MAKALAH POLIGAMI

 

MAKALAH POLIGAMI


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Poligami merupakan pernikahan yang sesuai dengan fitrah manusia dan mempunyai status pernikahan yang sahdan bertujuan untuk membangun rumah tangga sakinahm mawadah dan warahmah. Pernikahan sendiri mempunyai anjuran dimana untuk menjga kesucian jiwa dan mendapatkan keturunan. Poligami dalam masa lampau telah dpraltikan diberbagai negara. Sedangkan di Indonesia tentang poligami diatur dalam Undang-undang tentang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pada pasal 3 ayat 2 yang berbunyi “pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 

Dalam islam poligami memang diperbolehkan namun juga masih dalam perkara yang dipertimbangkan. Hal ini terbukti didalam ayat-ayat Al-Quran ataupun sebuah riwayat yang dijadikan sebagai sumber hukum dalam perkara poligami. Yang tetap terikat dengan aturan-aturan ataupun syarat-syarat dan ketentuan lainnya saat hendak mempraktikan poligami. 

Poligami pada masa sekarang juag merupakan fenomena sosial dalam masyarakat, dimana ada pro dan kontra mengenai poligami. Namun banyak pertentangan didalamnya yang sebagain besar dinilai karena perbedaan pandangan masyarakat mengenai poligami. Hal ini menjadi alasan kelompok kami untuk membahas Poligami dalam Makalah yang kami susun.

 

B. Rumusan Masalah

1.      Apa yang disebut dengan Poligami ?

2.      Apa saja Syarat-syarat dan tata cara seorang suami yang akan melakukan poligami?

3.      Bagaimana akibat ketika Poligami yang tidak tercatat sah dalam pemerintahan ?

 

 

3

 

C. Tujuan Pembahasan

1.      Untuk mengetahui definisi dari Poligami..

2.      Untuk memahami apa saja persyaratan dan atta cara seorang suami yang akan melakukan Poligami.

3.      Untuk memahami akibat dari Poligami yang tidak tercatat secara sah dalam pemerintahan


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu poli atau polus, yang berarti banyak  dan gamein atau gamos yang berarti perkawinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwwa Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.[1] Dengana kata lain poligami merupakan perkawinana seorang suami dengan lebih dari satu orang istri ( Poligini ) ataupun perkawinan seorang istri dengan lebih dari satu orang suami ( Poliandri ).

Dalam Fiqih Munakahat disebutkan bahwa poligami adalah seorang lakilaki yang beristri lebi dari satu orang, namun tetap dibatasi yaitu hanya boleh empat istri saja. Karena jika menikahi lebih dari empat istri berarti mengingkari kebaikan yang disyariatkan Allah bagi kemaslahatan kehidupan pasangan suami dan istri. Poligami atau menikah lebih dari seorang istri bukanlah merupakan masalah baru. Poligami sudah ada sejak dulu kala, pada kehidupan manusia di berbagai kelompok masyarakat seluruh penjuru dunia.2

Islam membolehkan poligami sampai empat orang isteri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani isteri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan hal-hal yang bersifat lahiriyyah. Jika tidak dapat berbuat adil, maka hanya cukup satu isteri saja (monogami). Hal ini berdasarkan firman Allah swt., surat al-Nisa’ ayat 3.

وَإِنْ خِفْتمُْ أ الََّ تقُْسِطُوا۟ فىِ ٱلْيتََٰمََىَٰ فٱَنكِحُوا۟ مَا طاَبَ لكَُم  مِنَ ٱلن سَِاءِٓ مَثنْىََٰ وَثلَُٰثََ وَرُبَٰعََ ۖ فإَنِْ خِفْتمُْ

 أ الََّ تعَْدِلوُا۟ فوَََٰحِدةًَ أوَْ مَا مَلكََتْ أيَْمََٰنكُُمْ ۚ ذَٰلَِكَ أدَْنىََٰٓ أ الََّ تعَوُلوُا۟

 Terjemah Arti: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap

 (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka

 .kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat  Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)  seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah

lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Menurut Quraish Shihab, “Jika kami takut tidak akan berbuat adil terhadap perempuan yatim dan kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuanperempuan selain yang yatim itu, maka kawinilah apa yang kamu sayangi sesuai selera kamu dan halal bagi perempuan-perempuan yang lain itu. Kalau perlu kamu dapat menggabung dua, tiga, empat, tetapi jangan lebih, kalau kamu takut tidak akan dapat berlaku adil dalam hal harta dan perlakuan lahiriyah, bukan dalam hal cinta bila menghimpun lebih dari seorang isteri, maka kawini seorang saja, atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan ketidak adilan, dan mencukupkan satu orang isteri adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu kepada keadilan atau kepada tidak memiliki banyak anak yang harus kamu tanggung biaya hidup mereka.[2]

B. Syarat-Syarat Dan Tata Cara Seorang Suami Yang Akan Melakukan

Poligami.

Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu untuk berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat demikian karena tidak semua memuanyai kemampuan untuk berpoligami, poligami dalam Islam hanya dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, baik jumlah maksimal maupun persyaratan lain, seperti:

 

1.      Membatasi Jumlah Istri

Jumlah isteri yang boleh dipoligami paling banyak empat orang wanita. Bila di antara isteri ada yang meninggal dunia atau diceraikan, suami dapat mencari ganti yang lain asalkan jumlahnya empat orang dalam waktu yang bersamaan.

2.      Dapat berlaku Adil terhadap istri-istrinya

Laki-laki itu dapat berbuat adil bagi isteri-isteri dan anak-anaknya, yang menyangkut masalah-masalah lahiriah seperti pembagian waktu dalam pembagian nafkah, dan hal-hal yang menyangkut kepentingan lahir. Sedangkan masalah batin, tentu saja, selamanya manusia tidak dapat berbuat adil selamanya. Berdasarkan ayat 3 surat An-Nisa bahwa poligami dilarang apabila seorang suami yang akan poligami tidak bisa berlaku adil kepada istriistrinya kelak.

3.      Bukan dua wanita bersaudara

Dalam melakukan poligami, dilarang mempertemukan dua wanita yang bersaudaraa. Pernikahan yang dilakukan terhadap dua wanita yang masih memiliki hubungan darah tidak diperbolehkan dalam Islam. Firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 23; 

ُ رِّمَتْ عَليَْكُمْ أمَُّهٰتكُُمْ وَبنَاَتكُُمْ وَأخََوٰتكُُمْ وَعَمّٰتكُُمْ وَخٰلٰتكُُمْ وَبنَاَتُ الْْخَِّ وَبنَاَتُ الْْخُْتِّ وَأمَُّهٰتكُُمُ التّٰىِّٓ أرَْضَعْنكَُمْ وَأخََوٰتكُُمْ  مِّنَ الرَّضٰعةَِّ وَأمَُّهٰتُ نسَِّائِّٓكُمْ وَرَبٰئٓبِّكُُمُ التّٰىِّ فِّى حُجُورِّكُمْ  مِّنْ ن سَِّ ائِّٓكُمُ التِّّٰى دَخَلْتمُْ بِّهِّنَّ فإَنِّْ لمَّْ تكَُونوُا دَخَلْتمُْ بِّهِّنَّ فلَََ جُناَحَ عَليَْكُمْ وَحَلٰٓئِّلُ أبَْناَئِّٓكُمُ الذَِّّينَ مِّنْ أصَْلٰبِّكُمْ وَأنَْ تجَْمَعوُا بيَْنَ الْْخُْتيَْنِّ إلََِّّّ مَا قدَْ سَلفََ    ُ  إِّنَّ اللَََّّ كَانَ غَفوُرًا

   رَّحِّيمًا

“(Diharamkan atas kamu) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 4. Tidak melailaikan ibadah

Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia bertambah ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas dalam melakukan poligami. 

Allah subhanahu wa taala berfirman: 

يٰأٓيَهَُّا الذَِّّينَ ءَامَنوُا لََّ تلُْهِّكُمْ أمَْوٰلكُُمْ وَلََّٓ أوَْلٰدُكُمْ عَنْ ذِّكْرِّ اللََِّّّ    ُ  وَمَنْ يفَْعلَْ ذٰلِّكَ فأَوُلٰئِّٓكَ هُمُ

الْخٰسِّرُونَ  

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anakanakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9) 

“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni

(mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ath-Thaghabun:14)

5. Memberi nafkah lahir dan batin

Mampu memberi nafkah kepada para istri adalah syarat mutlak bagi yang ingin berpoligami. “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS. An-Nur: 33)

Islam membolehkan laki-laki berpoligami sebagai alternatif atau jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar tidak sampai jatuh kelembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas diharamkan agama. Oleh karena itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus kejurang maksiat yang dilarang Islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristeri lagi (poligami) dengan syarat bisa berbuat adil.[3]

Sedangkan dalam Undang-undang Perkawinan di Indonesia Poligami diatur dalam  Undang-Undang No 1 tahun 1974 tengtang perkawinan, dimana ada pengecualian Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang atau poligami dengan ketentuan atau persyaratan sebagai berikut

:

1.      Suami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya dengan syarat :

a.       Ada persetujuan dari Istri / istri-istri  ( Jika Istri tidak mungkin untuk memberikan persetujuannya, tidak ada kabar dari istri minimal selama 2 tahun, dan sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim PA ).

b.      Adanya kepastian sumai mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak.

c.       Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anakanak. 

2.      Pengadilan Agama hanya memberukan izin Poligami jika :

a.       Istri tidak menjalankan Kewajibannya sebagai seorang istri,

b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,

c.       Istri tidak dapat melahirkan keturunan. 

Poligami di Indonesia juga diatur dalam Intruksi Presiden N omor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ).[4] 

 

C. Akibat Poligami Tidak Tercatat Sah Dalam Pemerintahan,

Adapun akibat dari poligami tidak tercatat adalah berupa dampak hukum yaitu tidak terjaminnya hak-hak istri dan anak hasil nikah tidak tercatat yang disebabkan status perkawinan yang tidak berkekuatan hukum, serta dampak sosoal yang berujung pada ketidak harmoniosan di dalam keluarga. Undang-undang poligami di Indonesia diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan diperjelas dalam aturan pelaksanaannya PP No. 9 tahun 1975 tentang aturan pelaksanaan Undang-undang perkawinan. Kemudian PP No. 10 tahun 1983 yang sudah diubah didalam PP No. 45 tahun 1990 dan juga KHI.

 Dalam UU No. 1 tahun 1974 mengatur tentang prosedur poligami salah satunya syarat poligami yang diatur dalam Pasal 4 UU No. 1 tahun 1974 yang merupakan syarat alternatif, yaitu: 

1.      Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya,

2.      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3.      Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.  

Selanjutnya diatur dalam Pasal 5 mengenai syarat kumulatif, yaitu: 

1.      Adanya persetujuan isteri,

2.      Adanya jaminan nafkah dan keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anakanaknya

3.      Suami harus berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya..[5]

Pembatasan Poligami dengan syarat-syarat yang ketat sebagaimana diatur dalam UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa pembatasan poligami bukan pelanggaran terhadap ketentua Al-Quran ayat 3 surat An-Nisa, karena Islam adalah agama yang sangat mengutamakan keserasian, keselarasan, keseimbangan, serta ketertiban dan ketenangan  dalam kehidupan masyarakat terutama kehidupan keluarga.  Dengan demikian dalam mengaktualisasikan surat anisa ayat 3 haruslah dihubungkan dengan ruh/semangat ajaran agama islam. Untuk itu, mutlak diperlukan ijtihad dalam rangka menemukan ketentuan hukum bagi kebolehan poligami yang dimaksud. [6]

Ketentuan hukum poligami dalam UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, KHI adalah bersifat mengatur pelaksanaan kebolehan Berpoligami menurut hukum Islam, dan bukan menutup kebolehannya. Hal ini merupakan hasil ijtihad yang didasarkan pada maslahah al-ummah serta tujuan Syariat perkawinan itu sendiri, karena pada dasarnya tidak sedikit sumai yang sewenang-wenang melakukan poligami dengan menyalahgunakan kebolehan poligami menurut surat an-Nisa ayat 3 yang banyak mengakibatkan terlantarnya kepentingan Istri dan anak anak dan yang lebih tragis lagi adalah munculnya saling permusuhan diantara para istri, anak-anal maupun sanak keluarga masing-masing.[7]

Sanksi atas pelanggaran aturan poligami.

      Dalam rangka mempertahankan dan menjamin UU No 1 tahun 1974 agar ditaati,maka undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya memuat beberapa sanksi terhadap orang yang melanggar UU No.1 tahun 1974. Khususnya sanksi terhadap aturan poligami. Baik sanksi perdana maupun pidana, sebagai berikut:

1.      Sanksi Perdata

 Pasal 24 UU No.1 Tahun 1974 mengatur bahwa: "Barang siapa karena perkawinan masih terkait dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.”  Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, bahwa seorang suami yang akan beristri tanpa ada izin dari pengadilan atau istri kawin lagi dengan laki-lain lain ,perkawinannya ters ebut dapat dilakukan pembatalan oleh seorang istri atau suami yang bersangkutan kepada pengadilan.

2.      Sanksi Pidana

Dalam Pasal 45 PP No.9 tahun 1979 dinyatakan :

a.  Kecuali apabila ditentukan lain dalam peratutan perundang-undangan yang berlaku, maka :

      Barang siapa yang melangar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3.10 ayat (3), 40 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7500.

      Pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 6,7,8,9,10 ayat 1,11,13,44. Peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan, atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500.

b. Tindak pidana yang dimaksud pada ayat  diatas adalah pelanggaran.  Pasal 40 ayat (1) huruf a ancaman pidana yang ditujukan kepada mempelai, sedangkan pasal 40 ayat (1) ancaman pidana ditujukan kepada Pejabat Pencatatan Perkawinan (PPN).

 Sedangkan pelanggaran yang diancaman pidana terhadap mempelai dalam ketentuan diatas adalah pelanggaran Pasal 40 PP No.9 tahun 1975 yang berbunyi : Apabila seorang suami bermaksud beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Yang diatur disini adalah pelanggaran ketentuan administrasi perkawinan, yaitu kewajiban mengajukan permohonan izin poligami secara tertulis kepada pengadilan.

Sedangkan ancaman pidana terhadap PPN (Pasal 40 ayat (1) huruf b). Ialah bilamana melanggar ketentuan pasal 44 PP no.9 tahun 1975, yaitu delik mengawinkan suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum izin dari pengadilan.

Pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 6,7,8,9,10 ayat 1,11,13,44. Peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan, atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500. Tindak pidana yang dimaksud pada ayat  diatas adalah pelanggaran. Pasal 40 ayat (1) huruf a ancaman pidana yang ditujukan kepada mempelai, sedangkan pasal 40 ayat (1) ancaman pidana ditujukan kepada Pejabat Pencatatan Perkawinan (PPN).

      Sedangkan pelanggaran yang diancaman pidana terhadap mempelai dalam ketentuan diatas adalah pelanggaran Pasal 40 PP No.9 tahun 1975 yang berbunyi : Apabila seorang suami bermaksud beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Yang diatur disini adalah pelanggaran ketentuan administrasi perkawinan, yaitu kewajiban mengajukan permohonan izin poligami secara tertulis kepada pengadilan.

Sedangkan ancaman pidana terhadap PPN (Pasal 40 ayat (1) huruf b). Ialah bilamana melanggar ketentuan pasal 44 PP no.9 tahun 1975, yaitu delik mengawinkan suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum izin dari pengadilan.[8]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan 

Poligami adalah seorang laki-laki yang beristri lebi dari satu orang, namun tetap dibatasi yaitu hanya boleh empat istri saja. Karena jika menikahi lebih dari empat istri berarti mengingkari kebaikan yang disyariatkan Allah bagi kemaslahatan kehidupan pasangan suami dan istri.  Islam memperbolehkan poligami sampai empat orang isteri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani isteri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan hal-hal yang bersifat lahiriyyah. Jika tidak dapat berbuat adil, maka hanya cukup satu isteri saja (monogami).

Dengan demikian, jika poligami dilakukan hanya sekedar untuk pemenuhan nafsu, apalagi hanya sekedar mencari prestasi dan prestise di tengah-tengah masyarakat yang hedonis dan materialis sekarang, serta mengabaikan terpenuhinya dua prinsip utama dalam hukum Islam tersebut, maka tentu saja poligami tidak dibenarkan. Poligami dalam hukum Islam merupakan suatu solusi bagi sebagian orang (sedikit) untuk mewujudkan kesempurnaan dalam kehidupan keluarga yang memang tidak dapat dicapai dengan monogami. 

Problem ketiadaan anak yang mungkin disebabkan oleh kemandulan seorang isteri, ketidakpuasan seorang suami karena kurangnya pelayanan yang prima dari seorang isteri, atau tujuantujuan dakwah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Merupakan sederetan problem yang barangkali bisa dipecahkan oleh lembaga poligami ini. Namun yang perlu dicatat, jangan sampai upaya mengatasi berbagai problem dengan cara poligami malah menimbulkan problem baru yang lebih besar mafsadatnya daripada problem sebelumnya. Jika hal ini terjadi tentu poligami bukanlah suatu solusi yang dianjurkan, tetapi sebaliknya bisa jadi malah dilarang.

 

DAFTAR PUSTAKA

Qanita Nailiya, Iffah. 2016. Poligami Berkah ataukah Musibah.Yogyakarta. Diva Press.

Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, cet. Ke-I, jilid ke-II, (Ciputat: Lentera Hati, 2000).

Abdul Rahman Ghazali, Fikh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003).

Prosedur Poligami yang Sah. https//Hukumonline.com

Abdul Halim, Ariyall Hikam Pratama Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 1, Juni 2020.

Nur, Muliadi. Poligami tanpa izin Pengadilan (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Manado). Manado.

Zuffan, Sabri. Sekitar Syarat Persetujuan Istri Bagi Suami yang bermaksud

Berpoligami. Dalam majalah “Mimbar HUkum” (No 39 tahun 2009 Jakarta Al-hikmah dan Direktorat Badan Peradilan Agama Islam Depag, 1998 ). Badri, R. Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan dan KHUP

(Surabaya, CV Amin, 1985)



[1] Qanita Nailiya, Iffah. 2016. Poligami Berkah ataukah Musibah.Yogyakarta. Diva Press. Hal 15 2 Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 259.

[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, cet. Ke-I, jilid ke-II, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 321322.

[3] Abdul Rahman Ghazali, Fikh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), 357- 3

[4] Prosedur Poligami yang Sah. https//Hukumonline.com

[5] Abdul Halim, Ariyall Hikam Pratama Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 1, Juni 2020: 82 - 104

[6] Zuffan, Sabri. Sekitar Syarat Persetujuan Istri Bagi Suami yang bermaksud Berpoligami. Dalam majalah “Mimbar HUkum” (No 39 tahun 2009 Jakarta Al-hikmah dan Direktorat Badan Peradilan Agama Islam Depag, 1998 ). Hal 34

[7] Ibid Hal 36

[8] Badri, R. Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan dan KHUP (Surabaya, CV Amin, 1985) h. 11

Lebih baru Lebih lama