TINJAUAN FILOSOFIS TERHADAP HUKUM KELUARGA FILSAFAT HUKUM ISALAM

 

TINJAUAN FILOSOFIS TERHADAP HUKUM KELUARGA

FILSAFAT HUKUM ISALAM

 

A. Latar Belakang

Secara garis besar Hukum Islam terbagi kepada, fikih ibadah meliputi aturan tentang shalat, puasa, haji, nazar, dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Kedua fiqih muamalah mengatur hubungan antara manusia dengan semuanya, seperti perikatan, sanksi hukum dan aturan lain, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan. Secara global, tujuan syara dalam menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak. Allah swt berfirman:

"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" (QS. Al-Anbiya : 107).

Salah satu yang dilindungi demi kemaslahatan manusia adalah memelihara keturunan, untuk ini Islam mengatur pernikahan, mengharamkan zina, menetapkan siapasiapa yang tidak boleh dinikahi, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat serta rukun apa yang harus dipenuhi. Sehingga perkawinan itu dianggap sah, percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina, anak-anak yang lahir dari hubungan itu dianggap sah dan menjadi keturunan sah.

Tujuan perkawinan sering tidak tercapai secara utuh, hal tersebut dapat dilihat beberapa peristiwa yang terjadi dalam perkawinan, yaitu suami atau istri tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban, sehingga menimbulkan percekcokan dan pertengkaran dalam rumah tangga. Percekcokan dan pertengkaran antara suami istri yang tidak dapat didamaikan biasanya akan berakhir dengan jalan perceraian. Maka pada kesempatan ini, pembahasan yang akan disajikan pada makalah hanya terfokus pada "Tinjauan Filsafat terhadap Hukum Keluarga".

 

 

 

 

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Tinjauan Filosofis Terhadap Nikah?

2.      Bagaimana Tinjauan Filosofis Terhadap Talak?

C. Tujuan

1.      Untuk mengetahui Tinjauan Filosofis terhadap Hukum Nikah

2.      Untuk mengetahui Tinjauan Filosofis terhadap Hukum Talak


 

A.  Tinjauan Filosofis terhadap Nikah

1. Pengertian Pernikahan

Menurut istilah fiqih, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafadz “nikah” atau “tazwij”.[1] Pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahrom.[2]

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut KHI Pasal 2, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Fuad Mohammad Fachruddin di dalam bukunya filsafat dan hikmat syariat Islam, mendefinisikan makna perkawinan adalah ikatan berencana antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah dewasa atas dasar suka sama suka tanpa paksaan serta dengan niatan membentuk bahtera rumah tangga yang sehat.[3][4] 

Dari beberapa definisi pernikahan diatas dapat penulis simpulkan bahwa, pernikahan/perkawinan menurut definisisecara umum adalah akad dan perjanjian yang menghalalkanpergaulan dan membatasi hak dan kewajiabn sertatolong-menolong antara seorang laki-laki danseorang perempauan yang bukan mahram.

2. Dasar-dasar Pernikahan

Pernikahan adalah suatu perbuatan yang sangat di anjurkan oleh Rasulallah SAW. Dan akadnya merupakan suatu perjanjian dan ikatan yang tidak boleh di anggap mainmain. Oleh karena itu, akad nikah harus di dasarkan  pada landasan dan sumber yang kuat, ibarat suatu bangunan yang kokoh dan kuat karena pondasinya.Secara umum, landasan akad nikah harus didasarkan pada:

a) Dasar Pernikahan Dalam Al-Qur’an

Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu hal yang diperintahkan  dan dianjurkan oleh Syara’. Di antara firman Allah yang bertalian dengan disyari’atkannya perkawinan ialah:

Ø  Surat an-Nisa’ ayat 3

وَإنِْ خِفْتمُْ أ الََّ تقُْسِطوُا فِي الْيتَاَمَىٰ فاَنْكِحُوا مَا طاَبَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنىَٰ وَثلََُثَ وَرُباَعَ ۖ  فإَنِْ خِفْتمُْ أ الََّ تَعْدِلوُا فوََاحِدَةً أوَْ مَا مَلَكَتْ أيَْمَانكُُمْ ۚ ذَٰلكَِ أَدْنىَٰ أ الََّ تعَُولوُا

Artinya: dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya) maka nikahilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. anNisa’ ayat 3)

Ø  Surat al-Rûm ayat 21

وَمِنْ آياَتهِِ أنَْ خَلقََ لَكُمْ مِنْ أَنْفسُِكُمْ أزَْوَاجًا لِتسَْكُنوُا إلَِيْهاَ وَجَعَلَ بيَْنَكُمْ مَوَ ادةً وَرَحْمَ ةً ۚ إ انِ

 فِي ذَٰلكَِ لََياَتٍ لقِوَْمٍ يتَفََ اكرُو نَ

Artinya: “Dan di antara tanda-tandakekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. al-Rûm ayat 21) Ø Surat adz-Dzaryat ayat 49

 وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلقَْناَ زَوْجَيْنِ لَعَلاكُمْ تذََ اكرُونَ

Artinya: dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya mengingat akan kebesaran Allah (QS. adz-Dzaryat ayat 49)[5] 

b) Dasar Pernikahan Dalam Hadits

Sedangkan hadits Nabi yang bertalian dengan disyari’atkannya perkawinan, sebagaimana:

Ø Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud muttafaq alaîh yang berbunyi:

ياَ مَعْشَرَ ال اشباَبِ مَنِ اسْتطَاَعَ مِنْكُمُ الْباَءَةَ فاَلْيتَزََ اوجْ فاَنِاهُ اغََضُّوَاحَْصَنُ  

 للِْفرَْجِ فمََنْ لمَْ يسَْتطَِعْ فعََليَْهِ باِل  اصوْمِ فاَنِاهُ لهَُ وِجَاءٌ }متفق عليه{

Artinya: Wahai kaum muda! Barang siapa yang telah mempunyai kemampuan dari segi “al-baah” hendaklah ia kawin, karena perkawinan itu lebih menutup mata dari penglihatan yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak mampu untuk kawin hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu baginya pengekang hawa nafsu”(HR. Bukhori dan Muslim)[6]  Ø Sabda Rasulullah SAW.  لَّنكاح الَّ بولي

Artinya: tidak ada (akad) nikah kecuali dengan wali (HR. Imam yang lima dan Disahkan oleh Ibnul Madini, at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Abu Musa

al-Asy’ary, Mukhtar, 1974)  Ø Sabda Rasulullah SAW.  من احب فطرتي فليستن بسنتي وان من سنتي النكاح

Artinya: Barangsiapa yang mencintai fitrahku, maka ikutilah sunnahku, sedang sesungguhnya diantara sunnahku itu ialah kawin[7] 

3. Filosofis Pernikahan

Dalam kehidupan keluarga, faidah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan, apabila ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib di tanggung oleh suaminya.Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), Sebab kalau tidak dengan menikah, tentulah anak tidak berketentuan siapa

673  

yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada pernikahan, tentu manusia akan menurutkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana, dan permusuhan antara sesamanya, yang munkin juga sampai menimbulkan pembunuhan yang maha dahsyat.[8] 

Demikian maksud pernikahan yang sejati dalam islam. Singkatnya, untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat. Selain itu pernikahan dalam Islam bukan semata-mata hubungan atau kontrak keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah dan filosofi, dalam KHI dijelaskan bahwa pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Dengan demikian perlu adanya aturan dengan sayarat dan rukun, yang mana rukun tersebut bukan hanya rukun semata, mamun mengandung maksud dan nilai-nilai yang terkandung.

a)        Nilai Falsafah Wali Perkawinan

Atas dasar pengertian kata wali dapat dipahami alasan hukum Islam menetapkan ayah sebagai orang yang paling berhak untuk menjadi wali bagi kepentingan anaknya, hal ini karena ayah adalah yang paling dekat dengan anaknya.[9] 

Wali dalam pernikahan juga berperan untuk melindungi kaum wanita dari kemungkinan yang merugikan didalam rumah tangga perkawinannya, terutama seorang ayah dari mempelai putri akan memberikan pengaruh aspek psikologis bagi kelangsungan dan ketentraman rumah tangga perkawinan anak gadisnya, karena calon pria dan wanita berbeda dalam fisik dan psikologinya, sehingga dalam pernikahan seorang wanita masih dibutuhkan wali untuk menikahkannya.

b)       Nilai Falsafah Akad Perkawinan

Perkawinan tidak bisa terlepas dari akad, bahkan Ulama Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.

Menurut Quraish Shihab, akad nikah adalah kewajiban perkawinan, sekaligus penerimaan mereka sebagai suami istri, untuk hidup bersama sebagai pasangan dan mitra berdampingan yang menyatu dan terhimpun dalam suka dan duka. Oleh karena itu, Islam memandang perkawinan sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan kuat atau mitsaqan ghalidzan, yang seharusnya dapat menumbuhkan rasa tenang dan tentram (sakinah) dalam kehidupan berkeluarga atau berumah tangga.

c)        Nilai Falsafah Saksi dalam Pernikahan

Saksi selain merupakan rukun nikah, ia dimaksudkan guna mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di kemudian hari, apabila salah satu suami istri terlibat perselisihan, maka saksi tersebut yang menyaksikan akad nikahnya. dan apabila dalam suatu pernikahan tanpa dihadiri saksi maka akad tersebut dihukumi tidak sah.

d)       Nilai Falsafah Maskawin/Mahar

Dalam Islam terdapat aturan yang mengenai pemberian sesuatu terhadap istri. Biasanya ini dikenal dengan mahar yaitu pemberian berupa barang (harta benda) bergerak ataupun benda tak bergerak yang diberikan oleh suami kepada sang istri. Kendatipun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon isteri merasa dilecehkan atau disepelekan.[10] 

Pembayaran mahar sepatutnya berupa sesuatu yang memiliki nilai sekalipun mungkin ia kecil atau bahkan sangat berharga. Sekalipun maskawin itu tidak diberikan segera, namun ia tidak boleh ditunda dengan janji yang mengambang. Memang pada umumnya dalam berumah tangga pasti terdapat krikil tajam yang suatu saat bisa menghantuinya. Sehingga jalan satu-satunya dalam penyelesaiannya adalah talak. Untuk menyikapi hal itu, di sinilah peran aturan mengenai maskawin.

Dimana pemberian maskawin akan menghalangi seseorang untuk cepat-cepat menjatuhkan talak.

Oleh sebab itu, posisi maskawin dalam perkawinan memiliki nilai filosofisnya yaitu sebagai pemberian rasa takut terhadap sikap pengambilan talak secara cepat, sehingga keberlangsungan bahtera rumah tangga tetap terjaga. Selain ituj uga, maskawin memiliki nilai filosofis yaitu sebagai penunjukan kecintaan sang laki-laki terhadap wanitanya.10 

B. Tinjauan Filosofis terhadap Talak

1.  Pengertian Talak

Talak merupakan istilah serapan dari bahasa Arab, yaitu al-ṭalaq الطلَق ,“dengan penambahan huruf alif “ا “di depan huruf lam “ل“diambil dari kata dasar “ -طلق-طلقا

َ  َٚ “طلَقاsecara bahasa berarti memberikan, lepas dari ikatan-nya, berpisah, atau bercerai (Achmad W. Munawwir dan M. Fairuz, 2007: 861).Al-Jazīrī dan al-Zuḥailī menyebutkan makna talak secara bahasa yakni memudarkan ikatan, melepas ikatan, atau memisahkan ikatan, baik bersifat fisik seperti ikatan kuda dan ikatan tawanan, maupun bersifat maknawi seperti ikatan pernikahan. Misalnya dengan sebutan, “ṭalaq al-naqah” atau

“naqatun ṭoliqun”,artinya memudarkan ikatan unta dan melepaskannya, atau unta yang terlepas.

Mengacu pada makna bahasa tersebut, dipahami bahwa kata talak (ṭalāq: Arab) mengandung makna umum, meliputi semua bentuk pelepasan suatu ikatan, baik secara zahir maupun secara maknawi. Secara zahir maksudnya melepaskan ikatan sesuatu yang tampak ada tali pengikatnya, sementara secara maknawi maksudnya suatu ikatan yang secara makna memiliki ikatan, seperti ikatan keluarga, ikatan nasab, ikatan pernikahan, ikatan suadara, ikatan suku dan budaya, dan lainnya. 

Adapun menurut terminologi/istilah, rumusan makna talak cenderung diarahkan dan dikhususkan hanya pada makna pelepasan ikatan pernikahan, atau perceraian antara suami-isteri. Menurut al-Zuḥailī, talak secara istilah berarti melepas ikatan pernikahan dengan kata talak (cerai) atau yang sejenisnya (Wahbah Muṣṭafā al-Zuḥailī, 2017: 579).

                                                             

10 Amiur Naruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam DiIndonesia, (Jakarta: Kencana,

2006), 9 hal. 66

Definisi yang serupa juga disebutkan oleh Sayyid Salim. Menurutnya, talak secara syariat adalah melepaskan ikatan pernikahan atau memutuskan hubungan perni-kahan saat itu juga atau dikemudian waktu dengan lafaz tertentu (Abū Mālik Kamal ibn al-Sayyid Salim, 2013: 583). Dua definisi tersebut memiliki maksud yang sama, bahwa talak merupakan perceraian atau putusanya ikatan pernikahan suami-isteri yang terjadi sesaat setelah suami mengucapkan lafaz talak, atau lafaz sejenisnya. Lafaz yang sejenisnya bermaksud semua bentuk lafaz yang memberi indikasi kuat bahwa ucapan suami tersebut ditujukan untuk bercerai, misalnya dengan kata, “saya ceraikan kamu”, “saya tidak mau lagi hidup berumah tangga dengan kamu”, dan kalimat lain yang senada dengan itu.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, rumusan talak setidaknya memiliki poin poin yaitu proses memutuskan ikatan pernikahan, dilakukan oleh suami terhadap isteri, akibatnya mengurangi hak talak suami, dilakukan dengan ucapan talak atau lainnya. Dengan demikian, talak adalah perceraian antara suami dengan isteri atas inisiatif suami, sehingga dengan inisiatif tersebut mengurangi jumlah hak talak suami yang dilakukan melalui ucapan talak atau lafaz lainnya yang memiliki indikasi yang sama dengan makna talak.

2. Dasar Hukum Talak

Perspektif Islam tentang talak hadir oleh karena adanya petunjuk dasar pembolehannya dalam Alquran maupun hadis, bahkan ulama sepakat bahwa talak dalam kondisi-kondisi tertentu memang dibolehkan bagi seorang suami yang ingin menceraikan isteri. Tidak hanya itu, petunjuk dan dasar pensyariatan talak secara langsung difirmankan kepada Rasulullah saw. Hal ini mengacu pada ketentuan QS. al-Ṭalaq ayat

1.artinya: “ Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu  ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.[11]

Imām al-Suyūṭī menyebutkan ayat ini turun berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas, “suatu ketika Abdu Zaid (Abu Rukanah)” menalak isterinya Ummu Rukanah. Ia kemudian menikahi wanita lain dari Mazinah. Ummu Rukanah Lantas mendatangi Rasulullah saw., dan berkata, “alangkah malangnya saya. Hubungan suami saya dan saya hanyalah laksana sehelai rambut ini (begitu rapuhnya)”. Tidak lama kemudian turunlah ayat tersebut. Dalam riwayat lain, Imām al-Suyūṭī juga menyebutkan bahwa hadis tersebut turun berkenaan dengan salah satu riwayat dari Qatadah dari Anas bin Malik yang berkata, “suatu ketika Rasulullah saw., menalak Hafsah. Ia kemudian kembali ke keluarganya”, Allah kemudian menurunkan ayat tersebut” (Imām al-Suyūṭī, 2015: 581582). Riwayat tersebut secara hukum mengandung informasi bahwa Rasulullah saw., sendiri telah melakukan talak kepada isterinya dan tentunya diperkenankan, bahkan ada penegasan secara khusus dalam QS. al-Ṭalāq ayat 1, yaitu jikapun terpaksa untuk melakukan talak, maka prosesnya harus dilakukan ketika isteri mudah melaksanakan masa idah. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam melegalkan talak dengan tata cara tertentu sebagaimana maksud ayat tersebut.Menurut para ulama, cara talak agar isteri menjalankan masa idah secara wajar sebagaimana maksud QS. al-Ṭalāq ayat 1 sebelumnya adalah hanya dilakukan apabila isteri dalam keadaan suci dari haid atau belum digauli. Sebab, menalak isteri dalam keadaan haid akan memperlama idah isteri sebab ia akan menghitungnya setelah suci. Sementara larangan menalak isteri sesaat setelah dilakukannya jimak karena ada kemungkinan benih janin di dalam rahim isteri sehingga juga akan memperlama isteri dalam melaksanakan idah (Abdus Sami‟ Ahmad Imam, 2016: 156-157). Selain alasan itu, para ulama juga memandang bahwa biasanya suami cenderung akan menahan untuk menalak isteri dan amaranya akan terkendali pada saat setelah isterinya telah suci. Yūsuf al-Qaraḍāwī dan al-Barūdī menyebutkan yang pada intinya boleh jadi pihak suami terhalang untuk menyalurkan naluri seksual pada saat haid, maka ia mentalak suami. Karena ada larangan tersebut, maka anjuran menceraikan isteri pada saat suci sangat mungkin tidak terealisasi sebab suami sudah bisa kembali menggaulinya. Selain itu, amarah suami pada saat isteri haid boleh jadi akan kembali turun ketika sesaat setelah isterinya telah mengalami masa suci, sehingga suami tidak lagi menceraikannya.Poin inti yang dapat dipahami dari ketentuan dalil di atas adalah talak disyariatkan dalam Islam namun harus dilakukan dengan cara dan waktu tertentu seperti menceraikan isteri pada saat isteri suci atau pada saat isteri belum digauli sebelumnya. Dalil lain yang umum digunakan sebagai dasar hukum talak mengacu pada ketentuan QS. al-Baqarah ayat 229 artinya:

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Imam al-Suyuṭi menyebutkan ayat ini turun berkanaan dengan riwayat dari Ibn Juraij, dia berkata, “ayat ini turun pada Tsabin bib Qais dan Habibah, isterinya. Habibah mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah saw., untuk kemudian meminta diceraikan. Maka Rasulullah saw., berkata kepada Habibah, “apakah engkau mau mengembalikan kebun yang dia jadikan mahar untukmu”. Habibah menjawab, “ya saya mau”. Kemudian Rasulullah saw., memanggil Tsabit bin Qais dan memberitahunya tentang apa yang dilakukan isterinya. Maka Tsabit bin Qais berkata, “apakah dia rela melakukannya?”, Rasulullah saw., menjawab, “ya, dia rela”. Isterinya pun berkata, “saya benar-benar telah melakukannya”. Maka turunlah ayat tersebut (Imam al-Suyuṭi, 2015: 99).

Selain perspektif Alquran, dasar hukum talak juga berdasarkan perspektif hadis Rasulullah saw. Riwayat hadis tentang talak cukup banyak, di antaranya adalah riwayat

Bukhārī dari Abdullāh bin Umar: “Dari Abdullāh bin Umar ra., bahwa pada masa Rasulullah saw, ia pernah menceraikan isterinya dalam keadaan haid, maka Umar bin alKhaṭṭāb pun menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw., bersabda: “Perintahkanlah agar ia segera merujuknya, lalu menahannya hingga ia suci dan haid kembali kemudian suci. Maka pada saat itu, bila ia mau, ia boleh menahannya, dan bila ingin, ia juga boleh menceraikannya. Itulah idah yang diperintahkan oleh Allah Swt., untuk mentalak isteri”. (HR. Bukhārī). Makna dari hadis tersebut secara hukum mengandung informasi yang ada kaitannya dengan ketentuan QS. al-Ṭalāq ayat 1 sebelumnya. Artinya, pelaksanaan talak harus dilakukan saat isteri dapat menjalankan masa idah secara wajar. Tidak dibolehkan menalak isteri dalam keadaan haid, sebab hal itu akan menyusahkan isteri sebab lamanya masa idah yang ia lakukan. Dalam konteks hadis tersebut, Rasulullah saw., menyuruh Abdullāh bin Umar ra., agar merujuk kembali isteri yang ditalak saat haid, kemudian boleh untuk tidak melanjutkan perceraian dan boleh juga menceraikan isterinya dalam keadaan suci. Minimal dari tiga dalil naqli di atas cukup memberi pemahaman bahwa talak dalam hukum Islam adalah sesuatu yang dilegalkan. Apabila suami sudah tidak lagi melihat adanya manfaat dari hubungan pernikahannya, dan justru menimbulkan mafsadat maka ia boleh melakukan talak kepada isterinya itu, dan dibolehkan juga pihak isteri meminta cerai kepada suaminya dengan syarat ada ganti berupa mahar yang telah suaminya berikan.

3. Bentuk-bentuk talak

a. Talak dilihat dari lafaz yang digunakan

Dilihat dari lafaz, maka talak dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu talak dengan ungkapan ṣarīḥ dan talak dengan ungkapan kināyah (Syamsul Rijal Hamid, 2017: 417418). Ibn Rusyd menyatakan kedua ungkapan tersebut merupakan pendapat jumhur ulama (Ibn Rusyd, 2016: 136). Talak ṣarīḥ yaitu talak dengan ungkapan yang jelas dan tegas dan tidak membutuhkan adanya niat di dalamnya, seperti kata ṭalāq (talak), firāq (cerai), sarāḥ (lepas). Dikatakan talak ṣarīḥ karena ketiga kata tersebut terdapat di dalam syariat dan disebutkan secara berulang-ulang dalam Alquran. Lafaz al-ṭalāq (talak) disebutkan dalam QS. Ṭalāq ayat 1, lafaz firāq (cerai) disebutkan dalam QS. Ṭalāq ayat 2, dan lafaz sarāḥ (lepas) ditemukan dalam QS. al-Aḥzāb ayat 28. Selain alasan tersebut, dikatakan talak ṣarīḥ juga karena tidak ada kemungkinan adanya keraguan tentang makna lafaz tersebut kecuali hanya dimaknai keinginan suami untuk berpisah atau bercerai.

Rizem Aizid menyebutkan talak ṣarīḥ atau talak dengan menggunakan lafaz yang eksplisit merupakan setiap kata yang bisa langsung dipahami makna talak ketika diucapkan (Rizem Aizid, 2018: 182). Dengan demikian, ulama telah membatasi tiga kata tersebut dalam cakupan ṭalāq, firāq, atau sarāḥ. Ungkapannya dapat dibuat pemisalannya seperti suami menyatakan kepada isteri, “saya talak kamu”, “saya ingin cerai (firāq)”, atau “saya melepaskan (sarāḥ) kamu”.

Adapun talak kināyah yaitu talak kiasan yang membutuhkan penegasan niat dari pihak suami. Dalam pengertian lain, talak kināyah yaitu talak yang dilakukan dengan menggunakan lafaz yang implisit, namun lafaz yang digunakan mirip pengertiannya dengan lafaz talak. Misalnya, dengan menggunakan kalimat, “Pulangkah kamu ke rumah orang tuamu!”. Dalam konteks ini, jika suami meniatkannya sebagai talak, maka jatuh talak. Sementara jika suami tidak meniatkannya sebagai talak, maka talak tidak jatuh.

Intinya, lafaz sindiran atau kināyah masih memerlukan kejelasan maksud suami. Dalam hal ini, isteri tentu boleh menanyakan maksud perkataan tersebut, atau ia mengadukan kepada keluarganya dan keluarganya kemudian menanyakan secara langsung apakahmaksud lafaz kināyah tersebut ditujukan untuk talak atau bukan.

b.  Dilihat dari segi konsekuensi hukum talak

 Dilihat dari segi konsekuensi atau akibat hukum talak, maka talak dibedakan

menjadi dua macam, yaitu talak bā‟in dan talak raj‟ī. Talak bā‟in merupakan talak yang berakibat pada suami tidak halal lagi terhadap isterinya dan tidak ada hak rujuk baginya kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru. Misalnya, talak kesatu atau kedua yang suami pada saat itu belum merujuknya hingga akhir masa idah. Keadaan habisnya masa idah isteri sementara mereka belum bersatu kembali maka kondisi ini disebut dengan talak bā‟in ṣughrā. Dalam contoh yang lain misalnya perceraian dengan khulu‟. Artinya, jika isteri ingin bercerai dan ada pembayaran ganti rugi di dalamnya maka status adalah talak bā‟in. Dalil yang biasa digunanakan dalam khulu‟ yaitu QS. al-Baqarah ayat 229 yang sebelumnya telah dikutip, adapun bagian ayat yang berhubungan khulu‟ adalah:

“ ...Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukumhukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orangorang yang zalim”.

Talak bā‟in dibedakan menjadi dua, yaitu bā‟in ṣughrā dan bā‟in kubrā. Talak bā‟in ṣughrā telah disebutkan sebelumnya, sementara talak bā‟in kubrā merupakan talak tiga yang dilakukan secara bertahap atau sekaligus menurut jumhur ulama dengan konsekuensi isteri tidak halal lagi untuk digauli kecuali mantan isteri telah menikah dan berjimak dengan suami barunya dan mereka telah bercerai secara wajar. Dalil yang relevan dengan kasus ini mengacu pada ketentuan QS. al-Baqarah ayat 230 yang artinya:

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.

Dengan demikian, talak bā‟in kubrā berpengaruh terhadap kehalalan isteri, ementara dalam kasus bā‟in ṣughrā tidak menghilangkan kehalalan isteri tetapi dengan syarat harus melakukan akad nikah dan mahar yang baru. Dilihat dari kesesuaian penjatuhan talak dengan pensyariatannya. Adapun talak dilihat dari kesesuaian penjatuhan talak dengan dalil pensyariatannya juga dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu talak sunnī dan talak bid‟ī. Talak sunnī adalah talak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Alquran dan sunnah.

 Sementara talak bid’I merupakan talak yang dijatuhkan menyalahi ketentuan Alquran dan sunnah (A. Hamid Sarong, 2010: 133). Al-Tuwaijiri menyebutkan talak sunnī (sunnah) yaitu suami menalak isterinya dalam keadaan suci dan belum digauli sebelumnya. sementara talak bid‟ī (bid‟ah) adalah talak yang menyalahi sunnah. Talak bid‟īterdapat dalam dua kondisi, yaitu talak bid‟ī dari sudut waktu dan dari sudut jumlah bilangan talak (Abdullāh al-Tuwaijīrī, 2015: 1057).Dari sisi waktu, talak bid‟ī terbatas pada dua hal, yaitu suami menceraikan isterinya pada masa haid, atau dalam masa suci dan suami mengumpulinya (berjimak) pada waktu itu, sedangkan isterinya masih aktif haid dan belum diketahui kehamilannya. Dalilnya mengacu pada ketentuan hadis riwayat dari Nafi' yang artinya: 

“ Telah menceritakan kepada kami al-Qa‟nabi, dari Malik dari Nafi‟ dari Abdullah bin Umar bahwa ia telah menceraikan isterinya yang dalam keadaan haid pada zaman

Rasulullah ىلص هللا هيلع ملسو .Kemudian Umar bin Al Khathab :bersabda ملسو هيلع هللا ىلص Rasul. tersebut hal mengenai ملسو هيلع هللا ىلص Rasulullah kepada bertanya"Perintahkan dia agar kembali kepada isterinya kemudian menahannya (tidak menceraikannya) hingga suci, kemudian haid, kemudian suci, kemudian apabila menghendaki maka ia bisa menahannya setelah itu, dan apabila ia menghendaki maka ia boleh menceraikannya sebelum ia menggaulinya. Itulah iddah yang Allah perintahkan jika ingin mencerakan wanita (hendaknya pada kondisi tersebut). (HR. Abī Dāwud). 

Sedangkan talak bid‟ī dari sudut bilangan jika suami menceraikan isteri dengan labih dari sat talak, seperti jika dia menjatuhkan talak dua dengan mengatakan, “kamu dicerai dengan dua talak”, atau “kamu dicerai dengan talak tiga”. Menurut al-„Uṡaimīn, talak tersebut masuk sebagai talak bid‟ī karena tidak sesuai dengan ajaran sunnah. Sebab, yang sesuai dengan ajaran sunnah adalah agar suami menceraikan isteri satu kali talak.

Dalil yang berhubungan dengan hal tersebut adalah riwayat hadis dari Abdullah bin

Ali bin Sa‟ib sebagai berikut yang artinya: “Dari Abdullah bin Ali bin As Saib dari Nafi' bin 'Ujair bin Abdu Yazid? bin Rukanah, bahwa Rukanah bin Abdu Yazid telah menceraikan isterinya yaitu Suhaimah sama sekali, kemudian ia mengabarkan kepada

Nabi Muhammad ىلص هللا هيلع ملسو dengan hal tersebut. Dan ia berkata; 

“Demi Allah aku tidak berniat kecuali satu kali. Kemudian Rasul ىلص هللا هيلع ملسو berkata: “Demi Allah, engkau tidak berniat kecuali satu kali”. Kemudian Rukanah berkata; demi Allah, aku tidak berniat kecuali satu kali. Kemudian Rasulullah  ىلص  هللاهيلع ملسو mengem-balikan isterinya kepadanya. Kemudian ia mencerai-kannya kedua kali pada zaman Umar dan ketiga kali pada zaman Utsman. (HR. Abī Dāwud)

Talak dalam Islam juga cukup beragam, baik dilihat dari sisi lafaz, akibat hukum, maupun kesesuaian dengan dalil hukum. Untuk itu, dapat dirinci kembali dalam poin berikut:

a.       Dilihat dari sisi lafaz yang digunakan saat talak: Talak yang ekplisit atau ṣarīḥ

(tegas dan jelas) dan Talak yang implisit kināyah (masih samar-samar atau sindiran)

b.      Dilihat dari sisi akibat talak: Talak bā‟in yaitu terbagi dua alak bā‟in ṣughrā dan alak bā‟in kubrā.kemudian talak raj‟ī

c.       Dilihat dari sisi kesesuainnya dalil talak: Talak sunnī dan Talak bid‟ī.[12]

4. Filosofis Talak

Mungkin seseorang menyanggah dalam pokok (dasar) pensyariatan talak dengan mengatakan: Apabila talak benar-benar dibenci oleh pemberi syariat Islam (Allah) sebagaimana yang dulu anda katakan- mengapa dia tidak mengharamkannya? Pada dasarnya, bagaimana kehalalan bisa berkumpul dengan kebencian? Mengapa Islam memperbolehkan talak? Dalam jawaban harus dikatakan: Pada satu saat talak adalah hal yang jelek dan dibenci, namun pada sebagian kondisi adalah suatu keharusan yang tidak bisa dicegah. Misalnya memotong anggota tubuh adalah sesuatu yang menyakitkan dan dibenci. Namun dalam sebagian situasi dan kondisi memotong anggota badan adalah keharusan dan untuk kemaslahatan manusia. Seperti halnya dalam kasus penyakit kanker seperti itu. Apabila melanjutkan ikat jalan lain melainkan talak, maka talak adalah jalan (cara) terbaik penyelesaian. Sebagai contoh salah satu persoalan ini adalah ketika api asmara dan cinta sang suami secara umum telah padam dan sama sekali tidak mencintai istrinya. Dalam kasus seperti ini istri telah jatuh dari kedudukan cinta dan daya tariknya, dan fondasi keluarga telah hancur. Sebuah rumah tangga yang tidak ada cinta didalamnya adalah dingin, gelap dan menakutkan. Bukan hanya tempat yang tidak tenang bagi istri dan suami tetapi juga penjara, gelap bagai neraka jahannam.

Perkawinan adalah ikatan alamiah yang terikat antara suami dan istri, sangat berbeda dengan perjanjian-perjanjian sosial seperti jual beli, pegadaian, perdamaian dan kerja sama. Semua ini merupakan perjanjian-perjanjian yang hanya bersifat sosial dan anggapan belaka dimana alam dan naluri tidak ikut campur di dalamnya. Berbeda dengan pernikahan yang merupakan suatu ikatan alamiah dan mempunyai akar dalam kontek alam dan naluri kedua pasangan dan bersumber dari bentuk ketertarikan internal suami istri dan kecenderungan menyatu, berkaitan dan satu hati. Keterkaitan ini dengan dua bentuk yang berbeda dalam tabiat kedua pasangan. Dari pihak suami dengan bentuk cinta, rasa suka, keinginan dan memiliki pribadi istri. Dan dari pihak istri dengan bentuk pesona, daya tarik, menundukkan hati dan mengambil hatinya. Bangunan rumah tangga tegak atas dua fondasi ini. Dan apabila kedua pasangan sampai kepada keinginan internal dirinya, maka pusat rumah tangga menjadi hangat, tentram dan elok. Suami akan bersemangat dan penuh harapan terhadap keluarganya. Dan akan bersungguh-sungguh dan berkorban untuk menjamin kesejahteraan mereka. Dan istri akan menganggap dirinya sukses dan beruntung. Dan berusaha dengan berkorban sebagai istri, ibu rumah tangga dan pengasuh anak.

Namun apabila seorang suami tidak lagi mencintai istrinya yang sah dan bosan bertemu dan bergaul dengannya dan si istri juga merasakan bahwa dia sudah tidak dicintai dan suaminya tidak mencintainya. Dalam asumsi seperti ini, keluarga sudah kehilangan dua fondasi pokoknya dan sudah termasuk hancur. Kehidupan dalam keluarga yang dingin dan saling berpencar bagi istri dan suami adalah sangat sulit dan menyakitkan. Dan melanjutkan rumah tangga seperti ini sama sekali tidak baik bagi kedua pasangan. Dalam syarat-syarat seperti ini, Islam walaupun membenci talak, menganggapnya jalan keluar paling baik dan memperbolehkannya. Pensyariatan hukum talak untuk kasus-kasus seperti ini.

Permasalahan lain adalah tidak adanya keharmonisan akhlak (moral). Apabila istri dan suami tidak mempunyai keserasian moral, memiliki pemikiran ganda, keduanya angkuh dan keras kepala, siang malam percekcokan, pertengkaran, keduanya tidak mendengarkan nasehat dan petunjuk orang. Sama sekali tidak siap untuk memperbaiki dan membetulkan diri mereka. Kehidupan dalam rumah tangga seperti ini juga sangat sulit dan menyakitkan. Dan melanjutkan rumah tangga seperti ini tidak menguntungkan istri ataupun suami. Dalam kasus seperti ini juga, talak adalah jalan keluar terbaik. Dan Islam memperbolehkannya. Oleh karena itu, talak dalam sebagian kasus adalah suatu keharusan sosial dan jalan terbaik dan tidak bisa dicegah.[13]

 

      

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syariat agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger dalam tubuh dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi di antara suami istri dengan dilandasi cinta dan kasih sayang. 

Ada kalanya di dalam pernikahan terjadi percekcokan antara suami isteri, jika hal itu tidak dapat diperbaiki kembali, tentu kedua pihak akan merasa menderita dengan ikatan yang sedang mereka jalani karena sudah tidak berlandaskan lagi kepada rasa cinta dan kasih sayang, yang ada malah kebencian satu sama lain. Maka dalam keadaan genting seperti ini Islam memberikan solusi yang terakhir yaitu talak. Meskipun ia diperbolehkan tapi ia sangat dibenci oleh Allah, kalaupun harus terjadi perceraian secra terpaksa, maka setelah ikatan mereka putus hendaknya sudah tidak ada lagi kebencian dan permusuhan, tapi hubungan yang baik sebagai sesama muslim.

      

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq. 2013. Hukum Perdata Islam di Indonesia Edisi Revisi. Semarang: Rajawali Pers. al-Ghozali, Abd Rahman. 2015. Fiqh Munakahat Cet. 7. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Fuad, Mohammad Fachruddin. 1966. Filsafat dan Hikmat Syariat Islamjilid I. Jakarta: Bulan Bintang.

Hamidy, Mu’ammal dan Imron AManan. 2011. Tafsir Ayat Ahkam Juz 2. Surabaya: Bina Ilmu. 

Naruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam DiIndonesia. Jakarta:

Kencana.

Rasjid, Sulaiman. 2003. Fiqh Islam cet. 36. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqih Munakahat Juz 1. Bandung: Pustaka Setia.      

Suprriyadi, Dedi. 2009. Fiqih Munakat Perbandingan. Bandung: Pustaka Setia.

Ulfa, Maria dan Mahtuf Ahnan. Risalah Fiqih Wanita. Surabaya: Terbit Terang.

Zuhra, Jamhuri. 2018. Konsep Talak Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (Analisis Waktu Dan Jumlah Penjatuhan Talak). Media Syari’ah. Vol. 20, No. 1.



[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat Juz 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 11

[2] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), hal. 374 

[3] Fuad Mohammad Fachruddin, Filsafat dan Hikmat Syariat Islam Jilid I, (Bandung: Pustaka Setia,

[4] ), hal. 168

[5] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat Juz 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 9

[6] Mahtuf Ahnan dan MariaUlfa, Risalah Fiqih Wanita, (Surabaya: Terbit Terang), hal. 272

[7] Mu’ammal Hamidy dan Imron AManan, Tafsir Ayat Ahkam Juz 2, (Surabaya: Bina Ilmu, 2011), hal.

[8] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat Juz 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 19

[9] Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal.32-33

[10] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia Edisi Revisi, (Semarang: Rajawali Pers, 2013), hal. 74

[11] Jamhuri Zuhra,Konsep Talak Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (Analisis Waktu Dan Jumlah Penjatuhan Talak), Media Syari‟ah, Vol. 20, No. 1, 2018.

[12] Abd Rahman al-Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet. 7, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015.

[13] Abdul Ghani, Abud, Keluarga Muslim dan Berbagai Masalahnya, terj. Mudzakkir AS., Bandung: Penerbit Pustaka, 1987.

Lebih baru Lebih lama