KONSEP AKAD JUAL BELI

KONSEP AKAD JUAL BELI


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

    Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah.  Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.

    Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari jual beli ?

2. Apasaja dasar hukum jual beli?

3. Apasaja rukun dan syaratnya jual beli ?

4. Apasaja model transaksi dalam jual beli ?

5. Apa definisi khiyar ?

6. bagaimana dalil yang berkaitan dengan khiyar ?

7. apasaja macam-macam khiyar ?

C. Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui definisi dari jual beli 

2. untuk mengetahui dasar hukum jual beli 

3. untuk mengetahui rukun dan syaratnya jual beli 

4. untuk mengetahui model transaksi dalam jual beli 

5. untuk mengetahui definisi khiyar

6. untuk mengetahui dalil yang berkaitan dengan khiyah 

7. untuk mengetahui macam-macam khiyar  


BAB II
PEMBAHASAN

A. pengertian Jual Beli

    Islam mengatur hubungan yang kuat antara akhlak, akidah, ibadah, dan muamalah. Aspek muamalah merupakan aturan main bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sosial, sekaligus merupakan dasar untuk membangun sistem perekonomian yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ajaran muamalah akan menahan manusia untuk menghalalkan segala cara untuk mencari rezeki dengan cara yang halal dan baik. 

    Untuk menghindari muḍarat setiap orang dituntut memenuhi kebutuhan hidupnya dengan saling membutuhkan satu sama lain dan tidak bisa hidup tanpa adanya transaksi. Fakta inilah yang menyebabkan terjadi transaksi jual beli.

    Secara etimologi fiqh jual beli disebut ( البيع ) dengan yang berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal ( البيع )  dalam etimologi/ fiqh kadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-shira’( شري) yang berarti membeli. Dengan demikian, kata al-bai  berarti menjual dan membeli atau jual beli.

    Menurut terminologi yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut:

1. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling  merelakan. 

2. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tas}arruf) dengan ijab qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara’.

3. Penukaran benda dengan benda lain dengan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.

B. Dasar Hukum Jual Beli (al-bai῾ )

    Jual beli merupakan perbuatan kebajikan yang telah disyariatkan dalam Islam, hukumnya boleh. Mengenai transaksi jual beli ini banyak disebut dalam al-Qur‟an, hadits serta ijma‟. 

1. Al-qur’an

  • surat al-Baqarah ayat 275:

........ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰ

Artinya:“........Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.(QS. Al-Baqarah : 275)

    Kaum muslimin sepakat untuk membolehkan jual beli selama tidak meninggalkan kewajiban. Begitu juga apabila orang melakukan jual beli dengan tujuan untuk membantu kemaksiatan atau melakukan perbuatan haram, maka jual beli seperti itu tidak dibolehkan dan tidak sah.

  • Al-qur’an, surat An-Nisa: 29

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

    Artinya: “Janganlah kamu memakan harta diantara kamu dengan jalan batal melainkan dengan jalan jual beli, suka sama suka..............”(QS.An-nisa‟ : 29). 

2. Hadist

    Dalam transaksi jual beli, Allah SWT memberikan rambu-rambu agar berjalan sesuai dengan prinsip syari‟ah yaitu menghindari perselisihan diantara kedua belah pihak, perbuatan yang dilarang. Diantara ketentuan tersebut yaitu anjuran agar setiap transaksi dalam muamalah dilakukan secara suka sama suka. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadist:

عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ { أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ ، وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ } رَوَاهُ الْبَزَّارُ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ

“Dari Rifa’ah bin Rafi’, Nabi pernah ditanya mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Jawaban Nabi, “Kerja dengan tangan dan semua jual beli yang mabrur” [HR Bazzar no 3731 dan dishahihkan oleh al Hakim] 

    Artinya: “Dari Rafa‟ah bin Rafi‟ r.a. sesungguhnya Nabi s.a.w. pernah ditanya seorang sahabat mengenai usaha atau pekerjaan, apakah yang paling baik? Rasul s.a.w. menjawab: usaha seorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang baik ”. (HR. al-Bazzar dan al-Hakim).

    Dari hadist diatas dapat dipahami bahwa al-bai῾ (jual beli) merupakan perbuatan yang baik. Dalam jual beli seseorang berusaha saling membantu untuk menukar barang dan memenuhi kebutuhannya.

3. Ijma

    Ijma‟ ulama menyepakati bahwa al-bai῾ boleh dilakukan, kesepakan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa ada pertolongan dan bantuan dari saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, jual beli sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini, dan Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan hidupnya.

C. Rukun dan syarat jual beli

1. Rukun Jual Beli

    Karena perjanjian jual beli sebagai perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas suatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu.

    Para ulama fiqih telah sepakat bahwa, jual beli merupakan suatu bentuk akad atas harta. Adapun rukun jual beli adalah sebagai berikut :

  • Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
  • Nilai tukar barang (uang) dan barang yang dibeli
  • Shigat (Ijab qabul) . 

    Transaksi jual beli harus memenuhi rukun-rukun ini. Jika salah satu rukunnya tidak terpenuhi, maka tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual beli. 

2. Syarat Jual Beli

    Adapun syarat sahnya jual beli menurut jumhur ulama, sesuai dengan rukun jual beli yaitu terkait dengan subjeknya, objeknya dan ijab qabul. Selain memiliki rukun, al-bai῾ juga memiliki syarat.

    Adapun yang menjadi syarat-syarat jual beli adalah sebagai berikut : Pertama tentang subjeknya, yaitu kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual beli (penjual dan pembeli) disyaratkan:

  • Berakal sehat

    Maksudnya, harus dalam keadaan tidak gila, dan sehat rohaninya. 

  • Dengan kehendaknya sendiri (tanpa paksaan) 

    Maksudnya, bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli salah satu pihak tidak melakukan tekanan atau paksaan atas pihak lain, sehingga pihak lain tersebut melakukan perbuatan jual beli bukan disebabkan kemauan sendiri, tapi ada unsur paksaan. Jual beli yang dilakukan bukan atas dasar kehendak sendiri tidak sah.

  • Kedua belah pihak tidak mubadzir Keadaan tidak mubadzir,

    maksudnya pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli bukanlah manusia yang boros (mubadzir). Sebab orang yang boros di dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak. Maksudnya,dia tidak dapat melakukan sendiri sesuatu perbuatan hokum walaupun kepentingan hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri.

  • Baligh atau Dewasa

    Baligh atau dewasa menurut hokum Islam adalah apabila laki-laki telah berumur 15 tahun, atau telah bermimpi (bagi laki-laki)dan haid (bagi perempuan). Namun demikian, bagi anak-anak yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,tetapi belum dewasa (belum mencapai umur 15 tahun dan belum bermimpi atau haid), menurut pendapat sebagian ulama diperbolehkan melakukan perbuatan jual beli, khususnya barang-barang kecil yang tidak bernilai tinggi.

    Kedua, tentang objeknya. Yang dimaksud objek jual beli adalah benda yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli. Benda tersebut harus memenuhi syarat-syarat:

  • Suci barangnya

Maksudnya, barang yang diperjualbelikan bukanlah benda yang dikualifikasi sebagai benda najis, atau digolongkan sebagai benda yang diharamkan. Jadi tidak semua barang dapat diperjual belikan.

  • Dapat di manfaatkan

Pengertian barang yang dapat dimanfaatkan tentunya sangat relatif, sebab pada hakikatnya seluruh barang yang dijadikan sebagai objek jual beli merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, seperti untuk dikonsumsi, (beras,buah-buahan,dll),dinikmati keindahannya (perabot rumah, bunga, dll.) dinikmatisuaranya (radio, TV, burung,dll.) serta dipergunakan untuk keperluan yang bermanfaat seperti kendaraan, anjing pelacak, dll.

  • Milik orang yang melakukan akad

Maksudnya, bahwa orang yang melakukan perjanjian jual beli adalah pemilik sah barang tersebut atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang. Jual beli barang yang dilakukan oleh orang yang bukan pemilik atau yang berhak berdasarkan kuasa pemilik tidak sah.

  • Mampu menyerahkan

Maksudnya, penjual baik sebagai pemilik maupun sebagai kuasa dapat menyerahkan barang yang dijadikan sebagai objek jual beli dengan bentuk dan jumlah yang diperjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada pembeli.

  • Mengetahui

Maksudnya, melihat sendiri keadaan barang baik mengenai hitungan, takaran, timbangan atau kualitasnya. Apabila dalam suatu jual beli keadaan barang dan jumlah harganya tidak diketahui, maka perjanjian jual beli itu tidak sah. Sebab bisa jadi perjanjian tersebut mengandung unsur penipuan.

  • Barang yang diakadkan di tangan

    Menyangkut perjanjian jual beli atas sesuatu barang yang belum di tangan (tidak berada dalam penguasaan penjual) dilarang sebab bisa jadi barang tersebut rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana telah diperjanjikan.

    Ketiga, lafadz atau ijab qabul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan. Sedang qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Ijab qabul itu diadakan dengan maksud untuk menunjukkan adanya suka rela timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan.13 

    Sedangkan, suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan perkataan, karena perasaan suka itu bergantung hati masing-masing. Ini kebanyakan pendapat ulama. Tetapi beberapa ulama yang lain berpendapat, bahwa lafal itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat dan kebiasaan saja. Apabila menurut adat, bahwa hal yang seperti itu sudah dianggap sebagai jual beli, itu saja sudah cukup, karena tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan  lafal.

D. Model transaksi jual beli (Ba'I musyahadah, bai ghaib, bai mu'athah, bai' murabahah, bai taqshith, bai urbun)

    Terdapat banyak model transaksi jual beli, yang dipengaruhi oleh system transaksi, mekanisme, serahtrima, komoditi dan yang lain sebagainya yang measing-masing memiliki ketentuan hukum sebagai berikut:

1. Bai' Musyahadah

Sesuai dengan namanya, bai' musyahadah yaitu jual beli komoditi yang disaksikan atau dilihat secara langsung oleh pelaku transaksi

2. Bai' Ghaib

Adalah jual beli bahan yang tidak terlihat atau disaksikan oleh kedua belah pihak pelaku transaksi, atau oleh salah satu pihak, baik barang berada di majelis akad atau di luar majelis.

3. Bai' Muat'hah

Praktek transaksi jual beli tanpa shighah (ijab dan qabul)

4. Bai' Murabahah

Yaitu transaksi jual beli dengan prosedur penjual menyatakan modal pembelian barang, kemudian menentukan margin profit yang disepakati dari modal.

5. Bai' taqshith

Yaitu transaksi jual beli dengan system bayar cicilan (kredit) dalam batas waktu tertentu dengan harga yang relative tinggi dibanding harga dengan sisitem bayar tunai.

6. Bai' Urbun

Yaitu transaksi jual beli dengan prosedur pihak pembeli menyerahkan uang muka terlebih dahulu dengan kesepakatan, jika transaksi positif uang muka menjadi bagian dari total harga, dan jika transaksi negative uang muka menjadi hibah dari pihak pembeli kepada penjual. 

E. Definisi Khiyar

    Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratan yang sinonim أعطاه ماهو خ٘يرله ,yang artinya” memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik baginya”. 

Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya.

Sayyid Sabiq memberikan definisi khiyar sebagai berikut.

الخيارهوطلب خيرالآ مرين من الإ ضٍاء اوالإغاء

Artinya: khiyar adalah menuntut yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskan (akad jual beli) atau membatalkannya.

    Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir antara pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan penyesalan kepada salah seorang dari pembeli atau penjual yaitu kalau pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hatinya kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh karena itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya, kalau kedua belah pihak menghendakinya.

    Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju. 

F. Dasar Hukum Khiyar

    Berdasarkan prinsip wajib menegakkan kejujuran dan kebenaran dalam perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang. Apabila dalam barang yang akan dijual itu terdapat cacat yang diketahui oleh pemilik barang (penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk penipuan dan kecurangan.

    Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara sunnah tersebut adalah hadis yang diriwaytkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Al-Harits:

عن عبد الله بن الحاث قال: سمعت حكيم بن حزام رضي اللهعنه عن النبي صلى الله عليه وسام قال: البيعان بلخيار مالم يتفرقا, فانصدقاوبينا بورك لهمافي بيعهما وان كذباوكتمامحقت بركه بيعهما

Artinya: Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. ( HR. Al-Bukhari).

Disamping itu ada hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Umar:

عن ابن عمررظي الله عنهما قال: قالالنبي نبي صلى الله عليه وسلم:البيعان بالخيارمالم يتفرقا, اويق ل احدهما لصاحبه: اختر. وربماقال:ا ويكونبيع خيار ...رواه بخار 

Artinya: Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar. (HR. Al-Bukhari)

    Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat („aib) yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar ditetapkan oleh syari‟at Islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqih adalah disyari‟atkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.

G. Macam-macam Khiyar

    Salah satu prinsip dalam jual beli menurut syari‟at Islam adalah adanya hak kedua belah pihak yang melakukan transaksi untuk meneruskan atau membatalkan transaksi. Hak tersebut dinamakan khiyar. Hikmahnya adalah untuk kemaslahatan bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi itu sendiri, memelihara kerukunan, hubungan baik serta menjalin cinta kasih di antara sesama manusia. Adakalanya seseorang sudah terlanjur membeli barang, sekiranya hak khiyar ini tidak ada, maka akan menimbulkan penyesalan salah satu pihak dan dapat menjurus pada kemarahan, kedengkian, dendam dan persengketaan dan juga perbuatan buruk lainnya yang dilarang oleh agama.

    Syari‟at bertujuan melindungi manusia dari keburukan-keburukan itu, maka syari‟at menetapkan adanya hak khiyar dalam rangka tegaknya keselamatan, kerukunan dan keharmonisan dalam hubungan antar manusia.  Berdasarkan dari hal tersebut ada beberapa macam khiyar yang perlu untuk diketahui. Adapun macam khiyar tersebut antar lain:

a) Khiyar Majelis

    Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang berarti tempat duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli fiqih adalah tempat kedua orang yang berakad berada dari sejak mulai berakad sampai sempurna, berlaku dan wajibnya akad. Dengan begitu majlis akad merupakan tempat berkumpul dan terjadinya akad apapun keadaan pihak yang berakad.

    Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara‟ bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak masih berada di tempat transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam berbagai macam jual beli, seperti jual beli makanan dengan makanan, akad pemesanan barang (salam), syirkah. 

    Ketika jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak melakukan khiyar antara membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka berpisah atau menentukan pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua belah pihak telah memalingkan badan untuk meninggalkan tempat transaksi. Pada prinsipnya khiyar majlis berakhir dengan adanya dua hal:

Keduanya memilih akan terusnya akad

Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli.

    Tidak ada perbedaan di antara kalangan ahli fiqih yang mengatakan bolehnya khiyar majlis, bahwa akad dengan khiyar ini adalah akad yang boleh, dan bagi masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk mem-fasakh atau meneruskan selama keduanya masih dalam majlis dan tidak memilih meneruskan akad.

b) Khiyar Syarat

    Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana seseorang membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan khiyar pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia mengendaki ia bisa membatalkannya.

    Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat adalah suatu bentuk khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah satunya boleh memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya.

    Khiyar syarat disyari‟atkan untuk menjaga kedua belah pihak yang berakad, atau salah satunya dari konsekuensi satu akad yang kemungkinan di dalamnya terdapat unsur penipuan dan dusta. Oleh karena itu, Allah SWT memberi orang yang berakad dalam masa khiyar syarat dan waktu yang telah ditentukan satu kesempatan untuk menunggu karena memang diperlukan. Kalangan ulama fiqih sepakat bahwa khiyar syarat sah jika waktunya diketahui dan tidak lebih dari tiga hari dan barang yang dijual tidak termasuk barang yang cepat rusak dalam tempo ini.

c) Khiyar Aib

    Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah (berkurangnya nilai penawaran barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan kriteria yang diduga sebelumnya. Khiyar aib merupakan hak pembatalan jual beli dan pengembalian barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah transaksi selesai disepakati sebelum serah terima barang.

    Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah aib yang mengakibatkan berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-orang yang ahli dibidangnya.  Menurut ijma‟ Ulama, pengembalian barang karena cacat boleh dilakukan pada waktu akad berlangsung, Jika akad telah dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya cacat pada barang tersebut, maka akadnya sah dan tidak ada lagi khiyar setelahnya.

    Alasannya ia telah rela dengan barang tersebut beserta kondisinya. Namun jika pembeli belum mengetahui cacat barang tersebut dan mengetahuinya setelah akad, maka akad tetap dinyatakan benar dan pihak pembeli berhak melakukan khiyar antara mengembalikan barang atau meminta ganti rugi sesuai dengan adanya cacat.

    Dimyauddin Djuwaini mengatakan bahwa khiyar aib bisa dijalankan dengan syarat sebagai berikut:

1. Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serah terima, jika „aib muncul setelah serah terima maka tidak ada khiyar.

2. Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli.

3. Pembeli tidak mengetahui adanya „aib atas obyek transaksi, baik ketika melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli mengetahui sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah meridhoinya.

4. Tidak ada persyaratan bara‟ah (cuci tangan) dari „aib dalam kontrakjual beli, jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.

5. Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad. Pembeli diperbolehkan memilih antara mengembalikan yang telah dibeli dan mengambil harganya, atau tetap menahan barang tersebut tanpa memperoleh ganti apapun dari pihak penjual. Jika kedua belah pihak sepakat bahwa pembeli tetap membawa barang yang dibelinya sedang penjual memberikan ganti rugi cacatnya kebanyakan fuqaha anshar membolehkannya.

    Hukum kerusakan barang baik yang rusak seluruhnya atau sebagian, sebelum akad dan sesudah akad terdapat beberapa ketentuan yaitu:

a. Barang rusak sebelum diterima pembeli

  • Barang rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, maka jual beli batal.
  • Barang rusak oleh pembeli, maka akad tidak batal dan pembeli harus membayar.
  • Barang rusak oleh orang lain, maka jual beli tidaklah batal, tetapi pembeli harus khiyar antara melanjutkan atau membatalkan akad jual beli.

b. Jika barang rusak semuanya setelah diterima oleh pembeli

  • Barang rusak dengan sendirinya atau rusak yang disebabkan oleh penjual, pembeli atau  orang lain, maka jual beli tidaklah batal sebab barang telah keluar dari tanggung jawab penjual. Akan tetapi jika yang merusak orang lain, maka tanggungjawabnya diserahkan kepada perusaknya.
  • Jika barang rusak oleh penjual maka ada dua sikap yaitu:

    1. Jika pembeli telah memegangnya baik dengan seizin penjual maupun tidak, tetapi telah membayar harga, maka penjual yang bertanggung jawab.
    2. Jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan harga belum diserahkan, maka akad menjadi batal.

c. Barang rusak sebagian setelah dipegang oleh pembeli

  • Tanggung jawab bagi pembeli, baik rusak oleh sendirinya ataupun orang lain.
  • Jika disebabkan oleh pembeli, maka perlu dilihat dari dua segi. Jika dipegang atas seizin penjual, hukumnya sama seperti barang yang dirusak oleh orang lain. Jika dipegang bukan atas seizinnya, maka jual beli batal atas barang yang dirusaknya.

Dalam kaitan hal ini Sayyid Sabiq menjelaskan mengenai barang yang rusak sebelum serah terima ada enam alternatif yaitu:

a. Jika kerusakan mencakup semua atau sebagian barang sebelum terjadi serah terima yang disebabkan perbuatan pembeli, maka jual beli tidak batal, akad berlaku seperti semula.

b. Apabila kerusakan barang diakibatkan perbuatan pihak lain (selain pembeli dan penjual), maka pembeli boleh menentukan pilihan, antara menerima atau membatalkan akad.

c. Jual beli akan batal apabila kerusakan barang sebelum terjadi serah terima akibat perbuatan penjual atau rusak dengan sendirinya.

d. Apabila kerusakan barang sebagian lantaran perbuatan penjual, pembeli tidak wajib membayar atas kerusakan barang tersebut, sedangkan untuk lainnya ia boleh menentukan pilihan antara mengambilnya dengan potongan harga.

e. Apabila barangnya rusak dengan sendirinya, maka pembeli tetap wajib membayar harga barang. Sedangkan penjual boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad dengan mengambil sisa barang dan membayar semuanya.

f. Apabila kerusakan barang terjadi akibat bencana dari Tuhan sehingga berkurang kadar dan harga barang tersebut pembeli boleh menentukan pilihan antara membatalkan atau dengan mengambil sisa dengan pengurangan pembayaran.

    Sedangkan barang yang rusak setelah serah terima, Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa barang yang rusak setelah serah terima maka menjadi tanggung jawab pembeli, dan ia wajib membayar harga barang, apabila tidak ada alternatif lain dari pihak penjual. Dan jika ada alternatif lain dari pihak penjual, maka pihak pembeli mengganti harga barang atau mengganti barang yang serupa.

d) Khiyar Ru‟yah

    Khiyar ru’yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya.

    Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau benda yang belum pernah diperiksa. Sedangkan menurut Imam Syafi‟i khiyar ru‟yah ini tidak sah dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada ditempat) sejak semula dianggap tidak sah. Syarat Khiyar Ru‟yah bagi yang membolehkannya antara lain:

1. Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.

2. Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan mengembalikan saat transaksi.

3. Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara etimologi fiqh jual beli disebut ( البيع ) dengan yang berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. kata asy-shira’( شري) yang berarti membeli. Dengan demikian, kata al-bai  berarti menjual dan membeli atau jual beli. 

Menurut terminologi yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut:

1. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling  merelakan. 

2. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tas}arruf) dengan ijab qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara’.

3. Penukaran benda dengan benda lain dengan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.

Dasar hukumnya pada surat al-Baqarah ayat 275:

........ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰ

Artinya:“........Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.(QS. Al-Baqarah : 275

Rukun dan syarat jual beli

1. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)

2. Nilai tukar barang (uang) dan barang yang dibeli

3. Shigat (Ijab qabul)  

Sedangkan syaratnya jual beli yaitu:

1) tentang subjeknya, yaitu kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual beli (penjual dan pembeli) 

2) tentang objeknya. Yang dimaksud objek jual beli adalah benda yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli

3) Ketiga, lafadz atau ijab qabul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan. Sedang qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.

Khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab yang lain 

Macam-macamnya khiyar adalah :

1. Khiyar majelis

2. Kiyar aib

3. Khiyar syarat

4. Khiyar ru’yah


DAFTAR PUSTAKA

Sudarsono. 1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta..

Suhendi hendi. 2010. Fiqh Muamalah,Jakarta:Rajawali

Tim Laskar Pelangi. 2013. Metodologi fiqih muamala. Kediri:Lirboyo

Ya’qub Hamzah.1992.  Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), Bandung: CV.Diponegoro.

Zuhaili Wahab. Al-Fiqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, 2010. Fiqih Imam Syafi‟i”, Jakarta: Almahira.

Lebih baru Lebih lama