PEMIKIRAN POLITIK ALIRAN SYI’AH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sejalan dengan berkembanganya dan meluasnya islam di dunia, sehingga hal ini tidak bisa lepas juga dengan problematika yang menyertainnya. Baik problem yang muncul dari internal islam itu sendiri maupun secara eksternalnya. Salah satau diantara problematika yang ada adalah munculnya banayak firqah-firqah atau aliran dalam agana islam.

Hal ini juga sesuai dengan hadis Nabi Muhammad yang menyebutkan bahwa islam akan terpecah sebanyak tujuh puluh tiga golongan atau aliran, dan hanya satu aliran yang akan selamat yaitu golongan yang mengikuti ajaran Rasulullah dan para sahabatnya.

Perkembangan aliran dalam islam yang muncul sangat banyak juga tidak bisa lepas dengan perkembangan politik dalam islam. Dimana ada beberapa aliran dalam islam yang muncul akibat gejolaknya pemerintahan dalam islam.  Diantaranya adalah alirah Syiah, Khawarij dan aliran Muktazilah yang muncul disaat masa peralihan Khulafaur Rasyidin yang terakhir yaitu Sahabat Ali bin Abi Thalib ke Dinasti Umayah. Yang mana ketiga aliran tersebut ada karena menyetujui ataupun menolak dan bahkan tidak diantara keduanya atas sikap yang diambil oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib saat memutuskan untuk Arbitase atau Tahkim yang diajukan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan.

B.     Rumusan Masalah

1.    Bagaimana munculnya aliran Syiah dan pandangan politik aliran tersebut?

2.    Bagaimana munculnya aliran Khawarij dan pandangan politik aliran tersebut?

3.    Bagaimana munculnya aliran Muktazilah dan pandangan politik aliran tersebut?

C.     Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui dan memahami sejarah munculnya aliran syiah beserta corak politik aliran syiah.

2.      Untuk mengetahui dan memahami sejarah munculnya aliran Khawarij beserta corak politik aliran Khawarij.

3.      Untuk mengetahui dan memahami sejarah munculnya aliran muktazilah beserta corak politik aliran muktazilah

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Aliran Syiah dan Corak Politiknya

1.      Sejarah Aliran Syiah

Syiah secara etimologis merupakan golongan atau kumpulan yang bertujuan untuk membahas suatu permasalahan yang sama. Namun kemudian pengertian Syiah langsung merujuk kepada golongan atau pengikut yang setia kepada Ali bin Abi Thalib dan ahli baitnya serta siap untuk membelanya.

Adapun definisi syiah secra terminologis ialah orang-orang atau golongan yang mengikuti Ali bin Abi Thalib secara khususnya, dan mengatakan permasalahan imamah beserta kekhalifahannya dengan sistem penunjukan dan pendelegasian yang di uat  secara terbuka maupun rahasia dan meyakini masalah imamah tidak terpisah dari keturunannya ( Ali bin Abi Thalib ).[1]

Aliran syiah mulai muncul setelah terjadinya perang Shiffin antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Yang kemudian perang tersebut berakhir dengan tahkim. Dari sikap tahkim yang dilakukan Ali tersebutlah yang kemudian terjadi pro kontra. Sebagian yang mendukung dan tetap setia kepada Ali disebut Syiah dan yang tidak menyetujui sikap Ali dan menolaknya disebut dengan Khwarij.

Kemudian peristiwa yang menjadi titik awal bersatunya golongan syiah adalah ketika cucu Rosulullah, Al Husain wafat di Karbala. Syiah yang awalnya hanya sekedar dianut setelah peristiwa in I menjadi tertanam dengan kuat dalam jiwa penganutnya serta mulai berkembang ke bangsa Irak dan Persia.

Dalam perkembangannya Aliran Syiah terbagi lagi menjadi beberapa kelompok diantaranya adalah sebagai berikut :

a.    Kaisaniyah adalah pengikut kiasan yaitu seorang Mawla atau sahaya Ali bin Abi Thalib dengan ajarannya agama adalah kepatuhan dan ketaatan  kepada seseorang.

b.   Zaidiyah yaitu kelompok yang mengikuti Zaid bin Ali Al Husain yang mempercayai bahwa Imamah hanyalah milik keturunan Sayidah Fatimah dan tidak sah kepada yang lain.

c.    Imamiyah merupakan orang orang yang berkeyakinan bahwa sepeninggal Nabi, Imamah adalah Ali bin Abi Thalib.

d.   Ghaliyah yaitu mereka yang melebihi batas batas mereka yang selaku mahluk Allah SWT dan memberi sifat Allah kepada diri mereka.

e.    Ismaliyah adalah kelompok yang menisbahkan dirinya kepada imamiyah.

Kemunculan aliran Syi‟ah itu semenjak awal memang didorong oleh hasrat politik untuk berkuasa dari kalangan ahl al-bayt. Kemudian klaim politik itu ditopang dengan doktrin-doktrin agama, khususnya hadis Nabi yang berbicara mengenai kewalian Ali yang terkenal dengan Hadis Ghadir Khum. Selain didukung dengan doktrin kewalian Ali, klaim atas hak kekhalifahan Ali juga didukung dengan fakta kesejarahan tentang kedekatan Ali dengan Rasulullah, seperti kedudukannya sebagai menantu Rasulullah, pengorbanannya untuk menggantikan Rasulullah tidur di tempat tidurnya ketika Rasulullah meninggalkan Mekkah untuk hijrah ke Yatsrib. Bagi kelompok ahl al-bayt, berbagai fakta kesejarahan itu telah cukup bagi Ali untuk mendapatkan kedudukan sebagai khalifah menggantikan Rasululllah sebagai pemimpin umat Islam.[2]

B.     Corak Politik Aliean Syiah

Para pembela Sayyidina Ali pada mulanya disebut sebagai “Syi’ah Ali” atau Pengikut Ali, kemudian istilah itu berubah menjadi “Syi’ah”. Pada saat terjadinya peperangan-peperangan yang dihadapi oleh Sayyidina Ali, seperti perang jamal dan perang shiffin, kemudian nahrawan melawan kaum Khawarij. Dan pembunuhan atas al-Husain bin Abi Thalib telah mempersatukan kaum Syi’ah dan menciptakan sikap yang keras dan tajam sehingga mereka menuangkan ideologi-ideologi mereka dalam suatu acuan yang jelas. Adapun pandangan-pandangan mereka yang khas ialah:

a.    Bahwasannya imamah, merupakan salah satu rukun diantara rukun-rukun agama dan sudut amat penting dalam Islam. Adalah kewajiban Nabi SAW untuk menunjuk dan menetapkan seorang imam dengan ketetapan yang jelas sebagai ganti membiarkan sebagai objek pemilihan oleh umat.

b.    Seorang harus haruslah seorang ma’shum, yakni seorang yang suci, terjaga dan terpelihara dari perbuatan dosa besar dan kecil.

c.    Bahwasany Sayyidina Ali adalah imam yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW.

d.    Kelompok-kelompok Syi’ah bersepakat bahwa imamah adalah hak milik anak cucu Ali saja.[3]

C.     Sejarah perkembangaan Aliran Khwarij dan Corak Politiknya

1.         Sejarah Aliran Khawarij

Khawarij berarti orang-orang yang pergi ke luar atau memisahkan diri. Istilah itu kemudian mempunyai makna khusus, yaitu digunakan untuk menyebut mereka yang memisahkan diri dari kelompok Ali. Kalau aliran Syi‟ah muncul didorong oleh hasrat politik kelompok ahl al-bayt, dan sudah mulai terbentuk semenjak meninggalnya rasulullah, kelompok Khawarij muncul lebih belakangan, tepatnya ketika Ali telah menjadi khalifah menggantikan sahabat Usman.

Meski pada awalnya Khalifah Ali menolak tawaran gencatan senjata karena menganggap itu hanya sebagai taktik Mu‟awiyah, namun atas pertimbangan ajaran Islam yang melarang menolak ajakan berdamai, khalifah menerima tawaran Mu‟awiyah itu. Langkah Khalifah Ali ini merupakan awal bencana bagi kedudukan kekhalifahannya. Sekali lagi, atas desakan para pengikutnya Khalifah Ali memilih orang yang kurang tepat sebagai utusan untuk bernegosiasi dalam perundingan dengan pihak Mu‟awiyah. Khalifah Ali yang sebelumnya cenderung memilih salah satu di antara Abdullah bin Abbas atau Malik alAsytar, kemudian justru menetapkan Abu Musa al-Asy‟ari sebagai utusan dari pihak Khalifah Ali. Sementara itu Mu‟awiyah mengutus Amr bin Ash, yang terkenal pandai dan cerdik berdiplomasi, untuk mewakiliki kelompoknya dalam tahkîm (arbitrase). Setelah berjalan kurang lebih 6 bulan, hasil tahkîm justru sangat merugikan Khalifah Ali sebagai pemegang kekuasaan kekhalifahan yang sah, bahkan kemudian menyebabkan Khalifah Ali kehilangan kekuasaanya.[4]  

Hasil tahkîm yang menguntungkan pihak Mu‟awiyah dan merugikan pihak Ali sebagai khalifah yang sah menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi sebagian pengikut Ali. Kekecewaan sebagian pendukung Ali di atas kemudian berubah menjadi keraguan dan ketidakpercayaan terhadap kapasitas Ali sebagai pemimpin mereka. Ketidakpercayaan kepada Ali kemudian berubah menjadi sikap mempersalahkan Ali atas terjadinya situasi politik yang tidak menguntungkan itu. Bahkan, mereka menganggap bahwa kesalahan Ali tidak hanya kesalahan politik, tetapi juga kesalahan teologis dikarenakan telah memilih tahkîm dan mengabaikan hukum Allah (al-Qur‟an).

Secara internal, pandangan Khawarij itu justru menimbulkan dampak yang kurang positif karena tidak ada pemimpin mereka yang memiliki pengaruh kepada seluruh anggota kelompok Khawarij. Kondisi itu menjadi salah satu pendorong timbulnya perpecahan dalam kelompok Khawarij menjadi sekte-sekte kecil yang mandiri dan otonom. Sekte-sekte itu kemudian melakukan gerakan-gerakan yang berdiri sendiri pada wilayah-wilayah geografis yang terpisah. Karena itu kelompok Khawarij tidak pernah menjadi kelompok yang besar dan berpengaruh secara luas dalam kehidupan masyarakat muslim.

Gerakan Khawarij terpecah menjadi dua, yaitu: kelompok politik di bawah kepemimpinan Nâfi‟ bin al-Azrâq dan kelompok keagamaan di bawah kepemimpinan Abû Bilâl Mirdas bin Udaiyah al-Tamîmî. [5] Dari kelompok Abû Bilâl Mirdas itulah kemudian lahir sekte al-Shufriyah dan kelompok Ibadiah. Sementara dari kelompok Nâfi‟ bin al-Azrâq lahir sekte Khawarij yang ekstrim, yaitu Azraqiyah dan Najdiyah. Kedua sekte itu telah musnah. Termasuk yang musnah karena ditumpas para penguasa adalah sekte alShufriyah. 

2.         Corak politik Aliran Khawarij

Khawarij berasal dari  kata Kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali, tapi ada pula yang mengatakan bahwa nama itu atas dasar Surah An-Nisa ayat 100:

وَمَن يُهَاجِرْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدْ فِى ٱلْأَرْضِ مُرَٰغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَن يَخْرُجْ مِنۢ بَيْتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدْرِكْهُ ٱلْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Artinya : Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Selain dari itu sering juga mereka menamakan dirinya “Haruriyyah”. Istilah ini berasal dari kata “Harura”, yaitu suatu nama tempat dekat Kufah. Di Harura ini merupakan tempat penyesalan mereka, karena Ali mau berdamai dengan Mu’awiyah.[6]

Inti sari pandangan-pandangan politik mereka adalah:

1)        Mereka mengakui keabsahan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Adapun Utsman, menurut pendapat mereka telah menyimpang pada akhir masa khalifahnya dari keadilan dan kebenaran, karena itu ia selayaknya dibunuh atau dimakzulkan. Dan bahwasanya Sayyidina Ali juga telah melakukan dosa besar dengan mentahkimkan selain Allah.

2)        Dosa, dalam pandangan mereka, sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat.

3)        Khilafah tidak sah kecuali dengan adanya pemilihan bebas antara kaum muslimin dan tidak dengan cara apa pun selain itu.

4)        Mereka sama sekali tidak menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa seorang khalifah haruslah dari suku Quraisy. Mereka mengatakan bahwa setiap orang laki-laki yang saleh, dipilih oleh kaum muslimin, dapat menjadi seorang khalifah yang sah bagi mereka, terlepas dari kenyataan apakah dia seorang dari suku Quraisy atau bukan.

5)        Ketaatan kepada khalifah adalah sesuatu yang wajib hukumnya selama ia masih berada di jalan keadilan dan kebaikan. [7]

D.    Sejarah Perkembangan Aliran Muktazilah dan Corak Politikinya

1.    Sejarah Aliran Muktazilah

Muktazilah secara bahasa artinya memisahkan diri. Sedangkan secraa istilah merupakan nama untuk sebuah kelompok yang muncul di awal abad kedua hijriyah yang lebih dominan penggunaan akal dalam mengkaji teologi islam. Namun adapula yang mengartikan muktazilah dengan tergelincir. Dikarenakan tergelincirnya aliran muktazilah. Ahalussunnah wal jamaah pun memberi nama lain untuk aliran muktazilah dengan  kaum mu’atillah yaitu golongan yang menafikan sifat Tuhan.

Aliran muktazilah didirikan oleh washil bin ‘Atha yang ia keluar dari pengajian gurunya Hasan Bashri yang kemudia mendirikan aliran sendiri. Muktazilah muncul karena persoalan agama yang kemudian kau mini melahirkan ilmu baru dalam islam yang disebut dengan ilmu Kalam. Ilmu kalam sendiri dalam aliran muktazilah berisi campuran Filsafat dan Logika dengan ajaran agama islam.

Sebutan muktazilah juga secara khusus ditujukan kepada golongan yang enggan ikut berperang yaitu perang Jamal dan perang Shiffin. Muktazilah sendiri pernah eksis pada masa Dinasti Umayah untuk kemudian mengalami kemajuan pada masa dinasti Abbasiyah.

Pada masa Bani Umayah Muktazilah tidak mendapat dukungan dari pemerintah yang berkuasa, karena pemerintah pada saat itu masih sibuk mengurusi persoalan politik pemerintahan yang terjadi dan sibuk dengan perluasan wilayah. Sehingga mereka hanya bersifat aliran teologi saja.[8]

Sedangakan pada mas Bani Abbasiyah aliran Muktazilah lebih berkembang dan menonjolkan alirannya. Hal ini karena muktazilah menjadi garda terdepan saat pemerintahan mendapat penyerangam-penyerangan leh kaum non muslim.

2.    Corak Politik Aliran Muktazilah

Aliran mukatzilah berkembang pada masa bani Abbasiyah saat khalifah Al-Makmun menjabat. Pada masa ini aliran muktazilah menjadi madzhab resmi dalam islam karena Al-Makmun menganut aliran ini, kemudian Al-Mkamun mulai mengadakan majlis besar untuk membahas ilmu pengetahuan dari muktazilah. Bahkan dalam mengeskpresikan kefanatikannya terhadap muktazilah beliau menggunakan kekuasaannya memaksa rakyat untuk menganut aliran muktazilah dengan melakukan mihnah. Peristiwa mihnah mengalami puncaknya pada tahun 218 H.

Secara umum muktazilah adala aliran yang menolak sifat azali bagi Allah yang bertujuan mempertahankan konsep tauhid mutlak bagi Allah. Muktazilah menafikan semua sifat Allah namun dinafaikan adalah makna yang terkandung dalam sifat sifat tersebut.

Aliran ini mempunyai Lima prinsip dasar yang sering disebut dengan Al-Ushul Al-Khamsah yaitu sebagai berikut :

1)        Al-Adl atau Keadilan Tuhan

Allah mengarahkan mahluknya pada suatu tujuan dan Allah menghendaki yang terbaik bagi mahlukNya.

Allah tidak menghendaki keburukan oleh karena itu Allah tidak memerintahkan kepada mahlukNya suatu keburukan.

Allah tidak menciptakan perbuatan bagi mahluknya baik perbuatan benar mauapun salah. Manusia diberi kebebasan dalam melakukam perbuatan hal inilah yang melahirkan pahala dan hukuman.

2)        Al Wa’du dan Al Wa’id ( Janji dan Ancaman)

Mereka menyakini bahwa janji Allah akan diberikan pahala berupa surge bagi yang melakukan kebaikan dan sebaliknya yang mengerjakan keburukan akan mendapatkan ancaman dosa berupa siksaan di neraka.

3)        Amar makruf nahi Mungkar

Aliran ini berpendapat amar makruf nahi mungkar sebagai bentuk control sosial yang wajib dilaksanakan.

4)        At tauhid ( Pengesaan Tuhan)

Aliran ini berpendapat Tuhan itu harus disucikan dari segala sesuatau yang dapat mengurangi keesaanNya. Kemudian aliran ini menyakini bhawa Al-Quran itu mutlak kalmullah, dan mahluk juga yang dijadikan Tuhan saat dibutuhkan.

5)        Al Manzilah baina Manzilatain ( posisi diantara dua posisi)

Merupakan ajaran dasar dalam alirah muktazilah dimana ajaran ini menyakini bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah diantara dua posisi yaitu antara kafir dan dan muslim.

Doktrin inilah yang kemudian melahirkan aliran muktazilah, aliran ini menganggap orang yang melakukan doss besar bukan kafir maupun muskim melainkan seorang yang fasik.  


[1] Zulkifli, 2013, Sejarah Kemunculan dan perkembangan Syiah, Pontianak, Jurnal Khatulistiwa-Journal Of Islamic student, Vol 3 No 2.

[2] Syibli Nu‟mani, Umar yang Agung: Sejarah dan Analisa Kepemimpinan Khalifah II , ter. Karsijo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1991), 75.

[3] Ibid, h. 271-273

[4]Philip K. Hitti, History of the Arab From the Earliest Time to the Present (London: MacMillan, 1973), 181.

[5] Nurcholish Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984).

[6] Yusran Asmuni, Pertumbuhan Dan Perkembangan Berpikir Dalam Islam, (Surabaya: Al-ikhlas, 1994), h. 66-68.   

[7] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, terj. Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1996), h. 275-277.  

[8] Ahmad, 2017, Muktazilah: Sejarah dan Lima Prinsip Dasar (Ushul Al-Khamsah), UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Jurnal Ahmad

Lebih baru Lebih lama