BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menikah adalah salah satu sunnah
Rasulullah SAW. Sejak dahulu hingga kini ritual ini tetap dilakukan oleh
manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi kehidupan bersama
seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan adalah solusinya. Tapi apakah
bila merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak adakah kewajiban lain sebelum
menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh perasaan cinta, suka maupun setia?
Makalah singkat yang kami
susun ini akan membahas tentang peminangan, yaitu sebuah prosesi awal kedua
mempelai sebelum menginjak kepada jenjang pernikahan. Prosesi yang
melibatkan calon mempelai beserta walinya. Peristiwa yang bertujuan untuk
saling mengenal agar lebih erat tali persaudaraan dan timbul rasa cinta untuk
saling hidup bersama.
Dalam makalah kami ini
juga akan membahas tentang mahar yang menjelaskan tentang tanda jadi
serta kafa’ah atau keserasian dan kesamaan. Walaupun ada ulama yang
menentang kafa’ah, sebagaimana Ibnu Hazm, mayoritas ulama, apalagi ulama yang
menganut empat mazhab, syafi’iyah, malikiyah, hanafi’yah, dan hambaliyah,
sepakat dengan adanya kafa’ah walaupun dengan sudut pandang yang berbeda.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian khitbah?
2.
Apa pengertian mahar?
3.
Apa pengertian kafaah?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian khitbah.
2.
Untuk mengetahui pengertian mahar.
3.
Untuk mengetahui pengertian kafaah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Khitbah
1. Pengertian
Khitbah
Khitbah
menurut bahasa berasal dari akar kata khathaba,
Yakhthubu, khatban, wa khitbatan, artinya adalah pinangan. Menurut
istilah syara’ khitbah adalah
tuntutan (permintaan) seorang laki-laki kepada seorang perempuan
tertentu agar mau kawin dengannya, dan laki-laki itu datang kepada
perempuan bersangkutan atau kepada keluarganya menjelaskan keadaannya,
serta berbincang-bincang tentang akad yang akan dilangsungkan dengan
segala kebutuhan aqad dan kebutuhan masing-masing. Fuqaha sepakat bahwa khitbah tersebut merupakan
janji untuk kawin, Khitbah tidak
dipandang sebagai suatu aqad perkawinan dan tidak memiliki konsekuensi
hukum aqad perkawinan.[1]
Khitbah memiliki beberapa persyaratan yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
a.
Persyaratan mustahsinah, yaitu persyaratan yang
berupa “anjuran” (tidak wajib) seorang pria yang akan meminang perempuan
untuk memeriksa perempuan yang akan dipinangnya, apakah sudah sesuai harapannya
atau belum, demi menjamin kelangsungan hidup dari sebuah rumah tangga yang
harmonis.[2]
Diantara syaratnya yaitu:
1)
Perempuan yang akan dipinang
sebaiknya “setara” dengan pria yang meminang, baik fisik maupun non-fisik
seperti akhlak dan pengetahuan agama. Harapan dengan adanya “keserasian” dari
kedua belah pihak, dapat menciptakan keharmonisan suami-istri yang dapat
mendukung untuk mencapai tujuan pernikahan.
2)
Perempuan yang akan
dipinang mempunyai sifat penyayang dan dapat melahirkan keturunan (sehat
jasmani), dan sebaliknya, perempuan yang dipinang sebaiknya mengetahui pula
kondisi pria yang meminangnya.
b.
Persyaratan lazimah, merupakan syarat yang
harus dipenuhi sebelum khitbah dilakukan.oleh karena itu, sahnya sebuah
pinangan tergantung kepada persyaratan lazimah,[3]
diantaranya:
1)
Perempuan yang akan
dipinang bukan dalam pinangan pria lainnya sampai pria tersebut melepas
pinangannya.
2)
Perempuan yang akan
dipinang bukan pada masa iddah, dan jika pada iddah raj’i maka yang berhak mengawininya adalah mantan
suaminya, disamping itu ada empat hal yang terkait, diantaranya:
a)
Kebolehan meminang
seorang wanita cerai yang belum disetubuhi, disebabkan tidak masuk pada masa
iddah dalam kesepakatan para ulama.
b)
Tidak bolehnya melamar
wanita yang telah ditalak raj’i,
baik terang-terangan ataupun tidak, hal ini disebabkan karena masih sebagai
wanita yang diperistri.
c)
Kebolehan meminang
seorang wanita dengan isyarat (tertutup) dan tidak terbuka atau terang-terangan
bagi wanita dalam masa iddah disebabkan wafatnya suami.
d)
Ketidak bolehan meminang
seorang wanita yang sedang dalam ikatan pernikahan dengan pria lainnya. Baik secara
tersirat maupun tersurat.
2.
Dasar Hukum Khitbah
Ada beberapa hadis yang secara khusus
menjelaskan tentang khitbah, antara lain :
Artinya: Dari Abi Hurairah, dari Nabi Saw, Nabi
bersabda tidak dibolehkan seseorang meminang pinangan saudaranya, hingga
saudaranya tersebut menikahinya atau meninggalkannya (H.R. Bukhari).
Hadis yang semakna dengan ini termuat dalam berbagai kitab hadis, yaitu: Shahih Bukhari, dalam kitab Nikah : 45, kitab jual beli : 58, dan pada bab syarat-syarat jual beli : 8. Kemudian pada Sunan al-Nasa’i, dalam kitab jual beli, Sunan Abi Daud, dalam bab nikah :17, Sunan al-Turmuzi, bab nikah:15, Muwatta’, bab nikah: 1,2, 12, dan Musnad Ahmad bin Hanbal: 2
Artinya: Dari Muhammad bin Maslamah, ia berkata, ”Aku
pernah mendengar Rasulullah bersabda: Apabila Allah telah menjatuhkan dalam
hati seseorang (keinginan) meminang seseorang perempuan maka ia tidak berdosa melihatnya.”
(H.R. Ibn Majah dan Ahmad)
Artinya: Dari Jabir dia berkata, “ Saya pernah
mendengar Rasulullah bersabda, apabila salah seorang kamu meminang seorang
perempuan kemudian ia kuasa untuk melihat (apa) yang bisa mendorongnya untuk
kawin maka kerjakanlah”. (H.R. Ahmad
dan Abu Daud)
3.
Ketentuan
Khitbah
Secara syariat, wanita yang boleh
dikhitbah memiliki beberapa persyaratan, diantaranya:
a. Bukan
wanita yang haram dinikahi, terbagi dalam dua kategori, yaitu:
1)
Wanita
yang diharamkan untuk selamanya, ini terbagi menjadi tiga[4], yaitu adanya hubungan
nasab (keturunan), sesusuan dan musoharoh.
2) Wanita yang diharamkan dalam batasan waktu,
diantaranya: dua bersaudara haram dinikahi oleh seorang laki-laki dalam waktu
yang bersamaan, maksudnya mereka haram dimadu dalam waktu yang sama (al-Nisa/4:
23); wanita yang masih dalam iddah; wanita yang ditalak tiga hingga dia menikah
dengan pria lain; wanita yang sedang ihrom; haram bagi pria kafir sampai
menjadi muslim; wanita kafir hingga memeluk Islam; istri pria lain; wanita
pezina/pelacur diharamkan hingga dia bertaubat serta selesai dari masa
iddahnya.
b. Bukan
wanita yang menjalani masa ‘iddah.
1) Masa iddah yang disebabkan meninggalnya suami. Masa
iddah yang disebabkan talak ba’in, para ulama sepakat bahwa tidak
bolehnya meminang wanita pada masa iddah talak ba’in qubra (talak 3
kali), talak ba’in qubra ini membuat pasangan suami istri memutuskan
hubungan, tidak ada harapan untuk kembali sebelum dinikahi oleh pria lain, hal
ini berbeda dengan talak ba’in sugrah, dimana wanita yang ditalak (2 kali)
masih halal bagi suami untuk rujuk dengan akad nikah dan mahar yang baru.
2) Masa iddah yang disebabkan talak raj’i (suami boleh kembali ke
istri karena talaknya belum 3 kali, dimana istri yang
ditalak masih berstatus istri, suami boleh kembali ruju’ tanpa adanya akad
serta mahar.
3) Masa iddah yang disebabkan khulu atau fasakh wanita yang iddah
disebabkan khulu, atau karena fasakh disebabkan suami tidak
memberikan nafkah atau menghilang/tidak pernah pulang.
c. Bukan
perempuan yang sudah dikhitbah oleh pria lain.
Al-Khattabi berpendapat bahwa adanya
larangan tersebut bukan bertujuan pengharaman, meski mayoritas ulama menilainya
dalam bentuk pengharaman, melainkan sebagai al-ta’dib (mendidik, adab
serta sopan santun)[5],
dan pada sisi yang lain juga memahaminya dalam perspektif tasawuf, diajarkan
untuk tidak (larangan) menyakiti orang lain. Akan tetapi, Al-Jazari dalam kitab
al-Nihayah, dikutip oleh al-Mubarafuri, bahwasanya larangan mengkhitbah
wanita yang dikhitbah terjadi di mana sebelumnya kedua pihak telah sepakat
terkait mahar, saling ridha dan tersisa hanya proses akad nikah saja.
Khitbah adalah hak setiap orang, selama tidak
ada ketentuan yang membatasi hal itu, dalam kasus peminangan, yang pada awalnya
merupakan hak setiap orang, itu menjadi hak istimewa ketika ia dipinang oleh
orang lain, tetapi juga, dalam masa khiyar, pinangan bukanlah suatu
kepastian untuk dilanjutkan ke jenjang selanjutnya.
4. Hikmah
Khitbah
Ulama membolehkan memandang perempuan
yang ingin dinikahinya sebagaimana dalam QS. al-Ahzab/33: 52, hal ini disebabkan
bertemunya mata ke mata menjadi bertemunya hati dan berlarutnya jiwa[6],
melihat hal yang dapat membuat pria tertarik atau tidak tertarik sebelum
melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Hikmah dibolehkannya “melihat” wanita
yang ingin dipinang dan dinikahi yakni supaya jiwa terasa tenang untuk
melanjutkan kejenjang berikutnya, hal ini berbeda jika seorang pria belum
melihat calonnya dan mendapati sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya.
Oleh sebab itu Nabi saw. memberikan anjuran kepada pria yang ingin meminang
untuk melihat dahulu calon istrinya, supaya tidak ada penyesalan kemudian.
Secara eksplisit dalam hadis di atas
Nabi saw. tidak menentukan batas ukuran yang boleh dilihat, akan tetapi jumhur
‘ulama berpendapat bahwa yang boleh dilihat yakni wajah beserta kedua telapak
tangan yang menjadi representasi untuk melihat kecantikan dan tingkat
kesuburan. Ibnu ‘Adin berpendapat, dibolehkan melihat wajah, kedua telapak
tangan serta kedua kaki dan tidak lebih dari pada itu. Ada juga dari kalangan
ulama yang berpendapat bahwa seorang laki-laki boleh melihat perempuan yang
hendak dipinang dengan berpakaian yang boleh dilihat oleh ayah dan mahramnya
yang lain, akan tetapi pria tersebut boleh pergi dengan disertai oleh ayah atau
salah seorang dari mahramnya untuk mengetahui kecerdikan, perasaan dan
kepribadian calon istri. Dalam proses nazar (proses melihat calon istri)
terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, pertama calon suami telah
memiliki niat kuat untuk menikah sebagaimana hadis Nabi di atas: “jika memang
dia melihatnya hanya untuk pelamarannya”. Kedua, batasan bolehnya memandang
sangat terpaut dengan etika dan budaya yang esensinya ialah dapat “melihat”
ketertarikan diri untuk menikahinya. Hal ini (nazar) berupa rukhsah (keringanan)
dimana syari’at membolehkan hanya bagi orang yang berniat melamar, selain itu
maka hukum nya haram sesuai dalam QS. An-Nur/24: 31. Selain itu, bukan hanya
pria yang dapat “melihat” calon istri akan tetapi juga tertuju kepada wanita
melihat calon suami yang hendak melamarnya.
B.
Mahar
1. Pengertian
Mahar
Mahar
secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi,
mahar ialah pemberian wajib dari calon
suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan
rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.[7] Sedangkan sebagian mazhab Hanafi mendefinisikannya
sebagai sesuatu yang
didapatkan seseorang perempuan akibat akad pernikahan ataupun persetubuhan. Mazhab Maliki mendefinisikannya
sebagai sesuatu yang diberikan kepada seorang
istri sebagai imbalan persetubuhan dengannya. Mazhab
Syafi’i mendefinisikan sebagai sesuatu yang diwajibkan sebab pernikahan atau persetubuhan, atau
lewatnya kehormatan perempuan dengan
tanpa daya, seperti akibat susuan dan mundurnya para saksi. Mazhab Hambali mendefinisikan sebagai
pengganti dalam akad pernikahan, baik mahar ditentukan di dalam akad, atau
ditetapkan setelahnya dengan keridhaan kedua bela pihak atau hakim. Atau
pengganti dalam kondisi pernikahan, seperti persetubuhan yang memiliki
syubhat, dan persetubuhan secara paksa.[8]
2. Dasar
Hukum Mahar
Dasar
hukumnya adalah wajib atas orang laki-laki bukannya perempuan. Dalil-dalil wajibnya mahar adalah
sebagai berikut ini :
a. Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an
dijelaskan yaitu firman Allah SWT dalam surah An-Nisa’ (4) :
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ
فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا
Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang nikmat lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 4)
Ayat ini mewajibkan atas seorang muslim agar
memberikan mahar kepada wanita yang akan dipersunting menjadi istrinya.
b. Sunnah
Rasulullah SAW.
Dalam hadits yang
berbunyi:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي فِي النِّسَاءِ مِنْ حَاجَةٍ فَقَالَ رَجُلٌ زَوِّجْنِيهَا قَالَ أَعْطِهَا ثَوْبًا قَالَ لَا أَجِدُ قَالَ أَعْطِهَا وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Amru bin
'Aun Telah menceritakan kepada kami Hammad dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd ia
berkata; Seorang wanita mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan
berkata bahwasanya, ia telah menyerahkan dirinya untuk Allah dan Rasul-Nya
shallallahu 'alaihi wasallam. Maka beliau bersabda: "Aku tidak berhasrat
terhadap wanita itu." Tiba-tiba seorang laki-laki berkata,
"Nikahkanlah aku dengannya." Beliau bersabda: "Berikanlah mahar
(berupa) pakaian padanya." Laki-laki itu berkata, "Aku tidak
punya." Beliau pun bersabda kembali, "Berikanlah meskipun hanya
berupa cincin besi." Ternyata ia pun tak punya. Kemudian beliau bertanya,
"Apakah kamu memiliki hafalan Al Qur’an?" laki-laki itu menjawab,
"Ya, surat ini dan ini." Maka beliau bersabda: "Aku telah
menikahkanmu dengan wanita itu, dengan mahar hafalan Al Qur’anmu."
(HR. Bukhari).[9]
Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang
suami wajib memberikan mahar kepada istri meskipun tidak dalam bentuk materi
atau barang yang bernilai tinggi bahkan berupa cincin besi pun boleh dijadikan
mahar dan telah memenuhi syarat sahnya nikah, atau bahkan mengajarkan
Al-Qur’anpun dibolehkan untuk mahar dan telah memenuhi syarat sahnya nikah
apapila hanya itu kemampuan calon suami.
c. Ijma
Disamping dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, dasar
diwajibkannnya mahar adalah Ijma’ (kesepakatan ulama’). Para ulama’
sepakat atas diwajibkannya mahar dalam pernikahan.
Sedangkan kewajibannya sebab akad atau sebab wath’I (bersetubuh)[10]. Hal ini dapat dilihat
dalam kitab Al-Hawi Al Kabir sebagai
berikut :
ﻖﺤﺘﺴﻣ تﺎﺟوﺰﻟا قﺪﺻ نا ﻰﻠﻋ
ﻢﻣﻻا ﺖﻌﻤﺟاو
Artinya:
Para ummat sepakat bahwa memberikan mahar kepada istri adalah wajib.
3. Syarat-syarat Mahar
Mahar
boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta
perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Mahar yang
diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Harta/bendanya
berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi
bernilai maka tetap sah.
b. Barangnya
suci dan bisa diambil mamfaat. Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah,
karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya
bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain
tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk
mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah.
d. Bukan
barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang
yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[11]
C.
Kafaah
1. Pengertian
Kafaah
Dalam kamus bahasa Arab, kafâ’ah berasal dari kata Kafaa'a, Yukaafi'u wa
Mukafaa'ah yang berarti kesamaan, sepadan dan sejodoh. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kafâ’ah berarti seimbang yaitu keseimbangan
dalam memilih pasangan hidup.[12] Firman Allah Swt dalam
al-Qur’an disebutkan juga katakata yang berakar kafâ’ah.
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ
Artinya: Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (Q.S.
al-Ikhlash, 112: 4)
Maksud dari ayat di atas adalah, sifat ketauhidan Tuhan terhadap mahluknya,
Allah Swt adalah satu dan tidak ada yang menyamainya, namun ketika dikaitkan dengan
kafâ’ah maka mempunyai arti sebaliknya. Yang berarti ciptaan tuhan mempunyai
kesamaan dan mempunyai keserasian. Kafâ’ah atau kufu’ menurut bahasa artinya
setara, seimbang atau keserasian, kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding.
Kafâ’ah atau kufu’ dalam perkawinan menurut hukum Islam yaitu keseimbangan atau
keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak
merasa berat untuk melangsungkan perkawinan atau laki-laki sebanding dengan
calon istrinya, sama dengan
kedudukan, sebanding dalam
tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta dalam
kekayaan. Jadi yang ditekankan dalam hal kafâ’ah adalah keseimbangan,
keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah
kafa’ah dalam perkawinan.
Menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon
istri dan suami dalam hal tingkatan sosial, moral, ekonomi, sehingga masing-masing
calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.[13] Kafâ’ah
dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong
terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan
dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
Karena kafâah adalah hak perempuan dan para walinya. Jika calon suami tidak
setara dengannya maka akad perkawinan ini tidak terlaksana, kecuali dengan
keridhaannya.
Menurut Madzhab Maliki kesetaraan
adalah dalam agama dan kondisi (maksudnya keselamatan dari cacat
yang membuatnya memiliki
pilihan). Menurut Jumhur
fuqahâ’ adalah agama, nasab,
kemerdekaan, dan profesi.
Dan ditambahkan oleh Mazhab
Hanafi dan Hambali dengan kemakmuran, dan segi uang. Yang dituju dari hal ini
adalah terwujudnya persamaan dalam perkara sosial demi memenuhi kestabilan
kehidupan suami istri, serta mewujudkan kebahagiaan diantara suami istri. Yang
tidak membuat malu si perempuan atau walinya dengan perkawinan sesuai dengan
tradisi.
2.
Dasar Hukum Kafâ’ah
Tidaklah diragukan jika
kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding merupakan faktor kebahagiaan
hidup suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau
guncangan rumah tangga. Menurut Ibnu Hazm, tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Ia
berpendapat bahwa semua orang
Islam selama ia
tidak berzina, berhak
kawin dengan wanita Muslimah asal
tidak tergolong perempuan pelacur, dan semua orang Islam adalah
bersaudara. Kendatipun dia
anak seorang hitam
yang tidak dikenal umpamanya,
namun tak dapat
diharamkan kawin dengan
anak Khalifah Bani Hasyim. Walau seorang Muslim yang sangat fasik,
asalkan tidak berzina dia adalah kufu’ untuk wanita Islam yang fasik, asal bukan perempuan zina,
alasannya
adalah sebagai berikut:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ
Artinya: Sesungguhnya semua orang mukmin bersaudara....(QS. Al-Hujurat/
49 : 10)
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ الْنِسَاءِ
Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu
senangi... (QS. al-Nisa’/4 : 3)
Kafâ’ah tidak menjadikan syarat syahnya perkawinan, tetapi dapat dijadikan
sebagai alasan untuk membatalkan pernikahan. Sebagian besar ulama fiqih
berpendapat bahwa kafâ’ah itu hak seorang perempuan dan walinya. Artinya bila
ada seorang perempuan hendak dinikahkan dengan laki- laki yang tidak sekufu’
maka pihak wali atau perempuan itu sendiri berhak untuk menolaknya. Kafâ’ah
dimaksudkan agar dalam membangun rumah tangga ada komunikasi yang baik dan
seimbang antara suami isteri sehingga akan memudahkan terwujudnya rumah tangga
yang bahagia dan harmonis.[14]
3.
Macam-Macam Kafa’ah
Para fuqaha berselisih pendapat mengenai macam-macam kafâ’ah. Menurut
mazhab Maliki, kafâ’ah ada dua macam: yaitu agama dan kondisi, maksudnya adalah
kondisi selamat dari aib yang dapat menyebabkan timbulnya pilihan, bukan
kondisi dalam arti kehormatan dan nasab, yang dimaksud kesamaan disini
hendaknya suami sama dengan istrinya. Menurut mazhab Hanafi ada enam macam kafâ’ah:
yaitu agama, Islam, kemerdekaan, nasab, harta, dan profesi. Menurut mereka kafâ’ah
tidak terletak pada keselamatan dari aib yang dapat membatalkan pernikahan,
seperti gila, kusta, dan mulut yang berbau. Menurut mazhab Syafi’i ada enam
macam kafâ’ah yaitu: agama, kesucian, kemerdekaan, nasab, terbebas dari aib
yang dapat menimbulkan pilihan, dan profesi, menurut mazhab
Hambali macam-macam kafâ’ah
juga ada empat yaitu: agama, profesi, nasab, dan
kemakmuran.
[1] Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (Kairo: Da'r AlFikr AlAraby), hlm. 28.
[2] Abd. Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet.II, (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2010), hlm. 78.
[3] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum
Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 33.
[4] Soemiyati, Hukum perkawinan
Islam dan UU perkawinan, (Liberty: Yogyakarta, 2007), hlm. 33.
[5] Muhammad bin Ismail Al-Amir
Al-Kahlani Al-San’ani, Subul Salam: Juz 3, cet.VI (Maktabah AlMustafa Albabi
Al-Halbi, 1960), hlm. 130.
[6] Abd. Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet.II, (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2010), hlm. 80.
[7] Abd. Ghozali, Fiqh
Munakahat, Cet.II, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hlm. 84.
[8] Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa
Adillatuhu, terjemah oleh Abdul Hayyie al Qattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 230.
[9] Diakses dari, http://www.carihadis.com/hadis-nomor-4641-bukhari,
pada tanggal 21 Maret 2020 pukul 11.02
[10] Abdul Aziz dan Abdul Sayyed
Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta:
Amzah, 2009), hlm. 177.
[11] Abd. Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet.II, (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2010), hlm. 88.
[12] Kamus Besar Bahasa Indonesia versi
Daring, diakses dari https://kbbi.web.id/kafaah.html pada tanggal 20 Maret 2020, pukul 09.00
[13] Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa
Adillatuhu, terjemah oleh Abdul Hayyie al Qattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 246.
[14] Abdul Aziz dan Abdul Sayyed
Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta:
Amzah, 2009), hlm. 180.