PEMIKIRAN POLITIK ABUL A’LA AL-MAUDUDI

 


A.    Sejarah Abul A’la Al-Maududi

Abul A’la Al-Maududi (selanjutnya ditulis al-Maududi) lahir pada tanggal 3 Rajab 1321 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 25 September 1903 Masehi, di Aurangabad, suatu kota terkenal di Kesultanan Hyderabad (Decan), sekarang masuk wilayah Andhra Predes di India. Dilihat dari garis silsilahnya, ia dilahirkan dari keturunan keluarga terhormat. Nenek moyangnya dari garis ayah adalah keturunan dari Nabi Muhammad Saw, karena itu pada namanya ia memakai nama “Sayyid”.

Dilihat dari beberapa catatan sejarah dan karya yang menceritakan latar belakang keluarganya, nenek moyang al-Maududi berasal dari para syaikh besar pengikut tarekat, yakni tarekat Chistiyah, yang banyak berperan dalam penyebaran dan pengembangan Islam di India. Menurut sejarah, keluarga al-Maududi mempunyai kedekatan khusus dengan Dinasti Moghul, terutama selama pemerintahan penguasa terakhir yakni Bahadur Syah Zhafar.

Menarik untuk dilihat sisi kontroversi nama dari tokoh ini. Jika dilihat dari makna namanya, Abu al-A’la artinya ayah dari Yang Maha Kuasa, sedangkan nama Al-A’la (Yang Maha Kuasa) adalah merupakan salah satu atribut nama Tuhan. Nama yang disandang Al-Maududi ini menuai kritikan dari pihak-pihak tertentu. Melihat kondisi ini, al-Maududi pun berang dan menganggap perlu menanggapi kritikan itu.

Dilihat dari keseriusan bantahan al-Mawdudi terhadap kritikan itu, nampaknya kontroversi di seputar nama itu cukup besar dan mengganggu al-Maududi, sehingga ia merasa perlu melakukan klarifikasi atau penjelasan terhadap namanya. Ia menjelaskan dengan mengutip dua ayat dari al-Qur’an yang terdapat kata al-A’la dan al-A’launa, bentuk jamak dari A’la diberikan kepada manusia yakni kepada Nabi Musa A.s dan kepada orangorang yang beriman.

Menurut Samir Abdul Hamid Ibrahim, nama “al-Maududi” adalah nama sebuah keluarga yang garis keturunannya sudah ada sejak tahun 1300-an silam. Nenek moyangnya yang pertama datang dari Jazirah Arab dan tinggal di suatu tempat yang bernama “Jasyat”, dekat dengan kota Harat. Di akhir abad ke-9 H, salah seorang nenek moyangnya yang diberi gelar “Tuan Maudud” pergi ke India. Orang yang mempunyai nama “Maudud” itu adalah Khawajah Qutbuddun Maudud (w. 527 H) seorang syaikh terkenal dari Tarekat Chisthi dan merupakan tokoh pendiri tarekat tersebut. Menyimak sejarah keluarganya, al-Mawdudi kental dengan dunia sufi atau tarekat secara khusus. Dalam tradisi tarekat, kaitan dan pengenalan rangkaian guru dan murid atau nasab sangatlah diutamakan.

Menurut hasil penelusuran Samir Abdul Hamid Ibrahim pada tahun 1977 saja, karya al-Mawdudi sudah diterjemahkan ke dalam 22 bahasa. Ia menuturkan penterjemahan karya al-Mawdudi ke dalam bahasa Inggris sebanyak 34 buah, bahasa Arab 48 buah, bahasa Bangladesh 43 buah, bahasa Sind 24 buah, bahasa Punjab 15 buah, bahasa Mahrathi 9 buah, bahasa Turki 8 buah, bahasa Perancis 9 buah, dan tak ketinggalan karya-karya al-Mawdudi banyak sekali yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

B.     Konsep Negara Islam

Sebelum membahas lebih jauh bagaimana pemikiran politiknya, pada bagian ini akan diuraikan seputar objek kajian ilmu politik terlebih dahulu sebagai landasan sebelum membahas lebih jauh.

Definisi politik jika mengutip Kamus Littre adalah ilmu memerintah dan mengatur negara. Sedangkan dalam kamus Robert, politik didefinisikan sebagai seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia. Dalam definisi modern, politik mencakup pengaturan negara dan mengatur pola kemasyarakatan, sehingga kata “memerintah dan mengatur” itu, saat itu berarti dalam seluruh masyarakat adalah kekuasaan yang terorganisir serta lembaga-lembaga kepemimpinan dan pemilik kekuasaan penekan. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa pemikiran politik secara khusus mengkaji segi kekuasaan termasuk di dalamnya terkait dengan hukum tatanegara atau dalam Islam di sebut dengan alAhkām al-Sultāniyah.

Dalam mengkaji tatanegara dalam Islam, para ulama berbeda pendapat. Perbedaan ini bermula dari sebuah pertanyaan apakah Islam dengan kitab sucinya mengatur perihal ketatanegaraan. Mengutip kembali apa yang diutarakan oleh Munawir Sjadzali dan M. Din Syamsuddin, setidaknya ada tiga kelompok ilmuan Islam yang mempunyai pandangan berbeda dalam menjawab permasalahan di atas, dan masing-masing kelompok tersebut sampai saat ini masih eksis menyuarakan pendapatnya bahkan semakin serius. Pertama, antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan (integreted). Menurut kelompok ini, wilayah agama juga adalah wilayah politik. Dengan kata lain, negara merupakan lembaga politik dan sekaligus lembaga keagamaan. Model ini, negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Tuhan. Penganut teori ini menurut M. Din Syamsuddin adalah kelom-pok Syi’ah. Kedua, mereka yang memandang antara agama dan negara berhubungan secara simbolik. Menurut kelompok ini antara agama dan negara terdapat hubungan timbal balik yang saling memerlukan, dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan kekuasaan negara agama akan dapat diaplikasikan dalam dunia nyata dan berkembang, sebaliknya negara dengan adanya peran agama akan terkontrol dari hal yang menyimpang. Di antara mereka yang meng-anut teori ini adalah Al-Mawardi, alGazali, Fazlur Rahman. Ketiga, antara agama dan negara bersifat sekularistik. Kelompok yang menganut teori ini melakukan penolakan atas penyatuan peran agama dan negara dan menolak pendasaran negara kepada Islam. Di antara mereka yang menganut teori ini adalah Ali ‘Abd al-Razik. Argumentasi yang disodorkan oleh kelompok ini bahwa Islam tidak mempunyai kaitan apa pun dengan sistem kekhalifahan.

Konsep al-Mawdudi tentang negara dilatarbelakangi oleh konsepnya tentang kebutuhan akan sebuah kekuasaan dalam rangka merealisasikan pesan-pesan al-Qur’an dalam kehidupan nyata. Karena menurutnya,al-Qur’an tidak hanya meletakkan prinsip moralitas dan etika, melainkan juga memberikan tuntunantuntunan di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Ditetapkan pula tuntunan hukuman untuk kejahatan-kejahatan tertentu dan demikian juga ditetapkan prinsip-prinsip kebijaksanaan fiscal dan moneter. Ini semua tidak dapat terealisasi dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata kecuali jika suatu negara Islam yang akan menegakkannya, di sinilah menurut al-Mawdudi pentingnya sebuah pembentukkan negara Islam sebagai pelaksana syari’at Islam yang telah ditentukan dalam al-Qur’an.

Menurut al-Maududi, agama Islam melalui al-Qur’an tidak hanya terkait dengan permasalahan ibadah saja, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat, tetapi juga termasuk hukum negara dan institusi kenegaraan. Jika kita ingin menegakkan agama Allah, maka tujuan itu tidak dapat dicapai hanya dengan menegakkan pranata puasa dan shalat saja, kita harus menegakkan hukum Ilahi dan menjadikan Syari’at sebagai Undang-Undang Negara. Jika ini tidak ditegakkan, maka meskipun pranata shalat dan sebagainya dilaksanakan, tidak akan menyebabkan ditegakannya agama. Ia hanya akan merupakan penegakan sebagian saja dari dīn, bukan dīn secara total. Jika yang ditegakkan justru hukum-hukum lain selain hukum Tuhan, maka merupakan penolakan atas dīn itu sendiri

Jika kita melihat perjalanan pemikiran al-Mawdudi sangatlah menarik. Al-Mawdudi yang pada awalnya menolak pendirian negara Islam yang digagas oleh Liga Muslim ketika Pakistan memisahkan diri dari India kemudian berpaling menjadi seorang pejuang negara Islam. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh al-Mawdudi?. Jika kita mencermati kata-katanya yang dituangkan dalam majalah Tarjumānal-Qur’an, perihal penolakannya terhadap gagasan yang disuarakan oleh Liga Muslim, nampaknya al-Mawdudi bukan tidak setuju akan pentingnya sebuah pendirian negara Islam, hanya saja ia tidak menyepakati cara-cara yang digunakan oleh Liga Muslim dalam mengusung gagasan pendirian negara Islam. Menurutnya, Liga Muslim yang mengeluarkan resolusi pembentukan negara Pakistan itu, sebenarnya bukan “Partai Islam” akan tetapi berbentuk “Partai Sekular”. Hal ini terlihat dari ideologi yang dipakai oleh Liga Muslim yakni mencantumkan “nasionalisme Muslim” sebagai asasnya, dan bukannya Islam itu sendiri. Dari sini nampaknya alMawdudi merasa ragu akan kesungguhan dan orientasi Liga Muslim dalam menyuarakan pentingnya negara Islam. Tidak hanya itu, alMawdudi juga merasa ragu akan para elite pemimpin Liga Muslim yang menurutnya tidak menjalankan ajaran Islam dengan sebenarbenarnya. Karena alasan inilah menurut hemat penulis kenapa alMawdudi tidak sependapat dengan Liga Muslim yang dimotori oleh Ali Jinah dan bukan penolakan atas gagasan pendirian negara Islam seperti yang selama ini dianggap oleh beberapa peneliti pemikiran al-Mawdudi sempurna dapat mewujudkan cita-cita Islam menjadikan sebuah negara yang tentram, tertib, damai dan hal inilah menurutnya yang dicita-citakan oleh Islam sendiri dalam al-Qur’an.

C.    Bentuk Negara Islam

Aristoteles dalam salah satu bukunya “Politika” membagi bentuk-bentuk negara ke dalam beberapa kategori berdasarkan pada siapa yang memegang kekuasaan tertinggi; Pertama, kekuasaan tertinggi negara berada di tangan satu orang, jika kategori pertama dan tujuan pemerintahannya adalah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum, maka bentuk pemerintah ini dinamakan pemerintahan monarki. Kedua, kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan beberapa orang, pemerintahan seperti ini, maka dinamakan pemerintahan aristokrasi. Ketiga, kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan banyak orang, pemerintahan seperti ini, menurut Aristoteles, disebut dengan politeia (kata Yunani) yang berarti konstitusi.

Uraian seputar bentuk negara juga diungkapkan oleh beberapa intelektual Islam baik pada masa klasik maupun modern. Di antara intelektual Islam yang mewakili masa klasik adalah Ibn Abi Rabi, ia mengatakan bahwa bentuk pemerintahan yang paling ideal diterapkan bagi umat Islam adalah bentuk monarki, yakni kekuasaan tertinggi dipegang oleh satu orang yaitu raja. Ia menolak bentuk pemerintahan aristokrasi, oligarki, bahkan demokrasi sekalipun. Alasan yang dikemukakan oleh Ibn Abi Rabimemilih bentuk pemerintahan monarki karena menurutnya jika kekuasaan tertinggi berada di tangan banyak orang, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan kerusuhan. Ulama klasik lainnya yang mempunyai pandangan hampir sama dengan Ibn Abi Rabiadalah al-Ghazali.

Menurut al-Mawdudi hanya Amir satu-satunya yang berhak menerima ketaatan dan kesetiaan rakyat, dan bahwa rakyat mendelegasikan sepenuhnya hak mereka untuk mengambil keputusan mengenai semua masalah yang berkaitan dengan hajat hidup mereka. Kedudukan Amir menururt al-Mawdudi sangat berbeda dengan raja atau ratu seperti di negara Inggris atau Presiden, atau bahkan Perdana Menteri. Dalam konsepnya, al-Mawdudi tidak menyebutkan bentuk pemerintahan seperti apa, ia hanya mengatakan bahwa bentuk pemerintahan yang digagas olehnya bukan seperti bentuk pemerintahan modern. Ia hanya mengatakan bahwa bentuk konsep kedau-latan Tuhan atau dalam istilah modern dikenal dengan teo-demokrasi yang tepat diterapkan jika negara Islam kelak terwujud di Pakistan.

Melihat bagaimana seharusnya perilaku seorang khalfah yang dirancang oleh al-Mawdudi bisa dikatakan bahwa bentuk pemerintahan harus seperti pada masa Khalfah al-Rasyidin. Akan tetapi jika kita lihat pada waktu perumusan konstitusi dalam Dewan Konstitusnte tahun 1956, rumusan itu mencantumkan nama resmi negara dengan “Republik Islam Pakistan”, hasil konstitusi itu ternyata mendapat dukungan dari al-Mawdudi. Meskipun alMawdudi dalam konsepnya menginginkan bentuk negara seperti Khalfah al-Rasyidin, akan tetapi ia menyetujui bentuk pemerintahan negara republik.

D.    Struktur Negara Islam

Dalam bagian ini akan dielaborasi rumusan struktur pemerintahan sebuah negara Islam menurut al-Maududi. Menurutnya, struk-tur pemerintahan dalam negara Islam meliputi: 

Pertama, Amir (Kepala Negara)

Jika dilihat dari sejarahnya, kata “Amir” pertama kali diguna-kan dalam pertemuan di Balai Saqīfat Banī Sā’idah. Pada waktu itu pemimpin kaum Anshar dan Muhajirin berkumpul untuk membicarakan siapa yang layak menggantikan Nabi. Ketika dua golongan itu berselisih paham, kaum Anshar berkata: “dari kami seorang Amir (pemimpin) dan dari kamu seorang Amir. Menimpali ucapan kaum Anshar, kaum Muhajirin berkata: ‘Kami adalah umara’ dan kamu sebagai wuzara (menteri). Dari pembica-raan ini, maka terpilihlah sahabat Nabi Abu Bakar sebagai pengganti Nabi dengan berbagai pertimbangan. Akan tetapi menariknya, jabatan yang dipegang oleh Abu Bakar tidak disebut sebagai Amir, melainkan Khalfah Rasul. Gelar Amir mulai disandang ketika Khalfah Abu Bakar wafat dan digantikan oleh ‘Umar Ibn Khaththab dengan sebutan Amir al-Mu’minīn.

Islam sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Beban yang diemban oleh seorang Amir adalah bukan saja sebagai pemimpin eksekutif, tetapi juga ia harus bertanggung jawab terhadap urusan keagamaan. Argumentasi yang dibangun oleh al-Mawdudi adalah tradisi yang pernah dilakukan oleh Nabi dan masa Khulafa’ Al Rasyidin yakni “Amir” berkewajiban menjadi imam shalat fardhu’ lima waktu di masjid besar di ibu kota negara dan menjadi khatib disetiap shalat jum’at di masjid tersebut”. Dalam pemilihan seorang Amir, al-Maududi merekomendasikan dipilih dari mereka yang bertakwa.

Meskipun posisi Amir adalah pemegang kekuasaan tertinggi baik dalam pemerintah maupun dalam urusan agama, tapi secara yuridis, pemimpin Islam tidak memiliki kelebihan dan keistimewaan dari muslim lainnya. Seorang pemimpin kata alMawdudi tidak lebih dari seorang manusia yang lain. Dalam masalah kebijaksanaan yang berhubungan dengan rakyat, pemimpin berhak mendapatkan kritikan atas keputusannya, baik dalam menjalankan politik pemerintahan maupun penyelewengan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut al-Maududi, jika masyarakat menghendaki Amir berhenti dari jabatannya, maka Amir harus berhenti. Kepada Amir-lah tempat mengadu dan menyelesaikan masalah.

Al-Mawdudi menjelaskan sikap yang harus dimiliki oleh seorang Amir dalam menjalankan pemerintahan adalah sebagai berikut:

a.    Seorang pemimpin kata al-Maududi harus selalu memperhatikan asas musyawarah dalam menetapkan semua peraturan. Majlis permusya-waratan rakyat harus komit dan dipercaya penuh oleh umat Islam. Sistem perwakilan yang dipilih melalui suara umat Islam secara yuridis dibenarkan oleh Islam, sekalipun pada masa kepemimpinan Khulafa’ Al-Rasyidin belum pernah ada.

b.    Menurut al-Mawdudi bahwa peraturan harus ditetapkan berdasarkan suara terbanyak dari seluruh anggota MPR. Hal ini menurutnya bukan berarti Islam menjadikan dominasi kuantitas sebagai standar kebenaran hukum.

c.    Menurut al-Mawdudi para calon pemimpin tidak dibenarkan meraih kemenangannya dengan cara yang tidak sesuai dangan tuntunan Islam.

d.    Dalam sistem permusyawaratan yang Islami, anggota majlis tidak dibagi-bagi menjadi beberapa golongan atau partai, namun setiap anggota majlis hendaknya mengeluarkan ide-ide kebenaran yang sifatnya pribadi. Islam tidak menghendaki anggota MPR turut serta dalam kepartaian. Hal itu akan menyebabkan mereka berserikat dengan partainya baik dalam kebenaran maupun kebatilan. Yang sesuai dengan ruh Islam kata al-Mawdudi adalah jika seluruh anggota majelis senantiasa berada dalam lingkup kebenaran dan tidak dibatasi oleh norma tertentu.

e.    lembaga pengadilan dan kejaksaan Islam sepenuhnya berada di luar dari aturan-aturan lembaga eksekutif, karena tugas seorang hakim adalah melaksanakan Undang-undang Allah untuk umatnya. Oleh karena itu, kekuasaan hukum tidak dapat diwakili oleh siapapun, hanya hak Allah Yang Maha Tinggi dan Agung.

Pemikiran al-Mawdudi tentang Amir cukup menarik, karena Amir berada pada posisi lembaga eksekutif. Pemikiran Al Maududi ini berbeda dengan mekanisme struktur negara yang berkembang di dunia modern. Menurutnya, model seperti inilah yang membedakan antara sistem negara yang diterapkan di dunia Barat dengan model negara Islam

Kedua, Lembaga eksekutif

Menurut al-Mawdudi, tugas dari lembaga eksekutif adalah menegakkan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui al-Qur’an dan sunnah serta menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman-pedoman yang telah ditetapkan untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Menurutnya, kata ūlul amri dan umarā dalam al-Qur’an dan hadis untuk menyatakan lembaga eksekutif. Dalam lembaga eksekutif ini, menurut alMawdudi tidak hanya kepala negara saja, akan tetapi ada beberapa pejabat yang berfungsi membantu tugas kepala negara atau jika disepadankan bisa disebut dengan Menteri.

Ketiga, Ahl al-Hal wa al-‘Aqd

Secara harfiah Ahl al-Hal wa al-‘Aqd (badan legislatif) berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Sedangkan para ahli fikih siyasah mendefinisikan Ahl al-H}al wa al-‘Aqd sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Dengan demikian Ahl al-H} all wa al-‘Aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Al-Mawardi menyebut lembaga ini dengan Ahl al-Ikhtiyari, sedangkan Ibn Taimiyah menyebutnya dengan Ahl al-Syari atau Ahl al-Ijma’, sedangkan alBagdadi menyebutnya dengan ahl al-Ijtihad.

Keempat, badan Qadi (badan Yudikatif)

Badan Qadi (hakim) menurut al-Mawdudi haruslah merupakan badan yang independen. Penentuan anggota badan Qadi berbeda dengan badan Ahl al-H}all wa al-‘Aqd, ia langsung ditentukan oleh Amir sendiri, akan tetapi penunjukannya secara langsung dilakukan oleh Amir, badan ini tidak dapat dipengaruhi oleh Amir dan juga Ahl al-Hall wa al-‘Aqd.

Tugas badan ini adalah menentukan status hukum, memeriksa dan menguji peraturan-peraturan yang diduga bertentangan dengan syari’at. Badan ini bisa dikatakan telah mendapatkan mandat dari Amir untuk menentukan status hukum, dan jika bertentangan dengan syari’at, badan ini secara kuasa penuh dapat membatalkan dan menggantinya dengan hukum baru.

E.     Tujuan Pembentukan Negara Islam

Menurut al-Mawdudi bahwa tujuan negara yang dikonsepsikan oleh al-Qur’an tidaklah negatif, tetapi positif. Tujuan negara tidak hanya mencegah rakyat untuk saling memeras melainkan untuk melindungi kebebasan mereka dan melindungi seluruh bangsanya dari invasi asing. Negara bertujuan untuk mengembangkan sistem keadilan sosial yang berkeseimbangan yang telah diketengahkan Allah dalam al-Qur’an. Untuk merealisasikan tujuan ini, maka menurut al-Mawdudi kekuasaan politik akan digunakan demi kepentingan itu dan bilamana diperlukan, semua sarana propaganda dan persuasif damai akan digunakan, pendidikan moral rakyat juga akan dilaksanakan, dan pengaruh sosial maupun pendapat umum akan dijinakkan.

Lebih baru Lebih lama