GHARAR DAN MAISIR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat terpanjang dalam al-Qur’an justru berisikan tentang masalah perekonomian bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu adalah ayat 282 surah al-Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/masalah ekonomi.
Sejak zaman Rasulullah saw, semua bentuk perdagangan yang tidak pasti (uncertainty) telah dilarang, berkaitan dengan jumlah yang tidak ditentukan secara khusus atas barang-barang yang akan ditukarkan atau dikirimkan. Bahkan disempurnakan pada zaman kejayaan Islam (Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah) dimana kontribusi islam adalah mengidentifikasi praktek bisnis yang telah dilakukan harus sesuai dengan Islam, selain itu mengkodifikasikan, mensistematis dan mempormalisasikan praktek bisnis dan keuangan ke standar legal yang didasarkan pada hukum Islam yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Pelarangan riba, gharar, dan maisir semakin relevan untuk era modern ini karena pasar modern banyak mengandung usaha memindahkan resiko(bahaya) pada pihak laindalam asuransi konvensional, pasar modal dan berbagai transaksi keuangan yang mengandung unsur perjudian). Dimana setiap usaha bisnis pasti memiliki resiko dan tidak dapat dihindari. Sistem inilah yang dihapus oleh Islam agar proses transaksi tetap terjaga dengan baik dan persaudaraan tetap terjalin dan tidak menimbulkan permusuhan bagi yang melakukan transaksi dalam pasar keuangan. Dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang konsep dasar dan definisi dari berbagai istilah yang berkaitan dengan “Gharar, dan Maisir”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka adapaun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum gharar dan jenisnya ?
2. Bagaimana hukum maisir beserta jenisnya ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui hukum gharar dan jenisnya.
2. Untuk mengetahui hukum maisir beserta jenisnya.
BAB IIPEMBAHASAN
A. Pengertian, Hukum, dan Jenis-jenis Gharar.
1. Pengertian gharar
Gharar merupakan larangan utama kedua dalam transaksi muamalah setelah riba. Penjelasan pasal 2 ayat (3) peraturan Bank Indonesia no.10/16/PBI/2008 tentang perubahan atas peraturan Bank Indonesia no.9/19/PBI?2007 tentang pelaksanaan prinsip syari’ah dalam kegiatan penghipunan Dana dalam penyaluran Dana serta pelayanan Jasa Bank Syari’ah memberikan pengertian mengenai Gharar sebagai transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syari’ah. Gharar mengacu pada ketidakpastian yang disebabkan karena ketidakjelasan berkaitan dengan objek perjanjian atau harga objek yang diperjanjikan dalam akad. Sedangkan definisi menurut beberapa Ulama:
a) Imam syafi’i : Gharar adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti (tidak dihendaki).
b) Wahbah al-Zuhaili: Gharar adalah penampilan yang menimbulkan kerusakan atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian.
c) Ibnu Qayyim: Gharar adalah yang tidak bisa diukur penerimaannya, baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang liar.
d) Imam Malik mendefinisikan Gharar sebagai jual beli objek yang belum ada dan dengan demikian belum dapat diketahui kualitasnya oleh pembeli.
Contohnya : jual beli budak yang melarikan diri, jual beli binatang yang telah lepas dari tangan pemiliknya, atau jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan induknya. Menurut Imam Malik, jual-beli tersebut adalah jual-beli yang haram karena mengandung unsur untung-untungan.
2. Jenis-jenis Gharar
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli Gharar yang diharamkan bisa ditinjau dari tiga sisi, yaitu:
a. Jual-beli barang yang belum ada (Ma’dum), seperti seperti jual-beli habal al-habalah (janin dari hewan ternak).
b. ual-beli barang yang tidak jelas (majhu) baik yang mutlak, seperti pernyataan seseorang: “saya menjual barang dengan harga seribu rupiah,” tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang: “aku jual mobilku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas, seperti ucapan seseorang: “aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
c. Jual-beli barang yang tidak mampu diserahterimakan. Seperti jual-beli budak yang kabur, atau jual-beli mobil yang dicuri. Ketidakjelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual-belinya.
3. Hukum Gharar
Dalam syari’at Islam, jual-beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama dalam hadis Abu Hurairah yang artinya: “Rasulullah melarang jual-beli al-hashah dan jual beli gharar.” Berdasarkan hukumnya gharar terbagi menjadi tiga:
a. Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar yang menyolok (al gharar al-Katsir) yang sebenarnya dapat dihindari dan tidak perlu dilakukan. Contoh jual-beli mulamasah, munabadzah, bai’ al-hashah, bai’ al-malaqih, bai’ al madhamin, dan jenisnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang keharaman dan kebatilan akad seperti ini.
b. Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar ringan (al gharar al yasir). para ulama sepakat, jka suatu gharar sedikit maka ia tidak berpengaruh untuk membatalkan akad. Contoh seseorang membeli rumah dengan tanahnya.
c. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam ditanah, seperti wartel, kacang tanah, bawang dan yang lain lainnya. Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka diantaranya Imam Malik memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan kerugian yang besar pada pihak lain. Oleh karena itu dapat dilihat adanya hikmah larangan jual beli tanpa kepastian yang jelas (gharar). Dimana dalam larangan ini mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat dari jenis jual beli ini.
C. Pengertian, hukum, dan jenis-jenis maisir
1. Pengertian Maisir
Maisir adalah transaksi yang digantungkan pada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan. Identik dengan kata maisir adalah qimar. Menurut Muhammad Ayub, baik maisir maupun qimar dimaksudkan sebagai permainan untung-untungan (game of cance). Dengan kata lain, yang dimaksudka dengan maisir adalah perjudian.
Kata maisir dalam bahasa Arab secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa disebut berjudi. Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”.
Agar bisa dikategorikan judi harus ada tiga unsur untuk dipenuhi: pertama, adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi. Kedua, adanya suatu permainan yang digunakan untuk menetukan pemenang dan yang kalah. Ketiga, pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan, sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya. Contoh maisir ketika jumlah orang-orang masing-masing kupon togel dengan ‘harga’ tertentu dengan menembak empat angka. Lalu diadakan undian dengan cara tertentu untuk menentukan empat angka yang akan keluar. Maka ini adalah undian yang haram, sebab undian ini telah menjadi bagian aktifitas judi. Didalamnya ada unsur taruhan dan ada pihak yang menang dan yang kalah, dimana yang menang materi yang berasal dari pihak yang kalah. Ini tidak diragukan lagi adalah karakter-karakter judi yang najis.
2. Hukum Maisir
Niat tidak menghalalkan cara berjudi untuk membantu orang yang memerlukan. Al-Maysir (perjudian) terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar al Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’. Dalam al-Qur’an terdapat firman Allah yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah:90)
Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, ‘mari aku bertaruh denganmu’ maka hendaklah dia bersedekah” (HR. Bukhari- Muslim)
Dalam hadis ini Nabi Muhammad SAW menjadikan ajakan bertaruh baik dalam pertaruhan atau muamalah sebagai sebab membayar kafarat dengan sedekah, ini menunjukkan keharaman pertaruhan.
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
1. Gharar adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti (tidak dihendaki). Dalam syari’at Islam, jual-beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama dalam hadis Abu Hurairah yang artinya: “Rasulullah melarang jual-beli al-hashah dan jual beli gharar.”
2. Maisir adalah transaksi yang digantungkan pada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan. Al-Maysir (perjudian) terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’. Dalam al Qur’an terdapat firman Allah yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah:90). Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, ‘mari aku bertaruh denganmu’ maka hendaklah dia bersedekah” (HR. Bukhari- Muslim)
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shawi Shalah, al-Mushlih Abdullah.2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq.
Ash-Shawi, Muhammad Shalah. 2008. Problematika Investasi pada Bank Islam Solusi Ekonom. Jakarta: Migunani.
Azzam Abdul, Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat System Transaksi dalam Islam. Jakarta: AMZAH.
Sjahdeini, Sutan Remy. 2014. Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspekaspek Hukumnya. Jakarta: Kencana Prenamedia Group.