PRAKTEK PEMERINTAHAN ISLAM PASCA KHULAFA’ AL-RASYIDIN

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Periode transisi kepemimpinan Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW merupakan masa paling dinamis dalam sejarah kekuasaan dan politik Islam. Titik awal perubahan sistem pemerintahan Islam dimulai setelah tuntasnya kepemimpinan “kekhalifahan” yang dipegang oleh empat tokoh yang disebut al-Khulafa’ al-Rasyidin. Pasca keempatnya, terdapat perubahan corak pemerintahan yang sebelumnya demokratis menjadi monarki. Empat tokoh khalifah ini dipilih melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat. Setelah terpilih, ia berhak mendapat baiat (sumpah setia) dari para pengikut dan seluruh rakyat. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahannya tidak jauh berbeda dengan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, yakni teokrasi.

B.     Rumusan Masalah

1.    Bagaimana pemerintahan pada masa dinasti Umayah?

2.    Bagaimana pemerintahan pada masa dinasti Abbasiyah?

3.    Bagaimana pemerintahan islam Turkey Utsmani?

 

C.    Tujuan Makalah

1.    Guna mengetahui pemerintahan pada masa dinasti Umayah.

2.    Guna mengetahui pemerintahan pada masa dinasti Abbasiyah.

3.    Guna mengetahui pemerintahan islam Turkey Utsmani.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Masa Dinasti Umayyah

Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya khalifah Ali yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.

Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan.[1] Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.

 Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan tahun persatuan (am jama’ah) karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi kerajaan.[2]

Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangansumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.

Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.[3]

Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.

Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661- 750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anakanaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibu kota negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.[4]

Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala.[5]

Salah satu pernyataan Muawiyah ibn Abi Sufyan yaitu “Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras.” [6]

Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.[7]

Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokohtokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah. Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun.[8]

Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut.[9] Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.[10]

Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.

Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.[11]

Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan khulafaur rasyidin. Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah baitul mal. Pada masa pemerintahan khulafaur rasyidin, Baitul mal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, karena setiap warga negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, baitul mal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M).[12]

B.     Masa Dinasti Bani Abbasiyah

Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah berakhir, maka pemerintahan Islam digantikan oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan Umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada  al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti ini berdiri sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafat Rasulullah saw., yaitu menyandarkan khilafah kepada keluarga Rasulullah dan kerabatnya.

Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Bani Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan, Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu, Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang berkuasa.[13]

Bani Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab lebih dekat dengan Nabi saw. Menurut mereka, orang Bani Umayyah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa, melakukan pemberontakan terhadap Bani Umayyah.[14]

Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang beragama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam. Disebut dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah, menjelang berakhirnya Bani Umayyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:

1.    Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada

2.    umumnya.

3.    Merendahkan kaum Muslimin yang bukan Bangsa Arab sehingga mereka tidak

4.    diberi kesempatan dalam pemerintahan.

5.    Pelanggaran terhadap Ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.[15]

Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Bani Umayyah. Gerakan ini menghimpun;

a)    Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;

b)   Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman;

c)    Keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany.[16]

 

Mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun 132 H./750 M. tumbanglah Bani Umayyah dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad, khalifah terakhir Bani Umaiyah. Atas pembunuhan Marwan, mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan diangkatnya khalifah yang pertama, yaitu Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun 132-136 H./750-754 M.[17]

Pada awal kekhalifahan Bani Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu al-Saffah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M.) memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad. Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan, sehingga dapatlah dikelompokkan masa Bani Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508 tahun Bani Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yakni Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Seljuk.[18]

Adapun rincian susunan penguasa pemerintahan Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:

a.    Bani Abbas (750-932 M.)

1)        Khalifah Abu Abas al-Saffah (750-754 M.)

2)        Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M.)

3)        Khalifah al-Mahdi (775-785 M.)

4)        Khalifah al Hadi (775-776 M.)

5)        Khalifah Harun al-Rasyid (776-809 M.)

6)        Khalifah al-Amin (809-813 M.)

7)        Khalifah al-Makmun (813-633 M.)

8)        Khalifdah al-Mu’tasim (833-842 M.)

9)        Khalifah al-Wasiq ( 842-847 M.)

10)    Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M.)

b.   Bani Buwaihi (932-107 5M.)

1)   Khalifah al-Kahir (932-934 M.)

2)   Khalifah al-Radi (934-940 M.)

3)   Khalifah al-Mustaqi (943-944 M.)

4)   Khalifah al-Muktakfi (944-946 M.)

5)   Khalifal al-Mufi (946-974 M.)

c.    Bani Saljuk

1)      Khalifah al-Muktadi (1075-1048 M.)

2)      Khalifah al-Mustazhir (1074-1118 M.)

3)      Khalifah al-Mustasid (1118-1135 M.)[19]

Abu Su’ud[20] dalam bukunya mengemuakakan bahwa pemerintahan Bani Abbasiyah dibagi ke dalam lima periode, yakni :

a.       Periode Pertama (750-847 M)

Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani Abasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas al-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, sejak masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M.) hinga Khalifah al-Wasiq (842-847 M.). Zaman keemasan telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah al-Ja’far, dan mencapai puncaknya dimasa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya.

b.      Periode Kedua (232 H./847 M. – 334H./945M.)

Kebijakan Khalifah al-Mukasim (833-842 M.), untuk memilih anasir Turki dalam ketentaraan kekhalifahan Abasiyah dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia, pada masa al-Makmun dan sebelumnya.khalifah alMutawakkil (842-861 M.) merupakan awal dari periode ini adalah khalifah yang lemah. Pemberontakan masih bermunculan dalam periode ini, seperti pemberontakan Zanj di dataran rendah Irak selatan dan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah pada periode ini adalah; Pertama, luasnya wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.

c.       Periode Ketiga (334 H./945 M.-447 H./1055 M.)

Posisi Bani Abasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syi’ah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Bagdad. Bagdad dalam periode ini tidak sebagai pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa Ali bin Buwaihi.

d.      Periode Keempat (447 H./1055M.-590 H./1199 M.)

 Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadirannya atas naungan khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang sudah membaik, paling tidak karena kewibawannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syi’ah.

e.       Periode Kelima (590 H./1199 M.-656 H./1258 M.)

Telah terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini. Pada periode ini, Khalifah Bani Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya, pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Bagdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H./1256 M.[21]

C.    Pemerintahan Islam Turki Utsmani

Di wilayah Turki, pemerintahan Islam diwakili oleh Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa Salim I, para pemimpin Dinasti ini memakai gelar Sultan sekaligus Khalifah.[22] Sultan menguasai kekuasaan duniawi, sedang Kahlifah berkuasa pada ranah agama.[23] Sistem pemerintahan Dinasti ini bercorak monarki, namun kekuasaanya tidak mesti diturunkan kepada anak khalifah sebelumnya, tapi juga dapat diberikan kepada saudara lain, asal masih ada hubungan darah.

Di dalam menjalankan roda pemerintahannya, sultan/khalifah dibantu oleh mufti (syaikh al-islam) dan perdana menteri (sadr al-‘azam). Syaikh al-islam mewakili sultan dalam urusan keagamaan, sedang sadr al-‘azam (perdana menteri) mewakilinya dalam wewenang dunianya.[24]

Pada era Kesultanan Turki utsmani ini, terjadi peristiwa yang membanggakan, yakni takluknya Konstantinopel pada 29 Mei 1453 M di tangan umat Islam dibawah kepemimpinan Muhammad II (Muhammad al-Fatih). Di masanya, ia juga membuat gebrakan dengan menyusun qanun namah yang berisi dihalalkanya membunuh saudara kandung yang bersaing dalam perebutan kekuasaan. Dengan alasan, bahwa lebih baik negara itu utuh daripada kehilangan wilayah.[25]



[1] Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam dari Dinasti Bani Umaiyyah sampai Imperialisme Modern (Cet. III; Jakarta Pustaka al-Kautsar, 1999), h. 47.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Badri Yatim, “Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II”, (Cet. XII. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 43

[5] Ibid, h. 45.

[6] Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. I, h. 257.

[7] Siti Maryam, op.cit., h. 80.

[8] Ibid., h. 81.

[9] Badri Yatim, Op.cit., h. 42.

[10] Abu A’la al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, (Cet. I. Bandung: Karisma, 2007), h. 42

[11] Siti Maryam, op.cit., h. 82.

[12] Depdiknas, Jilid 5, op.cit., h. 124.

[13] Abu Su’ud, Islamologi (Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h. 72.

[14] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h. 143.

[15] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003), h. 47.

[16] Ibid., h. 48

[17] Ibid.,

[18] Badri Yatim, op.cit., h. 49

[19] Hanya disebut sebagian, lebih lengkap lihat, Abu Su’ud, Islamologiy (Cet. I; Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2003 ), h. 73-74.

[20] Ibid., h. 74-81

[21] Badri Yatim, op.cit., h. 49-50

[22] M. Abdul Karim, Sejarah Peradaban Islam..., 314.

[23] M. Arfan Muammar, Majukah Islam Dengan Menjadi Sekuler (Kasus Turki), (Ponorogo: Cios, 2007), 16.

[24] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya I, (Jakarta: UI Press, 1979), 117.

[25] M. Abdul Karim, Sejarah Peradaban Islam..., 313.

Lebih baru Lebih lama