SENGKETA WAKAF
Definisi
Sengketa
Sengketa adalah proses interaksi antara dua orang atau
lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek
yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti
air, tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah yang bersangkutan
(Santoso, 2005:23)
Sengketa
Wakaf dalam Perspektif Fikih
Pengakuan merupakan hal yang memicu persengketaan, tak
terkecuali pengakuan yang terkait perwakafan.
Pengakuan adalah pemberitahuan seseorang akan suatu hak
yang dimiliki orang lain yang ada pada dirinya.
Atau: pernyataan dari seorang mukallaf yg timbul karena
kehendak dirinya sendiri tentang kebenaran yg ia nyatakan atau orang yg ada
pada orang yg mewakilinya., atau orang yg mewarisinya, yg bisa dibuktikan
kebenarannya dan bukan merupakan suatu hal yg dibuat-buat.
Pengakuan bisa dilakukan secara lisan atau tulisan.
Sumber pengakuan atas aset wakaf bisa berasal dari waqif, ahli
waris, atau nadzir.
Pengakuan
waqif:
a. Pengakuan
dalam keadaan sehat:
Jika seseoarang mengaku dalam kondisi sehatnya bahwa ia
telah mewakafkan harta tertentu dari harta-harta lainnya dengan prosedur yg sah, maka wakaf tsb diakui
berdasarkan pengakuannya dan memiliki kekuatan hukum bagi waqif dan ahli
warisnya setelah ia meninggal.
b. Pengakuan
dalam keadaan sakit
Apabila seseorang yg menderita
penyakit parah (mendekati kematian) memberikan pengakuan bahwa ia telah
mewakafkan salah satu asetnya berupa benda
yg tak bergerak, maka wakaf dapat dibenarkan bedasarkan pengakuannya. Namun
wakafnya terhitung hanya sepertiga dari hartanya saja, dengan syarat salah satu
ahli warisnya tidak ada yg merupakan
mauquf alaih.
Sebab jika ia harus mendapatkan izin dulu dari ahli
warisnya yg berhak atas harta di luar sepertiga harta yg boleh diwakafkan
Pengakuan
dari ahli waris waqif:
Jika ahli waris memberi
pengakuan bahwa waqif telah mewakafkan tanah semasa hidupnya , maka wakaf
tersebut sah berdasarkan pengakuan mereka dan wakaf dapat ditetapkan.
Apabila ahli warisnya dua orang laki-laki, salah satu di
antara mereka memberikan pengakuan dan yg lain mengingkari maka bagian dari
anak yg mengakui tadi berstatus menjadi
asset wakaf. Sedangkan bagian dari anak yg mengingkari bersetatus menjadi
miliknya dan ia tidak mendapat hak atas wakaf.
Apabila anak dari orang yg mengingkari pengakuan saudaranya
membenarkan pengakuan yg dikatakan oleh paman mereka, maka mereka mendapat hak
wakaf dan hak mereka tidak batal.
Apabila sepeninggal orang tua mereka , anak-anak itu menyetujui apa yg
diikrarkan orang tuanya , maka seluruh harta itu bersetatus wakaf, adapun jika
mereka mengingkarinya , mereka dilarang utk mengambil bagian dari wakaf.
Apabila mereka membenarkan pamanya dikala orang tua mereka
masih hidup, kemudian mengingkarinya setelah orang tua mereka menginggal, maka
status harta itu seluruhnya tetap menjadi wakaf. Namun apabila sepeninggal ayah
mereka sebagian saja yg membenarkan dan sebagian lain mengingkarinya maka
bagian mereka yg sepakat dimasukkan ked lm wakaf. Kemudian pendapatanya
dibagi-bagi kepada mereka yg mengakuinya saja, sedangkan bagian menreka yg
mungkir menjadi milik mereka.
Pengakuan
dari orang lain:
1. Pengakuan
di kala sehat
Apabila seseorang menyampaikan
pengakuan bahwa benda tak bergerak yg ada padanya adalah sedekah yg sudah
diwakafkan, namun ia tidak menyebutkan siapa waqifnya dan orang lainpun tidak
ada yg mengakui kepemilikannya, mka pengakuannya sah dan dpt dibenarkan dan
benda itu menjadi wakaf yg diperuntukkan bagi fakir miskin.
Apabila diakui oleh muqir bahwa
tanah yg ada padanya telah diwakafkan pada dirinya, anak-anak, dan keturunannya
untuk selamanya serta untuk fakir miskin, maka ucapannya diterima namun bukan
berarti ia adalah waqifnya.
2. Pengakuan
di kala sakit
Seseorang mengaku bahwa benda tak bergerak yg ada padanya
adalah harta wakaf yg telah diwakafkan oleh Fulan bin Fulan, maka untuk
mendapatkan kebenaran atas pengkuannya harus dimintakan keterangan kepada waqif
jika masih hidup atau kepada ahli warisnya jika sudah meninggal. Jika mereka
membenarka isi pengakuannya maka benda itu statusnya menjadi barang wakaf. Jika
mengingkari pengakuannya, maka benda itu tidak bisa menjadi wakaf.
Penyelesaian
Sengketa Wakaf dalam Perspektif UU
Secara umum,
ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah, antara lain :
1. Masalah
yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas
tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
2. Bantahan
terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar
pemberian hak.
3. Kekeliruan
/ kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau
tidak benar.
4. Sengketa
atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial (Maria, 2009: 61)
Pasal 62 Undang-undang No.41
tahun 2004:
(1)
Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2)
Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi,
arbitrase, atau pengadilan.
Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama, yang menyebutkan “Pengadilan Agama bertugas dan
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam, di bidang : a) Perkawinan b) Waris c) Wasiat
d) Hibah e) Wakaf f) Zakat g) Infaq, h) Shadaqah, dan i) Ekonomi syari’ah
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI
ADMINISTRATIF
Ketentuan Pidana
Pasal 67
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan,
menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak
lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang dengan sengaja menghibah
peruntukan harta benda wakaf tanpa izin (empat)tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(3)
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Sanksi Administratif
Pasal 68
(1) Menteri
dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya
harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dan Pasal 32.
(2) Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan
tertulis;
b. penghentian
sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga keuangan
syariah;
c. penghentian
sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.