POLITIK DAN KEKUASAAN POLITIK (Pengertian, Fungsi dan Distribusi)

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Allah menurunkan Al-Quran kepada umat manusia sebagai petunjuk kepada seluruh umat manusia agar tercipta kedamaian dan tata kehidupan yang harmonis antara satu dengan yang lainnya. Dalam suatu negara pasti terdapat hukum dan undang-undang yang telah disahkan oleh pemerintah negara tersebut. Akan tetapi dalam membuat atau menggunakan hukum beserta peraturan yang lain harus berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang sangat signifikan dengan realita negara tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap negara pasti memeiliki peraturan yang berbeda dengan negara yang lain. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam membuat hukum dan peraturan tidak semena-mena tanpa melakukan pertimbangan.

 Dalam realita negara kita yang sebagian besar penduduknya adalah orang muslim maka sangat dibutuhkan suatu sumber dalam membuat hukum yang sumber tersebut tidak lain adalah Al-Quran dan hadist. Meskipun demikian teks-teks Al-Quran tidak dapat difahami secara fulgar akan tetapi harus secara mendalam. Dengan demikian ada baiknya kita mempelajari fikih siyasah, karena posisi siyasah sendiri sangat besar dalam membuat suatu aturan agar peraturan tersebut dapat terealisasi baik dari segi ritual maupun dari segi sosial kemasyarakatan dalam hal ini berbangsa dan bernegara dengan tujuan mencapai kemaslahatan secara komprehensif.

Pada makalah kali ini akan dibahas mengenai ruang lingkup fikih siyasah mengenai politik dan kekuasaan politik yakni pengertian, fungsi dan distribusinya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian fikih siyasah?

2.      Apa saja fungsi fikih siyasah?

3.      Bagaimana distribusi fikih siyasah?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui arti fikih siyasah.

2.      Untuk mengidentifikasi fungsi fikih siyasah.

3.      Untuk memahami distribusi fikih siyasah.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Fikih Siyasah

Islam menyebut politik dengan istilah Siyasah. Dalam islam, suatu ilmu yang membahas tentang perpolitikan dan pemerintahan adalah fikih siyasah. Adapun pengertian fikih sendiri adalah berasal dari bahasa arab yang berarti tahu, mengerti, atau faham. Sedangkan menurut istilah, fikih berarti keterangan tentang pengertian atau paham dari maksud si pembicara. Dengan kata lain fikih berarti paham dan mengerti tentang suatu pembicaraan atau hal yang ada dalam kehidupan.

Sedangkan siyasah berasal dari kata sasa-yasusu-siyasatan yang berarti mengatur, memelihara, atau mengurus. Berdasarkan pengertian bahasa tersebut, siyasah berarti pemerintahan, pengambilan keputusan, pengurusan, pengawasan. Sedangkan pengertian siyasah secara istilah menurut Ibn `Aqil sebagaimana dikutip Ibn alQayyim mendefinisikan siyasah sebagai segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah tidak menentukannya.[1]

Jika yang dimaksud politik adalah siyasah harus mengatur segenap urusan umat, maka Islam sangat menekankan pentingnya siyasah. Bahkan Islam sangat mencela orang-orang yang tidak mau tahu terhadap urusan umat.[2] Tetapi jika siyasah diartikan sebagai orientasi kekuasaan, maka sesungguhnya Islam memandang kekuasaan hanya sebagai sarana menyempurnakan pengabdian kepada Allah. Tapi Islam hanya menjadi sarana dalam masalah kekuasaan. Sebagian orang seringkali menilai istilah politik Islam diartikan sebagai politik menurut perspektif Islam, hal itu sebagai bentuk kewajaran karena dalam dunia nyata kita selalu disuguhkan praktik politik yang kurang atau sama sekali menyimpang dari ajaran Islam. Dari hal itu maka adanya politik dalam islam diragukan.

Islam memang memiliki konsep yang khas tentang politik. Akan tetapi, tentu saja Islam tetap terbuka terhadap berbagai konsep politik yang senantiasa muncul untuk kemudian bisa melengkapi konsep yang sudah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan konsep Islam yang sudah ada. Sifat terbuka Islam dalam masalah politik ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa Islam tidaklah menetapkan konsep politiknya secara amat rinci. Beberapa ahli kenegaraan Islam membagi ruang lingkup fikih siyasah atas beberapa bagian:

1.      Imam al-Mawardi, ahli fikih Madzhab Syafi’i dan negarawan pada masa Dinasti Abbasiyah, dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah mengatakan bahwsannya ruang lingkup fikih siyasah mencakup lima bagian, yakni politik perundang –undangan (siyasah dusturiyah), politik moneter (siyasah maliyah), politik peradilan (siyasah qadla’iyah), politik peperangan (siyasah harbiyah), dan politik administrsasi (siyasah idariyah).

2.      Sementara Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Asy-Syiyasah Al-Syar’iyyah fi Aislah al-Ra’I wa al-Ra’iyyah membagi fikih siyasah atas tiga bagian yakni politik administrasi, politik moneter, dan politik luar negeri.

3.      Hasbi al-Siddiqy, ahli hukum Indonesia membaginya atas delapan hukum, yaitu politik perundang-undangan, penetapan syariah atau hukum, peradilan, moneter, administrasi, luar negeri, pelaksanaan undang-undang, dan peperangan.

B.     Fungsi Fikih Siyasah

Kajian fikih siyasah mengusahakan atas segala kebutuhan masyarakat sesuai dengan waktu dan tempat, dan mengarahkan kehidupan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah yang umum atau dalil-dalil yang kulliy.[3] Seorang faqih yang menguasai fikih siyasah khususnya dan fikih pada umumnya, akan mampu hidup sesuai dengan kehendak syari’ah sekalipun tanpa undang-undang buatan manusia. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa segela peraturan perundang- undangan yang ada tidak dianggap islami. Jika peraturan perundang-undangan yang ada termasuk ruang lingkup jihad dan ditunjukan untuk mengendalikan dan merekayasa kehidupan masyarakat tersebut artinya sejalan dengan prinsip-prinsip umum syari’ah sesuai dengan dalil-dalil yang kulliy.

Sesuai dengan perspektif fikih siyasah[4] seseorang faqih ahli hukum islam diharapkan mampu memberikan respon dan menunjukan jalan keluar dari setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebagai diakibatkan kemajuan dan teknologi tanpa harus kehilangan identitasnya. Prinsip umum dalil-dalil kulliy di dalam fikih siyasah  merupakan identitas yang dimaksud dan menduduki kedudukan yang strategis. Prinsip umum dan dalil kulliy ini dapat berupa Al-Qur’an dan hadits, maqashid al-syariah, kaidah-kaidah fiqhiyah kulliyah, dan ruh alhukum.

Selain mempertimbangkan masalalu, fikih siyasahpun berorientasi pada masa kini dan nanti. Hal ini sesuai dengan semangat Al-Qur’an. Dalam perspektif seperti itu fikih siyasah dipelajari dan ditetapkan.[5] Manfaat lain yang dapat dipetik dari mempelajari fikih siyasah, antara lain, seorang faqih yang mendalami fikih siyasah tidak akan bingung ketika menghadapi perbedaan pendapat para ulama. Ia dapat mentarjih pendapat para ulama tersebut. Pentarjihannya tidak hanya dilakukan dari segi lafadh (linguistic) dan nilai suatu dalil (qoth’i, dhanny, shohih atau hasan) tetapi juga dilakukan dari sisi siyasah. Dalam hubungan ini, pendapat mana yang lebih mendekati dalil-dalil kulliy dan sekaligus lebih sesuai kondisi dan situasi. Singkatnya, penentuan atas pendapat yang lebih maslahat untuk diterapkan dalam mengindahkan dan merekayasa masyarakat.

Berdasarkan perspektif fikih siyasah, perbedaan tersebut dapat diatasi dengan langkah-langkah :

1.      Mencari dalil-dalil kulliy yang berhubungan dengan adat kebiasaan

2.      Melihat kenyataan setempat.

C.    Distribusi Fikih Siyasah

Dalam kepustakaan politik distribusi kekuasaan dapat dilihat dari dua segi penglihatan. Pertama, pembagian kekuasaan dimana menempatkan lembaga pemerintahan pusat pada satu sisi dan lembaga pemerintahan daerah pada sisi yang lain. Pembagian ini berkaitan dengan pembagian wilayah negara dan kepentingan politik yang harus diselenggarakan oleh masing-masing perangkat pemerintahan. Kedua, pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga pemerintahan setingkat yang berkaitan dengan fungsi-fungsi pemerintahan.[6]

1.      Distribusi Kekuasaan Horizontal

Distribusi ini bersifat kualitatif dan secara teknis sering disebut dengan  separating powers (pemilahan kekuasaan) dan lebih dikenal dengan trias politika. Tegasnya distribusi ini berkaitan dengan pembagian kekuasaan berdasarkan fungsinya di antara lembaga-lembaga yang setingkat dalam pemerintahan.

Pembagian kekuasaan politik berdasarkan fungsi pemerintahan sesungguhnya telah dikenal sejak zaman yunani klasik. Aristoteles telah mengemukakan tiga lembaga kenegaraan yang terdapat dalam konstitusi negara-negara Yunani yang diselidikinya, yaitu deliberate body atau lembaga pertimbangan warga negara yang berfungsi antara lain untuk menyelenggarakan kekuasaan legislatif,  kekuasaan eksekutif, dan sidang pengadilan (the court of law).

Distribusi berdasakan fungsinya tidak hanya dikenal pada zaman yunani klasik, tapi juga dalam praktiknya sudah ada pada masa pra islam. Pada masa pemerintahan kota makkah pra islam telah mengenal 15 jabatan yang dipegang oleh suku Quraisy.

Gagasan mengenai pemilahan kekuasaan dalam konteks fikih siyasah secara implisit dapat ditelusuri dalam Q.S An-Nisa ayat 58 yang berarti:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah membei pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesugguhnya Allah adalah Maha Mendenar lagi Maha Melihat.”

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada para pemimpin untuk melakukan dua hal yaitu menunaikan amanat, dan menetapkan hukum secara adil. Ungkapan “menetapkan hukum” pada ayat tersebut mencakup pengertian membuat dan menerapkan hukum. Dari sini dapat dipahami bahwa perintah tersebut berimplikasi adanya pemilahan kekuasaan menurut fungsinya yang meliputi, eksekutif, yudikatif, dan  legislatif sebagai pelaksana hukum Allah dan pembuat hukum yang berada di bawah kekuasaan-Nya. Gagasan ini tidak hanya dikemukakan oleh pemikir barat, tetapi juga berkembang di kalangan ilmuwan muslim. Menurut Muhammad Abduh, dengan merujuk pada Q.S An-Nisa ayat 59 mengemukakan bahwa ulil amri pada ayat tersebut adalah lembaga yang terdiri dari umara’ (para pemimpin), al-Hukam (para hakim), ru’usa al jund (kepala pasukan militer), al-ru’usa (para ketua), dan al-zu’ama (pemimpin masyarakat) yang menjadi rujukan dalam masalah kebutuhan dan kemaslahatan umum.

Berdasarkan kenyataan sejarah menunjukkan Nabi Muhammad tidak menyelenggarakan pemerintahan secara otoriter, tetapi melibatkan para sahabat dengan mendekegasikan tugas-tugas pemerintahan, baik eksekutif, maupun yudikatif. Dan terbukti Nabi mengangkat sebagai khalifah khusus untuk pejabat-pejabat yang mewakilinya dalam kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat Madinah selama bepergian memimpin pasukan perang, mengangkat para sahabat sebagai amir untuk menyelesaikan kasus tertentu dan untuk menjadi pemimpin pasukan dalam perang yang tidak diikuti oleh Nabi.

2.      Distribusi Kekuasaan Vertikal

      Distribusi ini bersifat kualitatif dan secara teknis disebut sharing powers, atau dalam istilah lain territorial division of power (pembagian kekuasaan secara territorial). Tegasnya, distribusi ini berkenaan dengan pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Pembagian kekuasaan ini dapat dilihat dari segi bentuk negara ataupun kepentingan politik yang hendak diselenggarakan. Dalam kaitannya dengan bentuk negara dapat dibedakan atas negara federasi dan negara kesatuan.

      Negara federasi adalah negara yang terbentuk dari negara-negara merdeka yang bersatu dan membentuk pemerintahan pusat. Pada umumnya, kekuasaan ini adalah untuk menyelenggarakan kepentingan hubungan luar negeri dan kepentingan warga negara masyarakat dan negara yang bersifat umum. Sedangkan kepentingan khusus yang tidak tercantum dalam konstitusi menjadi kekuasaan negara-negara bagian. Adapun negara kesatuan adalah negara yang berdaulat dan memiliki struktur pemerintahan yang terdiri dari pemerintahan pusat sebagai pemegang seluruh kekuasaan politik dan pemerintah daerah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintah berdasrkan penugasan atau pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat.

      Apabila dikaitkan dengan pola distribusi kekuasaan dalam konteks fikih siyasah, hal tersebut tentu saja dapat ditelusuri dari praktek Nabi Muhammad bahwa umtuk melaksanakan tugas pemerintahan yang penduduknya telah memeluk islam, Nabi mengangkat pejabat yang disebut dengan amir yang diberi kekuasaan khusus untuk memungut zakat dan melaksanakan tugas-tugas pengajaran dan pendidikan di daerah-daerah yang penduduknya baru masuk islam.



[1] Ibnu Qayyimal Jauziyah,I’lamal-Muwaqqiinan, Rabbal`Alamin (Beirut: Dar al-Jayl) hlm. 16.

[2] Zainullah,  “Politik Dalam Islam”, Opini, diakses dari https://mediamadura.com/2018/09/30/politik-dalam-islam/, pada tanggal 28 September 2020 pukul 11.30

[3] Dalil kulliy adalah dalil yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf.

[4] H.A Djazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 61.

[5] Ibid, hlm. 62.

[6] Abdul Muin Salim, Fiqih Siyasah :Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), hlm 10-12.

Lebih baru Lebih lama