A. Peradilan
Pertama
Peradilan telah
terjadi sejak adanya manusia di dunia ini. Namun adanya bentuk peradilan masa
itu belum dikatakan peradilan yang dikenal sekarang. Dalam sejarah kemanusiaan
Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as disebut-sebut hakim pertama. Demikian itu
karena Nabi Saud adalah raja yang menangani keputusan perkara di antara manusia
dan mengatur urusan pemerintahan. Nabi Sulaiman a.s. yang hidup dalam didikan
ayahnya yaitu Nabi Daud dan memiliki kecerdasan dan pemahaman yang baik yang
dianugerahkan Allah SWT sejak kecil. Nabi Sulaiman dalam menyelesaikan masalah
(perkara tanaman). Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman as merupakan dua hakim pertama
yang memisahkan para saksi sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian ulama.
Kisahnya diterangkan dalam Al-Qur'an surat AlAnbiya1 (21) ayat 78-79. Dan (ingatlah
kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan Keputusan mengenai
tanaman, Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan
adalah kami menyaksikan Keputusan yang diberikan oleh mereka itu, Maka kami
Telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat);
dan kepada masing-masing mereka Telah kami berikan hikmah dan ilmu dan Telah
kami tundukkan gunung-gunung dan burungburung, semua bertasbih bersama Daud.
dan kamilah yang melakukannya.
B. Peradilan
Bangsa Romawi, Persia, dan Mesir Kuno
Peradilan bagi
bangsa Romawi, Persia dan bangsa Mesir kuno, bangsa ini telah memiliki lembaga
peradilan yang terorganisir dengan memiliki undang-undang atau
peraturan-peraturan yang dilaksanakan oleh para qadhi. Bagi bangsa Israel dan
bangsa Arab sebelum Islam berpendapat, bahwa alat-alat bukti dalam peradilan
adalah saksi, sumpah atau keadaan tertangkap basah.
Bangsa Barat juga
menjelaskan bahwa peradilan di Barat telah mempunyai tekhnik mengambil
keputusan dan alat-alat pembuktian. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya peradilan
pada masa ini telah ada walaupun masih sederhana. Hal yang menjadi perhatian
bagi bangsa-bangsa pada masa itu dalam peradilan adalah tentang qadhi. Bagi
mereka seorang qadhi harus mempunyai kemampuan dan baik akhlaknya. Selain itu
diperhatikan pula tentang kecerdasannya, kecerdikannya, keluasan ilmunya,
ketenangan hatinya, kebersihan jiwanya dan keluhuran budinya. Sangat jelas
bahwa sejak dulu qadhi memiliki peran yang sangat penting dalam memutuskan
suatu perkara.
C. Peradilan
Bagi Bangsa Arab Masa Jahiliyah
Dapat digambarkan
secara singkat tatanan kehidupan bangsa Arab pra Islam adalah sebagai berikut :
1. Menganut
faham kesukuan (qabilah)
2. Memiliki
tata sosial politik yang tertutup dengan partisipasi warga yang terbatas,
faktor keturunan lebih penting daripada kemampuan
3. Mengenal
hirarki sosial yang kuat
4. Kedudukan
perempuan cenderung direndahkan.
Kondisi sosial
bangsa Arab pada masa itu tidak menyenangkan dan menganut hukum rimba.
Kenyamanan hidup tidak ada, sehingga sering pula dikatakan masa itu adalah masa
kegelapan. Dalam bidang hukum bangsa Arab pra Islam menjadikan adat sebagai
hukum dengan berbagai bentuknya. Dalam perkawinan saja ada beberapa macam
bentuk seperti : Istibdha, poliandri, maqthu', badal dan shighar. Meskipun
demikian masih ada sebagian kecil bangsa Arab yang mempertahankan aqidahnya
dengan mengikuti ajaran Ibrahim. Mereka disebut al-hunafa. Diantara mereka
adalah 'Umar ibn Nufail dan Zuhair ibn Abi Salma. Dalam bidang muamalah kebiasaan
mereka adalah dibolehkannya transaksi mubadalah (barter), jual beli, kerja sama
pertanian (muzaro'ah) dan riba.
Pada masyarakat
Arab pra Islam, jika terjadi sengketa mengenai hak milik, hak waris dan
pelanggaran hukum selain pembunuhan, penyelesaian sengketa tersebut dilakukan
melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing opihak
yang berperkara. Zaid Abdul Karim Zaid menyebutkan bahwa bangsa Arab pada masa
jailiah tidak mengenal kedaulatan dan peradilan, mereka lebih mengenal tahkim.8
Tugas tersebut tidak dilakukan oleh pejabat resmi melainkan oleh petugas yang
bersifat ad hoc. Juru damai yang dipilih oleh masing-masing pihak tersebut
dinamakan hakam. Hukumhukum bangsa Arab pada masa jahiliah tidak bersumberkan
pada syariat samawi ataupun dari peraturan perundang-undangan yang tertulis
melainkan dari pertimbanganpertimbangan yang diberikan oleh juru damai, atau
apa yang sesuai dengan keinginan dari juru damai tersebut. Takhim atau
penyelesaian sengketa melalui juru damai dalam Islam merupakan warisan dari
tradisi Arab pra-Islam. Nabi Muhammad. kemudian melakukan upaya penyesuaian
tradisi dengan ajaran islam, sehingga beberapa hal yang teriakit dengan
penyimpangan akidah dapat dihindari.
D. Macam-macam
Peradilan di Masa Jahiliyah
Penyelenggaraan
peradilan pada zaman Jahiliyah ada beberapa macam bentuk, antara lain:
1. Badan
Hukum (Lembaga Kehakiman)
Badan hukum ini
dipegang oleh Banu Saham, yaitu satu golongan di antara golongan-golongan
quraisy. Bila ada persengketaan pada orang-orang Quraisy mereka datang ke Mekah
mengadukan perkaranya kepada Banu Saham. Di antara orang-orang yang memegang
peradilan di masa Jahiliyah ialah : Hasyim bin 'Abdu Manaf, Abu Lahab dan
Aktsam ibn Shaifi.
2. Badan
Ihtikan dan Qur'ah (Paranormal dan Undian)
Kondisi kaum
Jahiliyah terbiasa menyelesaikan kasus ataupun masalah mereka dengan mendatangi
paranormal (Ihtikan), para dukun (Kahin) dan tukang ramal ('arraf) yang
diyakini masyarakat Arab waktu itu memiliki kelebihan pengetahuan prihal
rahasia-rahasia gaib baik melalui ketajaman firasat atau melalui hubungan dan
kongsi dengan para jin. Dukun yang terkenal saat itu adalah Rabi' ibn Rabi'ah
ibn alDzi'ib atau yang lebih dikenal sebagai Satih al-Kahin. Satih alKahin
pernah menjadi arbitrator antara `Abd al-Muţallib ibn Hāshim yang memiliki
kedudukan sangat terpandang saat itu, dengan sekolompok orang dari suku Qays
`Aylān mengenai persengketaan mereka terhadap sebuah sumber air di wilayah
Ţāif.
3. Dewan
Mazhalim
Dewan mazalim
adalah para arbitrator yang dikenal bijak dalam menyelesaikan persengketaan.
Dewan ini ditiru bangsa Arab dari bangsa Persia. Keputusan para arbitrator
masyarakat Arab pra Islam ini bersifat subjektif. Keputusannya pun tidak
sepenuhnya mengikat karena mereka sendiri tidak mempunyai peraturan untuk mengeksekusi
keputusan-keputusan mereka. Tokoh sejarah Arab pra Islam yang dikenal sebagai
arbitrator dalam dewan mazhalim adalah : 'Abdul Muthalib, Zuhayr ibn Abu Salma,
Aktsam ibn Sayfi, Hajib ibn Zirarah, Qus ibn Sa'idah al-Iyadi, 'Amir ibn
al-Dharib al-'Udwain serta Ummayah ibn Abu Salt. Dari kalangan perempuan
terdapat juga nama 'Amrah binti Zurayb. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri
sebelum masa kerasulannya pada zaman Jahiliyah pernah diminta untuk menjadi
arbitrator oleh kaum quraisy ketika berselisih dalam menentukan siapa yang
lebih berhak dalam meletakkan hajar aswad disaat akhir pembangunan Ka’bah.