Dalam hukum islam banyak hal yang
diperdebatkan dalam kalangan masyarakat. Salahsatunya adalah mengeni waris,
kewarisan dalam Al-quran hanya ada petunjul secara umujnya saja namun tidak
secara terperinci. Sedangkan dalam Indonesia mengenai waris menganut
sistem hukum waris islam yang pelaksanaan dan penyelesain harta kewarisan
tersebut apabila si pewaris telah wafat.
Mawaris merupakan segala sesuatu
yang mengatur tentang kewarisan dalam islam. Dalam mawaris juga terdapat
aturan-aturan mengenai perhitungan pembagian harta waris untuk para penerima
waris tersebut. Dalam menghitung harta waris haruslah teliti dan sesuai dengan
aturan yang sudah ada mengenai kewarisan.
At- Takhaarun merupakan salah satu
bentuk pembagian harta warisan secara damai dan musyawarah keluarga. Oleh
karena itu dalam makalah ini penyusun akan membahas mengenai Munasakhat dan
cara penyelesainnya. Yang munasakhat merupakan ilmu dasar dalam mempelajari
mawaris. Agar saat dalam perhitungan harta warisan tidak terdapat kekeliruan
dalam perhitungan maupun pembagiannya.
Sebab terkadang dalam suatu kasus
kewarisan prang yang mempunyai hak mendapatkan harta waris tidak diberikan
bagiannya. Oleh karena adanya janji ahli waris yang memahjubkan. Akan tetapi ia
tidah mahjub untuk menerima untuk menerima bagian harta waris tersebut
disebabkan salah ahli waris meninggal dunia terlebih dahulu daripada pewaris.
Al-munasakhat dalam bahasa arab
berarti “memindahkan” dan “menghilangkan”, misalnya dalam kalimat, “Nasakhtu
al-kitabah” yang bermakna “saya menukil atau (memindahkan) pada lembaran lain,
“Nasakhtu asy-syamsu ash-zhilla” yang berarti sinar Matahari menghilangkan
bayang-bayang.’
Menurut As Sayyid As Syarif
munasakhat ialah ta’rif memindahkan bagian sebagai ahli waris kepada orang yang
mewarisinya, lantaran kematiannya sebelum pembagian jarta warisan sudah
dilakukan. Sedangkan menurut H. Moh. Anwar dalam islam Munasakhat adalah
pemabgaian warisan yang beruntun,seseorang mati dengan meninggalkan bapak, ibu,
suami, dan anak sebelum harta warisannya dibagikan, tib-tiba bapaknya mati.
Al-munasakhat
mempunyai tiga macam keadaan. Keadaan pertama, sosok ahli waris yang kedua
adalah mereka yang juga merupakan sosok ahli waris yang pertama. Dalam kasus
seperti ini, masalahnya tidak berubah, dan cara pembagian warisnya pun tidak
berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak.
Kemudian, salah seorang dari kelima anak itu meninggal, tetapi yang meninggal
itu tidak mempunyai ahli waris yang ada hanya dibagikan kepada keempat anak
tersisa, seolah-olah ahli waris yang meninggal itu tidak awal ada dari awalnya.
Keadaan
kedua, para ahli waris dari pewaris kedua adalah sosok ahli waris dari pewaris
pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka terhadap
pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai keturunan seorang anak laki-laki,
sedangkan dari istri kedua, ia mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika
meninggal, berarti dia meninggalkan dua orang istri dan empat anak (satu
laki-laki dan tiga perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan itu.
Meninggal
sebelum harta waris peninggalan ayahnya dibagikan maka ahli waris perempuan ini
adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah).Namun,
dalam kedua keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal jauh- dekatnya
nasab kepada pewaris. Pada keadaan pertama ( meninggalnya ayah ),anak laki-laki
menduduki posisi sebagai anak. Akan tetapi, dalam keadaan kedua ( meninggalnya
anak perempuan ),anak laki-laki terhadap yang meninggal berarti merupakan
saudara laki-laki seayah dan yang perempuan sebagai saudara kandung perempuan.
Jadi, pembagiannya akan berbeda, dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu
cara yang disebut oleh kalangan ulama fara'idh sebagai masalah al-jamai'ah.
Keadaan
ketiga, para ahli waris dari kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama, atau
sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak menerima
waris dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan pewaris kedua.
Dalam hal seperti ini, kita juga harus melakukan teori al-jama'iyah sebab
pembagian bagi tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda.
Cara
Penyelesaian Munasakhat para ulama faraidh dalam mengerjakan masalah munasakhah
menempuh jalan sebagai berikut: Mentashihkan asal masalah si mati yang duluan
dan memberikan saham-saham setiap ahli waris dari masalah yang sudah tashih.
Mentashihkan asal masalah si mati yang kedua dan membandingkan saham-saham yang
ada di tangan ahli waris dari tashih yang pertama dengan tashih yang kedua
.Dalam membandingkan saham-saham dalam tashhih yang pertama dengan saham-saham
yang berada dalam tashhih yang kedua dan seterusnya terdapat tiga hal :
1. Mumatsalah (Tamatsul)
Mumatsalah
ialah apabila bertemu dua angka yang sama. Misalnya 2 dengan 2, 5 dengan 5 dan
seterusnya. Contohnya :
Seorang mati dengan
meninggalkan ahli waris yang terdiri dari suami, ibu dan paman. Kemudian
sebelum harta peninggalan dibagi suami menyusul mati dengan meninggalkan ahli
waris 3 orang anak laki-laki.
Penyelesaian pertama
Ahli waris ; fardh ; dari a.m 6 sahamnya :
1. suami ; ½ ; ½ x 6 = 3
2. Ibu ; 1/3 ;1/3 x 6 =23. paman ; Ubn. ; 6-5
= 1Penyelesaian keduaAhli waris ; fardh ; dari a.m. 6Sahamnya;1. 3 anak laki
(suami) ; ; =32. Ibu ; 1/3 ;1/3 x 6=23. Paman ; Ubn ;6 – 5 = 1Keterangan :Oleh
karena sahamnya sudah dapat pas dibagikan kepada “adadurruus”, maka tak perlu tashhih. Dengan kata
lain saham-saham dalam tashhih I dinisbatkan dengan saham-saham dalam tashhih
II adalah mumatsalah.
2. Muwafaqah (Tawafuq)
Muwafaqah ialah apabila bertemu dua angka yang tidak sama dan angka yang
terbesar tidak dapat dibagi oleh angka yang terkecil, akan tetapi sama-sama
dapat dibagi oleh angka yang sama. Misalnya 4 dengan 6, 8 dengan 12. Angka 4
dan 6, 8 dengan 12 tidaklah sama. Angka 6 tidak dapat dibagi dengan 4, begitu
pula angka 12 tidak dapat dibagi dengan angka 8. akan tetapi kesemua bilangan
tersebut dapat dibagi dengan angka 2, maka angka tawafuqnya adalah 2.
Contohnya : Seorang mati meninggalkan ahli waris yang terdiri dari
suami, ibu dan paman. Kemudian sebelum harta peninggalan dibagikan, suami
menyusul mati dengan meninggalkan ahli waris 6 oarang anak laki-laki.
Penyelesaian pertama
Ahli waris ; fardh ;dari a.m. 6
Sahamnya:
1. Sumi ; ½ ;1/2 x 6= 3
2. Ibu ;1/3 ;1/3 x 6= 2
3. Paman ; Ubn. ;6 – 5 = 1
Penyelesaian kedua
Ahli waris fardh dari a.m. 6 nishbah ‘adaur
juzuz- tashhih 6x2 = 12
Sahamnya : ruus & saham saham sahamnya::
1. 6 ank lk.(suami) ; 3 6:3 (tawafuq) 2 3 x 2= 6
2. Ibu ;1/3 ; 1/3x6 =2; - ; - ; 2 x 2= 4
3. Paman Ubn. 6 – 5=1; - ; - ; 1 x 2= 2
Keterangan:
Oleh karena saham-saham yang diterima oleh 6
orang anak laki-laki yang diwarisinya dari bapaknya (suami orang yang mati
pertama), yakni 3 saham tidak dapat dibagi-bagikan kepada mereka tanpa angka
pecahan, adalah tawafuq, maka wafiqnya, yakni 2, digunakan untuk mengkalikan
asal masalah yang pertama, sehingga menjadi 12. Dengan demikian kedua asal
masalah tersebut sudah tshhih dan pembagian saham kepada mereka dapat
diselesaikan dengan mudah.
3. Mubayanah (Tabayun)
Mubayanah yaitu apabila dua angka yang tidak sama, tidak saling bermasukan,
dan tidak dapat dibagi oleh angka yang sama kecuali angka 1. Misalnya 8 dengan
1, 7 dengan 3, 10 dengan 11. angka-angka tersebut tidak saling bermasukan dan
juga tidak dapat dibagi oleh angka yang sama kecuali angka 1 .
Contohnya: Seperti
pada contoh nomor 1 dan 2, tetapi suami yang menyusul mati tersebut meninggalkan
anak laki-laki sebanyak 10 orang.
Penyelesaian pertama
Penyelesaiannya seperti pada contoh nomor 1.
Penyelesaian kedua
Ahli waris ; fardh ; dari a.m. 6 ; nishbah
‘adurur ; juzuz
Sahamnya: ; ruus & saham saham
1. 10 ank.lk (suami) ; 3 ; 10 : 3 (tabayun) ; 10
2. Ibu ; 1/3 ; 1/3 x 6= 2 ; -
3. Paman ; Ubn. ; 6 – 5 = 1 ; -
Tashhih 6 x 10= 60 ; penerimaan ;
Sahamnya : masing- masing
3 x 10= 30 ; 30 : 10 = 3
2 x 10= 20 ; = 20
1 x 10= 10 ; = 10
H.Moh. Anwar, fiqh Islam”Muamat,
Munakahat, Fara’id, dan Jinayat” (Hukum Perdata dan pidana Islam) Cet:II
Bandung, PT AL-Ma’arif , 1998 . Hal: 229
Ahmad Saebani, Beni. 2019. Fiqh Mawaris.Bandung. CV.
Pustaka Setia. Hal 319-320.
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Cet II Jakarta PT Bina Aksara 1984) Hal : 63
Muh.Sudirman, Munasakhah dalam
Sistem Kewarisan Islam, Makassar, Universitas Negri Makassar, Vol: XI no 2
2016
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh jilid
III (Cet II : Jakarta Proyek Pembinan dan Sarana Perguruan Tinngi Agama IAIN
Jakarta 1986 )