LAFADZ-LAFADZ AMR
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memahami redaksi Al-Qur’an dan
Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam
samudra yang dalam lagi luas, dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus
untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash al-Qur’an
dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Di antara beberapa
pembahasan yang berkaitan dengan hal tersebut, ada dua point penting yang
keduanya harus diketahui secara mendalam oleh seorang calon Mujtahid.
Objek utama yang
akan dibahas dalam ushul fiqh adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul sedang untuk
memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa Arab tersebut para ulama telah menyusun semacam tematik yang akan
digunakan dalam praktik penalaran fikih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan
dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para
ahlinya telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, di antara yang
sangat penting antara lain tentang Amr, nahi. Namun dalam makalah ini hanya
akan dibahas tentang Amr.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian amr ?
2. Apa
itu shighat amr ?
3. Apa
macam-macam penggunaan amr?
4. Apa
asala penggunaan lafadz amr?
5. Apa kaidah dari lafadz amr?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari amr.
2. Untuk
mengetahui shigat amr
3. Untuk
mengetahui macam-macam penggunaan lafadz amr
4. Untuk
mengetahui asal penggunaan lafadz amr.
5. Untuk
mengetahui kaidah dari lafadz amr.
BAB IIPEMBAHASAN
A. Pengertian Amr
Amr secara bahasa terambil dari masdar أمرا- یأمر-
أمر yang
artinya perintah[1].
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat. Menurut Ibn Subki amr adalah
tuntutan untuk berbuat, bukan meninggalkan yang tidak memakai latar
(tinggalkanlah) atau yang sejenisnya[2],
tapi ada yang mengatakan menyuruh melakukan tanpa paksaan[3].
Tetapi definisi yang sering dipakai oleh para ulama adalah الإستعلاء وجھ
علي الفعل طلب yaitu permintaan
untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukannya lebih tinggi
kepada orang yang kedudukannya lebih rendah4.
Adapun syarat dengan
lafadz "الإستعلاء وجھ علي) "dari sisi orang yang kedudukannya
lebih tinggi) persyaratan ini diperselisihkan, karena apakah memang harus yang
memerintah itu lebih tinggi dari yang disuruh? Padahal ada sebagian ulama yang
mengkategorikan menjadi amr dua yaitu
untuk doa (permohonan) dan iltimas (ajakan), yang pertama bisa dibilang
perintah dari orang yang kedudukanya lebih rendah kepada yang lebih atas,
sedangkan yang kedua dari oang sejajar, jadi tidak ada tuntutan bahwa yang
memerintah harus lebih tinggi kedudukanya.
Adapun syarat dengan
lafadz "الإستعلاء وجھ علي) "dari sisi orang yang kedudukannya
lebih tinggi) persyaratan ini diperselisihkan, karena apakah memang harus yang
memerintah itu lebih tinggi dari yang disuruh? Padahal ada sebagian ulama yang
mengkategorikan menjadi amr dua yaitu untuk doa (permohonan) dan iltimas
(ajakan), yang pertama bisa dibilang perintah dari orang yang kedudukanya lebih
rendah kepada yang lebih atas ssedangkan yang kedua dari oang sejajar, jadi
tidak ada tuntutan bahwa yang memerintah harus lebih tinggi kedudukanya[4].
B. Shighat Amr
Dalam Al Qur’an
banyak dijumpai sighat amr yang
berbeda-beda, hal inilah yang menjadi perbincangan para ulama. Ulama sepekat
bahwa fi’il
amr-lah yang bisa
dijadikan sebagai sighat amr[5]
dan dijadikan acuan hukum sebagai sesuatu yang wajib tanpa memerlukan petunjuk.
Tetapi ada bentuk lain dari selain fi’il amr
yang bisa dipahami sebagai sighat amr
yaitu fi’il mudhari’ yang disertai
lam ‘am dan ada juga sighat amr itu
dijumpai dalam bentuk jumlah khabariyah
yang dimaksud didalamnya bukan hanya sekedar memberi khabar tetapi adalah
perintah untuk melakukan
والوالدات یرضعن اولادھن
حولین كاملین لمن اراد أن یتم الرضا عھ
Maksud ayat ini
bukan hanya sekedar ikhtibar (memberi
khabar) tentang penyusuan atas anak adalah satu tahun dan yang kalau ingin
sempurna maka dianjurkn dua tahun, tetapi maksudnya adalah perintah untuk
menyusui selama dua tahun.
C. Macam-macam Penggunaan Amr
Penggunaan kata amr bisa dikategorikan menjadi dua yaitu
secara hakiki yang mengandung makna perintah dan majazi yaitu mengandung makna lain selain perintah dan keluar dari
makna asalnya للوجوب الأمر فىالأصل
yaitu asal dari amr adalah untuk
mewajibkan[6]
seperti االصلاة أقیم و dalam
ayat ini ada kewajiban untuk mendirikan shalat. Adapun makna amr (perintah) yang hakiki itupun ada
yang mengartikan musytarak karena
didalamnya terkandung makna wajib, sunnah, atau bahkan mubah[7].
Terlepas dari pendapat itu bahwa ketika ada amr
maka itu bisa menunjukkan beberapa kemungkinan makna karena adanya
petunjukpetunjuk atau penjelasan, diantaranya adalah9:
1.
Untuk hukum nadb
atau sunnah, artinya amr yang ada
bukan untuk wajib. Umpama nya firman Allah Q.S al-nur (24) ; 33
فكََاتِبوُْھُمْ انِْ
عَلِمْتمُْ فِیْھِمْ خَیْرً ا
Terjemah : “Maka buatlah perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada
kebaikan pada mereka.”
Lafadz “katabah” كتابھ yaitu kemerdekaan
dengan pembayaran cicilan yang disuruh dalam ayat tersebut menimbulkan hukum nadb, sehingga bagi yang menganggap
tidak perlu maka tidak ada ancaman atau tidak ada apa-apa.
2.
Untuk suruhan bersifat mendidik (irsyad), seperti dalam Q.S al-Baqarah
(2) : 282, tentang apa yang sebaiknya dilakukan seseorang setelah berlangsung
hutang piutang
واستشھدو ا شھیدین
Terjemahan : “. . . dan saksikanlah oleh dua orang saksi.”
Ayat ini mendidik umat untuk
mendatangkan dua saksi pada saat berlangsung transaksi hutang piutang untuk
kemaslahatan mereka.
3.
Untuk hukum ibahah
atau boleh, seperti firman Allah dalam Q.S al-Baqarah (2) : 60.
ه كُلوُْا وَاشْرَبوُْا
مِنْ رِزْ قِ اللّٰ
Terjemahan : “Makan dan minumlah dari rezeki Allah”
Suruhan dalam ayat ini tidak mengandung
tuntutan apaapa terhadap orang yang menerima amr tetapi melainkan hanya suatu kebolehan atau juga mengandung
tuntutan apa-apa terhadap orang yang menerima amar sehingga tidak ada sanksi
berupa hukuman maupun janji pahala.
4.
Untuk tahdid
atau guna untuk menakut-nakuti, contoh dalam Q.S Ibrahim (14) : 30.
تمََتعَّوُْا فَاِنَّ مَصِیْرَكُمْ
اِلَى النَّا رِ
Terjemahan : “Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu adalah
neraka.”
Meskipun dalam ayat ini digunakan kata amr, namun tidak mengandung tuntutan
apa-apa, bedanya dengan ibahah
diatas, adalah dalam bentuk tahdid
itu disebutkan janji yang tidak enak.
5.
Untuk imtinan
atau merangsang keinginan untuk melakukan, seperti dalam surat al-An’am (6) :
142.
كُلوُْا مِمَّا
رَزَقكَُمُ اللُّٰ
Terjemahan : “Makanlah apa-apa yang
diberikan Allah kepadamu.”
Meskipun imtinan ini sama dengan ibahah
dari segi tidak ada hukuman, namun diantara keduanya ada perbedaan , pada ibahah hanya semata izin untuk berbuat
sedangkan pada imtinan ada qarinah berupa kebutuhan kita kepadanya
dan ketidakmampuan kita untuk mengajaknya.
6.
Untuk Ikram
atau memuliakan yang disuruh, seperti terdapat dalam Q.S al-Hijr (15) : 46
ادُْخُلوُْھَا بِسَلٰ
م اٰمِنِیْ نَ
Terjemahan : “Masuklah kepadanya dengan selamat dan aman.”
Amr
dalam ayat ini juga tidak mengandung tuntutan apaapa terhadap yang menerima
amar tersebut
7.
Untuk taskhir
yaitu menghinakan, contoh yang terdapat dalam Q.S al-Baqarah (2) : 65,
كوُْنوُْا قرَِدَة ً خٰسِ ِٕـیْنَ
Terjemahan : “Jadilah kalian, kera yang hina.”
Walaupun dalam ayat ini digunakan amr atau tidak terkadung perintah, namun
tidak mengandung arti tuntutan; tidak mungkin Allah menuntut orang
8.
Untuk ta’jiz
yaitu melemahkan yang berarti menyatakan ketidakmampuan seseorang. Umpamanya
dalam
Q.S Al-Baqarah (2) : 23
وَانِْ كُنْتمُْ
فِيْ رَیْ ب مِمَّا نزََّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأتْوُْا
بِسوُْرَ ة مِنْ مِثْلِ هٖ
Terjemahan : “Jika kalian meragukan apa yang diturunkan kepada hamba Kami, maka
datangkanlah satu surat yang menyamainya.”
Sebenarnya Allah mengetahui bahwa
orang yang disuruh dalam ayat ini tidak akan mungkin mampu membuat satu ayat
pun yang semisal dengan ayat al-Quran, tetapi Allah menyuruhnya juga untuk
berbuat demikian. Suruhan ini bukan dalam arti yang sebenarnya tetapi hanya
sekedar menyatakan ketidakmampuan manusia.
9.
Untuk Ihanah artinya mengejek dalam sikap
merendahkan, seperti dalam surat al- Dukhan (4) : 49
ذ قُْ اِنكََّ
انَْتَ الْعزَِیْزُ الْكَرِیْ مُ
Terjemahan: ”Rasakanlah, sesungguhnya kamu benarbenar orang yang perkasa lagi mulia.”
dalam
ayat ini Allah berkata pada orang kafir bukan
bermaksud untuk menyuruh melainkan mengejek.
10. Untuk Taswiyah artinya menyamakan pengertian antara berbuat atau tidak
berbuat, umpamanya dalam surat alThur (52) : 16
فَاصْبرُِوْْٓا ا وَْ لَا تصَْبرُِوْ ا سَوَاۤ ء
عَلَیْكُمْ ٖ
Terjemahan : “Baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu.”
Amr
dalam ayat ini tentu bukan menyuruh mereka untuk sabar tetapi menyatakan bahwa
apakah mereka akan sabar atau tidak, adalah sama saja bagi mereka. Perbedaan
antara taswiyah dengan ibahah adalah bahwa pada ibahah pihak
yang dikenai amar mengira bahwa ia tidak mungkin melakukan perbuatan, kemudian
dia dibolehkan untuk berbuat.
Sedangkan pada taswiyah yang diberi amar mengira bahwa salah satu di antara kedua
hal itu lebih kuat, tetapi kemudian perkiraan itu dikesampingkan dengan
menyamakan antara keduanya.
D. Asal Penggunaan Lafaz Amr
Dalam uraian di atas dikemukakan bahwa amr itu dapa digunakan untuk beberapa
maksud yang berbeda. Dari sini muncul persoalan: “Untuk apa sebenarnya (secara
hakiki) amr itu digunakan, dan apa
yang ditunjuk oleh lafaz amr (apa
sebenarnya yang dikehendaki oleh lafaz amar). Hal ini menjadi bahan pembahasan
yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama Ushul.
1.
Jumhur ulama berpendapat bahwa lafaz amr itu menurut asalnya menunjukkan
hukum wajib. Berarti bahwa amar itu meskipun tidak disertai oleh penjelasan
atau qarinah apa pun, menghendaki wajibnya pihak yang dikenai amar untuk
berbuat. Tidak dapat dipahami dari amr
itu ada maksud lain kecuali bila ada keterangan lain yang menjelaskannya.
2.
Kalangan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa amr itu menurut asalnya adalah untuk
hukum nadb secara mutlak, sehingga
ada dalil yang menunjukkan bahwa amr
itu untuk wajib.
3.
Kalangan ulama Asy’ariyah dan Imam al-Ghazali
besert pengikutnya memilih sikap tawaquf. Maksudnya, mereka tida menetapkan
asal penggunaan amar secara pasti (antar wajib dan nadb), tetapi menetapkan
kehendak amar it kepada petunjuk yang menyertainya Mereka mengajukan argumen
bahwa sighat amar itu perna digunakan secara bersama untuk wajib, untuk nadb,
untu tahdib, dan lainnya. Menetapkannya untuk wajib tidak aka lebih utama dari
nadb, tahdîd dan lainnya itu. Oleh karenany perlu ditangguhkan (tawaquf) untuk
mengetahui maksud sighat amar itu sampai ada dalil lain yang menjelaskannya.
4.
Ada golongan kaum yang berpendapat bahwa asal
fi‘il amr itu adalah untuk ibâhah. Mereka beralasan bahwa di antara
keharusan amr adalah berlakunya sifat
hasan (baik) bagi orang yang disuruh, karena orang yang bijak tidak akan
menyuruh untuk melakukan perbuatan yang keji. Karena itu berlakulah secara
mutlak apa yang merupakan keharusan dari suatu sighat dengak memberikan
kemungkinan untuk berbuat. Dengan demikian maka berarti amr itu untuk ibahah
(kebolehan untuk berbuat atau tidak).
E. Kaidah-Kaidah Amr
Dalam uraian tentang kaidah ini ada sebagian pembahasan yang telah disebu didepan tetapi tidak menyeluruh, yaitu bahwa asal dari amr adalah untuk wajib Pembahasan mengenai kaidah amr ini penulis banyak mengambil dari Qawaid at-Tafsir Jam’an wa Dirasatan karena pembahasanya yang sudah menyangkut keseluruhan, walaupun ada penguatan dari buku-buku yang lain, adapun kaidah-kaidah itu adalah:
Pertama,
Amr menunjukkan wajib kecuali ada hal
atau petunjuk yang membatalkanya. Menurut pendapat jumhur apabila amr tidak disertai dengan petunjuk atau
penjelasan yang memeberinya makna kekhususan maka itu berfaidah wajib. Contoh
asal amr adalah wajib surat an-Nur
: و 56 . أقیموا الصلاةوأتوا
الزكاة Adapun contoh amr
yang tidak menunjukkan wajib karena ada petunjuk yang memberikan makna khusus
surat an-Nur:
.[8]menujukkan nadb فكا تبوھم إن علمتم فیھم خیرا 33
Kedua, Adanya amr atas sesuatu mengharuskan larangan atas kebalikanya. Hal ini
karena tidak mungkin menjalankan perintah dengan sempurna kecuali dengan
meninggalkan lawannya. Ulama sepakat perintah untuk melakukan sesuatu memang
menyatakan larangan untuk melakukan yang sebaliknya, seperti ketika Allah
memerintahkan untuk meng-EsakanNya, shalat, zakat, puasa, haji dan yang lain,
maka Allah secara otomatis melarang adanya syirik, meninggalkan shalat, tidak
zakat dan lain-lain[9].
Tetapi perlu dipertimbangkan apakah perbuatan sebaliknya yang dilarang itu
terdiri dari satu perbuatan atau bermacam-macam perbuatan, seperti ketika orang
diperintah bergerak, maka dia itu dilarang untuk diam atau diperintah untuk
berdiri? Hal ini dipersoalkan bagi mereka (kelompok muktazilah seperti juwayni
dan Ibnu Hajib) yang tidak sependapat dengan adanya kaidah bahwa perintah tidak
menyatakan larangan atas kebalikannya.
Ketiga, Amr mengharuskan dikerjakan segera kecuali ada petunjuk.
Setiap lafadz amr
yang datang dari syari’ maka diharuskan menyegerakan pelaksanaannya. Dalam hal
ini sekelompok ulama membaginya menjadi dua yaitu perintah yang dikaitkan
dengan waktu, maka boleh kapan saja asal dilaksanakan dan yang kedua perintah
yang tidak terkait dengan waktu, yaitu waktunya ditentukan oleh Allah12.
Contoh yang dibatasi waktu menunaikan seperti shalat fardhu, maka pelaksanaanya bisa diundur sampai batas waktu akhir
yang ditentukan tetapi hilang kewajiban itu setelah waktunya habis. Adapun
contoh yang tidak menetapkan waktu adalah seperti perintah untuk melaksanakan
denda (kaffarat) maka pelaksanaan nya
bisa diundur tanpa batas waktu, tetapi dianjurkan untuk dilaksanakan segera.[10]
Keempat,
Tuntutan amr yang dihubungkan dengan
syarat atau sifat yang mengandung arti secara berulang. Jumhur ulama
berpendapat bahwa hal ini hanya dapat ditentukan menurut kerangka
indikasi-indikasi yang memang menentukan bahwa diulang-ulangnya pelaksanaan
perintah itu adalah wajib. Namun demikian, apabila tidak terdapat indikasi
seperti itu maka syarat minimal perintah itu dipenuhinya sekali.
Adapun indikasi yang menuntut pengulangan adalah suatu
perintah dimunculkan dengan menggunakan ungkapan kondisional (adat syarat).
Contoh bahwa adanya amr harus dilaksanakan dengan berulang-ulang adalah ayat 6
surat al-Maidah. وإن كنتم جنبا فالطھروا .
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap kali
orang melakukan jimak maka setiap kali itu pula orang itu harus mandi janabah.
Demikian juga apabila amr dikaitkan
dengan suatu sebab atau sifat, misalnya dalam surat Bani
Israil : 18 ....... أقم الصلاة لدلوك الشمس الي غسق اللیل Ayat ini menuntut dilaksankanya perintah berulang-ulang apabila sebab untuknya ada, yait apabila waktu salat yang ditentukan tiba.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumbangsih ulama dalam beberapa kaidah tentang penafsiran tidak bisa dilupakan begitu saja, termasuk dalam hal amr. Secara bahasa kita bisa memahami bahwa amr adalah suatu larangan dan perintah tapi kadang-kadang dia berubah maknanya sesuai dengan qarinah yang ada, karena amr dan mempunyai makna hakiki dan majazi.
Tidak hanya itu, memahami amr sangat penting karena didalam nya akan banyak ditemukun konsekwensi hukum yang berbeda-beda dan akan dipakai dalam kehidupan sehari-hari, tetapi walau bagaimana perbedaan yang dibingkai oleh tirai ketulusan dalam membentangkan syariat yang elastis akan menciptakan kemajuan signifikansi dalam tatanan kejayaan Islam.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini masih memerlukan kritikan dan saran bagi pembahasan materi tersebut. Selanjutnya kami berharap makalah yang kami buat dapat membantu pembaca agar dapat memahami.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Darini, Fathi, Al-Manhaj
al-Islamiyah Fi Ijtihadi bi al-Ra’yi, (Damasyqi: Dar alKutub al- Hadis, 1975).
al-Sabt, Khalid bin al-Utsman, Qawiid Tafsir…….
Al-Suyuthi , Jalal ad-Din, al-Itqan
fi Ulum al-Quran, (Beirut: Maktabah Ashriyah, 1998).
as-Sa’di, Abd. Rahman Nashir, 70
Kaidah Penafsiran al-Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001). Terj. Mursani dan
Mustahab, h. 112 dan Hasyim Kamali, Principles….. 184.
Dalam disiplin ilmu balaghah, sighat
amr juga bisa dijumpai dengan sighat isim fi’il amr seperti وقضي ربك الا تعبدوا
الا إیاه و با لوالین إحسا amr il’fi dari pengganti masdar dan ا ستجب
artinya yang امین lafdz
لوالدین با أحسنوا اي- نا
seperti Lihat Mushtafa al-Ghalayin, Jami’ ad-Durus al-Arabiyah, (Beirut: Al-
Maktabah al-Ashriyah, 1987).
Definisi inilah yang disepakati para
ulama baik ulama ushul, balaghah maupun pakar ulum al- Quran lihat Muhammad
Hasyim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence; The Islamic Text Society,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar and Humanity Studies, 1996), terj. Noorhaidi h.
180 dan Muhammad Adib Shalih, Tafsir Nusus Fi Fiqhi al-Islami, ( ttp. Maktabah
al-Islami, tt), J.2. h.232 serta Khalib bin Utsman, Qawaid Tafsir Jam’an wa
Dirasatan, (Kairo: Dar ibn Utsman, 1421 H).
Hasyim, Principle…..h.181.
Lihat lebih lanjut al-Suyuthi, al-Itqan Fi Ulum al-Quran,
(Beirut: Maktabah al-
Ashriyah,1988), J. 3, h.243 dan Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh…... 166171.
Mengenai pembahasan tentang
pembatasan dan tidaknya ini menurut Hasyim dibaginya menjadi waktu fleksibel
dan waktu ketat, sedangkan dalam bahasa Amir Syarifudin dikategorikan menjadi
waktu muwassa’ dan Mudhyya’ Lihat
Hasyim, Principles…..h. 183 dan Amir Syarifydin, Ushul Fiqh.…
185 Munawwir, Ahmad. W., Al-Munawir, (Jakarta: Pustaka Praja, 1997).
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Pt. Logos
Wacana Ilmu, 2001).
Tentang perbedaan ini bisa dilihat
lebih lanjut pada pembahasan ushul fiqh, karena didalamnya banyak dibahas dan
dijelaskan mengenai konskwensi hokum yang diambil dari nash yang mengadung amr,
lihat Saifuddin Abi Alhasan Al-Amidy, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut: Dar
al-Kutub, tt).
tetapi tentang penjelasan yang detail
dapat dilihat di Muhammad Adib Shalih, Tafsir
Nusus…..h. 345-359. Didalamnya dijelaskan panjang lebar
tentang perbedaan pendapat para ulama.
[1]
Ahmad. W. Munawwir, Al-Munawir, (Jakarta: Pustaka Praja, 1997), 38
[2]
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Pt. Logos Wacana Ilmu, 2001),
163
[3] Jalal ad-Din al-Suyuthi,
al-Itqan fi Ulum al-Quran, (Beirut: Maktabah Ashriyah, 1998) J. 3, 242 4
Definisi inilah yang disepakati para ulama baik ulama ushul, balaghah maupun
pakar ulum al- Quran lihat Muhammad Hasyim Kamali, Principles of Islamic
Jurisprudence; The Islamic Text Society, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar and
Humanity Studies, 1996), terj. Noorhaidi h. 180 dan Muhammad Adib
Shalih, Tafsir Nusus Fi Fiqhi al-Islami, ( ttp.
Maktabah al-Islami, tt), J.2. h.232 serta Khalib bin Utsman,
Qawaid Tafsir Jam’an wa
Dirasatan, (Kairo: Dar ibn Utsman, 1421 H), J.2. 478
[4]
Hasyim, Principle…..h.181
[5] Dalam disiplin ilmu
balaghah, sighat amr juga bisa dijumpai dengan sighat isim fi’il amr seperti وقضي ربك
الا تعبدوا الا إیاه و با لوالین إحسا
amr il’fi dari pengganti masdar dan ا ستجب
artinya yang امین
lafdz لوالدین با أحسنوا اي- نا
seperti Lihat Mushtafa al-Ghalayin, Jami’ ad-Durus al-Arabiyah, (Beirut: Al-
Maktabah al-Ashriyah, 1987)J. 1, h.33 dan 155-156
[6] Fathi al-Darini, Al-Manhaj
al-Islamiyah Fi Ijtihadi bi al-Ra’yi, (Damasyqi: Dar al-Kutub al- Hadis, 1975),
704
[7] tentang perbedaan ini bisa
dilihat lebih lanjut pada pembahasan ushul fiqh, karena didalamnya banyak
dibahas dan dijelaskan mengenai konskwensi hokum yang diambil dari nash yang
mengadung amr, lihat Saifuddin Abi Al-hasan Al-Amidy, Al-Ihkam Fi Ushul
Al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub, tt) 9 Lihat lebih lanjut
al-Suyuthi, al-Itqan Fi Ulum al-Quran, (Beirut: Maktabah al-Ashriyah,
1988), J. 3, h.243 dan Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh…... 166-171
[8] Khalid bin al-Utsman
al-Sabt, Qawiid Tafsir…….
[9] Abd. Rahman Nashir
as-Sa’di, 70 Kaidah Penafsiran al-Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).
Terj. Mursani dan Mustahab, h. 112 dan Hasyim Kamali, Principles….. 184 12
Mengenai pembahasan tentang pembatasan dan tidaknya ini menurut Hasyim
dibaginya menjadi waktu fleksibel dan waktu ketat, sedangkan dalam bahasa Amir
Syarifudin dikategorikan menjadi waktu muwassa’ dan Mudhyya’ Lihat Hasyim,
Principles…..h. 183 dan Amir Syarifydin, Ushul Fiqh.… 185
[10] tetapi tentang penjelasan
yang detail dapat dilihat di Muhammad Adib Shalih, Tafsir
Nusus…..h. 345-359. Didalamnya dijelaskan panjang
lebar tentang perbedaan pendapat para ulama