BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Periode transisi kepemimpinan Islam pasca wafatnya
Nabi Muhammad SAW merupakan masa paling dinamis dalam sejarah kekuasaan dan
politik Islam. Titik awal perubahan sistem pemerintahan Islam dimulai setelah
tuntasnya kepemimpinan “kekhalifahan” yang dipegang oleh empat tokoh yang
disebut al-Khulafa’ al-Rasyidin. Pasca keempatnya, terdapat perubahan corak
pemerintahan yang sebelumnya demokratis menjadi monarki. Empat tokoh khalifah
ini dipilih melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat. Setelah terpilih, ia
berhak mendapat baiat (sumpah setia) dari para pengikut dan seluruh rakyat.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahannya tidak jauh
berbeda dengan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, yakni
teokrasi.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana pemerintahan pada masa dinasti Umayah?
2. Bagaimana pemerintahan pada masa dinasti Abbasiyah?
3. Bagaimana pemerintahan islam Turkey Utsmani?
C.
Tujuan
Makalah
1. Guna mengetahui pemerintahan pada masa dinasti Umayah.
2. Guna mengetahui pemerintahan pada masa dinasti Abbasiyah.
3. Guna mengetahui pemerintahan islam Turkey Utsmani.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Masa Dinasti Umayyah
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib
mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola
kepemimpinan sebelumnya khalifah Ali yang masih menerapkan pola keteladanan
Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa
berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang
sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang
cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk
mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan,
diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk
musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan
dinasti sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam
pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan.[1] Perintisan
dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali
bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan
pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.
Jatuhnya Ali
dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang
membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan
dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi
politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa
bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun
dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan
kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan
dikenal dengan tahun persatuan (am jama’ah) karena perjanjian ini mempersatukan
ummat Islam menjadi satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola
pemerintahan menjadi kerajaan.[2]
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan
babak baru dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan
sumbangansumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan
dan lain sebagainya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke
Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di
bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.[3]
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah
bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai
pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita
untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin
Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara
resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh
Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam
berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti
Bani Umayyah (661- 750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru
gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada
anakanaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem
pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin
umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibu
kota negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa
Sebagai gubernur Sebelumnya.[4]
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi,
perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah
ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas
permintaan golongan syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak
mengakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran
yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein
kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke
damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala.[5]
Salah satu pernyataan Muawiyah ibn Abi Sufyan yaitu
“Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak
akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis
rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya
lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan
ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras.” [6]
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn
Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang
negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia
pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia
lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad
ke 7 H.[7]
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar
biasa melebihi tokohtokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha
dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya
dengan membangun Dinasti Umayyah. Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani
Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu
masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin
dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis
sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa
sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan
yang di wariskan secara turun temurun.[8]
Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan,
diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi
kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh
rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud
mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah
Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan
jabatan tersebut.[9]
Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat
oleh Allah.[10]
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak
dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah,
melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari
tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip
dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan
perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan
menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra
mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah
Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah
bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk
penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena
Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk
Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak.
Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar
terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang
pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.[11]
Sejak
saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi
musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan,
para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama
untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem
pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar
demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan khulafaur rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani
Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah baitul mal. Pada masa
pemerintahan khulafaur rasyidin, Baitul mal berfungsi sebagai harta kekayaan
rakyat, karena setiap warga negara memiliki hak yang sama terhadap harta
tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, baitul mal
beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa
Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M).[12]
B. Masa Dinasti Bani Abbasiyah
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah berakhir, maka
pemerintahan Islam digantikan oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti
Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan Umat Islam.
Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas
paman Nabi Muhammad saw. Dinasti ini berdiri sebagai bentuk dukungan terhadap
pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafat Rasulullah saw., yaitu
menyandarkan khilafah kepada keluarga Rasulullah dan kerabatnya.
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Bani Abbas
telah melakukan usaha perebutan kekuasaan, Bani Abbas telah mulai melakukan
upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M)
berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan
keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani Abbas,
seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya
mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik.
Sementara itu, Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah
menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha
perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian
terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang
berkuasa.[13]
Bani
Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam,
sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab lebih dekat
dengan Nabi saw. Menurut mereka, orang Bani Umayyah secara paksa menguasai
khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan
Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa, melakukan pemberontakan
terhadap Bani Umayyah.[14]
Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah
oleh Dinasti Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua
dinasti ini berlatar belakang beragama Islam, akan tetapi dalam pergantian
posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam.
Disebut dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah, menjelang berakhirnya
Bani Umayyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
1. Penindasan
yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada
2. umumnya.
3. Merendahkan
kaum Muslimin yang bukan Bangsa Arab sehingga mereka tidak
4. diberi
kesempatan dalam pemerintahan.
5. Pelanggaran
terhadap Ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.[15]
Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim
mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Bani
Umayyah. Gerakan ini menghimpun;
a) Keturunan
Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;
b) Keturunan
Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman;
c) Keturunan
bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany.[16]
Mereka memusatkan kegiatannya di
Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun 132 H./750 M. tumbanglah Bani Umayyah
dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad, khalifah terakhir Bani Umaiyah. Atas
pembunuhan Marwan, mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan diangkatnya
khalifah yang pertama, yaitu Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas
al-Saffah, pada tahun 132-136 H./750-754 M.[17]
Pada awal kekhalifahan Bani Abbasiyah
menggunakan Kuffah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu al-Saffah (750-754 M)
sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu Ja’far al-Mansur (754-775
M.) memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad. Daulah Abbasiyah mengalami
pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan, sehingga dapatlah dikelompokkan
masa Bani Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan.
Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508 tahun Bani Abbasiyah
mengalami tiga kali pergantian penguasa, yakni Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan
Bani Seljuk.[18]
Adapun rincian susunan penguasa
pemerintahan Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
a.
Bani
Abbas (750-932 M.)
1)
Khalifah Abu Abas al-Saffah (750-754 M.)
2)
Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M.)
3)
Khalifah al-Mahdi (775-785 M.)
4)
Khalifah al Hadi (775-776 M.)
5)
Khalifah Harun al-Rasyid (776-809 M.)
6)
Khalifah al-Amin (809-813 M.)
7)
Khalifah al-Makmun (813-633 M.)
8)
Khalifdah al-Mu’tasim (833-842 M.)
9)
Khalifah al-Wasiq ( 842-847 M.)
10)
Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M.)
b. Bani Buwaihi (932-107 5M.)
1)
Khalifah al-Kahir (932-934 M.)
2)
Khalifah al-Radi (934-940 M.)
3) Khalifah
al-Mustaqi (943-944 M.)
4) Khalifah
al-Muktakfi (944-946 M.)
5)
Khalifal al-Mufi (946-974 M.)
c. Bani Saljuk
1) Khalifah
al-Muktadi (1075-1048 M.)
2) Khalifah
al-Mustazhir (1074-1118 M.)
3)
Khalifah al-Mustasid (1118-1135 M.)[19]
Abu Su’ud[20]
dalam bukunya mengemuakakan bahwa pemerintahan Bani Abbasiyah dibagi ke dalam
lima periode, yakni :
a.
Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode awal pemerintahan
Dinasti Abasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Kalau
dasar-dasar pemerintahan Bani Abasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh
Abu Abbas al-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini
berada pada tujuh khalifah sesudahnya, sejak masa Khalifah al-Mahdi (775-785
M.) hinga Khalifah al-Wasiq (842-847 M.). Zaman keemasan telah dimulai pada
pemerintahan pengganti Khalifah al-Ja’far, dan mencapai puncaknya dimasa
pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan
berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan
pada umumnya.
b.
Periode Kedua (232 H./847 M. –
334H./945M.)
Kebijakan Khalifah al-Mukasim (833-842 M.), untuk
memilih anasir Turki dalam ketentaraan kekhalifahan Abasiyah dilatar belakangi
oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia, pada masa al-Makmun dan
sebelumnya.khalifah alMutawakkil (842-861 M.) merupakan awal dari periode ini
adalah khalifah yang lemah. Pemberontakan masih bermunculan dalam periode ini,
seperti pemberontakan Zanj di dataran rendah Irak selatan dan Karamitah yang
berpusat di Bahrain. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani
Abbasiyah pada periode ini adalah; Pertama, luasnya wilayah kekuasaan yang
harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Kedua, profesionalisasi tentara
menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga,
kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah
kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak
ke Bagdad.
c.
Periode Ketiga (334 H./945 M.-447 H./1055
M.)
Posisi Bani Abasiyah yang berada di
bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama periode ketiga ini. Keadaan
Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani
Buwaihi menganut aliran Syi’ah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih
sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi
telah membagi kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian
selatan Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai
wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Bagdad. Bagdad dalam periode ini tidak sebagai
pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa Ali bin
Buwaihi.
d.
Periode Keempat (447 H./1055M.-590 H./1199
M.)
Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan
Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadirannya atas naungan khalifah untuk
melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang sudah
membaik, paling tidak karena kewibawannya dalam bidang agama sudah kembali
setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syi’ah.
e.
Periode Kelima (590 H./1199 M.-656 H./1258
M.)
Telah terjadi perubahaan
besar-besaran dalam periode ini. Pada periode ini, Khalifah Bani Abbasiyah
tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan
berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan
khalifah menunjukkan kelemahan politiknya, pada masa inilah tentara Mongol dan
Tartar menghancurkan Bagdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H./1256 M.[21]
C.
Pemerintahan Islam Turki Utsmani
Di wilayah Turki, pemerintahan Islam diwakili oleh Kesultanan Turki
Utsmani. Mulai masa Salim I, para pemimpin Dinasti ini memakai gelar Sultan
sekaligus Khalifah.[22]
Sultan menguasai kekuasaan duniawi, sedang Kahlifah berkuasa pada ranah agama.[23]
Sistem pemerintahan Dinasti ini bercorak monarki, namun kekuasaanya tidak mesti
diturunkan kepada anak khalifah sebelumnya, tapi juga dapat diberikan kepada
saudara lain, asal masih ada hubungan darah.
Di dalam menjalankan roda
pemerintahannya, sultan/khalifah dibantu oleh mufti (syaikh al-islam) dan
perdana menteri (sadr al-‘azam). Syaikh al-islam mewakili sultan dalam urusan
keagamaan, sedang sadr al-‘azam (perdana menteri) mewakilinya dalam wewenang
dunianya.[24]
Pada era Kesultanan Turki utsmani ini, terjadi peristiwa
yang membanggakan, yakni takluknya Konstantinopel pada 29 Mei 1453 M di tangan
umat Islam dibawah kepemimpinan Muhammad II (Muhammad al-Fatih). Di masanya, ia
juga membuat gebrakan dengan menyusun qanun namah yang berisi dihalalkanya
membunuh saudara kandung yang bersaing dalam perebutan kekuasaan. Dengan
alasan, bahwa lebih baik negara itu utuh daripada kehilangan wilayah.[25]
[1] Muhammad
Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam dari Dinasti Bani Umaiyyah sampai
Imperialisme Modern (Cet. III; Jakarta Pustaka al-Kautsar, 1999), h. 47.
[2]
Ibid.
[3] Ibid.
[4]
Badri Yatim, “Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II”, (Cet. XII.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 43
[5] Ibid,
h. 45.
[6]
Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs;
From The Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. I, h. 257.
[7]
Siti Maryam, op.cit., h. 80.
[8]
Ibid., h. 81.
[9] Badri
Yatim, Op.cit., h. 42.
[10]
Abu A’la al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, (Cet. I. Bandung: Karisma, 2007),
h. 42
[11]
Siti Maryam, op.cit., h. 82.
[12] Depdiknas,
Jilid 5, op.cit., h. 124.
[13]
Abu Su’ud, Islamologi (Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h. 72.
[14]
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007), h. 143.
[15]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003),
h. 47.
[16]
Ibid., h. 48
[17]
Ibid.,
[18] Badri Yatim,
op.cit., h. 49
[19] Hanya
disebut sebagian, lebih lengkap lihat, Abu Su’ud, Islamologiy (Cet. I; Jakarta:
PT Asdi Mahasatya, 2003 ), h. 73-74.
[20]
Ibid., h. 74-81
[21] Badri
Yatim, op.cit., h. 49-50
[22] M. Abdul Karim, Sejarah Peradaban Islam..., 314.
[23] M. Arfan Muammar, Majukah Islam Dengan Menjadi Sekuler
(Kasus Turki), (Ponorogo: Cios, 2007), 16.
[24] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya
I, (Jakarta: UI Press, 1979), 117.
[25] M. Abdul Karim, Sejarah Peradaban Islam..., 313.