TINJAUAN FILOSOFIS TERHADAP HUKUM KELUARGA
FILSAFAT HUKUM ISALAM
A. Latar Belakang
Secara garis besar Hukum Islam terbagi
kepada, fikih ibadah meliputi aturan tentang shalat, puasa, haji, nazar, dan
sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya. Kedua fiqih muamalah mengatur hubungan antara manusia dengan
semuanya, seperti perikatan, sanksi hukum dan aturan lain, agar terwujud
ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan. Secara
global, tujuan syara dalam menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan
manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun
kemaslahatan di hari yang baqa
(kekal) kelak. Allah swt berfirman:
"Dan tiadalah kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" (QS.
Al-Anbiya : 107).
Salah satu yang dilindungi demi
kemaslahatan manusia adalah memelihara keturunan, untuk ini Islam mengatur
pernikahan, mengharamkan zina, menetapkan siapasiapa yang tidak boleh dinikahi,
bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat serta rukun apa yang
harus dipenuhi. Sehingga perkawinan itu dianggap sah, percampuran antara dua
manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina, anak-anak yang lahir dari
hubungan itu dianggap sah dan menjadi keturunan sah.
Tujuan perkawinan sering tidak tercapai
secara utuh, hal tersebut dapat dilihat beberapa peristiwa yang terjadi dalam
perkawinan, yaitu suami atau istri tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban,
sehingga menimbulkan percekcokan dan pertengkaran dalam rumah tangga.
Percekcokan dan pertengkaran antara suami istri yang tidak dapat didamaikan
biasanya akan berakhir dengan jalan perceraian. Maka pada kesempatan ini,
pembahasan yang akan disajikan pada makalah hanya terfokus pada "Tinjauan
Filsafat terhadap Hukum Keluarga".
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Tinjauan Filosofis Terhadap Nikah?
2. Bagaimana
Tinjauan Filosofis Terhadap Talak?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui Tinjauan Filosofis terhadap Hukum Nikah
2. Untuk
mengetahui Tinjauan Filosofis terhadap Hukum Talak
A. Tinjauan Filosofis terhadap Nikah
1. Pengertian Pernikahan
Menurut istilah fiqih, nikah berarti
suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual
dengan memakai lafadz “nikah” atau “tazwij”.[1]
Pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bukan mahrom.[2]
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut KHI Pasal 2,
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Fuad Mohammad Fachruddin di dalam
bukunya filsafat dan hikmat syariat Islam, mendefinisikan makna perkawinan
adalah ikatan berencana antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang
telah dewasa atas dasar suka sama suka tanpa paksaan serta dengan niatan
membentuk bahtera rumah tangga yang sehat.[3][4]
Dari beberapa definisi pernikahan
diatas dapat penulis simpulkan bahwa, pernikahan/perkawinan menurut
definisisecara umum adalah akad dan perjanjian yang menghalalkanpergaulan dan
membatasi hak dan kewajiabn sertatolong-menolong antara seorang laki-laki
danseorang perempauan yang bukan mahram.
2. Dasar-dasar Pernikahan
Pernikahan adalah suatu perbuatan yang
sangat di anjurkan oleh Rasulallah SAW. Dan akadnya merupakan suatu perjanjian
dan ikatan yang tidak boleh di anggap mainmain. Oleh karena itu, akad nikah
harus di dasarkan pada landasan dan
sumber yang kuat, ibarat suatu bangunan yang kokoh dan kuat karena
pondasinya.Secara umum, landasan akad nikah harus didasarkan pada:
a)
Dasar Pernikahan Dalam Al-Qur’an
Pada dasarnya
perkawinan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan dianjurkan oleh Syara’. Di antara firman
Allah yang bertalian dengan disyari’atkannya perkawinan ialah:
Ø Surat an-Nisa’ ayat 3
وَإنِْ خِفْتمُْ أ الََّ
تقُْسِطوُا فِي الْيتَاَمَىٰ فاَنْكِحُوا مَا طاَبَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنىَٰ وَثلََُثَ وَرُباَعَ ۖ فإَنِْ
خِفْتمُْ أ الََّ تَعْدِلوُا فوََاحِدَةً أوَْ مَا مَلَكَتْ أيَْمَانكُُمْ ۚ
ذَٰلكَِ أَدْنىَٰ أ الََّ تعَُولوُا
Artinya: dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya) maka nikahilah
wanitawanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS.
anNisa’ ayat 3)
Ø Surat al-Rûm ayat 21
وَمِنْ آياَتهِِ أنَْ خَلقََ لَكُمْ مِنْ أَنْفسُِكُمْ
أزَْوَاجًا لِتسَْكُنوُا إلَِيْهاَ وَجَعَلَ بيَْنَكُمْ مَوَ ادةً وَرَحْمَ ةً ۚ إ
انِ
فِي ذَٰلكَِ لََياَتٍ
لقِوَْمٍ يتَفََ اكرُو نَ
Artinya: “Dan di
antara tanda-tandakekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.”(QS. al-Rûm ayat 21) Ø Surat adz-Dzaryat ayat 49
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ
خَلقَْناَ زَوْجَيْنِ لَعَلاكُمْ تذََ اكرُونَ
Artinya: dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya mengingat akan kebesaran Allah (QS. adz-Dzaryat
ayat 49)[5]
b)
Dasar Pernikahan Dalam Hadits
Sedangkan hadits
Nabi yang bertalian dengan disyari’atkannya perkawinan, sebagaimana:
Ø Riwayat
dari Abdullah bin Mas’ud muttafaq alaîh yang
berbunyi:
ياَ مَعْشَرَ ال اشباَبِ مَنِ اسْتطَاَعَ
مِنْكُمُ الْباَءَةَ فاَلْيتَزََ اوجْ فاَنِاهُ اغََضُّوَاحَْصَنُ
للِْفرَْجِ فمََنْ لمَْ يسَْتطَِعْ فعََليَْهِ
باِل اصوْمِ فاَنِاهُ لهَُ وِجَاءٌ }متفق
عليه{
Artinya: “Wahai kaum muda! Barang siapa yang telah mempunyai kemampuan dari segi
“al-baah” hendaklah ia kawin, karena perkawinan itu lebih menutup mata dari
penglihatan yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak mampu
untuk kawin hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu baginya pengekang hawa
nafsu”(HR. Bukhori dan Muslim)[6] Ø Sabda Rasulullah SAW. لَّنكاح الَّ بولي
Artinya: tidak ada (akad) nikah kecuali dengan wali (HR.
Imam yang lima dan Disahkan oleh Ibnul Madini, at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari
Abu Musa
al-Asy’ary, Mukhtar, 1974) Ø Sabda Rasulullah SAW. من احب فطرتي فليستن
بسنتي وان من سنتي النكاح
Artinya:
Barangsiapa yang mencintai fitrahku, maka ikutilah sunnahku, sedang
sesungguhnya diantara sunnahku itu ialah kawin[7]
3. Filosofis Pernikahan
Dalam kehidupan keluarga, faidah yang terbesar dalam
pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu
dari kebinasaan, sebab seorang perempuan, apabila ia sudah menikah, maka
nafkahnya (biaya hidupnya) wajib di tanggung oleh suaminya.Pernikahan juga
berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), Sebab kalau tidak
dengan menikah, tentulah anak tidak berketentuan siapa
673
yang akan
mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya. Nikah juga dipandang
sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada pernikahan, tentu manusia akan
menurutkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan,
bencana, dan permusuhan antara sesamanya, yang munkin juga sampai menimbulkan
pembunuhan yang maha dahsyat.[8]
Demikian maksud pernikahan yang sejati dalam islam.
Singkatnya, untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan, juga untuk
kemaslahatan masyarakat. Selain itu pernikahan dalam Islam bukan semata-mata
hubungan atau kontrak keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah dan
filosofi, dalam KHI dijelaskan bahwa pernikahan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Dengan demikian
perlu adanya aturan dengan sayarat dan rukun, yang mana rukun tersebut bukan
hanya rukun semata, mamun mengandung maksud dan nilai-nilai yang terkandung.
a)
Nilai Falsafah Wali
Perkawinan
Atas dasar pengertian kata wali dapat dipahami alasan hukum Islam
menetapkan ayah sebagai orang yang paling berhak untuk menjadi wali bagi
kepentingan anaknya, hal ini karena ayah adalah yang paling dekat dengan
anaknya.[9]
Wali dalam pernikahan juga berperan untuk melindungi kaum wanita dari
kemungkinan yang merugikan didalam rumah tangga perkawinannya, terutama seorang
ayah dari mempelai putri akan memberikan pengaruh aspek psikologis bagi
kelangsungan dan ketentraman rumah tangga perkawinan anak gadisnya, karena
calon pria dan wanita berbeda dalam fisik dan psikologinya, sehingga dalam
pernikahan seorang wanita masih dibutuhkan wali untuk menikahkannya.
b)
Nilai Falsafah Akad
Perkawinan
Perkawinan tidak bisa terlepas dari akad, bahkan Ulama Mazhab sepakat
bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup
ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau
antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali dan dianggap tidak sah
hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka
tanpa adanya akad.
Menurut Quraish Shihab, akad nikah adalah kewajiban perkawinan,
sekaligus penerimaan mereka sebagai suami istri, untuk hidup bersama sebagai
pasangan dan mitra berdampingan yang menyatu dan terhimpun dalam suka dan duka.
Oleh karena itu, Islam memandang perkawinan sebagai suatu perjanjian yang kokoh
dan kuat atau mitsaqan ghalidzan, yang seharusnya dapat menumbuhkan rasa tenang
dan tentram (sakinah) dalam kehidupan berkeluarga atau berumah tangga.
c)
Nilai Falsafah Saksi
dalam Pernikahan
Saksi selain merupakan rukun nikah, ia dimaksudkan guna mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di kemudian hari, apabila salah satu
suami istri terlibat perselisihan, maka saksi tersebut yang menyaksikan akad
nikahnya. dan apabila dalam suatu pernikahan tanpa dihadiri saksi maka akad
tersebut dihukumi tidak sah.
d)
Nilai Falsafah
Maskawin/Mahar
Dalam Islam terdapat aturan yang mengenai pemberian sesuatu terhadap
istri. Biasanya ini dikenal dengan mahar yaitu pemberian berupa barang (harta
benda) bergerak ataupun benda tak bergerak yang diberikan oleh suami kepada
sang istri. Kendatipun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus
mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga
mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal
ada atau apa adanya, sehingga calon isteri merasa dilecehkan atau disepelekan.[10]
Pembayaran mahar sepatutnya berupa sesuatu yang memiliki nilai
sekalipun mungkin ia kecil atau bahkan sangat berharga. Sekalipun maskawin itu
tidak diberikan segera, namun ia tidak boleh ditunda dengan janji yang
mengambang. Memang pada umumnya dalam berumah tangga pasti terdapat krikil
tajam yang suatu saat bisa menghantuinya. Sehingga jalan satu-satunya dalam
penyelesaiannya adalah talak. Untuk menyikapi hal itu, di sinilah peran aturan
mengenai maskawin.
Dimana
pemberian maskawin akan menghalangi seseorang untuk cepat-cepat menjatuhkan
talak.
Oleh sebab itu, posisi maskawin dalam perkawinan memiliki nilai
filosofisnya yaitu sebagai pemberian rasa takut terhadap sikap pengambilan
talak secara cepat, sehingga keberlangsungan bahtera rumah tangga tetap
terjaga. Selain ituj uga, maskawin memiliki nilai filosofis yaitu sebagai
penunjukan kecintaan sang laki-laki terhadap wanitanya.10
B. Tinjauan Filosofis terhadap Talak
1. Pengertian Talak
Talak merupakan istilah serapan dari
bahasa Arab, yaitu al-ṭalaq الطلَق ,“dengan penambahan huruf alif “ا
“di depan huruf lam “ل“diambil dari kata dasar “ -طلق-طلقا
َ َٚ “طلَقاsecara
bahasa berarti memberikan, lepas dari ikatan-nya, berpisah, atau bercerai
(Achmad W. Munawwir dan M. Fairuz, 2007: 861).Al-Jazīrī dan al-Zuḥailī
menyebutkan makna talak secara bahasa yakni memudarkan ikatan, melepas ikatan,
atau memisahkan ikatan, baik bersifat fisik seperti ikatan kuda dan ikatan
tawanan, maupun bersifat maknawi seperti ikatan pernikahan. Misalnya dengan
sebutan, “ṭalaq al-naqah” atau
“naqatun ṭoliqun”,artinya memudarkan ikatan unta dan
melepaskannya, atau unta yang terlepas.
Mengacu pada makna bahasa tersebut,
dipahami bahwa kata talak (ṭalāq: Arab) mengandung makna umum, meliputi semua
bentuk pelepasan suatu ikatan, baik secara zahir maupun secara maknawi. Secara
zahir maksudnya melepaskan ikatan sesuatu yang tampak ada tali pengikatnya,
sementara secara maknawi maksudnya suatu ikatan yang secara makna memiliki
ikatan, seperti ikatan keluarga, ikatan nasab, ikatan pernikahan, ikatan
suadara, ikatan suku dan budaya, dan lainnya.
Adapun menurut terminologi/istilah,
rumusan makna talak cenderung diarahkan dan dikhususkan hanya pada makna
pelepasan ikatan pernikahan, atau perceraian antara suami-isteri. Menurut
al-Zuḥailī, talak secara istilah berarti melepas ikatan pernikahan dengan kata
talak (cerai) atau yang sejenisnya (Wahbah Muṣṭafā al-Zuḥailī, 2017: 579).
10 Amiur Naruddin dan
Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam
DiIndonesia, (Jakarta: Kencana,
2006), 9 hal. 66
Definisi yang serupa juga disebutkan oleh Sayyid Salim.
Menurutnya, talak secara syariat adalah melepaskan ikatan pernikahan atau
memutuskan hubungan perni-kahan saat itu juga atau dikemudian waktu dengan
lafaz tertentu (Abū Mālik Kamal ibn al-Sayyid Salim, 2013: 583). Dua definisi
tersebut memiliki maksud yang sama, bahwa talak merupakan perceraian atau
putusanya ikatan pernikahan suami-isteri yang terjadi sesaat setelah suami
mengucapkan lafaz talak, atau lafaz sejenisnya. Lafaz yang sejenisnya bermaksud
semua bentuk lafaz yang memberi indikasi kuat bahwa ucapan suami tersebut
ditujukan untuk bercerai, misalnya dengan kata, “saya ceraikan kamu”, “saya
tidak mau lagi hidup berumah tangga dengan kamu”, dan kalimat lain yang senada
dengan itu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas,
rumusan talak setidaknya memiliki poin poin yaitu proses memutuskan ikatan
pernikahan, dilakukan oleh suami terhadap isteri, akibatnya mengurangi hak
talak suami, dilakukan dengan ucapan talak atau lainnya. Dengan demikian, talak
adalah perceraian antara suami dengan isteri atas inisiatif suami, sehingga
dengan inisiatif tersebut mengurangi jumlah hak talak suami yang dilakukan
melalui ucapan talak atau lafaz lainnya yang memiliki indikasi yang sama dengan
makna talak.
2. Dasar Hukum Talak
Perspektif Islam tentang talak hadir oleh
karena adanya petunjuk dasar pembolehannya dalam Alquran maupun hadis, bahkan
ulama sepakat bahwa talak dalam kondisi-kondisi tertentu memang dibolehkan bagi
seorang suami yang ingin menceraikan isteri. Tidak hanya itu, petunjuk dan
dasar pensyariatan talak secara langsung difirmankan kepada Rasulullah saw. Hal
ini mengacu pada ketentuan QS. al-Ṭalaq ayat
1.artinya: “
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar
kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah
dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.[11]
Imām al-Suyūṭī menyebutkan ayat ini
turun berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas, “suatu ketika Abdu Zaid (Abu
Rukanah)” menalak isterinya Ummu Rukanah. Ia kemudian menikahi wanita lain dari
Mazinah. Ummu Rukanah Lantas mendatangi Rasulullah saw., dan berkata, “alangkah
malangnya saya. Hubungan suami saya dan saya hanyalah laksana sehelai rambut
ini (begitu rapuhnya)”. Tidak lama kemudian turunlah ayat tersebut. Dalam
riwayat lain, Imām al-Suyūṭī juga menyebutkan bahwa hadis tersebut turun
berkenaan dengan salah satu riwayat dari Qatadah dari Anas bin Malik yang
berkata, “suatu ketika Rasulullah saw., menalak Hafsah. Ia kemudian kembali ke
keluarganya”, Allah kemudian menurunkan ayat tersebut” (Imām al-Suyūṭī, 2015:
581582). Riwayat tersebut secara hukum
mengandung informasi bahwa Rasulullah saw., sendiri telah melakukan talak
kepada isterinya dan tentunya diperkenankan, bahkan ada penegasan secara khusus
dalam QS. al-Ṭalāq ayat 1, yaitu jikapun terpaksa untuk melakukan talak, maka
prosesnya harus dilakukan ketika isteri mudah melaksanakan masa idah. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Islam melegalkan talak dengan tata cara tertentu
sebagaimana maksud ayat tersebut.Menurut para ulama, cara talak agar isteri
menjalankan masa idah secara wajar sebagaimana maksud QS. al-Ṭalāq ayat 1
sebelumnya adalah hanya dilakukan apabila isteri dalam keadaan suci dari haid
atau belum digauli. Sebab, menalak isteri dalam keadaan haid akan memperlama
idah isteri sebab ia akan menghitungnya setelah suci. Sementara larangan menalak
isteri sesaat setelah dilakukannya jimak karena ada kemungkinan benih janin di
dalam rahim isteri sehingga juga akan memperlama isteri dalam melaksanakan idah
(Abdus Sami‟ Ahmad Imam, 2016: 156-157). Selain alasan itu, para ulama juga
memandang bahwa biasanya suami cenderung akan menahan untuk menalak isteri dan
amaranya akan terkendali pada saat setelah isterinya telah suci. Yūsuf
al-Qaraḍāwī dan al-Barūdī menyebutkan yang pada intinya boleh jadi pihak suami
terhalang untuk menyalurkan naluri seksual pada saat haid, maka ia mentalak
suami. Karena ada larangan tersebut, maka anjuran menceraikan isteri pada saat
suci sangat mungkin tidak terealisasi sebab suami sudah bisa kembali
menggaulinya. Selain itu, amarah suami pada saat isteri haid boleh jadi akan kembali
turun ketika sesaat setelah isterinya telah mengalami masa suci, sehingga suami
tidak lagi menceraikannya.Poin inti yang dapat dipahami dari ketentuan dalil di
atas adalah talak disyariatkan dalam Islam namun harus dilakukan dengan cara
dan waktu tertentu seperti menceraikan isteri pada saat isteri suci atau pada
saat isteri belum digauli sebelumnya. Dalil lain yang umum digunakan sebagai
dasar hukum talak mengacu pada ketentuan QS. al-Baqarah ayat 229 artinya:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Imam al-Suyuṭi menyebutkan ayat ini
turun berkanaan dengan riwayat dari Ibn Juraij, dia berkata, “ayat ini turun
pada Tsabin bib Qais dan Habibah, isterinya. Habibah mengadukan perihal
suaminya kepada Rasulullah saw., untuk kemudian meminta diceraikan. Maka
Rasulullah saw., berkata kepada Habibah, “apakah engkau mau mengembalikan kebun
yang dia jadikan mahar untukmu”. Habibah menjawab, “ya saya mau”. Kemudian
Rasulullah saw., memanggil Tsabit bin Qais dan memberitahunya tentang apa yang
dilakukan isterinya. Maka Tsabit bin Qais berkata, “apakah dia rela
melakukannya?”, Rasulullah saw., menjawab, “ya, dia rela”. Isterinya pun
berkata, “saya benar-benar telah melakukannya”. Maka turunlah ayat tersebut
(Imam al-Suyuṭi, 2015: 99).
Selain perspektif Alquran, dasar hukum
talak juga berdasarkan perspektif hadis Rasulullah saw. Riwayat hadis tentang
talak cukup banyak, di antaranya adalah riwayat
Bukhārī dari Abdullāh bin Umar: “Dari Abdullāh bin Umar
ra., bahwa pada masa Rasulullah saw, ia pernah menceraikan isterinya dalam
keadaan haid, maka Umar bin alKhaṭṭāb pun menanyakan hal itu kepada Rasulullah
saw. Maka Rasulullah saw., bersabda: “Perintahkanlah agar ia segera merujuknya,
lalu menahannya hingga ia suci dan haid kembali kemudian suci. Maka pada saat
itu, bila ia mau, ia boleh menahannya, dan bila ingin, ia juga boleh
menceraikannya. Itulah idah yang diperintahkan oleh Allah Swt., untuk mentalak
isteri”. (HR. Bukhārī). Makna dari hadis tersebut secara hukum mengandung
informasi yang ada kaitannya dengan ketentuan QS. al-Ṭalāq ayat 1 sebelumnya.
Artinya, pelaksanaan talak harus dilakukan saat isteri dapat menjalankan masa
idah secara wajar. Tidak dibolehkan menalak isteri dalam keadaan haid, sebab
hal itu akan menyusahkan isteri sebab lamanya masa idah yang ia lakukan. Dalam
konteks hadis tersebut, Rasulullah saw., menyuruh Abdullāh bin Umar ra., agar
merujuk kembali isteri yang ditalak saat haid, kemudian boleh untuk tidak
melanjutkan perceraian dan boleh juga menceraikan isterinya dalam keadaan suci.
Minimal dari tiga dalil naqli di atas cukup memberi pemahaman bahwa talak dalam
hukum Islam adalah sesuatu yang dilegalkan. Apabila suami sudah tidak lagi
melihat adanya manfaat dari hubungan pernikahannya, dan justru menimbulkan
mafsadat maka ia boleh melakukan talak kepada isterinya itu, dan dibolehkan
juga pihak isteri meminta cerai kepada suaminya dengan syarat ada ganti berupa
mahar yang telah suaminya berikan.
3. Bentuk-bentuk talak
a. Talak dilihat dari lafaz yang digunakan
Dilihat dari lafaz, maka talak dibagi
ke dalam dua bentuk, yaitu talak dengan ungkapan ṣarīḥ dan talak dengan
ungkapan kināyah (Syamsul Rijal Hamid, 2017: 417418). Ibn Rusyd menyatakan
kedua ungkapan tersebut merupakan pendapat jumhur ulama (Ibn Rusyd, 2016: 136).
Talak ṣarīḥ yaitu talak dengan ungkapan yang jelas dan tegas dan tidak
membutuhkan adanya niat di dalamnya, seperti kata ṭalāq (talak), firāq (cerai),
sarāḥ (lepas). Dikatakan talak ṣarīḥ karena ketiga kata tersebut terdapat di
dalam syariat dan disebutkan secara berulang-ulang dalam Alquran. Lafaz
al-ṭalāq (talak) disebutkan dalam QS. Ṭalāq ayat 1, lafaz firāq (cerai)
disebutkan dalam QS. Ṭalāq ayat 2, dan lafaz sarāḥ (lepas) ditemukan dalam QS.
al-Aḥzāb ayat 28. Selain alasan tersebut, dikatakan talak ṣarīḥ juga karena
tidak ada kemungkinan adanya keraguan tentang makna lafaz tersebut kecuali
hanya dimaknai keinginan suami untuk berpisah atau bercerai.
Rizem Aizid menyebutkan talak ṣarīḥ atau talak dengan
menggunakan lafaz yang eksplisit merupakan setiap kata yang bisa langsung
dipahami makna talak ketika diucapkan (Rizem Aizid, 2018: 182). Dengan
demikian, ulama telah membatasi tiga kata tersebut dalam cakupan ṭalāq, firāq,
atau sarāḥ. Ungkapannya dapat dibuat pemisalannya seperti suami menyatakan
kepada isteri, “saya talak kamu”, “saya ingin cerai (firāq)”, atau “saya
melepaskan (sarāḥ) kamu”.
Adapun talak kināyah yaitu talak
kiasan yang membutuhkan penegasan niat dari pihak suami. Dalam pengertian lain,
talak kināyah yaitu talak yang dilakukan dengan menggunakan lafaz yang
implisit, namun lafaz yang digunakan mirip pengertiannya dengan lafaz talak.
Misalnya, dengan menggunakan kalimat, “Pulangkah kamu ke rumah orang tuamu!”.
Dalam konteks ini, jika suami meniatkannya sebagai talak, maka jatuh talak.
Sementara jika suami tidak meniatkannya sebagai talak, maka talak tidak jatuh.
Intinya, lafaz sindiran atau kināyah masih memerlukan
kejelasan maksud suami. Dalam hal ini, isteri tentu boleh menanyakan maksud
perkataan tersebut, atau ia mengadukan kepada keluarganya dan keluarganya
kemudian menanyakan secara langsung apakahmaksud lafaz kināyah tersebut
ditujukan untuk talak atau bukan.
b. Dilihat dari segi konsekuensi hukum talak
Dilihat dari segi konsekuensi atau akibat
hukum talak, maka talak dibedakan
menjadi dua macam, yaitu talak bā‟in dan talak raj‟ī.
Talak bā‟in merupakan talak yang berakibat pada suami tidak halal lagi terhadap
isterinya dan tidak ada hak rujuk baginya kecuali dengan akad nikah dan mahar
yang baru. Misalnya, talak kesatu atau kedua yang suami pada saat itu belum
merujuknya hingga akhir masa idah. Keadaan habisnya masa idah isteri sementara
mereka belum bersatu kembali maka kondisi ini disebut dengan talak bā‟in
ṣughrā. Dalam contoh yang lain misalnya perceraian dengan khulu‟. Artinya, jika
isteri ingin bercerai dan ada pembayaran ganti rugi di dalamnya maka status
adalah talak bā‟in. Dalil yang biasa digunanakan dalam khulu‟ yaitu QS.
al-Baqarah ayat 229 yang sebelumnya telah dikutip, adapun bagian ayat yang
berhubungan khulu‟ adalah:
“ ...Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukumhukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orangorang yang zalim”.
Talak bā‟in dibedakan menjadi dua,
yaitu bā‟in ṣughrā dan bā‟in kubrā. Talak bā‟in ṣughrā telah disebutkan
sebelumnya, sementara talak bā‟in kubrā merupakan talak tiga yang dilakukan
secara bertahap atau sekaligus menurut jumhur ulama dengan konsekuensi isteri
tidak halal lagi untuk digauli kecuali mantan isteri telah menikah dan berjimak
dengan suami barunya dan mereka telah bercerai secara wajar. Dalil yang relevan
dengan kasus ini mengacu pada ketentuan QS. al-Baqarah ayat 230 yang artinya:
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak
ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.
Dengan demikian, talak bā‟in kubrā
berpengaruh terhadap kehalalan isteri, ementara dalam kasus bā‟in ṣughrā tidak
menghilangkan kehalalan isteri tetapi dengan syarat harus melakukan akad nikah
dan mahar yang baru. Dilihat dari kesesuaian penjatuhan talak dengan
pensyariatannya. Adapun talak dilihat dari kesesuaian penjatuhan talak dengan
dalil pensyariatannya juga dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu talak sunnī dan
talak bid‟ī. Talak sunnī adalah talak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Alquran dan sunnah.
Sementara talak
bid’I merupakan talak yang dijatuhkan menyalahi ketentuan Alquran dan sunnah
(A. Hamid Sarong, 2010: 133). Al-Tuwaijiri menyebutkan talak sunnī (sunnah)
yaitu suami menalak isterinya dalam keadaan suci dan belum digauli sebelumnya.
sementara talak bid‟ī (bid‟ah) adalah talak yang menyalahi sunnah. Talak
bid‟īterdapat dalam dua kondisi, yaitu talak bid‟ī dari sudut waktu dan dari
sudut jumlah bilangan talak (Abdullāh al-Tuwaijīrī, 2015: 1057).Dari sisi
waktu, talak bid‟ī terbatas pada dua hal, yaitu suami menceraikan isterinya
pada masa haid, atau dalam masa suci dan suami mengumpulinya (berjimak) pada
waktu itu, sedangkan isterinya masih aktif haid dan belum diketahui
kehamilannya. Dalilnya mengacu pada ketentuan hadis riwayat dari Nafi' yang
artinya:
“ Telah menceritakan kepada kami al-Qa‟nabi, dari Malik
dari Nafi‟ dari Abdullah bin Umar bahwa ia telah menceraikan isterinya yang
dalam keadaan haid pada zaman
Rasulullah ىلص هللا هيلع ملسو .Kemudian Umar bin Al
Khathab :bersabda ملسو هيلع هللا ىلص Rasul. tersebut hal mengenai ملسو هيلع
هللا ىلص Rasulullah kepada
bertanya"Perintahkan dia agar kembali kepada isterinya kemudian menahannya
(tidak menceraikannya) hingga suci, kemudian haid, kemudian suci, kemudian
apabila menghendaki maka ia bisa menahannya setelah itu, dan apabila ia
menghendaki maka ia boleh menceraikannya sebelum ia menggaulinya. Itulah iddah
yang Allah perintahkan jika ingin mencerakan wanita (hendaknya pada kondisi
tersebut). (HR. Abī Dāwud).
Sedangkan talak bid‟ī dari sudut
bilangan jika suami menceraikan isteri dengan labih dari sat talak, seperti
jika dia menjatuhkan talak dua dengan mengatakan, “kamu dicerai dengan dua
talak”, atau “kamu dicerai dengan talak tiga”. Menurut al-„Uṡaimīn, talak
tersebut masuk sebagai talak bid‟ī karena tidak sesuai dengan ajaran sunnah.
Sebab, yang sesuai dengan ajaran sunnah adalah agar suami menceraikan isteri
satu kali talak.
Dalil
yang berhubungan dengan hal tersebut adalah riwayat hadis dari Abdullah bin
Ali bin Sa‟ib sebagai berikut yang artinya: “Dari Abdullah
bin Ali bin As Saib dari Nafi' bin 'Ujair bin Abdu Yazid? bin Rukanah, bahwa
Rukanah bin Abdu Yazid telah menceraikan isterinya yaitu Suhaimah sama sekali,
kemudian ia mengabarkan kepada
Nabi Muhammad ىلص هللا هيلع ملسو
dengan hal tersebut. Dan ia berkata;
“Demi Allah aku tidak berniat kecuali satu kali. Kemudian
Rasul ىلص هللا هيلع ملسو berkata: “Demi Allah, engkau tidak berniat
kecuali satu kali”. Kemudian Rukanah berkata; demi Allah, aku tidak berniat
kecuali satu kali. Kemudian Rasulullah ىلص هللاهيلع ملسو mengem-balikan
isterinya kepadanya. Kemudian ia mencerai-kannya kedua kali pada zaman Umar dan
ketiga kali pada zaman Utsman. (HR. Abī Dāwud)
Talak dalam Islam juga cukup beragam, baik dilihat dari
sisi lafaz, akibat hukum, maupun kesesuaian dengan dalil hukum. Untuk itu,
dapat dirinci kembali dalam poin berikut:
a. Dilihat
dari sisi lafaz yang digunakan saat talak: Talak yang ekplisit atau ṣarīḥ
(tegas
dan jelas) dan Talak yang implisit kināyah (masih samar-samar atau sindiran)
b. Dilihat
dari sisi akibat talak: Talak bā‟in yaitu terbagi dua alak bā‟in ṣughrā dan
alak bā‟in kubrā.kemudian talak raj‟ī
c. Dilihat
dari sisi kesesuainnya dalil talak: Talak sunnī dan Talak bid‟ī.[12]
4. Filosofis Talak
Mungkin seseorang menyanggah dalam
pokok (dasar) pensyariatan talak dengan mengatakan: Apabila talak benar-benar
dibenci oleh pemberi syariat Islam (Allah) sebagaimana yang dulu anda katakan-
mengapa dia tidak mengharamkannya? Pada dasarnya, bagaimana kehalalan bisa
berkumpul dengan kebencian? Mengapa Islam memperbolehkan talak? Dalam jawaban
harus dikatakan: Pada satu saat talak adalah hal yang jelek dan dibenci, namun
pada sebagian kondisi adalah suatu keharusan yang tidak bisa dicegah. Misalnya
memotong anggota tubuh adalah sesuatu yang menyakitkan dan dibenci. Namun dalam
sebagian situasi dan kondisi memotong anggota badan adalah keharusan dan untuk
kemaslahatan manusia. Seperti halnya dalam kasus penyakit kanker seperti itu.
Apabila melanjutkan ikat jalan lain melainkan talak, maka talak adalah jalan
(cara) terbaik penyelesaian. Sebagai contoh salah satu persoalan ini adalah
ketika api asmara dan cinta sang suami secara umum telah padam dan sama sekali
tidak mencintai istrinya. Dalam kasus seperti ini istri telah jatuh dari
kedudukan cinta dan daya tariknya, dan fondasi keluarga telah hancur. Sebuah
rumah tangga yang tidak ada cinta didalamnya adalah dingin, gelap dan
menakutkan. Bukan hanya tempat yang tidak tenang bagi istri dan suami tetapi
juga penjara, gelap bagai neraka jahannam.
Perkawinan adalah ikatan alamiah yang
terikat antara suami dan istri, sangat berbeda dengan perjanjian-perjanjian
sosial seperti jual beli, pegadaian, perdamaian dan kerja sama. Semua ini
merupakan perjanjian-perjanjian yang hanya bersifat sosial dan anggapan belaka
dimana alam dan naluri tidak ikut campur di dalamnya. Berbeda dengan pernikahan
yang merupakan suatu ikatan alamiah dan mempunyai akar dalam kontek alam dan
naluri kedua pasangan dan bersumber dari bentuk ketertarikan internal suami
istri dan kecenderungan menyatu, berkaitan dan satu hati. Keterkaitan ini
dengan dua bentuk yang berbeda dalam tabiat kedua pasangan. Dari pihak suami
dengan bentuk cinta, rasa suka, keinginan dan memiliki pribadi istri. Dan dari pihak
istri dengan bentuk pesona, daya tarik, menundukkan hati dan mengambil hatinya.
Bangunan rumah tangga tegak atas dua fondasi ini. Dan apabila kedua pasangan
sampai kepada keinginan internal dirinya, maka pusat rumah tangga menjadi
hangat, tentram dan elok. Suami akan bersemangat dan penuh harapan terhadap
keluarganya. Dan akan bersungguh-sungguh dan berkorban untuk menjamin
kesejahteraan mereka. Dan istri akan menganggap dirinya sukses dan beruntung.
Dan berusaha dengan berkorban sebagai istri, ibu rumah tangga dan pengasuh
anak.
Namun apabila seorang suami tidak lagi
mencintai istrinya yang sah dan bosan bertemu dan bergaul dengannya dan si
istri juga merasakan bahwa dia sudah tidak dicintai dan suaminya tidak
mencintainya. Dalam asumsi seperti ini, keluarga sudah kehilangan dua fondasi
pokoknya dan sudah termasuk hancur. Kehidupan dalam keluarga yang dingin dan
saling berpencar bagi istri dan suami adalah sangat sulit dan menyakitkan. Dan
melanjutkan rumah tangga seperti ini sama sekali tidak baik bagi kedua
pasangan. Dalam syarat-syarat seperti ini, Islam walaupun membenci talak,
menganggapnya jalan keluar paling baik dan memperbolehkannya. Pensyariatan
hukum talak untuk kasus-kasus seperti ini.
Permasalahan lain adalah tidak adanya
keharmonisan akhlak (moral). Apabila istri dan suami tidak mempunyai keserasian
moral, memiliki pemikiran ganda, keduanya angkuh dan keras kepala, siang malam
percekcokan, pertengkaran, keduanya tidak mendengarkan nasehat dan petunjuk
orang. Sama sekali tidak siap untuk memperbaiki dan membetulkan diri mereka.
Kehidupan dalam rumah tangga seperti ini juga sangat sulit dan menyakitkan. Dan
melanjutkan rumah tangga seperti ini tidak menguntungkan istri ataupun suami.
Dalam kasus seperti ini juga, talak adalah jalan keluar terbaik. Dan Islam
memperbolehkannya. Oleh karena itu, talak dalam sebagian kasus adalah suatu
keharusan sosial dan jalan terbaik dan tidak bisa dicegah.[13]
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
Pernikahan bagi umat manusia adalah
sesuatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak
terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syariat agama. Orang
yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu
birahi yang bertengger dalam tubuh dan jiwanya, melainkan untuk meraih
ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi di antara suami istri dengan
dilandasi cinta dan kasih sayang.
Ada kalanya di dalam pernikahan terjadi
percekcokan antara suami isteri, jika hal itu tidak dapat diperbaiki kembali,
tentu kedua pihak akan merasa menderita dengan ikatan yang sedang mereka jalani
karena sudah tidak berlandaskan lagi kepada rasa cinta dan kasih sayang, yang
ada malah kebencian satu sama lain. Maka dalam keadaan genting seperti ini
Islam memberikan solusi yang terakhir yaitu talak. Meskipun ia diperbolehkan
tapi ia sangat dibenci oleh Allah, kalaupun harus terjadi perceraian secra
terpaksa, maka setelah ikatan mereka putus hendaknya sudah tidak ada lagi
kebencian dan permusuhan, tapi hubungan yang baik sebagai sesama muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq. 2013. Hukum Perdata Islam di
Indonesia Edisi Revisi. Semarang: Rajawali Pers. al-Ghozali, Abd Rahman. 2015.
Fiqh Munakahat Cet. 7. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Fuad, Mohammad Fachruddin. 1966.
Filsafat dan Hikmat Syariat Islamjilid I. Jakarta: Bulan Bintang.
Hamidy, Mu’ammal dan Imron AManan. 2011.
Tafsir Ayat Ahkam Juz 2. Surabaya: Bina Ilmu.
Naruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan.
2006. Hukum Perdata Islam DiIndonesia. Jakarta:
Kencana.
Rasjid, Sulaiman. 2003. Fiqh Islam cet. 36.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqih Munakahat
Juz 1. Bandung: Pustaka Setia.
Suprriyadi, Dedi. 2009. Fiqih Munakat
Perbandingan. Bandung: Pustaka Setia.
Ulfa, Maria dan Mahtuf Ahnan. Risalah Fiqih
Wanita. Surabaya: Terbit Terang.
Zuhra, Jamhuri. 2018. Konsep Talak
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (Analisis Waktu Dan Jumlah Penjatuhan Talak).
Media Syari’ah. Vol. 20, No. 1.
[1] Beni Ahmad Saebani,
Fiqih Munakahat Juz 1, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), hal. 11
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2003), hal. 374
[3] Fuad Mohammad
Fachruddin, Filsafat dan Hikmat Syariat
Islam Jilid I, (Bandung: Pustaka Setia,
[4] ), hal. 168
[5]
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat Juz 1,
(Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 9
[6] Mahtuf Ahnan dan
MariaUlfa, Risalah Fiqih Wanita,
(Surabaya: Terbit Terang), hal. 272
[7]
Mu’ammal Hamidy dan Imron AManan, Tafsir Ayat Ahkam Juz 2, (Surabaya: Bina
Ilmu, 2011), hal.
[8] Beni Ahmad Saebani,
Fiqih Munakahat Juz 1, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), hal. 19
[9]
Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat
Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal.32-33
[10] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia Edisi
Revisi, (Semarang: Rajawali Pers, 2013), hal. 74
[11] Jamhuri Zuhra,Konsep Talak Menurut
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (Analisis Waktu Dan Jumlah Penjatuhan Talak), Media
Syari‟ah, Vol. 20, No. 1, 2018.
[12]
Abd Rahman al-Ghozali,
Fiqh Munakahat, Cet. 7, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015.
[13] Abdul Ghani, Abud, Keluarga Muslim
dan Berbagai Masalahnya, terj. Mudzakkir AS., Bandung: Penerbit Pustaka, 1987.