KAJIAN EPISTIMOLOGI TERHADAP HUKUM ISLAM DAN SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

 

KAJIAN EPISTIMOLOGI TERHADAP HUKUM ISLAM DAN
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Selama ini ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh panca indera manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasan-kebiasan masyarakat. Sementara itu, pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum tersebut luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma (kaidah) hukum tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia lain (sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum. Untuk lebih dapat mengenal dan mempelejari hukum secara tepat, perlu adanya sebuah pembelajaran tentang hukum secara fisofofis. Dengan cara berpikir secara filsafat kita dapat mengetahui tentang inti atau dasar dari dibentuknya hukum. Salah satu cabang ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis adalah Filsafat hukum. Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil, benar, dan sah.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa maksud epistimologi hukum islam?

2.      Apa saja sumber-sumber hukum islam?

C.     Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui epistimologi hukum islam.

2.      Untuk mengetahui apa saja sumber-sumber hukum islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Epistimologi Hukum Islam

Hukum yang berasal dari bahasa Arab Al Hukmu itu mempunyai arti Al Itsbaat, sama dengan Al Qadla artinya keputusan. Dengan mudah kita mengetahui bahwa pengertian demikian adalah pengertian dari segi pandangan peradilan, sebagai produk qadli yang mengeluarkan peraturan berkenaan dengan adanya masalah yang harus diselesaikan. Hukum dapat juga berarti Fiqh Islam yang dalam kedudukannya dalam ilmn pokok. Keislaman menjadi bagian dari Syariah dalam arti luas.

Episteme berarti pengetahuan dan epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Epistemologi berarti : ilmu filsafat tentang pengetahuan atau pendek kata, filsafat pengetahuan.

Epistemologi Islam adalah filsafat hukum yang menganalisis hukum Islam secara metodologis dan sistematis, sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan pendekatan filsafat sebagai alatnya. Oleh karenanya tidak salah pula, bagi sebagian kalangan, Epistemologi Islam seringkali disebut sebagai Filsafat hukum Islam.

Ilmu-ilmu keIslaman sejak awal penyebaran agama ini mengalami dinamika yang progresif. Diantara indikator dinamika ilmu-ilmu Islam dalam konteks kekinian adalah berkembangnya berbagai disiplin keilmuan Islam yang oleh Harun Nasution dikelompokkan sebagai ilmu dasar yakni seperti ilmu tafsir, ilmu tasawuf, ilmu kalam, filsafat Islam, ilmu Hadith, dan juga ilmu-ilmu cabang, yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan muslim sejak zaman klasik sampai sekarang. Bahkan secara inklusif ilmuilmu keislaman tidak hanya terbatas pada satu rumpun ilmu saja, tetapi semua ilmu yang berkembang dewasa ini.[1]

Untuk lebih dapat mengenal dan mempelejari hukum secara tepat, perlu adanya sebuah pembelajaran tentang hukum secara fisofofis. Dengan cara berpikir secara filsafat kita dapat mengetahui tentang inti atau dasar dari dibentuknya hukum. Salah satu cabang ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis adalah Filsafat hukum. Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil, benar, dan sah.

Filsafat hukum sangat penting untuk diketahui dan dipelajari karena relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu.[2]

B.  SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM

            Sumber-sumber hukum Islam maksudnya adalah pijakan umat Islam dalam menentukan hukum atau norma-norma yang mengatur tatanan kehidupan. Pada dasarnya hukum Islam itu bersumber dari al-Qur’an, selanjutnya diperjelas secara lebih detail melalui sunnah atau hadis Nabi Muhammad. Wahyu yang termuat dalam al-Qur’an, menetapkan n norma-norma dan konsep-konsep dasar hukum Islam yang sekaligus merombak norma atau aturan yang sudah menjadi  tradisi di tengah-tengah masyarakat apabila tidak sesuai. Walaupun demikian, hukum Islam juga mengakomodasi berbagai tradisi yang tidak berlawanan dengan norma-nomra ketentuan dalam wahyu Ilahi tersebut. [3]

            Berikut akan dijelaskan secara mendasar tentang sumber hukum Islam yakni al-Qur’an, Hadis dan Ijma’.

A.    Al-Qur’an

1.       Pengertian al-Qur’an

            Secara bahasa, al-Qur’an merupakan bahasa Arab artinya "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Term al-Qur’an adalah bentuk kata benda dari kata kerja qara'a yang memiliki arti  membaca. Hal ini sejalan dengan pendapat Subhi Al-Salih bahwa al- Muannif Ridwan, M. Hasbi Umar dan Abdul Ghafar. Qur’an itu artinya “bacaan”, asal kata “qara‟a”. Kata al-Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf‟ul yaitu maqru‟ (dibaca) Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah  satu surat al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah AlQiyamah yang menjelaskan bahwa Allah telah mengumpulkan alQur’an di dada Muhammad dan menjadikan Nabi pandai membacanya.

            Secara terminologi, al-Qur’an diartikan sebagai kalam Allah diturunkan pada Muhammad SAW, dari surat al-Fatihah dan berakhir dengan an-Nas. menjelaskan bahwa al-Qur’an ialah kalam Allah yang diterima Nabi Muhammad, ditulis di mushaf dan diriwayatkan secara serta membacanya merupakan ibadah. Berdasarkan penjelasan definisi di atas, dapat sebutkan bahwa kalam Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. saja yang disebut al-Qur’an. Kalam Allah SWT. yang diturunkan Rasul lainnya bukanlah al-Qur’an, tetapi ia memiliki nama tersendiri diantaranya kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa AS. atau Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa AS.

2.      Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum

Al-Qur’an diturunkan menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mencapai kebgaian dunia dan akhirat. Tidak diturunkan untuk satu umat dalam satu abad saja, tetapi untuk seluruh umat dan untuk sepanjang masa, karena itu luas ajaran-ajarannya adalah melingkupi seluruh umat manusia. Al-Qur’an dijadikan sumber hukum Islam mengindikasikan bahwa agama Islam menghendaki agar sifat-sifat yang termaktub dalam ajaran dan ketentuan yang mengatur perilaku manusia dalam al-Qur’an diterapkan dalam waktu dan kondisi yang tepat. Misalnya dikehendaki keutamaan sifat pemaaf, tetapi juga diwaktu tertentu dikehendaki pula ketentuan hukum dilaksanakan dengan tegas

. Sifat pemberi maaf, tidak menggampangkan tindak kejahatan mudah dilakukan tetapi menghendaki manusia agar bersifat jujur dan berani menerangkan yang benar. Al-Qur’an menghendaki manusia agar selalu berbuat baik, sekalipun terhadap orang yang pernah berbuat kepadanya. Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk tetap suci, tetapi tidak dikebiri. Manusia harus berbakti kepada Allah ta’ala, tetapi tidaklah menjadi rahib atau pertapa. Manuasia harus berendah hati, tetapi jangan melupakan harga diri. Manusia dapat menggunakan hal-haknya, tanpa mengganggu hak-hak orang lain.  Manusia diwajibkan mendakwahkan agama dengan jalan hikmah dan kebijaksanaan. 

Al-Qur’an kedudukannya sebagai sumber hukum Islam sebagian besar bersifat umum, walaupun demikian juga sudah ada yang bersifat mendetail. Secara garis besar penjelasan hukum oleh al- Muannif Ridwan, M. Hasbi Umar dan Abdul Ghafar. Qur’an terdiri dari tiga cara, yaitu ijmali, tafshili, dan isyarah Zamakhsyari, 2019). Berikut uraian singkatnya:

a. Ijmali

Penjelasan al-Qur’an masih bersifat umum, dan diperjelas rinciannya dengan sunnah. Seperti perintah untuk melaksanakan shalat, perintah bayar zakat, menjelaskan lafadz belum jelas  maknanya. Firman Allah tentang “Dirikanlah shalat”, tidak baik tentang tata caranya maupun waktu pengerjaannya. Sehingga dijelaskan dengan Sunnah Nabi, “Shalatlah  sebagaimana kalian melihat aku shalat”.[4]

b. Isyarah

Penjelasan al-Qur’an hanya sebatas pokok hukum saja, baik isyarat maupun berupa ungkapan langsung. Peran sunnah sebagai  penjelas hukum yang termuat dalam pokok bahasan itu secara lebih detail.

c. Tafshili

Al-Qur’an menerangkan hukum dengan rinci diikuti penjelasan secara detail. Di sini sunnah merupakan penguat untuk penjelasan al-Qur’an itu. Misalnya hukum tentang waris, tata cara dan hitunghitngan dalam thalaq, berkaitan dengan mahram, tata cara li’an dan penetapan hukuman dalam kasus pidana hudud. Zamakhsyari (2019), menyebutkan lima bagian kandungan hukum dalam al-Qur’an secara umum, diantaranya:

a.       al-Ahkam al-I‟tiqadiyyah: hukum berorientasi pada keimanan dan keyakinan).

b.      al-Ahkam al-Khuluqiyah: hukum berkaitan dengan akhlak.

c.       al-Ahkam al-Kauniyah: hukum berkaitan dengan alam semesta.

d.      al-Ahkam al-„Ibariyah: hukum berkaitan dengan kejadian masa lalu dan dapat   menjadi ibrah.

e.       al-Ahkam al-Syar‟iyyah al-Amaliyyah: hukum-hukum yang mengatur tentang perilaku, perkataan mukallaf yang ditimbang dengan neraca syari’ah.

Berdasarkan pembagian Zamakhsyari tersebut, sebetulnya mempunyai nilai muatan sama, hanya menurutnya terdapat sedikit perbedaan penjelasan. Berkaitan al-Ahkam al-Kauniyah, topik yang utama hukumnya yaitu ayat tentang alam dimana banyak memuat  isyarat ilmiah mejadi bukti bagi manusia tentang kebenaran alQur’an. Al-Ahkam al-Ibariyah, topik pembahasannya berkaitan kisah  dari umat terdahulu. Hukum ini tujuannya supaya manusia mengambil sebagai pelajaran hidup dari kejadian umat terdahulu. Pelajaran baik sepatutnya dapat menjadi contoh untuk kehidupan manusia sehari-hari supaya mendapat ganjaran baik dari Sang Penguasa. Tetapi jika kemadharatan yang menyebabkan kemurkaan, sudah seharusnya dijauhi dan kejadian sama tak terulang lagi masa sekarang.

B.     Hadis

1.      Pengertian Hadits

Hadits ialah suatu perkataan atau berita. Hadits ialah suatu perkataan, informasi dari Rasulullah SAW. Sedangkan al-Sunnah merupakan jalan hidup yang dilewati atau di jalani atau suatu yang telah dibiasakan. Sunnah Rasul ialah yang biasa dijalankan dalam kebiasaan hidup Rasulullah berupa seperti perkataan dan perbuatan serta persetujuan Rasul. Hal ini senada dengan pendapat Musthafa ash-Shiba’i bahwa kata sunah artinya jalan terpuji. Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik, atau akhlaq yang ditinggalkan Rasul, serta perilaku kehidupan baik sebelum diangkat menjadi Rasul (seperti mengasingkan diri yang beliau lakukan di Gua Hira’) atau setelah kerasulan beliau. Adapun menurut “Ulama’ Fiqh”, Sunnah merupakan segala sesuatu yang datang dari Nabi yang bukan  fardlu dan tidak wajib (ash-Shiba’i, tt).

2.      Hadits Sebagai Sumber Hukum

Hadits atau Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua memiliki peranan yang penting setelah al-Qur’an. Hadits merinci keumuman paparan ayat-ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan. Hadits juga berfungsi antara lain menjadi penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang belum jelas atau menjadi penentu hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an. [5]

Adapun al-Sunnah dibagi dalam empat macam, yakni:

1.      Sunnah Qauliyah ialah segala perkataan Rasulullah

2.      Sunnah Fi‟liyah ialah semua perbuatan Rasulullah

3.      Sunnah Taqririyah ialah penetapan dan pengakuan dari Nabi terhadap pernyataan maupun perbuatan orang lain.

4.      Sunnah Hammiyah ialah sesuatu yang sudah direncanakan untuk dikerjakan tetapi tidak sampai dikerjakan.

Hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam memiliki fungsi sebagai berikut:

1.        Menegaskan atau menjelaskan lebih jauh ketentuan yang dijelaskan dalam al-Qur’an.   Contohnya dalam al-Qur’an menjelaskan ayat berkaitan dengan shalat tetapi tata cara dalam pelaksanaanya diuraikan dalam Sunnah.

2.        Sebagai penjelas dari isi al-Qur’an. Dalam al-Qur’an manusia diperintahkan oleh Allah mendirikan shalat. Namun tidak  dijelaskan tentang jumlah raka’at, cara pelaksanaannya, rukun, dan syarat dalam mendirikan shalat. Maka fungsi Sunnah menjelaskan dan memberikan contoh jumlah raka’at dalam setiap shalat, cara dan rukun sampai pada syarat syah mendirikan shalat.

3.        Menambahkan atau mengembangkan suatu yang tak ada atau masih samar-samar mengenai ketentuannya dalam al-Qur’an. Misalnya larangan Nabi untuk mengawini seorang perempuan dengan bibinya.  Larangan sebagian itu tidak ada dalam alQur’an. Tetapi jika dilihat hikmah dari larangannya jelas bahwa mencegah rusaknya bahkan terputusnya hubungan silaturahim kerabat dekat yang merupakan perbuatan tak disukai dalam agama Islam. Pada prinsipnya posisi hadits terhadap al-Qur’an berfungsi sebagai penjelas, penafsir, dan perinci terhadap hal-hal yang masih bersifat global. Namun demikian, hadits juga bisa membentuk hukum mengenai hal yang tidak ada dalam al-Qur’an.

C.     Ijma’

1.    Pengertian Ijma’

Ijma‟ merupakan kesepakatan dari seluruh ulama mujtahid tentang suatu hukum syara’ mengenai satu kasus setelah Rasulullah wafat (Djazuli dan Aen, 2000). Ijma’ ulama menjadi sangat penting dalam menghadapi permasalahan kehidupan umat Islam dalam perkembangan yang sangat pesat dewasa ini. Meski demikian, Ijma’ ulama tidaklah mudah untuk dilakukan, sebab terdapat persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain:

a.    Terdapat perwakilan ulama-ulama mujtahid dari segenap perwakilan umat Islam di seluruh negara untuk berkumpul atau saling berkomunikasi membahas suatu permasalahan baru yang tidak bisa ditemukan kejelasannya baik dalam alQur’an maupun al-Sunnah.

b.    Para ulama mujtahid itu bersepakat untuk memutuskan hukum dibahas secara bersama-sama, sehingga keputusan itu merupakan keputusan dari seluruh ulama Islam di seluruh negara.

c.    Kesepakatan pendapat tersebut harus nyata, baik melalui perbuatan maupun fatwanya, sebab terdapat kemungkinan ada diantara ulama mujtahid yang diam, yang mengakibatkan perbedaan dalam nilai ijma’ sukuti atau diam.

d.    Kebulatan pendapat yang bukan ulama mujtahid tidak disebut ijma’ ulama, demikian pula kebulatan pendapat hanya mencakup sebagian besar ulama mujtahid, bukan ijma’ ulama (Rozak dan Ja’far, 2019).

2.    Ijma’ sebagai Sumber Hukum

Merupakan suatu keharusan ketaatan bagi umat Islam terhadap hasil Ijma’ ulama pada suatu masalah, dan hukumnya wajib taat. Hukum dalam permasalahan yang telah diputuskan dalam ijma’ tersebut memiliki nilai qath‟iy tidak dapat dihapus ataupun ditentang oleh hasil ijtihad contohnya, sebab kesepakatan pendapat dari para mujtahid dalam ijma’ itu sudah menunjukkan kebenaran yang sesuai dengan jiwa Syari’ah dan dasar-dasar yang umum. Sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa hasil ijtihad juga sebagai sumber hukum. Hasil ijtihad para ulama bisa dijadikan rujukan untuk menetapkan keputusan hukum, sehingga dalam Islam hasil ijtihad menjadi salah satu sumber hukum.[6]  Adapun ijtihad tersebut berfungsi sebagai metode dalam penerapan hukum. Manakala terdapat permasalahan hukum umat Islam sedangkan nash yang menunjukkan kasahihannya tidak ditemukan, sehingga para ulama berpendapat bahwa mereka boleh melakukan ijtihad menetapkan hukum itu demi kemaslahatan kehidupan umat. Dalil nash dari al-Qur’an yang menerangkan bahwa ijma’ juga dapat dijadukan sebagai sumber hukum Islam diantaranya dijelaskan dalam Surat An-Nisa (4) ayat 59, An-Nisa ayat 83 dan An-Nisa ayat 115. Di samping ayat al-Qur’an, juga dijelaskan dalam hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa kesepakatan yang akan dilakukan oleh umat Islam tentu dalam hal kebaikan, tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Epistemologi Islam adalah filsafat hukum yang menganalisis hukum Islam secara metodologis dan sistematis, sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan pendekatan filsafat sebagai alatnya. Epistemologi Islam seringkali disebut sebagai Filsafat hukum Islam. Dengan cara berpikir secara filsafat kita dapat mengetahui tentang inti atau dasar dari dibentuknya hukum.

Sumber-sumber hukum Islam maksudnya adalah pijakan umat Islam dalam menentukan hukum atau norma-norma yang mengatur  tatanan kehidupan. Sumber-sumber hukum islam tersebut diantaranya al-quran, hadis, dan ijma’.

Al-Qur’an kedudukannya didalam sumber hukum Islam sebagian besar bersifat umum,  hukum dalam al-Qur’an secara umum, diantaranya: al-Ahkam al-I‟tiqadiyyah: hukum berorientasi pada keimanan dan keyakinan), al-Ahkam al-Khuluqiyah: hukum berkaitan dengan akhlak, al-Ahkam al-Kauniyah: hukum berkaitan dengan alam semesta, al-Ahkam al-„Ibariyah: hukum berkaitan dengan kejadian masa lalu dan dapat   menjadi ibrah, al-Ahkam al-Syar‟iyyah al-Amaliyyah: hukum-hukum yang mengatur tentang perilaku, perkataan mukallaf yang ditimbang dengan neraca syari’ah.

Hadits atau Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua yang memiliki peranan penting setelah al-Qur’an. Hadits merinci keumuman paparan ayat-ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan, Hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam memiliki fungsi sebagai menegaskan atau menjelaskan lebih jauh ketentuan yang dijelaskan dalam al-Qur’an.   Contohnya dalam al-Qur’an menjelaskan ayat berkaitan dengan shalat tetapi tata cara dalam pelaksanaanya diuraikan dalam Sunnah, Sebagai penjelas dari isi al-Qur’an. Dalam al-Qur’an manusia diperintahkan oleh Allah mendirikan shalat. Namun tidak  dijelaskan tentang jumlah raka’at, cara pelaksanaannya, rukun, dan syarat dalam mendirikan shalat. Maka fungsi Sunnah menjelaskan dan memberikan contoh jumlah raka’at dalam setiap shalat, cara dan rukun sampai pada syarat syah mendirikan shalat, Menambahkan atau mengembangkan suatu yang tak ada atau masih samar-samar mengenai ketentuannya dalam al-Qur’an. Misalnya larangan Nabi untuk mengawini seorang perempuan dengan bibinya.

Ijma‟ merupakan kesepakatan dari seluruh ulama mujtahid  tentang suatu hukum syara’ mengenai satu kasus setelah Rasulullah  wafat, merupakan suatu keharusan ketaatan bagi umat Islam terhadap hasil Ijma’ ulama pada suatu masalah, dan hukumnya wajib taat.


DAFTAR PUSTAKA

       Harun Nasution. “Klasifikasi Ilmu Dan Tradisi Penelitian Islam:Sebuah Perspektif” Dalam Tradisi Baru Peneklitian Agama Islamtinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Jakarta: Nuansa, 2001), 21-36.

       Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 : 197 - 202

       Muanif ridwan dan M. Hasbi Umar,”sumber-sumber hukum islam da implementasinya”, Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2 Januari-Juni 2021,hal 33.

       Muanif ridwan dan M. Hasbi Umar,”sumber-sumber hukum islam da implementasinya”, Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2 Januari-Juni 2021,hal 34

       Muanif ridwan dan M. Hasbi Umar,”sumber-sumber hukum islam da implementasinya”, Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2 Januari-Juni 2021,hal 35

       Muanif ridwan dan M. Hasbi Umar,”sumber-sumber hukum islam da implementasinya”, Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2 Januari-Juni 2021,hal 37



[1] Harun Nasution. “Klasifikasi Ilmu Dan Tradisi Penelitian Islam:Sebuah Perspektif” Dalam Tradisi Baru Peneklitian Agama Islamtinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Jakarta: Nuansa, 2001), 21-36.

[2] Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 : 197 - 202

[3] Muanif ridwan dan M. Hasbi Umar,”sumber-sumber hukum islam da implementasinya”, Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2 Januari-Juni 2021,hal 33.

[4] Muanif ridwan dan M. Hasbi Umar,”sumber-sumber hukum islam da implementasinya”, Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2 Januari-Juni 2021,hal 34

[5] Muanif ridwan dan M. Hasbi Umar,”sumber-sumber hukum islam da implementasinya”, Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2 Januari-Juni 2021,hal 35

[6] Muanif ridwan dan M. Hasbi Umar,”sumber-sumber hukum islam da implementasinya”, Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2 Januari-Juni 2021,hal 37

Lebih baru Lebih lama