BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pernikaham merupakan diantara dua insan yang mempunyai banyak
perbedaan baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir
(mental) pependidikan dan lain-lain hal. Dalam pandangan islam pernikahan
merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat
hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat. Allah menanamkan
cinta dan kasih saying apabila keduanya menjalankan hak dan kewajiban karena
Allah dan mencari keridhaan Allah, itulah yang akan dicatat sebagai ibadah.
Islam memandang hubungan antara suami dan istri hanya sekedar
hubungan semata, tetapi lebih dari itu islam telah mengatur dengan jelas
bagaimana sebuah hubungan agar harmonis dan tetapberlandaskan pada tujuan
hubungan tersebut, yakni hubungan yang dibangun atas dasar cinta kepada Allah
SWT.
Tidaklah mudah untuk membentuk keluarga yang dmai, aman, bahagia,
sejahtera. Diperlukan perngorbanan serta tanggung jawab dari masing-masing
pihak dalam menjalankan peran dalam keluarga. Rasa cinta, hormat, setia, saling
menghargai dan lain sebagainya merupakan hal wajib yang perlu dibina baik suami
maupun istri.
Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis akan mengupas beberapa
hal yang berkaitan tentang hak dan kewajiban antara seorang suami dan istri.
Hak yang didasarkan pada kesadaran buka sekedar kebutuhan, dan kewajiban yang
didasari pada kasih saying dan bukan hanya menjalankan tugas belaka. Dan islam
telah menjadikam hubungan antara suami istri ini begitu indah jika kita mampu
menjalankan dalam biduk rumah tangga.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian hak dan kewajiban suami
istri ?
2.
Apa sajakah hak dan kewajiban suami
terhadap istri ?
3.
Apa sajakah hak dan kewajiban istri
terhadap suami ?
4.
Apa sajakah kewajiban dan hak bersama
antara suami istri ?
1.3. Tujuan Masalah
1.
Untuk memahami pengertian hak dan kewajiban suami istri
2.
Untuk memahami hak dan kewajiban
suami terhadap istri
3.
Untuk memahami hak dan kewajiban
istri terhadap suami
4.
Untuk memahami hak dan kewajiban
bersama antara suami dan istri
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Kewajiban dan Hak Suami Istri
2.1.1. Pengertian Kewajiban
Suami Istri
Pengertian wajib dalam terminologi hukum Islam dapat diartikan sebagai
tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan dan tidak boleh
ditinggalkan. Wajib dapat pula diartikan sebagai perintah-perintah yang mesti
dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan) mendapat pahala, jika
tidak dikerjakan maka berdosa.
Kewajiban merupakan implikasi dari adanya perintah (amar) yang bersifat
memaksa untuk dikerjakan. Kecuali jika ada penghalang yang dibenarkan syara’.
Dalam konteks fiqih munakahat, kewajiban dikaitkan dengan pemenuhan hak yang
dimiliki suami atau istri. “Dalam hubungan suami istri hak suami merupakan
kewajiban bagi istri, dan kewajiban suami merupakan hak bagi istri.[1]
Memahami pengertian di atas, dapat dikemukakan bahwa kewajiban dalam
konteks relasi suami istri adalah tuntutan yang harus dilaksanakanoleh suami
atau istri dalam rangka memenuhi hak pasangannya. Dengan demikian menjalankan
kewajiban rumah tangga berarti memenuhi hak daripasangan, baik suami atau
istri. Timbulnya kewajiban dan hak dalam konteks perkawinan, dikarenakan suami
istri terikat dalam suatu perjanjian atau kesepakatan hidup bersama yang
mendapat legitimasi oleh hukum agama, maupun hukum positif. Dalam perspektif
hukum Islam perkawinan diartikan sebagai akad atau perjanjian yang mengandung
maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau
za-wa-ja.
Penggunaan lafadz akad sebagaimana disebutkan dalam definisi diatas,
menegaskan bahwa pernikahan adalah peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis
semata.[2]
Dengan demikian setiap pernikahan yang sah dalam
pandangan hukum Islam, mengandung implikasi hukum berupa kewajiban dan hak bagi
suami istri.
Akad nikah yang dilakukan secara sah sesuai ketentuan hukum Islam, mengandung
akibat hukum yang mengikat dan harus dijalankan oleh suami istri. Pernikahan
tidak hanya bertujuan untuk memenuhi insting dan berbagi keinginan bersifat
materi. Lebih dari itu, terdapat berbagai tugas yang harusdipenuhi, baik
kejiwaan, ruhaniyah, dan kemasyarakatan yang harus menjadi tanggung jawabnya. Perkawinan
menimbulkan relasi hukum antara kewajiban dan hak sebagai subyek hukum dengan
suami istri sebagai obyek hukum. Dengan demikian tindakan yang dilakukan suami
istri dalam menjalankan kewajibannya, merupakan tindakan yang memiliki
implikasi hukum, yang ditandai dengan adanya sanksi sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam hukum Islam, maupun hukum positif.
2.1.2. Dasar Hukum Kewajiban Suami Istri
Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan istri, untuk
merealisasikan ibadah kepada Allah SWT, yang menimbulkan akibat hukum
keperdataan diantara keduannya. Karena tujuan perkawinan yakni membina keluarga
bahagia, kekal, dan abadi.[3]
Mengingat bahwa sahnya perkawinan mengacu kepada hukum Islam, maka ajaran agama
Islam memberikan landasan hukum tentang kewajiban dan hak dalam perkawinan. Dasar
hukum adanya kewajiban dalam perkawinan dapat dipahami dari al-Qur’an sebagai berikut
:
Artinya: “Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri, ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”.
(Q.S. an-Nisa’ 34)
Ayat di atas menjelaskan relasi timbal balik dalam memenuhi kewajian
rumah tangga. Suami mendapat pengakuan sebagai pemimpin rumah tangga dengan
kelebihan yang dimilikinya, yang berimplikasi kepada kewajiban suami memberi
nafkah anggota keluarga. Sedangkan istri memiliki kewajiban untuk menjaga
kehormatan dirinya, baik ketika suami ada di rumah, maupun di luar rumah. Dasar
kewajiban dalam perkawinan juga dapat dipahami dari Kompilasi Hukum Islam,
Pasal 77 sebagai berikut :
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi
sendi dasar dan susunan susunan masyarakat;
b. Suami istri wajib saling cinta mencintai,
hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang
lain;
c. Suami istri memikul kewajiban untuk
mengasuh dan memelihara anakanak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani,
rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya;
e. Jika suami atau istri melalaikan
kewajibannya nasing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Pasal di atas menjelaskan kewajiban suami istri untuk mewujudkan tujuan
rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah.[4]
Landasan dari realisasi kewajiban tersebut adalah adanya cinta dan kasih sayang
antara suami istri, sehingga peranan yang ditampilkan bukan peranan yang
bersifat lahiriah saja, tetapi didorong oleh kasih sayang suami istri.
Pelaksanaan kewajiban lahiriah seperti memberi nafkah oleh suami, dan mengurus keluarga
oleh istri, lebih bermakna dan berkualitas, ketika disatukan kasih sayang suami
istri.
2.1.3. Pengertian Hak Suami dan Istri
Pengertian hak menurut Amir Syarifuddin adalah apa yang mesti diterima
oleh seseorang dari orang lain. Menurut Ahmad Charis Zubair yang dikutip
Abuddin Nata, hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis
seseorang dapat mengerjakan, memliki, meninggalkan, dan memepergunakan sesuatu.
Menurut Amir Syarifuddin dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga
hak suami merupakan kewajiban bagi istri, sebaliknya kewajiban suami merupakan
hak bagi istri.[5] Hak
atau wewenang adalah izin atau kekuasaan yang diberikanoleh hukum kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Timbulnya hak
dalam konteks hukum keluarga adalah implikasi dari perkawinan sebagai peristiwa
hukum yang sah, dan diakui baik oleh hukum Islam, maupun hukum positif. Oleh
karena itu pengakuan terhadap hak perlu didukung dengan perlindungan hukum yang
menjamin terpenuhinya hak tersebut.
2.1.4. Dasar Hukum Hak Suami dan Istri
Dasar hukum perlindungan hak dalam perkawinan, dapat dilihatdari
berbagai perspektif, baik perspektif hukum Islam, maupun hukum positif
Indonesia. Dalam perspektif hukum Islam, dasar hukum hak dapat dilihat dari
asas keseimbangan yang diajarkan Islam dalam kehidupan rumah tangga, sebagaimana
dipahami dari al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat 228 sebagai berikut:
Artinya: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari
pada istrinya dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Al-Baqarah; 228)
Keseimbangan antara hak dan
kewajiban sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas, mengandung makna bahwa
hubungan antara suami dan istri dalam pandangan Islam bukan sekedar hubungan fisik
dan biologis semata. Akan tetapi
mengandung tugas ibadah yang harus dilakukan dengan cara ma’ruf.
Agama Islam telah menetapkan
keseimbangan yang timbal balik antara hak dan kewajiban dalam segala hal,
karena Islam merupakan agama syamil (menyeluruh) dan kamil (sempurna). Hal ini
juga berlaku dalam aturan rumah tangga, Islam mengatur hukum yang berkenaan
dengan hubungan timbal balik antara suami-istri secara adil dan proporsional.
Mengacu kutipan tersebut di atas, hubungan timbal balik antara suami istri
dalam pandangan hukum Islam didasarkan pada asas keseimbangan, dan keadilan.[6]
Peran yang dilakukan oleh masing-masing suami istri ditujuakan untuk memenuhi
hak dan kewajiban masing-masing, sehingga tercipta ketertiban hukum keluarga
bagi semua anggota keluarga. Pemenuhan hak dalam rumah tangga diatur secara
proporsional dan seimbang dengan kewajiban. Pemenuhan hak tersebut dalam ajaran
Islam dipandang sebagai bagian dari ibadah dalam rangka mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah,
wa rahmah.
Dasar hukum adanya hak dalam
perkawinan, selain dipahami dari
al-Qur’an juga dapat mengacu kepada hadis. Sebagaimana disebutkan hadis
sebagai berikut :
Artinya : “Takutlah
kalian kepada Allah dalam masalah wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil
mereka dengan amanat Allah Swt. Dan kalian mengambil kehalalan mereka dengan
kalimat Allah, dan bagi kalian terdapat hak atas mereka, yaitu agar mereka
tidak mengizinkan seorang yang tidak kalian sukai tidur di tempat tidur kalian
jika mereka melakukan hal itu, maka pukulah dengan pukulan yang tidak melukai,
dan bagi
mereka terdapat hak atas kalian, yaiti memberi rezeki mereka, dan
pakaian mereka, dengan cara yang baik dan sesungguhnya aku telah meninggalkan
pada diri kalian sekiranya kalian berpegang teguh kepadanya, maka tidak akan sekali-kali tersesat sesudahnya,
yaitu Kitabullah”. (H.R. Muslim)
Memahami Hadis tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa istri ditempatkan pada kondisi mulia yang
harus dijaga kehormatan dan haknya,
karena suami memperoleh kehalalan dari
istri berdasarkan amanah dan kalimat Allah (akad nikah). Perlindungan
terhadap hak sejalan dengan prinsip penegakan hak asasi manusia yang berlaku
kepada semua warga negara dalam semua lapisan masyarakat, termasuk suami
dan istri, sebagaimana dipahami dari
Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan sebagai berikut:
a. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 17
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia secara umum memberi
jaminan kepada suami istri, sebagai subyek hukum dan warga negara untuk
memperoleh hak dan keadilan di depan
hukum. Pasal 17 Undang-Undang tersebut berbunyi sebagai berikut :
Setiap orang tanpa deskriminasi berhak
untuk memperoleh keadilan, dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas
dan tidak memihak, sesuai dengan hukum
acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil
untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Memahami Pasal tersebut di atas, dapat dikemukakan
bahwasuami istri berhak memperoleh keadilan hukum dengan mengajukan pengaduan,
dan gugatan, baik dalam perkara perdata, maupun pidana. Suami juga berhak memperoleh
perlakuan hukum yang sama, baik dalam
tingkat gugatan maupun pada tingkat putusan.
b. Pasal 28 D Amandemen Undang-Undang Dasar
1945
Suami istri sebagai warga negara
juga berhak memperoleh jaminan dan perlindungan atas setiap perkara hukum yang dialaminya,
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28D Amandemen UndangUndang Dasar 1945,
yaitu: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukumyang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Pasal tersebut d memberikan
jaminan hukum kepada suami istri untuk memperoleh perlindungan dan
perlakuan yang adil di hadapan hukum, baik statusnya sebagai suami atau istri, maupun sebagai warga
negara.
c. Pasal 31 ayat (1), dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pengakuan terhadap hak dalam
perkawinan secara implisit juga disebutkan dalam Pasal 31 ayat (1),dan (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut :
1)
Hak dan
kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidupbersama dalam masyarakat.
2)
Masing-masing
pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
Memahami pasal tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa Undang-Undang
Perkawinan Tahun 1974 menegaskan adanya keseimbangan hak dan tindakan hukum
yang dapat dilakukan oleh suami atau istri, jika masing-masing pihak merasa
tidak memperoleh hak yang semestinya didapatkan.
2.2. Hak dan Kewajiban Suami terhadap
Istri
2.2.1. Hak Suami terhadap Istri
Batasan tentang hak suami
diperlukan untuk menghindari klaim tentang hak yang tidak ditemukan dasarnya dalam hukum Islam, maupun
hukum positif. Hak suami merupakan kewenangan yang diberikan syara’ untuk
bertindak, baik sebagai subjek hukum, maupun sebagai kepala rumah tangga, untuk memperoleh haknya dalam
perkawinan.
Menurut Tihami
dan Sohari Sahrani hak-hak suami tersebut meliputi :
1) Ditaati dalam hal yang bukan maksiat.
2) Istri menjaga dirinya sendiri dan harta
suami.
3) Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu
yang menyusahkan suami.
4) Tidak bermuka masam di hadapan suami.
5) Tidak menunjukkan keadaan yang tidak
disenangi suami[7]
Hak-hak suami di atas menunjukkan bahwa ruang lingkup hak suami berbeda
dengan hak istri. Hak suami lebih kepada hak non materi, dalam bentuk kepatuhan
istri, dan muasyarah bil ma’ruf, yang ditunjukkan oleh sikap istri dalam
kehidupan sehari-hari. Hak suami untuk ditaati oleh istri adalah hak yang wajar
diterima suami dalam kapasitasnya sebagai pemimpin rumah tangga. Kepatuhan
istri kepada suami tidak diartikan dalam
konteks bawahan dan atasan, dengan kewenangan
yang otoriter, tetapi kepatuhan yang didasarkan prinsip patneralistik,
mengingat relasi suami istri adalah relasi yang mencakup aspek lahiriah dan
batiniah.
Penekanan aspek batiniah dalam relasi suami istri menunjukkan bahwa
kepatuhan istri kepada suami adalah kepatuhan yang didasarkan pada kasih sayang
antara suami istri, sehingga implikasi yang timbul jika istri tidak patuh kepada suami, juga tidak keluar dari
konteks kasih sayang suami istri. Seperti sanksi yang diberikan kepada istri
yang nusyuz adalah sanksi yang bertujuan untuk mengembalikan istri kepada
kehidupan suami istri yang dilandasi kasih sayang.
2.2.2. Kewajiban Suami terhadap Istri
Suami sebagai pemimpin rumah tangga memiliki kewajiban mencakupi seluruh
kebutuhan anggota keluarga. Beban
kewajiban yang ditanggung suami lebih besar dibanding beban yang ditanggung
istri, mengingat suami memiliki kelebihan dalam aspek fisik dan mental. Pembebanan
kewajiban kepada suami sesuai dengan
besarnya hak yang diterima suami, yang tidak
dimiliki istri. Walaupun prinsip kewajiban dan hak suami istri berlaku seimbang, tetapi
proporsionalitasnya tidak dapat mengabaikan perbedaan kemampuan yang
secara fitrah dimiliki suami istri.
Dengan demikian besarnya kewajiban suami dibandingkan istri tetap dianggap memenuhi prinsip keseimbangan mengingat besarnya hak
serta kelebihan yang dimiliki suami.
Berdasarkan dengan kewajiban suami terhadap istri, Sayyid Sabiq
menjelaskan sebagai berikut :
Kewajiban suami terhadap istrinya adalah menghormatinya bergaul dengan
baik, memperlakukannya dengan wajar, mendahulukan kepentingannya yang memang
patut didahulukan untuk menyenangkanhatinya, lebih bersikap menahan diri dari sikap kurang menyenangkan di hadapannya, dan
bersabar ketika menghadapi setiap
permasalahan yang ditimbulkan istri.
Suami wajib memperlakukan istrinya dengan baik, memperhatikan
kepentingan istri, dan mencukupi kebutuhannya, baik kebutuhan lahir,
maupun batin. Kewajiban tersebut secara
umum mengarah kepada mu’asyarah bil ma’ruf, yaitu hubungan baik yang ditunjukkan oleh suami kepada
istri, baik lisan maupun perbuatan.
Suami memiliki kewajiban yang harus
dilaksanakan dalambentuk sebagai berikut :
1) Memberi keperluan hidup keluarganya untuk
kebutuhan ruhaniah dan jasmaniah.
2) Suami melindungi istri dan anak-anaknya
dari segala sesuatu yang dapat mengancam jiwa dan keselamatan, sebagaimana
suami berkewajiban memberi tempat kediaman.
3) Suami memenuhi kebutuhan sandang, pangan,
dan papan.
4) Suami berkewajiban menggauli istrinya dengan
baik dan benar.[8]
Berdasarkan kutipan di atas, kewajiban
utama suami sebagai kepala rumah tangga adalah memenuhi seluruh kebutuhan yang
dibutuhkan untuk kelangsungan suatu keluarga,
baik yang mencakup kebutuhan materi, maupun non materi. Pembenahan kewajiban
tersebut sesuai dengan pengakuan syara’
terhadap suami sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap
terpenuhinya seluruh kebutuhan yang dibutuhkan anggota keluarga.
Kewajiban suami ditegaskan pula dalam
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 80 sebagai berikut :
1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan
rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang
penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.
2) Suami wajib melindungi istrinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
3) Suami wajib memberikan pendidikan agama
kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4) Sesuai dengan penghasilannya suami
menanggung :
a. Nafkah,
kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b.
Biaya rumah tangga, biaya perawatan
dan biaya penngobatan bagi istri dan
anak;
c.
Biaya pendidikan bagi anak.
5) Kewajiban
suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di
atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6) Istri dapat membebaskan suaminya dari
kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat
(5) gugur apabila istri nusyûz.[9]
Mencermati ketentuan dalam pasal di
atas, dapat dikemukakan bahwa
kewajiban suami secara garis besar dapat
dikategorikan dalam dua kewajiban, yaitu
kewajiban materi dan non materi. Kewajiban materi suami berkaitan dengan
pemenuhan nafkah lahir kepada istri seperi makanan, pakaian, dan tempat
tinggal. Kewajiban non materi suami seperti menggauli istri dengan baik dan mendidiknya dengan benar.
2.3. Hak dan Kewajiban Istri terhadap
Suami
2.3.1. Hak Istri terhadap Suami
Hak istri atas suaminya dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu hak
materi dan hak non materi. Hal ini sebagaimana dikemukakan Wahbah Zuhaili
sebagai berikut :
Artinya : (Bagi
istri terdapat hak-hak yang bersifat materi, yaitu mahardan nafkah, dan hak-hak non materi, yaitu hubungandan perlakuan
yang baik dan keadilan).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dipahami bahwa hak yang seharusnya
diterima oleh istri dari suaminya terdiri dari hak yang bersifat materi,
yaitu pemberian mahar (mas kawin) dan nafkah, serta hak yang bersifat non materi yaitu hubungan dan
perlakuan yang baik dan keadilan bagi suami yang berpoligami.
1) Hak
Non Materi
Hak
non materi bagi istri merupakan
hak istri atas suaminya yang berkaitan
dengan kewajiban suami selain pada pemenuhan nafkah lahir, mahar, dan biaya hidup sehari-hari.[10]
Hak-hak
non materi bagi istri dapat meliputi hak-hak sebagai berikut :
a. Menggauli istri dengan baik.
b. Berlemah lembut kepada istri, bercanda dengannya dan menghormatinya
c. Bercengkerama pada malam hari dengan istri.
d. Mengajarkan masalah agama dan mendorong
melakukan ketaatan.
e. Tidak menyakiti dengan memukul mukanya atau mencelanya.
f.
Tidak
meninggalkannya kecuali di dalam rumah.
g. Menjaga
kehormatannya.
h. Tidak menyebarkan aib dan masalah keluarga
i.
Mengizinkan
ketika istri memohon untuk keluar guna
melakukan shalat jamaah atau mengunjungi kerabat ketika aman dari fitnah. [11]
Memahami kutipan di atas, dapat dikemukakan bahwa hak istri yang bersifat non materi adalah hak fundamental yang dibutuhkan dalam
tertib hukum dalam unit sosial manapun, termasuk dalam lingkungan keluarga
sebagai unit sosial terkecil, seperti hak diperlakukan secara manusiawi oleh
orang lain, hak berkominikasi, hak tidak disakiti, dan memperoleh informasi untuk
menambah pengetahuan. Bedanya dalam konteks hukum keluarga hak non materi tersebut berkaitan dengan
status individu suami istri yang terikat dalam perkawinan.
Menurut Sayyid Sabiq, perlakuan baik yang menjadi hak istri atas
suaminya memperlakukannya dengan wajar, mendahulukan kepentingan yang memang
patut didahulukan untuk menyenangkan hatinya, lebih bersikap menahan diri dari sikap
kurang menyenangkan di hadapannya, dan
bersabar ketika menghadapi setiap permasalahan yang ditimbulkan istri.[12]
Hak non materi bagi istri menekankan pentingnya mu’asyarah bil ma’ruf
(hubungan baik suami istri) sebagai pola
relasi yang berlaku secara universal, tanpa melihat perbedaan latar belakang suami istri. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan Islam
terhadap mu’asyarah bil ma’ruf dapat diuji relevansinya dengan berbagai
perspektif, termasuk perspektif gender sekalipun.
2) Hak Materi
Hak yang bersifat materi
yang ddimiliki istri menurut Sayyid
Sabiq yaitu mahar dan nafkah.Demikian pula menurut Abu Malik Kamal hak materi istri yaitu mahar dan nafkah.
1. Mahar (Mas Kawin) Mahar atau mas
kawin diartikan sebagai
“harta yang wajib diberikan suami
kepada wanita karena pernikahan, hubungan intim, dan pengabaian hubungan intim karena terpaksa. Menurut
definisi lain, mahar diartikan sebagai pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati
suami untuk menimbulkan kasih sayang bagi istri kepada calon suaminya.
Dasar hukum wajibnya mahar kepada
istri disebutkan dalam al_Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 4 sebagai
berikut :
Artinya : “Berikanlah
mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika
merekamenyerahkan kepada kamu sebagian
dari mas kawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebaagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (Q.S. an-Nisa’ ayat 4)
Islam dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan istri, yaitu
memberinya hak untuk memegang urusannya. Islam tidak menetapkan jumlah besar
atau kecilnya mahar. Islam menyerahkan masalah mahar itu berdasarkan kemampuan
masing-masing orang atau keadaan dan tradisi keluarganya.
Besarnya mahar tidak ditentukan, tetapi berdasarkan kemampuan suami, dan
kerelaan istri. Tidak ditentukannya besarnya mahar mengandung arti bahwa mahar
bukan alat tukar (iwadh) dalam konteks kepemilikan suami terhadap istri, dan
hak yang diperoleh suami atas manfaat yang ada pada diri istrinya. Substansi
dari mahar dilihar dari komitmen suami dalam memenuhi tanggung jawabnya,
terutama pada tanggung jawab materi.[13]
Menurut Muhammad Jawwad Mughniyah, mahar boleh berupa uang, perhiasan,
perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan, atau benda-benda
lainnya yang mempunyai harga.
Islam memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada laki-laki dan
perempuan menikah, agar masing-masing dapat menikmati hubungan yang halal dan
baik. Untuk mencapai halini, tentunya harus diberikan jalan yang mudah dan sarana yang praktis sehingga orang-orang
fakir yang tidak mampu mengeluarkan biaya yang besar mampu untuk menikah. Mereka ini merupakan golongan
mayoritas dari umat manusia. Oleh karena itu, Islam tidak menyukai mahar yang
berlebih lebihan. Sebaliknya,Isalm menghendaki bahwa setiap kali mahar itu
lebih murah sudah tentu akan memberikan keberkahan dalam kehidupan suami istri
karena mahar yang murah menunjukkan kemurahan hati dari pihak perempuan.
2. Nafkah
Nafkah dalam bahasa Arab disebut
dengan nafaqah ﻧﻔﻘﺔ berasal dari kata infaq
(memberi belanja), dan ikhraj (mengeluarkan belanja). Secara etimologi nafaqah ﻧﻔﻘﺔ menurut Wahbah Zuhaili berarti Sesuatu yang
dibelanjakan oleh seseorang untuk keluarganya. Adapun pengertian nafkah menurut
terminologi syara’ yaitu : ”Mencukupi kebutuhan orang yang menjadi
tanggungan dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal”.
Sayyid Sabiq menjelaskan pengertian nafkah yaitu memenuhi kebutuhan
makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan istri, jika ia orang kaya.
Mencermati uraian di atas, dapat dipahami bahwa pengertian nafkah lebih
menekankan pada kewajiban suami yang bersifat materi, yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk
makanan, pakaian, tempat tinggal dan pengobatan. Hal ini sebagaimana dijelaskan
oleh Amir Syarifuddin, Kewajiban materi suami kepada istri di samping mahar
yang diberikannya waktu akad nikah adalah nafaqah dalam bentuk makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Mangacu kepada uraian di atas,
maka pengertian nafkah dalam penelitian ini adalah bagian kewajiban suami yang bersifat materi kepada istri,
berupa pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal, biaya pengobatan, perlengkapan
rumah yang layak sesuai dengan kemampuan dari
suami. Kewajiban memberi nafkah oleh suami merupakan anugerah dari Allah
atas kekuatan fisik, dan kemampuan memberi perlindungan yang dimiliki oleh suami yang tidak dimiliki oleh para istri.[14]
Al-Qurthubi mengatakan sesungguhnya bagi laki-laki terdapat keutamaan
berupa kelebihan akal dan pengaturan, maka dijadikan bagi mereka pelindung bagi
kaum perempuan, dan dikatakan pula bahwa pada
diri laki-laki terdapat kekuatan jiwa dan watak yang tidak dimiliki perempuan.
Mencermati pendapat di atas, dapat
dipahami bahwa secara
kodrati suami diberikan kemampuan fisik dan karakter yang
tidak dimiliki pleh istri.
Berdasarkan perspektif tersebut, maka
suami berkewajiban melindungi dan
mencukupi kebutuhan istrinya
sebagai pihak yang lebih lemah dari segi
fisik dan wataknya.
Menurut
Sayyid Sabiq, syarat-syarat wajibnya nafkah bagi istri meliputi hal-hal
sebagai berikut :
a. Ikatan perkawinan yang sah.
b. Menyerahkan diri kepada suaminya.
c. Suaminya dapat menikmatinya.
d. Tidak menolak diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya.
e. Kedua-duanya dapat saling menikmati.
Memahami syarat wajibnya
nafkah di atas, dapat dikemukakan
bahwa adanya akad nikah
saja belum menjadi syarat wajibnya
suami memberi nafkah istrinya.
Suami baru wajib memberi nafkah kepada istri setelah adanya penyerahan lahir
batin istri kepada suami. Penyerahan
tersebut mengandung arti
kesediaan istri untuk menjalani rumah tangga dengan suaminya, suami
memperoleh manfaat dari istrinya. Dengan demikian, jika istri
tidak bersedia menyerahkan diri kepada suami, maka
suami tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
2.3.2. Kewajiban Istri terhadap Suami
Istri digambarkan sebagai sosok
yang memiliki kelebihan dalam hal kelembutan,
dan memberi ketenangan batin kepada suami. Oleh karena itu, peranan istri lebih
banyak ditekankan kepada kewajiban yang tidak membutuhkan kerja fisik yang keras, seperti mencari nafkah dan bekerja di luar rumah.
Penekanan kewajiban istri kepada hal-hal yang lebih mengutamakan kerja
batin merupakan pembagian peranan yang proporsional, sesuai dengan fitrah dan
karakter istri yang lemah dalam segi fisik, dibandingkan suami. Pembagian peranan tersebut tidak seharusnya dilihat
dengan kecurigaan adanya bias gender yang menganggap suami lebih superior
dibandingkan istri. Tetapi lebih kepada pengembalian tugas dan kewajiban,
sesuai dengan kelebihan dan tabiat yang dimiliki oleh suami istri.[15]
Kewajiban
istri disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam. Pasal 83 sebagai berikut :
1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin
kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh Hukum Islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan
sebaik-baiknya.
Memahami pasal di atas, kewajiban istri adalah berbakti lahir dan
batin kepada suami. Kepatuhan istri menjadi salah satu indicator pengakuan istri terhadap
kepemimpinan suami sebagai kepala
keluarga. Keluarga merupakan unit sosial
yang juga membutuhkan pranata sosial berupa kepemimpinan dan kepatuhan dalam
mewujudkan cita-cita dan tujuan bersama.
Hubungan antara kepatuhan istri dan kepemimpinan suami memberi dukungan terhadap tegaknya hak
dan kewajiban dalam kehidupan rumah
tangga. Bahkan kepatuhan istri menurut Imam Syafi’I merupakan syarat istri
mendapat hak nafkah. Menurut Imam Syafi”i adanya akad nikah semata belum
menjadi syarat wajibnya suami memberi
nafkah istri, sampai istri menyerahkan dirinya secara total kepada suaminya.
Bentuk kewajiban istri, menurut Amir Syarifuddin secara terperinci
disebutkan sebagai berikut :
a. Menggauli suaminya secara layak dan sesuai
dengan kodratnya.
b. Taat dan patuh kepada suaminya selama
suaminya tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat.
c. Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya
bila suaminya sedang tidak berada di
rumah.
d. Menjauhkan dirinya dari segala
sesuatu yang tidak disenangi oleh
suaminya.
e. Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka
yang tidak enak dipandang dan suara yang
tidak enak didengar.[16]
Berdasarkan pendapat di atas, kepatuhan istri kepada suami adalah
kepatuhan yang bersifat proporsional, dengan batasan tidak melanggar perintah
Allah. Kepatuhan istri tidak diartikan sebagai kepatuhan yang didasarkan kepada
kewenangan memerintah, dan menjadikan istri
sebagai bawahan suami, tetapi lebih diartikan sebagai kepatuhan yang
didasarkan pada kasih sayang, sebagaimana tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah
warahmah.
Legitimasi yang diberikan agama
kepada suami untuk memimpin keluarga menegaskan bahwa dalam kehidupan rumah
tangga perlu adanya pemimpin yang dipatuhi. Selain itu menunjukkan perlunya tertib
hukum dalam keluarga sebagai pilar
terbentuknya masyarakat yang beradab. Dalam perspektif sosial,
terciptanya tertib hukum dalam keluarga dapat dijadikan tolak ukur ketertiban
hukum di masyarakat.
Kewajiban istri untuk menjaga
dirinya dan menjaga harta suaminya
juga menunjukkan tertib hukum paling mendasar yang dibutuhkan
masyarakat.[17]
Ketika istri dari setiap keluarga dapat menjaga dirinya pada saat suami tidak berada di rumah, maka masyarakat akan terlindungi dari potensi
fitnah dan perselingkuhan yang merusak citra masyarakat dan mendorong
berbuat dosa. Demikian pula kewajiban istri untuk mengatur keperluan rumah tangga
sehari-hari merupakan tugas yang paling sesuai dengan kodrat istri yang secara fisik lebih lemah dan secara psikologis lebih memiliki
kesabaran untuk mengurus rumah tangga
dan anak.
2.4. Kewajiban dan Hak Bersama antara
Suami dan Istri
2.4.1. Kewajiban Bersama antara Suami dan Istri
Ketika suami istri telah mengucapkan akad dalam prosesi pernikahan, maka
lahirlah peristiwa hukum yang berakibat pada adanya hak dan kewajiban.
Perkawinan sebagai perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalidzon) antara
suami istri mengandung arti bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menjalankan
tugas dan perannya yang mendukung tujuan
perkawinan.[18]
Perkawinan dalam ajaran Islam
adalah kesepakatan suami istri untuk hidupbersama, meraih cita-cita bersama
dalam rangka terbentuknya keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kesepakatan
hidup bersama menunjukkan adanya kesediaan masing masing pihak untuk
menjalankan tugas dan peran yang mendukung terwujudnya tujuan bersama dalam kehidupan rumah tangga.
a.
Saling menghormati
keluarga dan orang tua dan keluarga keduabelah pihak.
b.
Memupuk rasa
cinta dan kasih sayang.
c.
Horrmat-menghormati,
sopan santun, penuh pengertian, serta bergaul dengan baik.
d.
Matang dalam
berbuat dan berpikir, dan tidak bersikap emosional dalam memecahkan persoalan
yang dihadapi.
e.
Memelihara
kepercayaan dan tidak saling membuka rahasia pribadi.
Memahami kutipan di atas, dapat dikemukakan bahwa suami istri memiliki
kewajiban bersama untuk saling menghormati, menyayangi dan memelihara
kepercayaan masing-masing. Hal ini menegaskan bahwa rumah tangga tidak dapat
dibangun berdasarkan pemenuhan materi dan pemenuhan kebutuhan lahiriah saja,
tetapi membutuhkan kasih sayang dan saling percaya sebagai bagian dari
kebutuhan psikologis.
Kasih sayang dan kepercayaan menjadi modal terpenting untuk membangun keluarga yang
sakinah, mawaddah, wa rahmah. Untuk itu diperlukan
komitmen dan kematangan dalam bertindak, dan bersikap. Sebagai unit sosial terkecil, keluarga dibangun berdasarkan kesepakatan untuk mewujudkan cita-cita bersama, yang
membutuhkan tertib hukum, dan pembagiantugas yang jelas. Dalam konteks hukum keluarga, suami dan istri adalah subyek hukum yang secara sadar sepakat untuk
dibebani tanggung jawab dan kewajiban sesuai dengan kapasitasnya masing masing.
Dengan demikian timbulnya kewajiban bersama suami istri, adalah tuntutan
bertindak yang sudah diprediksi sebelumnya, dan disepakati oleh suami istri.
2.4.2. Hak-Hak bersama antara Suami dan Istri
Hak bersama suami istri adalah hak bersama secara timbal balik dari
pasangan suami istri terhadap yang lainnya. Hak-hak bersama tersebut meliputi
hal-hal sebagai berikut :
a. Bolehnya bergaul, dan bersenang-senang di
antara keduanya. Inilah hakikat sebenarnya dari perkawinan itu.
b. Timbulnya hubungan suami dengan keluarga
istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang
disebut mushaharah.
c. Hubungan saling mewarisi di antara suami
istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain bila terjadi kematian.[19]
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dikemukakan bahwa pernikahan selain
menimbulkan hak suami, dan hak istri, juga menimbulkan hak bersama yang dapat
dinikmati oleh keduanya. Hak bersama tersebut berupa berlakunya hubungan
seksual yang halal, berlakunya hukum waris bagi keduanya, berlakunya hubungan
nasab anak dari hasil pernikahan tersebut dan berlakunya hukum mushaharah
(hubungan mahram sebab pernikahan).[20]
Menurut Huzaimah Tahido Yango, hak bersama
suami istri meliputi hak-hak sebagai berikut:
1. Halalnya pergaulan sebagai suami istri dan kesempatan
saling menikmati atas dasar kerja sama, dan saling memerlukan.
2. Perlakuan dan pergaulan yang baik.
3. Haram mushaharah, yaitu istri haram
dinikahi oleh ayah suaminya, anaknya, cucunya, juga ibu istri, anak
perempuannya, dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.
4. Saling mewarisi.
5. Sahnya menasabkan anak kepada suami.
Hak-hak bersama suami istri di atas, adalah hak-hak yang harus dipenuhi
sebagai syarat terbentuknya keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Halalnya hubungan suami istri adalah hak yang melekat dari adanya akad nikah
yang sah. Demikian pula kesempatan untuk saling menikmati hasil dan jerih payah
yang dilakukan oleh suami atau istri.
Hak bersama lain yang melekat dari akad nikah adalah hak penyandaran nasab anak
kepada suami sebagai wali yang sah menurut agama dan hukum positif. Demikian
pula perkawinan menimbulkan hak bersama dalam hal waris, di mana istri berhak
mewarisi harta suami, apabila suami meninggal
dunia, dan suami berhak mewarisi harta istrinya, apabila istrinya meninggal
dunia.
[1]
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2001), hlm. 119
[2]
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2001), hlm. 78
[3]
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Depok: Rajagrafindo Persada,
2017), hlm. 147
[4]
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Depok: Rajagrafindo Persada,
2017), hlm. 148
[5]
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2001) hlm. 119
[6]
Muhammad Bagir Al-Habsy, Fiqih Praktis II menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
Pendapat para Ulama, (Bandung: Penerbit Karisma, 2008), Hlm. 129
[7]
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, Hlm 158
[8]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, alih bahasa Nur Hasanudin, (Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2006), Hlm. 64
[9]
Kompilasi Hukum Islam Pasal 80
[10]
Muhammad Bagir Al-Habsy, Fiqih Praktis II menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
Pendapat para Ulama, (Bandung: Penerbit Karisma, 2008), Hlm. 140
[11]
Muhammad Bagir Al-Habsy, Fiqih Praktis II menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
Pendapat para Ulama, (Bandung: Penerbit Karisma, 2008), Hlm. 140-142
[12]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, alih bahasa Nur Hasanudin, (Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2006), Hlm. 71
[13]
Muhammad Bagir Al-Habsy, Fiqih Praktis II menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
Pendapat para Ulama, (Bandung: Penerbit Karisma, 2008), Hlm. 131
[14]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, alih bahasa Nur Hasanudin, (Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2006), Hlm. 55
[15]
Wiranti Ahmadi, Hak dan Kewajiban Wanita dalam Keluarga Menurut Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jurnal Hukum Pro Justicia, Volume 26 No.1,
2008, Hlm. 382
[16]
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2001) hlm. 122
[17]
Wiranti Ahmadi, Hak dan Kewajiban Wanita dalam Keluarga Menurut Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jurnal Hukum Pro Justicia, Volume 26 No.1,
2008, Hlm. 382
[18]
Muhammad Bagir Al-Habsy, Fiqih Praktis II menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
Pendapat para Ulama, (Bandung: Penerbit Karisma, 2008), Hlm. 130
[19]
Muhammad Bagir Al-Habsy, Fiqih Praktis II menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
Pendapat para Ulama, (Bandung: Penerbit Karisma, 2008), Hlm. 154-155
[20]
Muhammad Syukri Albani Nasution, Perspektif Filsafat Hukum Islam atas Hak dan
Kewajiban Suami Istri dalam Perkawinan, Jurnal Studi Keislaman, Volume 15 Nomor
1, 2015