MAKALAH POLIGAMI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Poligami merupakan pernikahan yang
sesuai dengan fitrah manusia dan mempunyai status pernikahan yang sahdan
bertujuan untuk membangun rumah tangga sakinahm mawadah dan warahmah.
Pernikahan sendiri mempunyai anjuran dimana untuk menjga kesucian jiwa dan mendapatkan
keturunan. Poligami dalam masa lampau telah dpraltikan diberbagai negara.
Sedangkan di Indonesia tentang poligami diatur dalam Undang-undang tentang
Perkawinan No 1 Tahun 1974 pada pasal 3 ayat 2 yang berbunyi “pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam islam poligami memang
diperbolehkan namun juga masih dalam perkara yang dipertimbangkan. Hal ini
terbukti didalam ayat-ayat Al-Quran ataupun sebuah riwayat yang dijadikan
sebagai sumber hukum dalam perkara poligami. Yang tetap terikat dengan
aturan-aturan ataupun syarat-syarat dan ketentuan lainnya saat hendak
mempraktikan poligami.
Poligami pada masa sekarang juag
merupakan fenomena sosial dalam masyarakat, dimana ada pro dan kontra mengenai
poligami. Namun banyak pertentangan didalamnya yang sebagain besar dinilai
karena perbedaan pandangan masyarakat mengenai poligami. Hal ini menjadi alasan
kelompok kami untuk membahas Poligami dalam Makalah yang kami susun.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang disebut dengan Poligami ?
2. Apa
saja Syarat-syarat dan tata cara seorang suami yang akan melakukan poligami?
3. Bagaimana
akibat ketika Poligami yang tidak tercatat sah dalam pemerintahan ?
3
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk
mengetahui definisi dari Poligami..
2. Untuk
memahami apa saja persyaratan dan atta cara seorang suami yang akan melakukan
Poligami.
3. Untuk memahami akibat dari Poligami yang tidak tercatat secara sah dalam pemerintahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu poli
atau polus, yang berarti banyak dan
gamein atau gamos yang berarti perkawinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan bahwwa Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak
memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.[1]
Dengana kata lain poligami merupakan perkawinana seorang suami dengan lebih
dari satu orang istri ( Poligini ) ataupun perkawinan seorang istri dengan
lebih dari satu orang suami ( Poliandri ).
Dalam Fiqih Munakahat disebutkan bahwa poligami
adalah seorang lakilaki yang beristri lebi dari satu orang, namun tetap
dibatasi yaitu hanya boleh empat istri saja. Karena jika menikahi lebih dari
empat istri berarti mengingkari kebaikan yang disyariatkan Allah bagi
kemaslahatan kehidupan pasangan suami dan istri. Poligami atau menikah lebih
dari seorang istri bukanlah merupakan masalah baru. Poligami sudah ada sejak
dulu kala, pada kehidupan manusia di berbagai kelompok masyarakat seluruh
penjuru dunia.2
Islam membolehkan poligami sampai empat orang isteri
dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani isteri,
seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan hal-hal yang
bersifat lahiriyyah. Jika tidak dapat berbuat adil, maka hanya cukup satu
isteri saja (monogami). Hal ini berdasarkan firman Allah swt., surat al-Nisa’
ayat 3.
وَإِنْ خِفْتمُْ أ الََّ تقُْسِطُوا۟ فىِ ٱلْيتََٰمََىَٰ
فٱَنكِحُوا۟ مَا طاَبَ لكَُم مِنَ ٱلن
سَِاءِٓ مَثنْىََٰ وَثلَُٰثََ وَرُبَٰعََ ۖ فإَنِْ خِفْتمُْ
أ الََّ تعَْدِلوُا۟ فوَََٰحِدةًَ أوَْ مَا مَلكََتْ
أيَْمََٰنكُُمْ ۚ ذَٰلَِكَ أدَْنىََٰٓ أ الََّ تعَوُلوُا۟
Terjemah Arti: "Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka
.kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Menurut Quraish Shihab, “Jika kami
takut tidak akan berbuat adil terhadap perempuan yatim dan kamu percaya diri
akan berlaku adil terhadap perempuanperempuan selain yang yatim itu, maka
kawinilah apa yang kamu sayangi sesuai selera kamu dan halal bagi
perempuan-perempuan yang lain itu. Kalau perlu kamu dapat menggabung dua, tiga,
empat, tetapi jangan lebih, kalau kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
dalam hal harta dan perlakuan lahiriyah, bukan dalam hal cinta bila menghimpun
lebih dari seorang isteri, maka kawini seorang saja, atau kawinilah budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain anak yatim yang
mengakibatkan ketidak adilan, dan mencukupkan satu orang isteri adalah lebih
dekat tidak berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu kepada keadilan atau
kepada tidak memiliki banyak anak yang harus kamu tanggung biaya hidup mereka.[2]
B. Syarat-Syarat Dan Tata Cara Seorang
Suami Yang Akan Melakukan
Poligami.
Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya
laki-laki tertentu untuk berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki harus
berbuat demikian karena tidak semua memuanyai kemampuan untuk berpoligami,
poligami dalam Islam hanya dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, baik jumlah
maksimal maupun persyaratan lain, seperti:
1. Membatasi
Jumlah Istri
Jumlah isteri yang boleh dipoligami paling banyak
empat orang wanita. Bila di antara isteri ada yang meninggal dunia atau
diceraikan, suami dapat mencari ganti yang lain asalkan jumlahnya empat orang
dalam waktu yang bersamaan.
2. Dapat
berlaku Adil terhadap istri-istrinya
Laki-laki itu dapat berbuat adil bagi isteri-isteri
dan anak-anaknya, yang menyangkut masalah-masalah lahiriah seperti pembagian
waktu dalam pembagian nafkah, dan hal-hal yang menyangkut kepentingan lahir.
Sedangkan masalah batin, tentu saja, selamanya manusia tidak dapat berbuat adil
selamanya. Berdasarkan ayat 3 surat An-Nisa bahwa poligami dilarang apabila
seorang suami yang akan poligami tidak bisa berlaku adil kepada istriistrinya
kelak.
3. Bukan
dua wanita bersaudara
Dalam melakukan poligami, dilarang
mempertemukan dua wanita yang bersaudaraa. Pernikahan yang dilakukan terhadap
dua wanita yang masih memiliki hubungan darah tidak diperbolehkan dalam Islam.
Firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 23;
ُ رِّمَتْ عَليَْكُمْ أمَُّهٰتكُُمْ وَبنَاَتكُُمْ
وَأخََوٰتكُُمْ وَعَمّٰتكُُمْ وَخٰلٰتكُُمْ وَبنَاَتُ الْْخَِّ وَبنَاَتُ
الْْخُْتِّ وَأمَُّهٰتكُُمُ التّٰىِّٓ أرَْضَعْنكَُمْ وَأخََوٰتكُُمْ مِّنَ الرَّضٰعةَِّ وَأمَُّهٰتُ نسَِّائِّٓكُمْ
وَرَبٰئٓبِّكُُمُ التّٰىِّ فِّى حُجُورِّكُمْ
مِّنْ ن سَِّ ائِّٓكُمُ التِّّٰى دَخَلْتمُْ بِّهِّنَّ فإَنِّْ لمَّْ
تكَُونوُا دَخَلْتمُْ بِّهِّنَّ فلَََ جُناَحَ عَليَْكُمْ وَحَلٰٓئِّلُ
أبَْناَئِّٓكُمُ الذَِّّينَ مِّنْ أصَْلٰبِّكُمْ وَأنَْ تجَْمَعوُا بيَْنَ
الْْخُْتيَْنِّ إلََِّّّ مَا قدَْ سَلفََ
ُ إِّنَّ اللَََّّ كَانَ غَفوُرًا
رَّحِّيمًا
“(Diharamkan atas kamu) menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 4. Tidak
melailaikan ibadah
Seorang yang melakukan poligami,
harusnya ia bertambah ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah.
Namun ketika setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai
beribadah, maka poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang
pantas dalam melakukan poligami.
Allah subhanahu wa taala berfirman:
يٰأٓيَهَُّا
الذَِّّينَ ءَامَنوُا لََّ تلُْهِّكُمْ أمَْوٰلكُُمْ وَلََّٓ أوَْلٰدُكُمْ عَنْ
ذِّكْرِّ اللََِّّّ ُ وَمَنْ يفَْعلَْ ذٰلِّكَ فأَوُلٰئِّٓكَ هُمُ
الْخٰسِّرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
harta-hartamu dan anakanakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa
yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS.
Al-Munafiqun: 9)
“Hai orang-orang
mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan
tidak memarahi serta mengampuni
(mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Ath-Thaghabun:14)
5. Memberi nafkah lahir dan batin
Mampu memberi nafkah kepada para istri
adalah syarat mutlak bagi yang ingin berpoligami. “Dan orang-orang yang tidak
mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberikan
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS. An-Nur: 33)
Islam membolehkan laki-laki berpoligami sebagai
alternatif atau jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks
laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar tidak
sampai jatuh kelembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas diharamkan
agama. Oleh karena itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus
kejurang maksiat yang dilarang Islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu
boleh beristeri lagi (poligami) dengan syarat bisa berbuat adil.[3]
Sedangkan dalam Undang-undang Perkawinan di Indonesia
Poligami diatur dalam Undang-Undang No 1
tahun 1974 tengtang perkawinan, dimana ada pengecualian Pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang atau
poligami dengan ketentuan atau persyaratan sebagai berikut
:
1. Suami
wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya
dengan syarat :
a. Ada
persetujuan dari Istri / istri-istri (
Jika Istri tidak mungkin untuk memberikan persetujuannya, tidak ada kabar dari
istri minimal selama 2 tahun, dan sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat
penilaian dari hakim PA ).
b. Adanya
kepastian sumai mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak.
c. Adanya
jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anakanak.
2. Pengadilan
Agama hanya memberukan izin Poligami jika :
a. Istri
tidak menjalankan Kewajibannya sebagai seorang istri,
b. Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
c. Istri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Poligami di Indonesia juga diatur dalam Intruksi Presiden N
omor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ).[4]
C. Akibat Poligami Tidak Tercatat Sah Dalam
Pemerintahan,
Adapun akibat dari poligami tidak tercatat adalah
berupa dampak hukum yaitu tidak terjaminnya hak-hak istri dan anak hasil nikah
tidak tercatat yang disebabkan status perkawinan yang tidak berkekuatan hukum,
serta dampak sosoal yang berujung pada ketidak harmoniosan di dalam keluarga.
Undang-undang poligami di Indonesia diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan diperjelas dalam aturan pelaksanaannya PP No. 9 tahun 1975
tentang aturan pelaksanaan Undang-undang perkawinan. Kemudian PP No. 10 tahun
1983 yang sudah diubah didalam PP No. 45 tahun 1990 dan juga KHI.
Dalam UU No. 1
tahun 1974 mengatur tentang prosedur poligami salah satunya syarat poligami
yang diatur dalam Pasal 4 UU No. 1 tahun 1974 yang merupakan syarat alternatif,
yaitu:
1. Isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya,
2. Isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Selanjutnya diatur dalam Pasal 5 mengenai
syarat kumulatif, yaitu:
1. Adanya
persetujuan isteri,
2. Adanya
jaminan nafkah dan keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anakanaknya
3. Suami
harus berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya..[5]
Pembatasan Poligami dengan syarat-syarat
yang ketat sebagaimana diatur dalam UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa
pembatasan poligami bukan pelanggaran terhadap ketentua Al-Quran ayat 3 surat
An-Nisa, karena Islam adalah agama yang sangat mengutamakan keserasian,
keselarasan, keseimbangan, serta ketertiban dan ketenangan dalam kehidupan masyarakat terutama kehidupan
keluarga. Dengan demikian dalam
mengaktualisasikan surat anisa ayat 3 haruslah dihubungkan dengan ruh/semangat
ajaran agama islam. Untuk itu, mutlak diperlukan ijtihad dalam rangka menemukan
ketentuan hukum bagi kebolehan poligami yang dimaksud. [6]
Ketentuan hukum poligami dalam UU 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, KHI adalah bersifat mengatur pelaksanaan
kebolehan Berpoligami menurut hukum Islam, dan bukan menutup kebolehannya. Hal
ini merupakan hasil ijtihad yang didasarkan pada maslahah al-ummah serta tujuan
Syariat perkawinan itu sendiri, karena pada dasarnya tidak sedikit sumai yang
sewenang-wenang melakukan poligami dengan menyalahgunakan kebolehan poligami
menurut surat an-Nisa ayat 3 yang banyak mengakibatkan terlantarnya kepentingan
Istri dan anak anak dan yang lebih tragis lagi adalah munculnya saling
permusuhan diantara para istri, anak-anal maupun sanak keluarga masing-masing.[7]
Sanksi
atas pelanggaran aturan poligami.
Dalam rangka
mempertahankan dan menjamin UU No 1 tahun 1974 agar ditaati,maka undang-undang
ini dan peraturan perundang-undangan lainnya memuat beberapa sanksi terhadap
orang yang melanggar UU No.1 tahun 1974. Khususnya sanksi terhadap aturan
poligami. Baik sanksi perdana maupun pidana, sebagai berikut:
1. Sanksi
Perdata
Pasal 24 UU No.1 Tahun 1974 mengatur bahwa:
"Barang siapa karena perkawinan masih terkait dirinya dengan salah satu
dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya perkawinan dapat mengajukan
pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat
(2) dan pasal 4 Undang-undang ini.”
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, bahwa seorang suami yang akan
beristri tanpa ada izin dari pengadilan atau istri kawin lagi dengan laki-lain
lain ,perkawinannya ters ebut dapat dilakukan pembatalan oleh seorang istri
atau suami yang bersangkutan kepada pengadilan.
2. Sanksi
Pidana
Dalam Pasal 45 PP No.9 tahun 1979
dinyatakan :
a. Kecuali apabila ditentukan lain dalam peratutan
perundang-undangan yang berlaku, maka :
• Barang
siapa yang melangar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3.10 ayat (3), 40
peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.
7500.
• Pegawai
pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 6,7,8,9,10 ayat
1,11,13,44. Peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 bulan, atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500.
b. Tindak pidana yang dimaksud pada ayat diatas adalah pelanggaran. Pasal 40 ayat (1) huruf a ancaman pidana yang
ditujukan kepada mempelai, sedangkan pasal 40 ayat (1) ancaman pidana ditujukan
kepada Pejabat Pencatatan Perkawinan (PPN).
Sedangkan pelanggaran yang diancaman pidana
terhadap mempelai dalam ketentuan diatas adalah pelanggaran Pasal 40 PP No.9
tahun 1975 yang berbunyi : Apabila seorang suami bermaksud beristri lebih dari
seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Yang diatur disini adalah pelanggaran ketentuan administrasi perkawinan, yaitu
kewajiban mengajukan permohonan izin poligami secara tertulis kepada
pengadilan.
Sedangkan ancaman pidana terhadap PPN
(Pasal 40 ayat (1) huruf b). Ialah bilamana melanggar ketentuan pasal 44 PP
no.9 tahun 1975, yaitu delik mengawinkan suami yang akan beristri lebih dari
seorang sebelum izin dari pengadilan.
Pegawai pencatat yang melanggar
ketentuan yang diatur dalam pasal 6,7,8,9,10 ayat 1,11,13,44. Peraturan
pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan, atau
denda setinggi-tingginya Rp. 7.500. Tindak pidana yang dimaksud pada ayat diatas adalah pelanggaran. Pasal 40 ayat (1)
huruf a ancaman pidana yang ditujukan kepada mempelai, sedangkan pasal 40 ayat
(1) ancaman pidana ditujukan kepada Pejabat Pencatatan Perkawinan (PPN).
Sedangkan
pelanggaran yang diancaman pidana terhadap mempelai dalam ketentuan diatas
adalah pelanggaran Pasal 40 PP No.9 tahun 1975 yang berbunyi : Apabila seorang
suami bermaksud beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Pengadilan. Yang diatur disini adalah pelanggaran
ketentuan administrasi perkawinan, yaitu kewajiban mengajukan permohonan izin
poligami secara tertulis kepada pengadilan.
Sedangkan ancaman pidana terhadap PPN
(Pasal 40 ayat (1) huruf b). Ialah bilamana melanggar ketentuan pasal 44 PP
no.9 tahun 1975, yaitu delik mengawinkan suami yang akan beristri lebih dari
seorang sebelum izin dari pengadilan.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Poligami adalah seorang laki-laki yang
beristri lebi dari satu orang, namun tetap dibatasi yaitu hanya boleh empat
istri saja. Karena jika menikahi lebih dari empat istri berarti mengingkari
kebaikan yang disyariatkan Allah bagi kemaslahatan kehidupan pasangan suami dan
istri. Islam memperbolehkan poligami
sampai empat orang isteri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil
dalam melayani isteri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran
dan hal-hal yang bersifat lahiriyyah. Jika tidak dapat berbuat adil, maka hanya
cukup satu isteri saja (monogami).
Dengan demikian, jika poligami dilakukan hanya
sekedar untuk pemenuhan nafsu, apalagi hanya sekedar mencari prestasi dan
prestise di tengah-tengah masyarakat yang hedonis dan materialis sekarang,
serta mengabaikan terpenuhinya dua prinsip utama dalam hukum Islam tersebut,
maka tentu saja poligami tidak dibenarkan. Poligami dalam hukum Islam merupakan
suatu solusi bagi sebagian orang (sedikit) untuk mewujudkan kesempurnaan dalam
kehidupan keluarga yang memang tidak dapat dicapai dengan monogami.
Problem ketiadaan anak yang mungkin disebabkan oleh
kemandulan seorang isteri, ketidakpuasan seorang suami karena kurangnya
pelayanan yang prima dari seorang isteri, atau tujuantujuan dakwah sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Merupakan sederetan problem yang barangkali
bisa dipecahkan oleh lembaga poligami ini. Namun yang perlu dicatat, jangan
sampai upaya mengatasi berbagai problem dengan cara poligami malah menimbulkan
problem baru yang lebih besar mafsadatnya daripada problem sebelumnya. Jika hal
ini terjadi tentu poligami bukanlah suatu solusi yang dianjurkan, tetapi
sebaliknya bisa jadi malah dilarang.
DAFTAR PUSTAKA
Qanita Nailiya, Iffah. 2016. Poligami
Berkah ataukah Musibah.Yogyakarta. Diva Press.
Abdurrahman I
Doi, Karakteristik Hukum Islam dan
Perkawinan, jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah, cet. Ke-I, jilid ke-II, (Ciputat: Lentera Hati, 2000).
Abdul Rahman Ghazali, Fikh Munakahat,
(Jakarta: Kencana, 2003).
Prosedur Poligami yang Sah.
https//Hukumonline.com
Abdul Halim, Ariyall Hikam Pratama
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 1, Juni 2020.
Nur, Muliadi. Poligami tanpa izin
Pengadilan (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Manado). Manado.
Zuffan, Sabri. Sekitar Syarat Persetujuan
Istri Bagi Suami yang bermaksud
Berpoligami. Dalam majalah “Mimbar
HUkum” (No 39 tahun 2009 Jakarta Al-hikmah dan Direktorat Badan Peradilan Agama
Islam Depag, 1998 ). Badri, R. Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan dan
KHUP
(Surabaya, CV Amin, 1985)
[1] Qanita Nailiya, Iffah.
2016. Poligami Berkah ataukah Musibah.Yogyakarta. Diva Press. Hal 15 2
Abdurrahman
I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan
Perkawinan, jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 259.
[2] M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah, cet. Ke-I, jilid ke-II, (Ciputat: Lentera Hati,
2000), h. 321322.
[3]
Abdul
Rahman Ghazali, Fikh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), 357- 3
[4]
Prosedur
Poligami yang Sah. https//Hukumonline.com
[5]
Abdul Halim, Ariyall Hikam Pratama Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah
Jakarta Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 1, Juni 2020: 82 - 104
[6] Zuffan, Sabri. Sekitar
Syarat Persetujuan Istri Bagi Suami yang bermaksud Berpoligami. Dalam majalah
“Mimbar HUkum” (No 39 tahun 2009 Jakarta Al-hikmah dan Direktorat Badan
Peradilan Agama Islam Depag, 1998 ). Hal 34
[7]
Ibid Hal 36
[8] Badri, R. Perkawinan Menurut
Undang-undang Perkawinan dan KHUP (Surabaya, CV Amin, 1985) h. 11