari
para mujtahid di manterhadapa masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya
secara tegas dari para mujtahid dimana
masing-masing mujtahid menyatakan persetujuanya secara tegas terhadap
kesimpulan itu. Sedangkan ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama
mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainya hanya diam
tanpa komentar. Para ulama usul fikih berbeda pendapat tentang ijma’ sukuti
ini. Menurut Imam
Syafi’I dan kalangan Malikiyah, ijma sukuti tidak dapat dijadikan landasan
pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagian mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena
bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung
oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang
pendapat mujtahid yang punya pendapat itu, karena dianggap lebih senior. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, ijma’ sukuti adalah sah
dijadikan sumber hukum. Karena diamnya sebagian ulma mujtahid dipahami sebagai persetujuan,
karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas
menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan
bahwa mereka mensetujuinya. Pendapat lain
yaitu pendapat sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya
sebagian ulama mujtahid tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’ namun pendapat
seperti itu dianggap lebih kuat dari pendapat perorangan.
4. Qiyas
Qiyas
menurut bahasa artinya “Mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui
adanya persamaan antara keduanya”. Pengertian lain dari qiyas adalah menyamakan
hukum suatu persoalan yang tidak dijelaskan dalam nash (al-Qur’an dan
hadits) dengan hukum persoalan yang dijelaskan dalam nash karena dua
persoalan tersebut mempunyai kesamaan ‘illah. Yang dimaksud dengan ‘illah
adalah sifat yang diduga menjadi sebab hukum yang ada pada persoalan yang
dijelaskan dalam nash .
Qiyas
merupakan metode penemuan hukum. Dalam metode ini terdapat 4 rukun (unsur
utama), yaitu:[5]
1)
Al-asl,
yaitu persoalan yang telah dijelaskan hukumnya dalam nash.
2)
Al-far’ yaitu
persoalan yang belum dijelaskan hukumnya dalam nash dan hendak dicari
hukumnya.
3)
Hukm al-asl,
yaitu hukum persoalan yang jelah dijelaskan dalam nash.
4)
‘al-‘illah, yaitu
sifat yang ada pada al-asl dan al-far’
Sebagai contoh, Al-Quran telah menjelaskan hukum khamr
, yaitu haram dikonsumsi. Bagaimana dengan mengkonsumsi bir? ‘illah diharamkannya
khamr adalah membukkan. Ketika ‘illah ini ada pada bir, maka
dapat ditetapkan bahwa hukum bir adalah haram berdasarkan qiyas pada khamr.
Kedudukan qiyas sebagai dalil hukum didasarkan pada
Al-Quran dan hadis. Fiman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 59
“hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya, dan ulul amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia pada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah-Nya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ada pula sebuah riwayat
sebagai berikut, “dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah
saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Maka beliau bertanya, “bagaimana engkau akan
memutus perkara?” Mu’adz menjawab, “aku akan memutus berdasarkan kitab Allah.”
Nabi bertanya, “jika tidak ada dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “maka
berdasarkan sunnah Rasulullah.” Nabi bertanya, “jika tidak ada dalam sunnah
Rasulullah?” Mu’adz menjawab, “aku akan berijtihad dengan pikiranku.” Nabi bersabda
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah
saw.”
B.
Sumber Hukum
yang tidak di Sepakati (Mukhtalafun ‘alaiha)
1.
Istihsan
Istihsan secara harfiah berarti menganggap
sesuatu lebih disukai. Dalam pengertian yuristiknya, istihsan adalah metode
untuk menggunakan pendapat pribadi untuk menghindari segala bentuk kekerasan
dan ketidakadilan yang mungkin timbul dari penerapan hukum secara harafiah.
Dengan kata lain, itu adalah penyimpangan, pada masalah tertentu, dari aturan ulama
terhadap aturan lain untuk alasan hukum yang lebih relevan yang memerlukan
penyimpangan seperti itu. Definisi berbeda berikut juga telah diberikan oleh
ahli hukum untuk istihsan:[6]
a)
Menerbitkan vonis oleh ahli hukum
hanya karena tampaknya baikbaik saja baginya.
b)
Argumen dalam pikiran jurispruden
yang dia tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.
c)
Mengganti argumen untuk fakta yang
diterima untuk kepentingan rakyat.
d)
Al-Bazdawi, ahli fiqih mazhab
Hanafi, menyatakan bahwa istihsan adalah berpindah dari qiyas biasa ke qiyas
berdasarkan dalil yang lebih kuat.
e)
Golongan maliki, salah satunya Ibnu
al-Araby mendefinisikan istihsān sebagai berikut yang artinya: “Mendahulukan
ditinggalkannya tuntutan dalil, menurut jalan pengecualian (istisna) dan
keringanan karena bertentangannya di dalam sebagian yang dituntutnya”.
Sebagai
sumber penting dari hukum dan jurispraktat Islam udence Istihsan adalah bagian
integral dari Syari'ah, karena itu telah memainkan peran penting dalam adaptasi
hukum Islam dengan perubahan kebutuhan masyarakat.
2.
Maslahah Mursalah
Maslahah
mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah.
Kata maslahah menurut bahasa berarti manfaat, dan kata mursalah berarti lepas.
Dari dua kata tersebut maslahah mursalah menurut istilah sesuatu yang dianggap
,maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak
pula ada dalil tertentu baik yang mendukung mauoun yang menolaknya sehingga
disebut maslahah mursalah (maslahah yang lepas dari dalil secara khusus).[7]
Para
ulama sepakat bahwa maslahah mursala tidak sah menjadi landasan hukum dalam
bidang ibadah, karena harus diamalkan sebagaimana adanya yang diwariskan oleh
Rasulullah. Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalat. Kalangan Zairiyah,
sebagian dari kalangan Syafiiyah dan Hanafiyah tidak mengakui maslahah mursalah
sebagai landasan pembentukan hukum. Sedangkan kalangan Maalikiyah dan Hanabilah
serta sebagian dari kalangan Syafiiyah berpendapat bahwa maslahah mursalah
secara sah dapat dijadikan landasan penetapan hukum.
Macam-macam
maslahah mursalah, menurut Abdul Karin Zaidan antara lain:
1.
al-maslahah al-mu’tabarah, yaitu
maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan
ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya.
2.
al-maslahah al-Mulgah, yaitu sesuatu
yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena
kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syariat.
3.
al-maslahah al-Mursalah. Maslahat
macam ini terdapat dalam masalah-masalah muamalah yang tidak ada ketegasan
hukumnya dan tidak pula ada bandingannya dalam Al-Quran dan sunnah untuk dapat
dilakukan analogi.
Syarat-syarat memfungsikan Maslahah
Mursalah menurut Abdul Wahab Khallaf, yaitu:
1.
Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah
berupa maslahat hakiki, yaitu yang benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan
atau menolak kemudharatan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya
mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang
ditimbulkannya
2.
Sesuatu yang dianggap maslahat itu
hendaklah berupa kepentingan umum, bukan dalam kasus kepentingan pribadi
3.
Sesuatu yang dianggap maslahat itu
tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada ketegasannya dalam Al-Qur’an dan
sunnah, atau ijma’
3. ‘Urf
‘Urf secara bahasa adalah sesuatu
kebiasaan yang dilakukan. Menurut istilah yaitu apa yang dikenal manusia dan
berlaku padanya, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu.[8]
Banyak ulama fikih mengartikan ‘urf sebagai kebiasaan yang dilakukan namyak
orang (kelompok) dan timbul dari kreatifitas atau imajinatif dalam
membangun nilai-nilai budaya. Disamping
itu, baik dan buruknya kebiasaan tidak menjadi persoalan yang begitu urgent
asalkan dilakukan secara kolektif, maka kebiasaan yang seperti ini termasuk
kategori ‘urf.[9]
Mazhab yang dikenal banyak
menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan
Malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabillah dan kalangan Syafiiyah.
Menurut Al-Tayyib Khudari Al-Sayyid mazhab besar fikih sepakat menerima adat
istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan
riciannya terdapat perbedaan sehingga ‘urf dimasukkan dalam kelompok dalil yang
diperselisihkan dikalangan ulama.
Macam-macam ‘urf menurut Abdul Karim
Zaidan adalah:
1.
Al-‘Urf al-‘Am (adat kebiasaan umum), adalah yang berlaku untuk semua negeri
dalam suatu perkara. Contohnya ungkapan “engkau telah haram aku gauli”
kepada istrinya sebagai ungkapan untuk menjatuhkan talak, kebiasaan menyewa
kamar mandi umum dengan sewa tertentu tanpa menentukan secara pasti berapa
lamanya mandi dan berapa kadar air yang digunakan.
2.
Al-‘Urf al-Khas
(adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku pada
masyarakat atau negeri tertentu. Contohnya kebiasaan masyarakat Irak
menggunakan kata al-dabbah hanya kepada kuda.
‘Urf
dari aspek diperhitungkan atau tidak diperhitungkan sebagai landasan hukum
antara lain:
1.
‘Urf yang tidak baik (fasid) yaitu
sesuatu yang dibiasakan oleh orang-orang tetapi menyalahi syara’ atau menghalalkan
yang haram atau membatalkan yang wajib.
2.
‘Urf yang baik (shahih) yaitu ‘urf
yang dibiasakan oleh orang-orang dan tidak bertentengan dengan dalil syar’i
tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkam dan tidak membatalkan yang wajib.
Syarat-syarat yang
harus ada pada ‘urf agar dapat dijadikan sebagai rujukan ijtihad:
1.
Tidak bertentangan dengan nash yang
qath’I, harus berlaku umum, tidak bagi orang per orang.
2.
Harus sudah berlaku sebelum
penetapan hukum yang didasarkan pada ‘urf.
3.
Tidak ada dalil yang khusus untuk
kasus tersebut dalam Al-Quran atau hadis.
4.
Tidak mengakibatkan
dikesampingkannya nash syar’I dan tidak mengakibatkan kemudhorotan juga
kesempitan.
4. Istishab
Istishab secara lughawi artinya selalu menemani atau selalu
menyertai.[10]
Sedangkan Imam Ibnu Al-Subki mendefinisikan istishab sebagai
menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama
karena tidak ditemukan dalil yang merubahnya.
Macam-macam istishab menurut Muhammad Abu Zahra, antara lain:
1.
Istishab
al-Ibahah al-ashliyah yaitu istishab
yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah (boleh). Istishab
semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalat.
2.
Istishab
al-baraah al-ashliyahi yaitu istishab
yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari
tuntutan beban taklif samapi ada dalil yang mengubah statusnya, dan bebas dari
kesalahan sampai ada bukti yang mengibah statusnya.
3.
Istishab
al-hukm, yaitu istishab yang didasarkan atas
tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.
4.
Istishab
al-wasf, yaitu istishab yang didasarkan atas
anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti
yang mengubahnya.
Para ulama
sepakat bahwa tiga macam istishab (Istishab al-Ibahah al-ashliyah,
Istishab al-baraah al-ashliyahi, Istishab al-hukm) sah dijadikan sebagai
landasan hukum. Mereka berbeda pendapat pada istishab al-wasf, dalam hal ini ada dua pendapat:[11]
1)
Kalangan Hanabilah dan Syafiiyah,
berpendapat bahwa istishab al-wasf dapat dijadikan landasan secara penuh
baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang
sudah ada.
2)
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyyah
berpendapat bahwa istishab al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan
haknya yang udah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru.
5.
Syar’u Man
Qablana
Syar’u secara etimologi berarti mengalir.
Sedangkan syar’u man qablana adalah hukum-hukum allah yang dibawa oleh
para Nabi atau Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. dan berlaku untuk umat mereka
pada zaman itu.
Yang
dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syariat atau
ajaran-ajaran Nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti
syariat Nabi Ibrahim, nabi Musa, dan Nabi isa. Apakakah syariatt-syariat yang
diturunkan kepada mereka yang diinformasikan dalam Al-Qur’an dan hadits SAW.
berlaku pula bagi umat nabi Muhammad SAW? para ulama sepakat bahwa syariat para
Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah,
tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena kedatangan syariat Islam telah
mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu.[12]
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat Nabi terdahulu yang
tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih
berlaku bagi umat Isalm dan tidak pula ada penjelasan yang membatalkannya.
Misalnya persoalan hukum Qishas (hukum setimpal) dalam syariat Nabi Musa
yang diceritakan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 45.
Menurut
kalangan Hanfiyah, malikiyah, mayoritas kalangan Syafi’iyah, dan salah satu
riwayat dari Ahmad bin Hambal, hukum-hukum seperti itu berlaku bagi umat Islam.
Dengan alasan sebagai berikut:
1.
Pada dasarnya syariat itu adalah
satu karena datang dari Allah. Oleh karena itu, apa yang disyariatkan kepada
para Nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad
SAW. hal ini didasarkan dalam firman Allah surat As-Syura ayat 13
2.
Terdapat beberapa ayat yang menyuruh
mengikuti para Nabi terdahulu, anatar lain firman Allah surat An-Nahl ayat 123
dan surah Al-An’am ayat 90
Sedangkan menurut para ulama
Muktazilah, Syi’ah, sebagian kalangan Syafiiyah, dan salah satu pendapat Imam
Ahmad bin Hambal, syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-Qur’an tidak
menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad Saw.. kecuali ada ketegasan untuk itu.
Diantara alasan mereka:
1.
Firman Allah surat Al-Ma’idah ayat
48 yang menunjukkan bahwa setiap umat itu mempunyai syariat tersendiri. Itu
berarti, syariat Nabi terdahulu tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad SAW.
2.
Dalam dialog antara Nabi SAW. dengan
Mu’az bin jabal tentang cara Mu’az menyelesaikan perkara tidak menemukan
jawaban dalam Al-Qur’an dan sunnah, Mu’az mengatakan bahwa ia akan menggunakan
ijtihad dengan akal pikirnya. Dia tidak menyinggung untuk mengambil ketentuan
dari syariat sebelumya
6.
Sadd
Al-Dzari’ah
Secara
bahasa sad al-dzari’ah berarti menutup jalan yang menutup suatu tujuan.
Sedangkan menurut istilah adalah menutup jalan yang mengantarkan kepada
kebinasaan atau kejahatan.
Sadd al-dzari’ah merupakan
prinsip hukum yang bersifat preventif. Perbuatan yang pada dasarnya mubah
dipandang haram atau makruh karena berpotensi menyebabkan seseorang melakukan
perbuatan yang menimbulkan madlarat. Karena itu sad al-dzari’ah bisa
disebut sebagai perpanjangan tangan dari maslahah mursalah, yaitu
mencegah kemadlaratan.
Mengenai
kehujjahannya, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal menjadikannya sebagai salah
satu dalil hukum. Sedangkan Imam Syafii, Imam Abu hanifah, dan Madzhab Syi’ah
menerapkannya pada kondisi tertentu. Adapun madzab Zahiri menolak sad
al-dzari’ah sama sekali.
Perbuatan-perbuatan
yang menjadi jalan kepada kerusakan terbagi kepada dua macam, yaitu:[13]
Pertama, perbuatan yang keharamannya bukan
saja karena ia sebagai jalan bagi sesuatu yang diharamkan, melainkan esensi
perbuatan itu adalah haram. Karena itu keharaman perbuatan seperti itu tidak
termasuk dalam pembahasan sad al-dzari’ah.
Kedua, perbuatan yang secara esensial
dibolehkan (mubah) namum perbuatan itu berpotensi menimbulkan atau menjadi
jalan kepada sesuatu yang diharamkan. Perbuatan ini termasuk dalam pembahasan sad
al-dzari’ah, dan terbagi menjadi:
1.
Perbuatan itu dapat dipastikan akan
mengakibatkan kebinasaan.
2.
Perbuatan itu mengandung
kemungkinan, meskipun kecil, membawa kepada sesuatu yang dilarang
3.
Perbuatan itu kemungkinannnya akan
mengantarkan kepada kemudlaratan lebih besar dari pada kemaslahatan.
7.
Qawl Shahabi
Qawl
shahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana
hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan
yang dimaksud dengan sahabat rasulullah adalah setiap orang muslim yang hidup
bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari
Rasulullah. Seperti Umar bin Khattab, Abdullah bun Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ali
bin Abi Thalib. Mereka ini adalah diantara para sahabat yang berfatwa tentang
hukum Islam.[14]
Pendapat
sahabat tidak menjadi hujjah atas
sahabat lainnya, hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan
ialah apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atas tabiin dan orang-orang setelah tabiin.
Dalam hal ini ulama memiliki tiga pendapat, diantaranya adalah:[15]
1.
Menurut Imam Maliki, Abu Bakar ar-Razi,
Abu Said, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dalam mazhab Qadimnya, Imam Ahmad bin
Hanbal berpendapat bahwa mazhab sahabat (qaul shahabi) dapat menjadi hujjah.
Hal ini berdasar pada QS. Ali Imran ayat 110. Ayat ini menganjurkan ma’ruf kepada
para sahabat, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib. Karena itu pendapat para sahabat
wajib diterima.
2.
Menurut jumhur Asya’iyyah dan
mu’tazilah, Imam Syafii dalam mazhabnya yang jadid (baru) dan Abu Hasan
al-Kharha dari golongan Hanafiyah mengatakan bahwa mazhab sahabat secara mutlak
tidak dapat menjadi hujjah atau
dasar hukum. Hal ini berdasar pada Surah Al-Hasyr ayat 2 dimana Allah
menganjurkan kepada orang-orang yang memiliki pandangan atau pikiran untuk
mengambil I’tibar (pelajaran). Yang dimaksud I’tibar dalam ayat
tersebut ialah qiyas dan ijtihad sedangkan dalam hal mujtahid sama
saja dengan sahabat atau buian sahabat.
3.
Ulama Hanafiyah , Imam Malik, qaul
qadim Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa pendapat
sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan
qiyas maka pendapat sahabat didahulukan. Hal ini berdasar pada surat At-Taubah
ayat 100.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa macam-macam dalil hukum
atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu hukum sangat
beragam. Dalil-dalil hukum tersebut oleh jumhur ulama ada yang menjadikan
sebagai sumber hukum, dan ada yang tidak.
Dalam pemberlakuan syariat, Allah SWT. mempunyai tujuan tertentu
yaitu kemaslahatan manusia dalam arti bahwa umat manusia dapat memperoleh
kemaslahatannya di dunia dan di akhirat dengan pelaksanaan syariat itu. Dalam
hal ini Allah memang memiliki tujuan atas pemberlakuan hukum terhadap
keseluruhan dari dalil syariat, dan Allah memiliki tujuan terbaik bagi manusia.
Dari sumber hukum baik yang telah di sepakati maupun yang masih di
perselisihkan tersebut merupakan ciri khas dalam pengambilan sumber hukum yang
bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara pandang atau metode
yang berbeda-beda sesuai dengan pemahaman dan dalilnya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu kisdiyanti,
Adinda. 2020. pendekatan teologis dalam memahami maksud syariat dan hukum
yang tidak disepakati. Kudus. Jurnal IAIN Kudus.
Masfuful Fuad,
Ahmad. 2016. Qiyas Sebagai Salah Satu Metode Istinbat Al Hukm. Jurnal
Pemikiran Hukum Islam.
Syarufuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta. Kencana.
Zainuddin,
Faiz. 2015. Konsep Islam Tentang Adat: Telaah Adat dan ‘Urf Sebagai Sumber
Hukum Islam.
Jumantoro, Totok. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta.
Amzah.
Umam, Khairul. 2000. Ushul Fiqih. Bandung. Pustaka Setia.
Aibak,
Kutbuddin. 2014. Otoritas dalam hukum islam (Telaah Pemikiran Khaled M. Abou
El Fadl). Yogyajarta. UIN Sunan Kalijaga.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta. Prenada media.
Nazar bakry, Sidi. 2003. Fiqh dan Ushul fiqh. Jakarta. Pt.
Raja Grafindo persada.
Lis Sulistiani,
Siska. 2018. Perbandingan Sumber Hukum islam. Jurnal Peradaban dan Hukum
Islam.
[1] Kutbuddin Aibak, “Otoritas
dalam hukum islam (Telaah Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl)”. (Yogyajarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2014). Hlm. 94
[2] Siska Lis Sulistiani,
“Perbandingan Sumber Hukum islam”, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol. 1 no.
1 (Maret , 2018), hlm. 105
[3] Siska Lis Sulistiani,
“Perbandingan Sumber Hukum islam”, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol. 1 no.
1 (Maret , 2018), hlm. 111
[4] Satria Effendi,
Ushul Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm 129.
[5] Ahmad Masfuful
Fuad, “Qiyas Sebagai Salah Satu Metode Istinbat Al-Hukm”, Jurnal Pemikiran
Hukum Islam, Vol. XV, No. 1 (Juni, 2016), hlm.
4-8.
[6] Adinda ayu
kisdiyanti, pendekatan teologis dalam memahami maksud syariat dan hukum yang
tidak disepakati, (Kudus: Jurnal IAIN Kudus, 2020), hlm. 8-9.
[7]Satria effendi,
ushul fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm
142-143
[8] Totok
Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 1.
[9] Faiz
Zainuddin, “Konsep Islam Tentang Adat: Telaah Adat dan ‘Urf Sebagai Sumber
Hukum Islam”, Vol. 9 No. 2 (Desember, 2015), hlm. 5.
[10] Amir
Syarufuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 364.
[11]
Satria effendi,
ushul fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm 162.
[12] Sidi Nazar
bakry, Fiqh dan Ushul fiqh, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 379
[13] Satria
effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 172
[14] Satria
effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 169
[15] Khairul Umam,
dkk, Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 182.