PEMIKIRAN POLITIK SUNNI ZAMAN KLASIK DAN PERTENGAHAN

Setiap zaman memiliki sejarah yang berbeda, pemikiran-pemikiran yang berbeda dan tokoh-tokoh yang berbeda jua. Islam yang diklaim sebagai agama yang komprehensif, baik dari kalangan intern maupun kalangan ekstern-bahkan orientalis sekalipun juga mempunyai cerita tersendiri dalam sejarah ke-tata negaraannya.

Sejarah mencatat bahwa dunia politik bukan hanya dimulai sejak turunnya Islam, namun jauh sebelum itu. Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu. Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX ,(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003) hlm. 26. Nabi Ibrahim hidup antara tahun 1700-2000 SM. Pada peradaban orang-orang Sumeria., manusia sudah mengenal sistem pemerintahan, seperti zaman Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalin.

Empat belas abad sudah Islam bertahan sebagai agama yang dipegang di daerah Jazirah Arab, tentunya bukan merupakan waktu yang singkat, dan seiring waktu yang terus berputar, segala permasalahan yang belum terjamah oleh sejarah-sejarah Islam sebelumnya, menjadi sebuah problematika dalam kehidupan, dan terdesak untuk dilegitimasikan oleh Islam, maka muncul para pemikir yang handal serta menggagaskan konsep pemikirannya dan sampailah kepada kita buah tangan dari mereka yang siap dikaji ulang serta siap untuk diperbaharui oleh kita melihat dari situasi dan kondisi kita saat ini.

Jika masalah politik selalu muncul dalam berbagai pembahasan tentang islam, hal itu wajar sekali, dan seharusnya tidak perlu menimbulkan keheranan. Dalam kaitannya dengan masalah politik ini, kaum muslim biasa mengatakan bahwa agama islam berbeda dengan banyak agama yang lain. Pertanyaan sering muncul secara stereotipikal itu memang mengandung kebenaran yang subtansional. Maka mengingkari hal itu akan berarti sama dengan mengingkari kenyataan sejarah yang telah berlangsung selama kurang lebih 14 abad dan yang masih akan berlangsung entah berapa abad lagi. Dan tentu hal itu juga akan berarti sama dengan mengingkari sebagian dari esensi agama islam.

Pemikiran pada periode klasisk kebanyakan para ahli yang menjelaskan tentang asal-usul berdirinya sebuah negara, artinya hal-hal yang bersifat esensi sekali dalam bersosialisasi masih menjadi topik pembahasan utama. Pada umumnya para ahli di periode ini, ide pemikirannya berpengaruh pada pemerintahan yang berkuasa dimana mereka hidup. Dan corak pemikiran integralistik Agama dan politik menyatulah yang mewarnai pemikiran politik pada masa ini, maka tidak heran ada tokoh yang mengatakan, “Raja adalah baying-bayang Tuhan di muka bumi” (Al-Ghazali).

Gagasan Politik Sunni dalam Sejarah Politik Islam

Sunni atau yang sering disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah sebuah kelompok yang berpegang teguh pada hadits Nabi setelah Al Quran sebagai sumber yang paling utama. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa mengikuti Nabi dan sahabat, baik dalam syariat maupun aqidahnya. Mereka merupakan kelompok terbesar dalam dunia Islam. Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa. Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum-hukum Tuhan. Sebagai konsekuensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.

Sejarahwan Dudung Abdurahman berpendapat bahwa konsepsi politik Ahlussunnah dihubungkan dengan orang-orang Islam yang menerima kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan dan serangkaian khalifah sesudahnya. Sedangkan yang menerima keputusan bersama di antara umat Islam (dengan syarat orang Islam) disebut politik Khawarij. Pendapat yang mungkin tepat disebut konsepsi politik Sunni adalah kekuasaan setelah Rasulullah saw. Ada lima bentuk kepemimpinan saat itu, yaitu Pertama, baiat yang dilakukan di Saqifah dalam pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama pascawafat Rasulullah saw. Kedua, ta’yin (penunjukan) dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar bin Khaththab sebagai khalifah kedua melalui surat wasiat yang ditulis oleh Utsman bin Affan. Ketiga, ahl al-hall wa al-‘aqd (dewan formatur) dalam memilih Utsman sebagai khalifah ketiga. Keempat, aklamasi (pemilihan langsung) oleh umat Islam secara terbuka dalam pemilihan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Kelima, tahkim atau syura yang dilakukan dalam pemilihan Muawiyah bin Abu Sufyan. Meski dalam hal ini, pihak Muawiyah.

Tidak dipungkiri konsepsi pemikiran politik Sunni tidak dirumuskan sejak awal. Bisa dipahami pada masa itu belum terpikirkan oleh para sahabat sehingga pola suksesi dan bentuk pemerintahan berubah-ubah. Namun, secara praktik telah dijalankan dan terlihat dinamis dalam sejarah. Berkaitan dengan konsepsi politik Sunni, ada hadis yang secara tidak langsung bisa dijadikan pedoman bahwa “… peganglah sunnahku dan sunnah khulafa rasyidun yang mendapat petunjuk.” Di antara para ulama sendiri terjadi perbedaan memahami makna khulafa rasyidun. Ada yang menyatakan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Juga ada yang menambahkan Al-Hasan bin Ali dan Umar bin Abdul Aziz.

Teori Pemikiran Politik Zaman Klasik

Era klasik dalam peradaban Islam merujuk pada tahun 650-1250 M, atau lebih tepatnya sejak era Nabi Muhammad hingga era Dinasti Abbasiyah (Sunanto, 2003). Sejarawan Z membagi abad klasik menjadi dua periode. Periode yang pertama adalah abad kemajuan yang dimulai pada 650-1000 M, sebuah era yang diwarnai dengan penaklukan (perluasan wilayah kekuasaan), integrasi dan konsolidasi kekuatan politik Islam, dan abad keemasan dalam Islam. Periode kedua disebut sebagai era disintegrasi politik Islam yang dimulai pada 1000-1250 M. Era ini sudah bermula menjelang berakhirnya Dinasti Umayyah dan memuncak pada Dinasti Abbasiyah. Pada saat itu, institusi politik (kekhalifahan) mengalami degradasi kepercayaan publik dan berakhir kepada wilayah pinggiran (daerah) yang memilih untuk mendirikan dinasti sendiri secara terpisah dari kekuatan pusat (Nasution, 2008).

Salah satu ciri utama dari pemikiran politik Islam di era klasik adalah kentalnya pengaruh pemikiran dari para filsuf Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles, kendatipun kualitas pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir lainnya (Arfiansyah,2010; Butterworth, 1992). Hal ini terlihat dari bagaimana para pemikir Islam ketika merumuskan pemikiran tentang negara dan pemerintahan yang lebih menonjolkan aspek logika daripada aspek agama, meskipun mereka tetap memasukkan nilai-nilai yang berasal dari ajaran Islam (Syarif, 2008). Dalam teori politiknya, Plato menyatakan bahwa manusia secara individu tidak mungkin dapat memenuhi seluruh kepentingan hidupnya secara sendiri. Karena itu, diperlukan kerja sama dan kebersatuan antarindividu. Sebagai makhluk rasional dan sosial, kerja sama tersebut melahirkan sebuah ikatan yang semakin kuat dan berujung pada terbentuknya institusi negara. Teori ini kemudian diadopsi para pemikir politik Islam sebagai konstruksi filosofis terbentuknya negara.

Ciri berikutnya dari pemikiran politik Islam era klasik adalah tidak dipersoalkannya kedudukan agama dan negara, apakah terintegrasi atau terpisah. Perdebatan yang terjadi pada masa ini hanya berkisar pada wajibnya pendirian sebuah negara, cara pengangkatan jabatan kepala negara, dan syarat-syarat kepala negara. Selain itu, pemikiran politik yang berkembang pada era klasik lebih banyak berpijak pada kondisi nyata sosial-politik. Pemikiran mereka lebih banyak dilahirkan sebagai respon terhadap kondisi sosial politik yang terjadi. Bahkan, ada yang mendasari gagasannya pada pemberian legitimasi pada sistem pemerintahan yang ada atau mempertahankan status quo bagi kepentingan penguasa, baru kemudian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi (Syarif,2008).

Teori politik zaman klasik antara lain:

1.    Teori Politik Socrates

Socrates memiliki kepribadian sebagai seorang teoritikus politik yang berupaya jujur, adil dan rasional dalam hidup kemasyarakatan dan mengembangkan teori politik yang radikal. Namun keinginan dan kecenderungan politik Socrates sebagai teoritikus politik membawa kematian melalui hukuman mati oleh Mahkamah Rakyat (MR). Metode Socrates yang berbentuk Maieutik dan mengembangkan metode induksi dan definisi. Pada sisi lain Socrates memaparkan etika yang berintikan budi yakni orang tahu tentang kehidupan dan pengetahuan yang luas. Dan pada akhirnya akan menumbuhkan rasa rasionalisme sebagai wujud teori politik Socrates.

2.    Teori Politik Plato

Filsafat politik yang diuraikan oleh Plato sebagai cerminan teori politik. Dalam teori ini yakni filsafat politik tentang keberadaan manusia di dunia terdiri dari tiga bagian yaitu, Pikiran atau akal, Semangat/keberanian dan Nafsu/keinginan berkuasa. Plato memiliki idealisme yang secara operasional meliputi: Pengertian budi yang akan menentukan tujuan dan nilai dari pada penghidupan etik, Pengertian matematik, Etika hidup manusia yaitu hidup senang dan bahagia dan bersifat intelektual dan rasional, Teori tentang negara ideal, Teori tentang asal mula negara, tujuan negara, fungsi negara dan bentuk negara, Penggolongan dari kelas dalam negara, Teori tentang keadilan dalam negara dan Teori kekuasaan Plato.

3.    Teori Politik Aristoteles

Teori politik Aristoteles bernuansa filsafat politik yang meliputi: Filsafat teoritis, Filsafat praktik dan Filsafat produktif. Teori negara yang dinyatakan sebagai bentuk persekutuan hidup yang akrab di antara warga negara untuk menciptakan persatuan yang kukuh. Untuk itu perlu dibentuk negara kota (Polis). Asal mula negara, Negara dibentuk berawal dari persekutuan desa dan lama kelamaan membentuk polis atau negara kota. Tujuan negara harus disesuaikan dengan keinginan warga negara merupakan kebaikan yang tertinggi. Aristoteles berpendapat sumbu kekuasaan dalam negara yaitu hukum. Oleh karena itu para penguasa harus memiliki pengetahuan dan kebajikan yang sempurna. Sedangkan warga negara adalah manusia yang masih mampu berperan.

Para intelektual yang muncul pada periode klasik antara lain :

1.      Ibn Abi Rabi’ (833-842 M)

Adalah penulis kitab Suluk al-Malik fi Tadbir al-mamalik (Perilaku Raja dalam Pengelolaan Kerajaan-Kerajaan). Merupakan sarjana muslim pertama penggagas teori politik. Dalam teori politiknya ada sebagian pengaruh falsafah politik Yunani.

Teori pemikiran politik Ibn Abi Rabi’ dapat diringkas sebagai berikut:

a.    Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, karena itu tidak ada orang yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara sendiri.

b.   Untuk mengatur dan menjamin ketentraman hidupnya, Allah SWT. memberi petunjuk, aturan tentang kewajiban dan haknya.

c.    Allah SWT. mengangkat penguasa sebagai tanfidz (pelaksana) demi terlaksananya petunjuk Illahi itu.

d.    Bentuk pemerintahan yang ideal adalah kerajaan turun temurun atau monarki.

e.    Kepala Negara adalah orang yang termulia di tempat itu.

2.      Al-Farabi (257-339 M)

Bernama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, ia juga dikenal dengan sebutan nama Abu Nasir al-Farabi namun beliau terkenal dengan nama Al-Farabi.  Ia dilahirkan di Utrar (Farab) pada 257 H/870 M, dan  meninggal dunia di Damaskus pada 339 H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius. Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.

Teori pemikiran politik Al-Farabi dapat diringkas sebagai berikut :

a.    Allah SWT. menciptakan manusia sebagai makhluk sosial.

b.   Manusia perlu hidup bermasyarakat.

c.     Manusia mempunyai perbedaan-perbedaan.

d.   Ada masyarakat sempurna besar semisal perserikatan internasional.

e.    Masyarakat yang belum sempurna misalnya masyarakat desa, kampong, lorong dan keluarga.

f.      Negara kota adalah kesatuan politik yang terbaik, negara utama.

g.    Warga Negara dibagi menjadi tiga kelas, yaitu elit politik, angkatan bersenjata dan rakyat jelata.

h.   Kepala Negara harus ada lebih dahulu, baru kemudian rakyat yang dikepalainya.

3.      Al-Mawardi (364-450 M)

Bernama lengkap Abu Al-Hasan Ali ibn Habib al-Mawardi, penulis kitab Al-Ahkam al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah (Peraturan-Peraturan Pemerintahan). dilahirkan di Basrah, Irak. Dia seorang pemikir Islam yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah.  Terbukti pada masa pemerintahan Khalifah al-Qardi (991-1031 M) dia diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung (Qadhiy al-Qudhat) di Bagdhdad.

Teori pemikiran politik Al-Mawardi dapat diringkas sebagai berikut:

a.    Manusia secara syahsiyah adalah berbeda, tetapi saling membutuhkan

b.   Negara harus ditopang oleh enam hal yaitu al-Diinu al-Muttaba’ (agama yang dihayati), Sulthaanun Qaahirun (penguasa yang berwibawa), ‘Adlun Syaamilun (keadilan yang merata), Amnun ‘Aamun (keamanan yang mumpuni), Hashbun daaimun (kelestarian kesuburan tanah).

c.    Sistem kerajaan turun temurun merupakan system ideal dengan dua macam wazir, yaitu wazir tafwidh yang memiliki kewenangan menggariskan kebijakan  dan wazir tanfidz yang sekedar pelaksanaan kebijakan.

d.   Seleksi Imam harus dilaksanakan oleh ahlu al-ikhtiyaar yang adil dan berwawasan luas.

e.    Hak mengisi jabatan adalah ahlu al-imaamah yang memiliki sifat tujuh yaitu, adil, ahli ijtihad, sehat inderanya, utuh anggota badannya, berwawasan luas, berani dan kekuasaan Quraisy.

f.     Pemilihan bisa melalui bisa melalui ahlu al-halli wa al-‘aqdi atau wasiat dari pendahulunya.

g.   Imam dapat dijatuhkan jika menyimpang.

4.      Al- Ghazali (450-505 M)

      Bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i .  Ia lahir di Ghazaleh, sebuah negeri dekat Thus, Khurasan, (1059 M/450 h) dan meninggal di kota yang sama pada 1111 M/501 H.  Al-Ghazali dapat dikatakan sebagai pemikir muslim yang paling populer dan paling berpengaruh di dunia islam. Pemikiran keislamannya meliputi seluruh aspek ajaran Islam.

Teori pemikiran politik Al-Ghazali dapat diringkas sebagai berikut:

a.    Manusia sebagai makhluk sosial.

b.   Manusia perlu pembagian tugas meliputi pertanian, pemintalan, pembagian dan politik.

c.    Profesi politik merupakan hal yang paling penting.

d.   Profesi politik adalah satu derajat dibawah kenabian, harus dijabat oleh orang yang memiliki ilmu, mahir, arif dan netral dari tugas lain.

e.    Pengangkatan imam merupakan tugas syara’

f.     Hubungan agama dan politik seperti dua anak kembar, agama sebagai pondasi dan sultan sebagai penjaganya.

g.   Sistem pemerintahan yang ideal adalah teokrasi dengan kekuasaan muqaddas, khalifah sebagai bayangan Allah dan ketaatan mutlak bagi rakyat.

h.   Imam Al-Ghazali menyebutkan dalam Fadha’il al Bathiniyah bahwa imamah ditegakkan oleh syaukah, dan syaukah ditegakkan oleh mubaya’ah.

Teori Pemikiran Politik Zaman Pertengahan

Periode pertengahan yang berlangsung sejak abad ke-14 hingga abad ke-19 (periode kejatuhan Abbasiyah hingga zaman kolonialisme). Periode pertengahan dibagi dalam dua massa, yaitu masa kemunduran pertama dan masa tiga kejayaan besar (Utsmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India). Para pemikir politik Islam pada periode ini mencerminkan kecenderungan responsife-realis terhdap kejatuhan dunia Islam.

  Beberapa intelektual yang muncul pada periode pertengahan yaitu:

1.      Ibn Taimiyah (1236-1328 M)

Bernama lengkap Abdul Abbas Taqiyuddun Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani, ia lahir pada 22 januari 1236 atau 10 rabiul awwal 661 H dan wafat pada 1328 atau 20 dzulhijjah 728 H, ia adalah seorang pemikir dan ulama islam dari Harran, Turki. Yang menulis al-siyasah al-syar’iyah fi ishlah al-ra’I wa al-ra’iyah (politik yng berdasarkan Syariah bagi perbaikan penguasa dan rakyat), majmu’ al-fatawa (kompilasi fatwa-fatwa), al-minhaj al-sunnah al-nabawiyah fi naqd al-syi’ah wa al-qodariyah (metode kenabian dalam mengkritik syi’ah dan qodariyah). Ibn Taimiyah mewakili kecenderungan terbentuknya pemerintahan yang didasarkan atas hokum tuhan (siyasah syar’iyah).

2.      Teori politik Ibn Khaldun (3-1406 M)

Yaitu teori tentang negara yang diktegorikan atas pengertian pemerintah manusia dan keterbatasan manusia dlam negara yang disebut negara modern. Setiap warga negara perlu memiliki askabiyah untuk menumbuhkan kesatuan dalam negara. Untuk itu dikembangkan teori politik askabiyah dan rasa keagamaan oleh pemimpin negara. Perkembangan negara harus didasarkan pada solidaritas dengan keyakinan agama untuk dapat menstabilkan negara. Hal ini perlu didukung oleh penguasa yang memiliki perangkat dominasi pemerintah dan ekuasaan untuk mengatasi manusia-manusia yang memiliki sifat kebinatangan. Untuk mempertahankan negara maka dibutuhkan teori pedang dan teori pena dalam menjalankan kekuasaan negara.

Ibn Khaldun yang menulis muqaddimah, ibn Khaldun mewaili kecenderungan sosiologis dalam mengemukakan pemikiran politiknya, terutama tentang pembahasan teori solidaritas kelompok (ashabiyah).

3.      Teori politik Machiavelli

Menurutnya,bentuk negara meliputi negara republic daan monarki. Selanjutnya monarki dibagi atas dua yaitu monarki warisan dan monarki baru. Tuuan negara yaitu memenuhi berbagai kebutuhn warga negara selama negara tidak dirugikan karena negara juga memiliki berbagai kepentingan utama. Kekuasaan negara merupakan alat yang harus digunakan untuk mengabdi ada kepentigan negara. Oleh karena itu, sumber kekuasaan adalah negara. Dalam hal penyelenggaraan kekuasaan negara membutuhkan kekuasaan, wujud kekuasaan fisik, kualitas penguasa untuk mempertahankan kekuasaan negara, maka diperlukan militer. Penguasa ideal yaitu penguasa militer, hal ini digambarkan dalam teori politik dan etika Machiavelli sebagai dasar nasionalisme.

Lebih baru Lebih lama