TINJAUAN FILOSOFIS TERHADAP HUKUM IBADAH II
FILSAFAT HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ibadah merupakan rangkaian ritual yang dilakukan manusia dalam
rangka pengabdian atau kepatuhan kepada Allah swt. Ibadah dalam Islam tidak hanya
terbatas pada hubungan manusia dengan Allah saja, melainkan
juga terdapat hubungan antara manusia dengan manusia lainnya serta antara
manusia dengan alam.
Ada dua pembagian ibadah dalam Islam, yaitu ibadah mahdlah dan
ghairu mahdhah. Ibadah mahdlah, yaitu ibadah yang berhubungan dengan penjalanan
syariat Islam yang terkandung dalam rukun Islam. Contoh ibadah mahdhah antara
lain sholat, zakat, puasa dan haji. Sementara ibadah ghairu mahdhah adalah
ibadah yang dilaksanakan umat Islam dalam hubungannya dengan sesama manusia dan
lingkungannya. Contoh
ibadah ghairu mahdhah adalah muamalah.
Ibadah puasa, zakat, dan haji merupakan
bentuk dari ibadah mahdhah. Ibadah puasa adalah ibadah yang dilakukan oleh
semua umat Islam ketika bulan Ramadhan. Sedangkan ibadah zakat adalah ibadah
yang dilakukan manusia ketika membagikan sedikit hartanya kepada orang yang
membutuhkan. Dan ibadah haji adalah ibadah yang dilakukan manusia disaat mampu
baik mampu secara finansial dan kondisi kesehatan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tinjauan filosofis terhadap hukum
puasa?
2. Bagaimana tinjauan filosofis terhadap hukum
zakat?
3. Bagaimana tinjauan filosofis terhadap hukum
haji?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui Tinjauan Filosofis terhadap
Hukum Puasa
2. Untuk mengetahui Tinjauan Filosofis terhadap
Hukum Zakat
3. Untuk mengetahui Tinjauan Filosofis terhadap
Hukum Haji
BAB II
PEMBAHASAN
A. Puasa
1.
Pengertian dan Historitas Puasa
Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan shoum (صوم) dan bentuk plural-nya
adalah shiyam (صيام). Secara bahasa, shoum
berarti al-imsak (الإمساك)
atau menahan diri. Dalam al-Qur’an, Allah swt menceritakan tentang puasa
sayyidah Maryam binti Imran yang menahan diri dari berbicara, dengan istilah shoum.
إِنِّى نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا
Artinya: Sesungguhnya
aku bernadzar kepada Allah untuk menahan diri dari berbicara. (Q.S Maryam:
26)
Sedangkan secara istilah puasa adalah menahan diri dari sesuatu
yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai
terbenamnya matahari dengan niat dan beberapa syarat.
Ada tiga fase pensyariatan puasa pada masa
Rasulullah saw. Tiga fase puasa tersebut terangkum dalam perkataan Muadz bin
Jabal ra yaitu:
a. Fase Pertama: Bi’tsah – Pra Tahun Kedua
Setelah Nabi Muhammad saw diutus menjadi rasul,
disyariatkan kepada beliau dalam bentuk syariat yang wajib untuk dilakukan oleh
beliau dan para sahabat, dua jenis puasa yaitu puasa ‘Asyura pada tanggal 10
Muharram dan puasa sebanyak tiga hari pada setiap bulannya. Dengan demikian,
dalam satu tahun setidaknya diwajibkan pada fase ini ibadah puasa selama 37
hari.
b. Fase Kedua: Tahun 2 Hijriyyah
Setelah turun perintah untuk berpuasa Ramadhan, lantas
Nabi saw memberikan pilihan kepada para sahabat antara yang ingin berpuasa
‘Asyura’ atau tidak. Dalam art, selain puasa Ramadhan, ditetapkan puasa lainnya
sebagai amalan sunnah. Hanya saja, perintah puasa Ramadhan masih bersifat
pilihan. Dimana, bagi yang mampu untuk berpuasa, masih diberi pilihan antara
berpuasa atau membayar fidyah.
c. Fase Ketiga: Tahun 2 Hijriyyah
Pada tahun ke 2 Hijriyyah, setelah turun Q.S
al-Baqarah: 185, lantas puasa Ramadhan diwajibkan bagi yang mampu. Dan bagi
yang tidak mampu, tetap dibolehkan untuk tidak berpuasa, dengan cara
menggantinya dengan membayar fidyah.
Di sisi lain, kesempitan tata cara berpuasa pada awal permulaan
diwajibkannya, seperti larangan untuk makan, minum, dan bersetubuh dengan istri
pada malam hari ketika telah mengerjakan sholat isya`, atau tertidur walaupun
belum melaksanakan sholat isya`, dihapus dengan turunnya ayat "Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu" (Q.S Al-Baqarah: 187).Ini tak lain karena Islam sama sekali tidak menginginkan kesempitan dan kesukaran pada pemeluknya.
2. Dasar Hukum Puasa
Bahwasanya puasa yang wajib hanyalah puasa Ramadhan.
Kewajiban puasa Ramadhan disyariatkan pada tanggal 10 Sya’ban di tahun keuda
setelah hijrah Nabi saw ke Madinah.
a. Al-Qur’an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ
عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Wahai
mereka yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa (Ramadhan) sebagaimana
diwajibkan kepada orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (Q.S
Al-Baqarah: 183)
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا
Artinya: “… Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,…” (Q.S
Al-Baqarah ayat 185)
Ayat itu menerangkan
bahwa orang yang berada di tempat dalam keadaan sehat, di waktu bulan ramadhan,
wajib dia berpuasa. Seluruh Ulama Islam sepakat menetapkan bahwasanya puasa,
salah satu rukun Islam yang ke lima, karena itu puasa di bulan ramadhan adalah
wajib dikerjakan.
b. Hadits
Sedangkan dasar puasa berdasarkan sunnah Nabi Saw
adalah sabda rasulullah saw:
“Islam
dibangun atas lima, syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, pergi haji dan puasa
Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain itu juga ada hadits Nabi Saw yang menegaskan
kewajiban untuk beribadah puasa
Dari Thalhah bin Ubaidillah ra bahwa seseorang datang kepada
Nabi SAW dan bertanya,”Ya Rasulullah SAW, katakan padaku apa yang Allah wajibkan kepadaku tentang puasa ?”
Beliau menjawab,”Puasa Ramadhan”. “Apakah ada lagi selain itu ?”. Beliau
menjawab, “Tidak, kecuali puasa sunnah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa puasa yang hukumnya wajib
itu hanya puasa di bulan Ramadhan. Meski pun kita juga tahu bahwa sesungguhnya
masih ada lagi puasa yang lain, yang hukumnya wajib, selain puasa Ramadhan.
Misalnya puasa Qadha’ dari yang luput dikerjakan di bulan Ramadhan. Tetapi
puasa Qadha’ ini sebenarnya hanyalah puasa turunan dari kewajiban puasa
Ramadhan.
Selain itu juga ada puasa yang hukumnya wajib,
misalnya puasa denda (kaffarah), namun puasa ini pada dasarnya bukan kewajiban,
kecuali bagi mereka yang memang melanggar aturan tertentu yang telah
ditetapkan.
Dan puasa Nadzar, yaitu puasa yang awalnya sunnah,
tetapi keinginan dan perjanjian tertentu, puasa itu hukumnya menjadi wajib,
tapi hanya berlaku buat pelakunya saja. Adapun umat Islam secara keseluruhan,
pada dasarnya tidak pernah diwajibkan untuk berpuasa, kecuali hanya puasa di
bulan Ramadhan saja.
c. Ijma
Secara ijma‘ seluruh umat Islam sepanjang zaman telah
sepakat atas kewajiban puasa Ramadhan bagi tiap muslim yang memenuhi syarat
wajib puasa. Ijma’ ulama juga sampai kepada batas bahwa orang yang mengingkari
kewajiban puasa di bulan Ramadhan berarti dia telah keluar dari agama Islam. Hal
itu mengingat bahwa puasa di bulan Ramadhan bukan sekedar kewajiban, tetapi
lebih dari itu, puasa Ramadhan merupakan bagian dari rukun Islam yang harus
ditegakkan.
3. Hikmah Puasa
a. Mendekatkan diri kepada Allah SWT
b. Melatih untuk patuh pada perintah Allah
ketika senang ataupun susah
c. Membentuk pribadi yang sabar
d. Melatih amanah kepada diri sendiri
e. Menimbulkan rasa syukur kepada Allah SWT
B. Zakat
1. Pengertian Zakat
Zakat dari segi bahasa memiliki banyak
arti, yaitu al-barakatu yang mempunyai arti keberkahan, ath-thaharatu
yang memiliki arti kesucian, al-namaa yang mempunyai arti pertumbuhan
dan perkembangan, dan ash-shalahu yang memiliki arti keberesan. [1]Menurut istilah
zakat adalah ibadah
wajib yang dilaksanakan dengan
memberikan sejumlah kadar
tertentu dari harta
milik sendiri kepada orang
yang berhak menerimanya
sesuai dengan ketentuan
syariat. Sedangkan zakat menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011 adalah harta yang wajib
dikeluarkan oleh seorang
muslim atau badan usaha untuk
diberikan kepada yang
berhak menerimanya sesuai
dengan syariat Islam. [2]
Dari pengertian diatas bahwa orang yang
mengeluarkan sebagian hartanya untuk zakat akan dapat menambah kesuburan
hartanya dan memperoleh keberkahan dan rahmat dari Allah, serta mendapat
kesucian diri dari hartanya, selain itu hartanya akan senantiasa tumbuh dan
berkembang menjadi lebih banyak, dan harta yang dimiliki akan selalu dijauhkan
dari berbagai macam kemadharatan.[3]
Hakekat
zakat sendiri adalah
ibadah maliyah ijtimaiyyah
yaitu ibadah yang dilaksanakan sesama manusia sehingga zakat harus
diaktualisasikan dan diterapkan dalam kehidupan ekonomi umat Islam sebagai
rahmat bagi sesama yang memiliki posisi yang
sangat penting, strategis
dan menentukan, baik
dilihat dari ajaran
Islam maupun dari sisi
pembangunan kesejahteraan umat.
2. Dasar Hukum Zakat
Betapa pentingnya membayar zakat sehingga
telah diterangkan secara jelas di dalam Al-Qur’an maupun hadits.
a. Al-Qur’an
Dasar hukum tentang zakat adalah salah satunya firman
Allah SWT Q.S an-Nur ayat 56:
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: Dan dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi
rahmat.[4]
Dalam surat lain Allah kembali menegaskan dalam Q.S al-An’am ayat 141:
وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنشَأَ جَنَّٰتٍ مَّعْرُوشَٰتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَٰتٍ وَٱلنَّخْلَ
وَٱلزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُۥ وَٱلزَّيْتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُتَشَٰبِهًا
وَغَيْرَ مُتَشَٰبِهٍ ۚ كُلُوا۟ مِن ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثْمَرَ وَءَاتُوا۟
حَقَّهُۥ يَوْمَ حَصَادِهِۦ ۖ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ
Artinya: Dan Dialah yang
menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanamtanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk
dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.[5]
Kemudian firman Allah
dalam Q.S At-taubah ayat 103:
خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
Artinya: Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[6]
b. Hadits
Selain Al-Qur’an dasar untuk menunaikan zakat adalah
hadits Rasulullah SAW. Salah satunya adalah H.R Imam Bukhari:
Ibnu Abbas R.A berkata,” Abu Sufyan R.A telah menceritakan kepadaku
(lalu dia menceritakan hadits Nabi SAW), bahwa Nabi SAW bersabda : Kami
diperintahkan untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyambung tali
persaudaraan, dan menjaga kesucian diri. ( H.R Bukhari).[7]
3. Filosofi Adanya Kewajiban Berzakat
Pengertian filosofis di sini yaitu sesuatu yang berhubungan dengan
filsafat, sedangkan filsafat yang dimaksud adalah ajaran hukum dan perilaku.
Memahami adanya kewajiban membayar zakat, kiranya dari sudut keadilan, yang
merupakan ciri utama ajaran (hukum) Islam dan anjuran dalam berperilaku, adalah
sangat tepat.
Adapun filosofi dari kewajiban berzakat dalam Islam yaitu:
a. Keyakinan Keagamaan
Orang yang membayar zakat merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan
agamanya. Penerimaan zakat dari banyak orang oleh Rasulullah dikatakan suatu
ibadah mensucikan mereka dari kotoran hartanya. Didalam al-Quran terdapat
27
ayat yang menyejajarkan kewajiban sholat dengan zakat. Terdapat
berbagai ayat memuji orang-orang yang sungguh-sungguh menunaikannya. Dan
sebaliknya memberikan ancaman bagi orang yang sengaja meninggalkannya. Karena
itu khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq bertekad memerangi orang-orang yang sholat
tetapi tidak mengeluarkan zakat. Ketegasan sikap ini menunjukkan bahwa
perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedurhakaan, jika dibiarkan maka akan
memunculkan berbagai problem sosial ekonomi dan kemudharatan dalam kehidupan
masyarakat.
b. Pemerataan dan Keadilan
Merupakan tujuan sosial zakat yaitu membagi kekayaan yang diberikan
Allah lebih merata dan adil kepada manusia. Dari sisi pembangunan kesejahteraan
umat, zakat merupakan salah satu instrumen penting dalam pemerataan pendapatan
c. Produktifitas
Sistem zakat sebagai suatu sistem ekonomi dalam Islam telah dipraktekkan
dan dibuktikan oleh Nabi Muhammad SAW dan pemerintahan Khulafa’al-Rasidin.
Seperti diakui oleh cendikiawan muslim, baik berskala nasional, dan
internasional, selain ketentuan ibadah murni, zakat juga merupakan kewajiban
sosial berbentuk ta’awun antara orang kaya dan miskin, untuk menciptakan
keseimbangan sosial dan ekonomi. Sekaligus mewujudkan kesejahteraan,
menciptakan keamanan dan ketentraman.
d. Etika dan Kewajaran
Menurut Quraisy Shihab, ada tiga alasan yang bisa dijadikan
landasan filosofis mengapa Allah
SWT mensyari’atkan kewajiban zakat. Menurutnya tiga alasan tersebut antara lain:
1) Istikhlaf (Penugasan sebagai khalifah di
bumi)
Zakat merupakan salah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan
shadaqah dan infaq pun demikian. Sebab, Allah swt menjadikan harta benda
sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya. Sejak
awal, Tuhan telah menetapkan bahwa harga hendaknya digunakan untuk kepentingan
bersama. Bahkan, pada mulanya masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta
tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian dari harta
tesebut pada pribadi yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan
masing-masing.
2) Solidaritas Sosial
Manusia adalah makhluk sosial. Kebersamaan antara beberapa individu
dalam suatu wilayah membentuk masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan
individu-individu tersebut, namun manusia tidak bisa dipisahkan darinya.
Manusia ditugaskan mengelola, tetapi Tuhan yang menciptakan dan memilikinya.
Dengan demikian, wajar jika Allah memerintahkan untuk mengelurakan sebagian
kecil (zakat) dari harta yang diamanatkan-Nya kepada seseorang itu demi
kepentingan orang lain.
3) Persaudaraan
Manusia berasal dari satu keturunan, antara seseorang dengan
lainnya terdapat pertalian darah, dekat atau jauh. Kita semua
bersaudara.Pertalian darah tersebut akan menjadi lebih kokoh dengan adanya
dengan adanya persamaan-persamaan lain, yaitu agama, kebangsaan, lokasi
domisili dan sebagainya.
Dari tiga landasan filosofi mengenai
pensyari’atan kewajiban berzakat seperti yang disebutkan di atas maka terlihat
bahwasannya zakat disyari’atkan itu karna adanya kepentingan sesama manusia itu
sendiri untuk membangun suatu masyarakat yang menyayangi satu sama lain. Ketika
saling memberi maka manusia akan saling menyayangi satu sama lain. Ketika hal
itu terjadi, tujuan ekonomi Islam untuk membangun masyarakat yang sejahtera
dunia dan akhirat dapat tercapai. Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim
meskipun saat ini hanya sekitar 80an% akan mudah diambil zakatnya ketika sadar
akan makna filosofis adanya zakat di mana itu merupakan bentuk ibadah yang
berimplikasi pada dunia dan akhirat.[8]
4. Hikmah Zakat
a. Sebagai bentuk keimanan kepada Allah SWT mensyukuri nikmatnya,
menumbuhkan aklak mulia dengan rasa kemanusian yang tinggi, menghilangkan sifat
kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus
membersihkan dan mengembangkan harta yang dimiliki.
b. Zakat merupakan hak bagi mustahik, maka zakat berfungsi sebagai
penolong , membantu, dan membina mereka, terutama bagi fakir dan miskin.
c. Sebagai pilar amal bersama antara orang-orang kaya yang
berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya digunakan untuk
berjihad di jalan Allah.
d. Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana dan
prasarana yang harus dimiliki umat islam, seperti, sarana ibadah, pendidikan,
kesehatan, sosial dan ekonomi, dan sekaligus sarana pengembangan kualitas
sumberdaya manusia.
e. Dengan zakat, ajaran Islam mendorong umatnya untuk mampu bekerja
dan berusaha sehingga memiliki harta kekayaan yang dapat memenuhi kebutuhan
diri dan keluarganya.
f. Zakat dapat mendekatkan hubungan kasih sayang dan cinta-mencintai
anatar si miskin dan si kaya, rapatnya hubungan tersebut akan membuahkan
beberapa kebaikan dan kemajuan serta berfaedah bagi kedua golongan dan
masyarakat umum.
C. Haji
1. Makna dan Historisitas Haji
Secara bahasa kata haji berasal dari bahasa Arab “Hajja-Yahujju-Hajjan”
yang berarti sekedar berkehendak atau menuju. Secara terminologi, Wahbah
al-Zuhailiy mendefenisikan haji sebagai perbuatan menuju ke Ka’bah untuk
menjalankan perbuatan tertentu, atau berangkat menziarahi tempat tertentu
(Ka’bah, arafah, mina, dan muzdalifah) pada masa tertentu (bulan-bulan haji)
untuk melakukan perbuatan tertentu (ihram, thawaf, sa’i, wuquf, mabit, melontar
jumrah dan tahallul).[9]
Ka’bah yang ada di
Mekah sebagai titik sentral ritual ibadah haji merupakan rumah ibadah yang
paling pertama dibangun di muka bumi. Allah menginformasikan hal tersebut dalam
QS. Ali Imran/3: 96. Konon, awalnya di lokasi itu dibangun al-Baitu al-Ma’mur,
kemudian karena datang topan dan banjir bah pada masa Nabi Nuh, maka bangunan
itu diangkat ke langit .[10]
Pada masa Nabi Nuh,
maka bangunan itu diangkat ke langit. Menurut Ahmad as-Shawiy, sebelum itu para
malaikat bumi beribadah di tempat itu selama dua ribu tahun sebelum di utusnya
Nabi Adam as. Riwayat lain menyebutkan bahwa Allah memuliakan Nabi Adam dengan
sebuah kemah yang berasal dari surga. Kemah itu diletakkan di tempat bangunan
Ka’bah sekarang. Setelah Adam meninggal, anak-anaknya membangun sebuah bangunan
dari tanah dan batu di tempat tersebut. Tapi akibat banjir bah dan topan di
masa Nabi Nuh as. bangunan itu roboh rata dengan tanah dan tidak diketahui lagi
posisinya .[11]
Pada masa Nabi Ibrahim
as. diutus sebagai Nabi dan Rasul, Allah memberi petunjuk kepadanya untuk
membawa keluarganya ke sebuah lembah tandus dan kering kemudian mereka tinggal
di sana. Kemudian ia diperintahkan untuk membangun Baitullah persis di tempat
yang pernah dibanguni oleh anak-anak Adam. Bangunan itupun diberi nama Ka’bah.
Setelah selesai membangun Ka’bah, Allah memerintahkannya untuk mensucikan
tempat itu dari perbuatan-perbuatan terlarang (najis dan syirik) guna memberi kenyamanan
kepada orang-orang yang akan thawaf, shalat, ruku, dan sujud di tempat itu.
Bila
kita coba membuka lembar sejarah kenabian, maka didapati informasi bahwa
sebenarnya keberadaan syariat ibadah haji ini telah ada pada syariat Nabinabi
sebelumnya. Pakar Tafsir Indonesia, M. Quraish Shihab dalam buku Membumikan Al-Qur’an menulis bahwa
ibadah haji telah dikumandangkan oleh Nabi Ibrahim as. sekitar 3.600 tahun
lalu. Namun sepeninggal beliau, praktik pelaksanaannya sedikit banyak mengalami
perubahan, sehingga setelah hadirnya Nabi Muhammad saw. banyak aktifitas haji
yang diluruskan dan disempurnakan kembali praktik pelaksanaannya[12].
Di
antara praktik ibadah haji yang mengalami penyempurnaan dalam praktik
pelaksanaannya pada masa Nabi Muhammad saw. adalah praktik berwuquf, praktik
berthawaf, dan praktik bersa’i. Dalam riwayat yang diterima dari Aisyah
dijelaskan bahwa kelompok “al-Hummas” yaitu orang-orang Quraisy dan yang
sekeyakinan dengan mereka, berwukuf di Muzdalifah. Mereka berkata atau kami
adalah penduduk Allah. Mereka merasa memiliki rasa superioritas dari umat Islam
kebanyakan sehingga enggan bersatu dengan orang banyak dalam melakukan ibadah
wuquf di padang Arafah saat berhaji. Praktik berwuquf secara keliru yang
dijalankan oleh al-Hummas ini kemudian dicegah oleh Al-Qur’an dengan turunnya
QS. al-Baqarah/2: 199.
Pada masa pra Islam, praktik berthawaf di
sekeliling Ka’bah masih melenceng. Dijumpai masyarakat jahiliyah berthawaf di
sekelilingnya sambil telanjang, sehingga Al-Qur’an turun untuk meluruskan
prosesi ritual tawaf tersebut dengan turunnya firman Allah dalam surah
al-A’raf/7: 26 yang berpesan agar setiap orang yang hendak beribadah ke masjid
(masjidil haram) menggunakan pakaian yang tertutup. Demikian halnya dengan
praktik bergandengan tangan saat melaksanakan thawaf pada periode awal Islam.
Hal inipun dibatalkan oleh Nabi saw. dengan pertimbangan kemaslahatan bersama.
Begitupula
halnya dengan praktik pelaksanaan ibadah sa’i antara Shafa dan Marwah. Ibadah
ini sudah dijalankan sebelum syariat Islam datang, namun pelaksanaannya
melenceng dari yang diajarkan oleh Islam sebab dilakukan dalam rangka menyembah
berhala. Menurut riwayat dari at-Tirmidziy dari Ashim alAhwal dia berkata “saya
bertanya kepada Anas bin Malik tentang shafa dan marwah”. Anas menjawab
“di situ dahulu merupakan tempat pelaksanaan syariat kaum jahiliyah.
Makanya setelah Islam datang, kami enggan untuk bersa’i di antara kedua bukit
tersebut, kemudian Allah menurunkan ayatnya dalam QS. Al-Baqarah/2: 158.
Lebih
jelasnya, al-Wahidi dalam kitab Asbab al-Nuzul menyebutkan bahwa Amru bin
Husain bertanya kepada Ibnu Umar tentang ayat tersebut, maka Ibnu Umar pergi menemui
Ibnu Abbas dan menanyakan hal itu. Ibnu Abbas menjawab “dahulu di atas bukit
Shafa terdapat sebuah patung berbentuk seorang laki-laki yang diberi nama Asaf,
dan di atas bukit marwah terdapat pula sebuah patung berbentuk seorang wanita
dan diberi nama Na’ilah. Ahli Kitab menduga bahwa kedua patung itu berasal dari
dua orang yang berzina dalam Ka’bah, lalu Allah mengubah kedua orang itu
menjadi batu, dan selanjutnya diletakkan pada kedua bukit tersebut agar menjadi
i’tibar bagi umat sesudahnya”. Setelah beberapa lama justeru kedua patung itu
disembah oleh orang jahiliyah. Ketika mereka sa’i antara kedua bukit itu mereka
mengusap kedua patung itu. Setelah Islam datang patung-patung tersebut
dihancurkan dan kaum muslimin tidak mau lagi melakukan sa’i antara shafa dan
marwah.
2. Dasar Hukum Haji
Ibadah
haji sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keempat ajaran yang wajib dijalankan sekali
seumur hidup bagi setiap muslim/muslimah yang berkategori mampu. Dalil tentang
kewajiban itu diperoleh berdasarkan informasi dari Al-Qur’an, al-Sunnah, dan
Ijma.
a. Al-Qur’an (Q.S al-Baqarah: 196)
الْعِقَابِ
شَدِيْدُ اللّٰهَ اَنَّ وَاعْلَمُوْٓا اللّٰهَ وَاتَّقُوا ………..لِلّٰهِ وَالْعُمْرَةَ الْحَجَّ وَاَتِمُّوا
Artinya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah
karena Allah. …… dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat
keras siksaan-Nya.
b. Hadits
Sabda Rasulullah saw dari Abi Hurairah yang
diriwayatkan oleh Muslim yang artinya bahwa:
“Dari Abi Hurairah ra. ia
berkata, Rasulullah saw pernah menceramahi kami, beliau bersabda “wahai
sekalian manusia sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian menjalankan
ibadah haji, maka berhajilah!” Tiba-tiba seorang pria berkata? Apakah di setiap
tahun ya rasul? Beliau diam hingga pria tadi mengulangi pertanyaannya sebanyak
tiga kali, maka Rasulullah saw. bersabda “kalau aku katakan iya maka pasti
wajib dan pasti kalian tidak akan mampu…”(HR.
Muslim)
c. Ijma
Para
ulama sepakat bahwa ibadah haji hukumnya wajib bagi setiap orang yang mampu
sekali seumur hidup . Meski demikian, bisa saja ibadah haji wajib dijalankan
lebih dari sekali karena suatu alasan syar’i. Umpamanya karena ada suatu nazar
tertentu yang diucapkan atau dilakukan setelah sebelumnya telah berhaji. Atau
karena alasan qadha’ (mengganti) ibadah haji yang rusak tahun sebelumnya,
meskipun sifatnya hanya haji sunah.
Selain itu, ibadah ini merupakan ibadah membutuhkan
banyak pengorbanan dari diri seorang hamba. Baik berupa tenaga, fikiran, waktu,
harta, bahkan bisa saja pengorbanan jiwa. Itulah sebabnya orang yang
menjalankan ibadah ini dimasukkan dalam kategori jihad, dan bila wafat di
dalamnya dinilai sebagai syahid di mata agama. Di sisi lain, bagi yang kembali
dari menjalankan ibadah ini dengan selamat akan memperoleh prestise secara
sosial (duniawi) dan prestise secara ukhrawi.
Dengan demikian, dari berbagai informasi nas dan
kesepakatan ulama tersebut maka dapat dipastikan bahwa ibadah haji ini adalah
sesuatu yang sudah sampai pada tingkat aksioma dalam agama. Dengan kata lain,
bagi siapa saja yang mengingkari atau mencoba meragukan eksistensi persoalan
ini dapat disebut atau dikategorikan sebagai kafir .
3. Filosofi Haji
a.
Pesan Al-Qur’an bagi orang yang berhaji
Dalam Al-Qur’an, ada sekian pesan dan perintah yang
diamanahkan Allah bagi siapa pun dari hambanya yang akan menjalankan ibadah
haji, di antaranya:
1) Perintah untuk menyiapkan bekal
Menurut M. Quraish Shihab, bekal pertama dan utama
yang dibutuhkan adalahan taqwa. Bekal kedua adalah bekal harta untuk memenuhi
keperluan selama dalam perjalanan pergi pulang ke dan dari tanah suci serta
bekal yang ditinggalkan bagi keluarga yang wajib dinafqahi. Bekal ketiga adalah
bekal pengetahuan agar ibadahnya menjadi ibadah yang sah di mata agama, terutama
tentang penguasaan manasik dan tata cara melaksanakan ibadah haji seperti yang
dicontohkan oleh Nabi saw. Bekal keempat adalah bekal kesehatan (jasmani dan
rohani) selama melaksanakan ibadah haji agar ibadahnya bisa berjalan dengan sukses
dan sempurna. Bekal kelima adalah semangat jihad, kesungguhan, serta ketekunan
melaksanakan ibadah haji secara sempurna. Dan bekal keenam adalah keikhlasan.
2) Perintah menyempurnakan pelaksanaan ibadah
haji dan umrah
Yaitu menjalankan dan melaksanakan keduanya
(haji dan umrah) tanpa melakukan suatu laranganpun di dalamnya. Lebih jauh M.
Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al-Misbah mengatakan bahwa kata “atimmu”
oleh sementara ulama difahami dalam dua arti. Pertama, laksanakanlah
masing-masing keduanya dengan sempurna sehingga tidak ada salah satu unsurnya
pun yang tersisa/tertinggal. Baik itu rukun maupun syarat. Yakni perintah untuk
melaksanakan keduanya sebagaimana ditetapkan oleh syari’at. Kedua, ada juga
yang memahami perintah penyempurnaan dalam ayat itu dalam arti sempurnakanlah
keduanya sesuai dengan apa yang seharusnya dilaksanakan dalam kegiatan haji dan
umrah .
3) Perintah meluruskan motivasi berhaji untuk
Allah semata (lillahi ta’ala)
Hal tersebut
sebagaimana diisyaratkan oleh masing-masing penggalan kalimat pertama dari ayat
97 surah Ali Imran (walillaahi‘alannaasi hijjul baiti manistathaa’a ilaihi
sabiilaa) serta ayat 196 surah Al-Baqarah (wa atimmul hajja wal umratalillaah).
Meski semua ibadah harus dilaksanakan karena Allah, namun hanya ibadah haji
yang ditekankan agar dilakukan karena Allah. Menurut M. Quraish Shihab ini
disebabkan pada masa jahiliyah kaum musyrikin melaksanakannya untuk aneka
tujuan yang tidak sejalan dengan tuntutan Allah. Misalnya berdagang, reuni, dan
sebagainya. Olehnya itu, pesan/perintah ini menjadi penting bagi setiap yang
ingin berhaji. Apalagi dengan adanya budaya di masyarakat yang memberi gelar
haji bagi yang sudah kembali dari tanah suci, atau bahkan menuliskan gelar itu
di depan namanya. Budaya tersebut dapat menjadi faktor yang mengalihkan niat
tulus seseorang dari beribadah haji karena Allah.
Dengan kata
lain, bagi yang akan melaksanakan ibadah haji, agama memberi pesan sejak dini
sebelum menginjakkan kaki di tanah suci dan selama berada di sana agar tidak
ada motivasi dan tujuan lain dari perjalanan dan keberadaannya di sana kecuali
memenuhi panggilan Allah semata. Oleh karena itu, singkirkan segala bujuk rayu,
hapuskan semua iming-iming duniawi dan hadapkanlah wajah dan diri kepadaNya
semata. Inilah anak tangga pertama yang harus dimiliki untuk dapat menjadi tamu
Allah di sana sehingga nantinya bisa kembali dengan membawa ampunan dan
ridhaNya .
b.
Rahasia dan Hikmah dibalik Haji
Dalam kitab Hujjatullah al-Baligah, Syah
Waliyullah al-Dahlawi menjelaskan sekurangnya terdapat 4 rahasia dan hikmah
yang terkandung dibalik pelaksanaan ibadah haji.
1) Ketahuilah
bahwa hakikat haji adalah pertemuan/reuni orang-orang shaleh di suatu waktu
yang mengingatkan kondisi orang-orang yang telah diberi nikmat atas mereka
yaitu para Nabi, orang jujur, para syuhada, dan orang shaleh, di suatu tempat
yang terdapat di dalamnya tanda-tanda nyata akan kebesaran Tuhan, yang dituju
kelompok besar dari pemuka-pemuka agama sambil mengagungkan syiar-syiar Allah
dengan penuh kerendahan diri sambil mengharap berbagai kebaikan dan ampunan
dosa dari Allah.
2) Baitullah adalah tempat
yang paling berhak untuk didatangi. Sebab, pada dasarnya ibadah haji ada di
setiap umat. Mereka harus memiliki tempat yang selalu ditempati mencari berkah
di dalamnya ketika mereka melihat penampakan tanda-tanda kekuasaan Allah di
dalamnya. Betapa
tidak, di dalamnya terdapat tanda-tanda yang nyata akan kekuasaan Allah. Ia
dibangun oleh Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai orang baik di tengah-tengah
berbagai umat, ia membangunnya berdasarkan perintah Allah dan wahyu-Nya setelah
sebelumnya tanah tersebut kosong tak bertuan dan sulit digapai. Sebab tidak ada
tempat lain yang dituju melainkan ada pihak lain yang dituju atau penemuan lain
yang tidak ada dasarnya[13].
3) Ibadah
haji adalah ajang penyucian jiwa seorang hamba. Betapa tidak, seorang yang
berhaji sedang berada di tempat yang terus menerus diagungkan oleh orang-orang
shaleh, mereka mendiaminya dan senantiasa memakmurkannya dengan berzikir kepada
Allah. Dengan melakukan hal seperti itu akan dapat mendatangkan keterkaitan
perhatian para malaikat yang ada di bumi sekaligus ia akan diberi doa restu
oleh Allah secara menyeluruh bagi pencinta kebaikan.
4)
Ibadah
haji sebagai ajang evaluasi untuk memilah orang taat dari orang munafiq.
Sebagaimana biasanya, setelah melewati perjalanan panjang dan lama, setiap
Negara membutuhkan suatu ajang evaluasi untuk bisa memilah warganya siapa yang
loyal dan tidak loyal, siapa yang tunduk dan siapa yang ingin memberontak
kepada negara. Di samping tujuan untuk meningkatkan dukungan serta meninggikan
rasa persatuan, sehingga terjadi interaksi dan upaya saling kenal mengenal
antara satu warga masyarakat dengan warga masyarakat lainnya. Maka demikian
pula halnya agama, ia membutuhkan ibadah haji untuk dapat memisahkan hamba shaleh
dari hamba yang munafik.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Ibadah puasa adalah ibadah
dimana kita menahan diri dari sesuatu yang
membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya
matahari dengan niat dan beberapa syarat. Puasa wajib umat Islam adalah puasa Ramadhan, selain itu juga ada puasa
sunnah. Dasar hukum ibadah puasa terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat
183 dan ayat 185, tidak hanya di dalam al-Qur’an saja namun juga ada dalam
hadits dan ijma.
Ibadah zakat adalah
ibadah wajib yang dilaksanakan dengan
memberikan sejumlah kadar
tertentu dari harta
milik sendiri kepada orang
yang berhak menerimanya
sesuai dengan ketentuan
syariat. Dasar hukum ibadah zakat terdapat dalam al-Qur’an surah
Al-An’am ayat 141 dan surah at-Taubah ayat 103, dan beberapa hadits menegenai
dasar hukum zakat.
Ibadah haji adalah ibadah sebagai perbuatan
menuju ke Ka’bah untuk menjalankan perbuatan tertentu, atau berangkat
menziarahi tempat tertentu (Ka’bah, arafah, mina, dan muzdalifah) pada masa
tertentu (bulan-bulan haji) untuk melakukan perbuatan tertentu (ihram, thawaf,
sa’i, wuquf, mabit, melontar jumrah dan tahallul). Dasar hukum ibadah haji
terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 196, tidak hanya di dalam
al-Qur’an tetapi juga ada di dalam hadits dan ijma para ulama.
DAFTAR PUSTAKA
Didin Hafhiduddin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern.
Jakarta: Gema Insani Press.
Nor Mohammad Abdoeh. 2019. Tinjauan Filosofis Terhadap Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Cakrawala: Jurnal Studi Islam,
Vol. 14 No. 2.
Moh Syaifullah
Al Azis S.. 2005. Fiqih Islam Lengkap pedoman Hukum Ibadah Umat Islam dengan Berbagai
Permasalahanya. Surabaya: Terbit Terang.
Depertamen Agama RI. 2005. Al-quran Dan Terjemahanya. Bandung:
Syamil.
Imam Bukhari. 1992. Shahih Bukhari. Beirut: Darrul Kutubul Ilmiyah.
Wahbah al-Zuhailiy. 2002. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Jilid. 3 Cet. IV; Damaskus: Dar alFikr.
Abu Walid Muhammad bin Abdillah. Akhbar Makkah. Jilid. I, (Madrid: Dar al-Andalus,
t.th).
Ahmad al-Shawiy. al-Hawi ‘Ala al-Jalalain.Jilid. I (t.tp: al-Babi al-Halabiy).
M. Quraish
Shihab. 2013. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan
Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. I; Bandung: Mizan.
[1] Didin
Hafhiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani
Press, 2002, hlm. 7.
[2] Nor Mohammad Abdoeh, Tinjauan Filosofis Terhadap Undang-undang Nomor
23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, Cakrawala: Jurnal Studi Islam,
Vol. 14 No. 2, (2019), hlm. 145.
[3] Moh Syaifullah
Al Azis S. Fiqih Islam Lengkap pedoman Hukum Ibadah Umat Islam dengan
Berbagai Permasalahanya, Surabaya: Terbit Terang, 2005, hlm. 269.
[4] Depertamen
Agama RI, Al-quran Dan Terjemahanya, Bandung: Syamil, 2005, hlm.358.
[5] Ibid, hlm 147.
[6] Ibid, hlm. 204.
[7] Imam Bukhari, Shahih
Bukhari, Beirut: Darrul Kutubul Ilmiyah, 1992, hlm 673.
[8] Fitri Kurniawati, FILOSOFI ZAKAT DALAM FILANTROPI ISLAM, Jurnal
Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 5 No. 2, (September, 2017), hlm. 245-250
[9] Wahbah
al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, Jilid. 3 (Cet. IV; Damaskus: Dar alFikr, 2002), h. 2064-2065.
[10] Abu Walid
Muhammad bin Abdillah, Akhbar Makkah,
Jilid. I, (Madrid: Dar al-Andalus, t.th), h. 51.
[11] Ahmad
al-Shawiy, al-Hawi ‘Ala al-Jalalain,
Jilid. I (t.tp: al-Babi al-Halabiy), h. 149
[12] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan
Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2013), h.
523.
[13] Ahmad Syah Waliyullah ibnu Abdirrahim al-Dahlawi, Hujjatullahi al-Baligah, 144.